"Gavin, Mama gimana?"
Gavin mengangkat kepalanya. Dia memandang Geo tajam dengan mata merah dan basahnya. "Puas?"
Geo menatap Gavin bingung dan khawatir. Gavin tak pernah menangis. Apa yang terjadi sampai Gavin menangis seperti ini.
"Wanita murahan itu udah membunuh calon adikku,” desis Gavin tajam.
Geo terkejut. Dia menatap Vega tak percaya. Vega menangis sesenggukan. Satu air mata Geo menetes. Dia bahkan tidak tahu kalau Shanti hamil.
"A... Aku kehilangan anakku?" Geo masih tak percaya.
"Pergi. Jangan pernah temui kami lagi,” desis Gavin. "Mulai saat ini, kami bukan lagi bagian dari Alastair.”
"Gavin...”
"Pergi!" teriak Gavin.
***
Sudah 3 hari sejak kejadian malam itu, Gavin sama sekali tak menghubunginya. Bukannya Laura ingin, tapi dia khawatir dengan keadaan Gavin. Ingin sekali Laura menghubungi Gavin,
Hai, readers. Hope you like it. Semoga kalian bisa mengambil pesan moral dari cerita ini. See you on the next chapter :D
Gavin menggeram dan menjauhkan kepalanya dari Laura. Kepalanya sangat pusing karena meredam emosi. Dia menatap Laura tajam. Ingin sekali dia melampiaskan kemarahannya pada Laura, tapi dia tidak ingin kembali merusak Laura. Dia menghembuskan nafasnya kasar. Harusnya Laura bukan dijadikan alat untuk membalaskan dendamnya. “Pergi dan jangan muncul di depan gue lagi,” sentaknya. Laura membeku. Dia ingin meninggalkan Gavin, tapi rasa kemanusiaan seolah menahannya. Dia ingin menolong Gavin. Bagaimana mungkin dirinya meninggalkan orang yang sedang berduka? “Pergi atau gue bikin lo semakin jijik sama diri lo.” Setelah mendengar ancaman Gavin, Laura segera memaksakan dirinya untuk berlari walau tubuhnya sangat lemas ketakutan. Dia tahu, Gavin tidak akan main-main dengan ucapannya. Dia berjanji tidak akan muncul dihadapan Gavin sampai kapan pun. Cukup sampai di sini saja dia mencampuri urusan Gavin. *** "Eh Ra, sebelum pulang nanti beli pembalut
Laura mengambil ponselnya dan mengeluarkansim carddi sana. Dia bertekad akan menjalani hidupnya yang baru. Maafin aku, Mell. Bukannya aku nggak nganggep kamu sahabat. Tapi aku terlalu takut kamu membenciku. Setelah itu Laura membuangsim cardnya. Selamat datang di kehidupan baru kita,Baby. Laura berjalan di trotoar. Dia mengelus perut datarnya sayang. Sesekali dia menghapus air matanya. Kepalanya sedikit pusing. Mungkin dia kelelahan dan kelaparan. "Laura?" "Kak Angin?" *** Laura membuka matanya. Kepalanya pusing sekali. Laura melihat sekelilingnya. Dia sedang berada di sebuah kamar.Kamar siapa ini? Laura memejamkan matanya, mengingat apa yang sudah terjadi sebelum dia pingsan tadi. Oh, mungkin ini kamar adiknya Angin. Laura hendak turun dari ranjang, namun pintu kapar itu terbuka. Di sana ada gadis mungkin saja seusianya.
Laura segera mendudukan pantatnya di sofa sederhana Oma. Dia memijat pelan pinggangnya. "Kamu cape?" Laura tersenyum. "Dikit, Oma.” Oma pergi ke dapur dan membawa minyak urut. Dia duduk di samping Laura. Oma mengangkat kaki Laura agar meniban pahanya. "Eh, Oma. Nggak usah,” Laura merasa tidak sopan. Oma menggeleng dan memijat kaki Laura. "Harusnya kamu nggak usah ikut. Hamil dengan usia sekamu ini rentan banget. Oma nggak mau cicit Oma kenapa-napa.” Laura terharu. Dia menahan air matanya yang hendak menetes. "Aku nggak papa kok, Oma. Aku suka bantuin Oma.” Oma melanjutkan pijatannya dan sesekali bercerita tentang anak-anaknya yang bekerja di luar kota. Oma punya dua anak yang sudah menikah, tapi mereka sangat jarang, bahkan tidak pernah pulang. Mereka hanya rutin mengirim uang setiap bulan. Padahal Oma masih bisa menghidupi dirinya sendiri. Laura juga menceritakan kehidupannya dulu. Mella dan Bagas, namun sama sekali tidak menyebut Gav
Bayi itu menendang lagi. Laura mengelus lembut. Tendangan ini terasa menyenangkan, tidak sakit seperti tadi. "Maaf ya, Sayang. Kamu pasti lelah ya.”"Bunda janji, kamu bakal ngerasa lengkap. Walaupun itu tanpa ayah. Bunda akan jadi bunda sekaligus ayah buat kamu. Tapi kamu janji, ya. Jangan nakal sama Bunda,” Laura mengelus perutnya lembut.***"Sorry,Ghan. Gue cuma anggep lo temen,” ucap Gavin.Wanita itu tersenyum pedih. "It's okay. Masih banyak waktu.”Gavin mengangkat bahunya tak acuh. Dia sangat malas menanggapi ucapan Meghan. Entah sudah berapa kali Gavin menolak Meghan, namun Meghan tak jera saja."Well, gue mauparty. Lo mau ikut?"Gavin menggeleng. Dia tak ingin minum-minuman keras atau party. Bukan karena dia cupu, namun karena Shanti selalu mewanti-wantinya dulu. Ya walaupun dia pernah melakukannya dan berakhir dengan menghancurkan masa depan La
"Tadi gue liat ada yang dagang tempe. Sumpah ya tempe di sini mahal banget. Gue kira lo kangen masakan Indo, jadinya gue beli. Lo-" Meghan menghentikan ucapannya karena tidak direspon. Dia menatap Gavin kesal. "Gavin Akash, lo dengerin gue nggak sih.” Gavin hanya mengangguk. Dia masih fokus pada laptopnya. Meghan mendengus dan menarik laptop Gavin. "Iya, Ra. Gue dengerin lo, kok.” Meghan mengerutkan keningnya. "Ra?" *** Laura menolak makan. Dia hanya diam dan menangis. Dia selalu saja merasa gelisah. Entah apa yang ada di otaknya, tapi dirinya selalu dihatui dengan rasa takut. Oma mendekati Laura. Dia mengelus rambut Laura yang sedikit berantakan dengan lembut. "Oma sisirin ya.” Laura hanya diam. Dia enggan menjawab permintaan Oma. Otaknya sekarang sedikit tidak berfungsi untuk sekarang. Oma menghembuskan nafas panjang. Dia mencoba tersenyum. Dia harus sabar demi kesembuhan Laura dan kebahagiaan bayi itu. "Mau sampai ka
"Aku masih suka wanita. Tapi aku belum menemukannya,” ucap Gavin masih dengan bahasa Inggris."I see. Apa Meghan cantik untukmu?"Gavin menggeleng. "Dia cuma teman.”"Really? Wanita secantik itu kau anggap teman?"Gavin menggeleng. "Lebih baik kau pergi. Aku ingin fokus mengerjakan laporan ini.”Richard tertawa. "Akan kutunggu, siapa wanita malang yang mendapatkan hatimu.”Setelah itu Richard keluar dengan tertawa. Gavin mengurungkan niatnya untuk melempar bolpoinnya. Gavin menatap ke depan dengan kosong.Dia kembali mengingat Laura.***Dengan pelan, Laura mencoba untuk mengangkat tubuh Davi. Laura terlihat sangat hati-hati, dia takut akan melukai Davi. Saat Davi sudah sempurna didekapnya, Laura dapat menghembuskan nafasnya lega. Laura segera menengok ke Oma."Laura nggak lukain Davi kan Oma?"Oma mengangguk senang. "Kamu nggak lukai Davi. Kamu Bunda yang baik.&rdq
Hai, readers. Selamat pagi, siang, sore. Aku nggak tahu kapan kalian ngebaca ini. But, semoga kalian selalu mendapatkan hari yang menyenangkan. Sebelum kita ngelanjutin perjalanannya Laura, aku mau nyapa kalian dulu nih hehehe. Sebelumnya, makasih banget udah mau ngikutin cerita hidup Laura sampe sekarang. Aku bener-bener terharu. Aku bahkan nggak expect bakalan ada yang ngebaca cerita ini. You all mean so much for me :D. First of all, sebenernya cerita ini aku buat gegara liat banyak banget kasus pelecehan di luar sana. Sangat menyayangkan banget. Bahkan, aku nggak bisa bayangin kalo ada "sosok" Laura di kehidupan nyata. It might be so painful. Kalau kalian—amit-amit—ada di posisi Laura atau orang yang mengalami pelecehan, what would you do? Jujur aja, aku juga ga tau apa yang bakalan aku lakuin. Rasanya mungkin kaya buah simalakama. Kalau ngelapor, sama aja kaya mengungkit luka. Terus ya, di negara kita ini, kurang banget wadah buat me
Richard sudah berkutat padasketchbooknya. Sedangkan Gavin kembali mempelajari konsep yang akan mereka usulkan pada Mr. Casel. Sesekali Gavin mencatat apa yang perlu diutarakan nanti. Gavin menghentikan pekerjaannya dan segera membuat logo perusahaan.Apsa. Sangat manis.Batin Gavin.Apsara.***Laura membuat kue ulang tahun sederhana untuk Davi. Dia meletakkan lilin berbentuk enam di atas kue itu. Laura tersenyum puas melihat hasil karyanya. Walaupun tidak sebagus kue yang ada di etalase bakery, tapi kue buatan Laura cukup memuaskan."Gimana, Ra. Udah siap?” tanya Oma.Laura mengangguk. Dia membawa kue itu ke kamarnya. Di sana ada Davi yang sedang bermain mobil-mobilan. Diikuti oleh Oma di belakangnya."Happy birthday, Davi.Happy birthday, DaviHappy birthday, happy birthdayHappy birthday, My dear.”Laura dan Oma menyanyikan lagu u
Suara tepukan tangan terdengar meriah. Tangan Gavin mengelus surai lembut Laura yang tampak terharu. Di depan sana, di atas panggung, Davi berdiri dengan penuh percaya diri karena meraih predikat sebagai lulusan terbaik di taman kanak-kanak. Nama Gavin dipanggil untuk mendampingi Davi di atas panggung. “Kamu aja yang naik ke panggung.” Gavin menepukkan tangannya pada telapak tangan Laura yang menggenggam erat karena terlalu antusias.Laura menoleh. “Kak Gavin aja. Semuanya yang di atas ditemenin ayahnya.”“Aku mau videoin kamu di sini. Kamu aja yang naik.”Laura menatap Gavin dengan wajah terharu. “Terima kasih,” ujar Laura sebelum beranjak dari duduknya dan menghampiri Davi. Sebelum berdiri di belakang Davi, Laura mengecup puncak kepala Davi dan menggumamkan beberapa kata selamat sehingga wajah Davi terlihat lebih berseri.Gavin menatap dua sosok kesayangannya dari kursi wali murid. Dalam bayangannya, Gavin tidak pernah bermimpi berada di fase seperti ini. Jika boleh, Gavin ingin me
Di samping itu semua, Laura sangat terharu dengan interaksi antara Geo dan Gavin. pasangan ayah-anak tersebut beberapa kali melakukan interaksi, meskipun kecanggungan masih terasa di sana. Paling tidak, Laura tidak lagi melihat kebencian di mata Gavin saat menatap Sang Ayah. Laura menjadi saksi bagaimana beberapa hari ini Gavin mencoba berdamai dengan masa lalunya. Sejak perceraian Geo, hubungan suami dan ayah mertuanya itu sedikit membaik. Bahkan, Gavin juga menerima permintaan maaf Vega meskipun dirinya tidak ingin sama sekali berhubungan dengan mantan ibu tirinya itu.***Kembali lagi ke waktu dua hari setelah Laura keluar dari rumah sakit, Laura dan Gavin duduk berdua di depan rumah Laura. Geo, ayah Gavin, baru saja kembali dari rumah Laura sebab ada beberapa hal yang perlu beliau diskusikan bersama Arkan. Di sanalah Laura tahu bahwa antara Geo dan Vega sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan karena secara resmi sudah bercerai.“Kak Gavin…” Laura menjeda ucapannya. Jujur saja, d
Punggung Laura yang tegang kini mulai mengendur. “Jangan hari ini ya, Kak?” pinta Laura pada Gavin.Gavin menganggukkan kepalanya. Tangannya masih belum berhenti untuk mengelus tengkuk Laura. “Hari ini aku cuma mau denger cerita tentang kamu dan Davi yang masih belum aku tau.”Malam itu, Laura dan Gavin habiskan untuk membahas banyak sekali hal. Bukan hanya Laura, Gavin juga menceritakan tentang kesehariannya selama dia bersekolah di luar negeri. Laura merasa sangat antusias mendengar cerita dari Gavin tentang masa kuliah karena dia tidak bisa merasakan masa itu dulu. Jika ditanyakan menyesal atau tidak, Laura tidak menyesal. Baginya, menjadi ibu yang baik untuk Davi sudah membuatnya sangat puas.***Laura dan Gavin menata barang-barangnya di rumah baru mereka. Laura sangat berterima kasih kepada Gavin saat lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan rumah untuk ditinggalinya bertiga. Gavin juga sangat mempertimbangkan lokasinya untuk perkembangan Davi. Gavin memilih lokasi d
“Abis sarapan aku mau ngajak kamu buat nyiapin berkas buat akad, takutnya nanti Davi kecapean kalo ikut kita.” Laura hanya menganggukkan kepalanya paham saat menerima penjelasan Davi. Gavin membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Laura masuk. Laura hanya diam menurut saat Gavin yang biasanya memilih untuk menyetir sendiri mobil saat bersamanya, hari ini menggunakan supir. Begitu mobil melaju, Gavin langsung merebahkan kepalanya ke arah Laura. Tubuhnya juga dia dekatkan hingga menempel penuh dengan Laura. “Kak Gavin jangan gini, ah. Malu.” Laura berbisik pada Gavin karena takut menyinggung supir Gavin. “Aku kangen banget,” ujar Gavin yang semakin menempelkan tubuh mereka. *** Laura dan Gavin sudah menyelesaikan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk menikah pada empat hari mendatang. Tentu saja banyak uang yang harus Gavin keluarkan agar proses yang dibutuhkan lancar dan cepat. Atas permintaan Laura, akad akan dilakukan secara sederhana di rumahnya. Tidak serta merta menur
Vega berdiri dan mendekatkan dirinya pada Geo yang menatapnya dengan datar. “Mas, apapun keputusanmu, aku terima. Kalo kamu mau ceraiin aku juga aku terima, Mas. Asalkan kamu bisa maafin aku.”“Kamu bisa ngembaliin semuanya, nggak? Bisa bikin Shanti hidup dan maafin aku lagi? Bisa bikin Gavin nggak benci aku lagi? Bisa bikin semuanya balik normal lagi. Kalo kamu bisa, aku maafin kamu.”“Mas, aku nyesel, aku minta maaf.” Vega menggumamkannya berkali-kali dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya.Geo menghembuskan nafasnya dengan berat. “Jelasin semuanya ke Gavin tanpa ada yang kamu tutupi. Setelah itu, saya akan ngajuin perceraian kita. Saya nggak bisa nikah sama orang jahat seperti kamu.” Geo mulai mengembalikan gaya bahasa seperti dulu dan Vega hanya bisa pasrah.***Dua hari berlalu dan Laura hari ini keluar dari rumah sakit. Dari tadi, Gavi sudah disibukkan dengan administrasi. Sebelumnya, Arkan sudah ingin mengurusnya, namun dengan tegas Gavin menolaknya. Bagi
Dunia Geo terasa runtuh pada saat membaca berkas dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Vega tengah mengandung. Meskipun Geo tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi di malam itu, dirinya tetap harus mempertanggung-jawabkannya. Geo menghembuskan nafasnya panjang, semua ini terasa berat baginya.Geo tidak sanggup jika harus mengatakannya pada Shanti dan Gavin. Dirinya belum siap, tidak akan siap jika kedua orang itu harus membencinya. Mata Geo memanas, hatinya sangat hancur saat dirinya membayangkan bagaimana reaksi Shanti dan Gavin.“Aku nggak masalah kalau kita harus nikah siri dan menyembunyikannya dari Shanti, Mas.”“Keluar.” Hanya satu kata itu yang bisa Geo ucapkan.“Mas, aku-”“Saya bilang keluar, Vega!” tegas Geo dengan nada tinggi. Vega akhirnya mengangguk sedih dan memilih untuk keluar dari ruangan Geo. Vega memberikan sedikit ruang pada Geo. Namun, hanya ada satu pilihan pada saat ini, yaitu Geo menikahinya.“Maafin aku, Shanti.”***“Ma, aku kemaren denger Mama nangis
Geo menghembuskan nafasnya berat. Lagi dan lagi, rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya itu kembali menghantam hati Geo. Sebab dirinya, Dara dan Bagas, anak pertama Egi harus kehilangan peran ayah. “Baiklah,” ujar Geo dengan memaksakan senyumnya.“Makasih ya.” Vega memberikan senyum terbaiknya kepada Geo yang hanya dibalas anggukan singkat dari Geo.“Saya kabari Shanti dulu,” ujar Geo tanpa memberikan banyak atensi pada Vega.Geo bergerak gelisah dengan tangan memandangi layar ponselnya. Di sana, terdapat nama kontak “Soul” dan dibubuhkan emoji hati di sampingnya. Sedari tadi, kontak Shanti hanya berdering tanpa diangkat oleh empunya.Menyerah, Geo memilih untuk mengetikkan pesan pada Shanti bahwa dirinya tidak pulang untuk malam ini karena ada beberapa pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Untungnya, sebelum kematian Egi, Geo memang sudah sering menginap di kantor karena memang banyak pekerjaan yang hars segera diselesaikannya karena tenggat waktu yang sudah
Ciuman itu terhenti dengan Laura yang terengah-engah dan segera meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Berbeda dengan Laura, Gavin sama sekali terlihat biasa saja. Bahkan, tangan Gavin sekarang bergerak untuk membersihkan bibir Laura yang basah akibat saliva mereka berdua.“Faktanya emang kamu nggak nolak ciuman dari aku, Ra.”Laura menghembuskan nafasnya lelah. Berbicara dengan Gavin membuatnya tidak pernah bisa berkutik. Gavin dengan segala argumennya membuat Laura kalah. Selain itu, aura dominan yang menguar dari tubuh Gavin membuat siapa pun akan memilih diam daripada semakin kalah. “Terserah kak Gavin aja deh.”“Oh iya, Ra. Kamu kudu belajar pernafasan lagi, deh.”“Kenapa emangnya?” tanya Laura yang sedikit bingung dengan ucapan Gavin yang tiba-tiba dan sangat tak terduga itu.“Biar kita kalo ciuman bisa lebih lama.”***Vega POVAku berjalan menuju salah satu kamar di rumah sakit dengan kaki yang lemas. Setelah mendapatkan telpon dari pihak rumah sakit, serta merta hatiku dil
Tangan kiri Gavin yang sedari tadi diam dan tidak ikut mengelus rambut Laura beralih untuk mencubit pipi Laura dengan lembut. Tangan Laura terangkat untuk melindungi pipinya dari serangan Gavin. Meski begitu, Gavin masih memiliki cela untuk mencubit pipi Laura. Bahkan, sekarang Gavin beralih untuk mencubit hidung mancung Laura.“Kak Gavin, stop it,” ujar Laura dengan geli. Gavin terkekeh dan menghentikan cubitannya pada Laura.“I wanna kiss you so bad,” bisik Gavin dengan suara lirihnya. Bahkan saat ini, wajah Gavin berada tepat di atas wajah Laura. Bergerak sedikit saja, bibir Laura pasti akan menyentuh bibir milik Gavin.Wajah Laura rasanya terbakar melihat tatapan Gavin yang sangat intens padanya. Jantung Laura terasa berdebar. “Apa Kak Gavin bakal natap aku terus? Bukannya di film kalo orang ciuman bakal nutup matanya?” batin Laura menjerit. Dengan perlahan, Laura menutup matanya, mencoba untuk mengabaikan Gavin yang masih menatapnya dengan intens.Tubuh Laura semakin kaku saat me