"Sendiri aja, Mas. Itu ada Pak Tono." Mella menunjuk Pak Tono saat Geri menawari untuk mengantarkannya.
Geri mengangguk. "Udah ah. Yuk pulang." Geri menggandeng tangan Sandra.
Laura dan Mella berdiri. Mereka berjalan mendekati mobilnya. Di dalam mobil Laura dan Mella masih menceritakan kehidupan Sandra dan Geri. Mereka terlihat romantis.
"Tapi kasian, udah 2 tahun nikah tapi belum dapet anak."
Laur mengangguk maklum. "Masih 2 tahun. Ya kita doain aja."
***
Laura dan Mella sedang mempersiapkan diri menuju tempat prom. Laura melirik Mella kesal. Mella tak mau kalah, dia pun melirik Laura kesal, namun setelah itu menampakkan senyum puas. Laura mendengus, menatap pantulan wajahnya di kaca mobil. Laura memang memuji keterampilan Mella dalam merias. Walaupun tadi Laura sempat kukuh dengan pendiriannya yang no make up. Sedangkan Mella dengan make up no make up. Dan akhirnya dimenangkan oleh Mella setelah perdebatan alot antara mereka.
Mereka turun dari mobil negitu sopir Mella mengatakan bahwa mereka sudah sampai. "Gue ngampirin Leon dulu, ya." Ujar Mella santai pada Laura, seolah perdebatan tadi tak pernah ada. Ya, begitulah sahabat.
"Ada gebetan, sahabat pun dinomorduakan." Dengus Laura.
Mella tertawa dan melambai meninggalkan Laura. Mata Laura bergerak acak memerhatikan suasana di sini. Tak sengaja matanya bertemu dengan Bagas. Bagas melambai dan menghampiri Laura. "Sendirian?"
Laura menelan kegugupannya. "Iya, Kak. Ditinggal Mella sama Leon." Ucap Laura setelah menghembuskan nafas panjang guna menetralisir kegugupannya.
"Sama gue aja." Tanpa aba-aba Bagas menggandeng Laura.
Laura sedikit terkesiap merasakan tangannya digenggam oleh Bagas. Dia harus meredakan jantungnya. Bagas menuntun Laura memasuki taman.
Laura berdecak kagum. Taman ini diubah dengan sangat cantik. Didominasi oleh bunga anyelir putih yang memberi kesan mewah. Ditambah pot dari botol yang berisi bunga tulip menggantung di pohon serta meja yang diatasnya ada berbagai hidangan memberi kesan yang natural di prom kali ini.
"Wanna dance?" Tanya Bagas dengan sedikit merendahkan tubuhnya dan mengulurkan tangannya. Laura menatap liar. Ternyata banyak yang sudah berdansa dengan pasangannya. Bahkan dia menangkap Mella sudah berdansa dan cekikikan bersama Leon di antara siswa-siswi lain. Sedikit ragu Laura menerima uluran tangan Bagas. Dia menegakkan tubuhnya kembali dan memindahkan tangannya ke pinggang Laura. Sedikit menariknya agar Laura lebih dekat dengannya.
"Apa gue belum bilang kalo lo sekarang cantik banget." Ucapan Bagas sontak membuat pipi Laura bersemu.
***
Laura merebahkan tubuhnya di samping Mella. "Eh tadi, Kak Gavin keren banget. Macho." Ucap Mella tiba-tiba.
Laura memandang Mella. Terlihat wajah Mella yang tersenyum membayangkan wajah tampan Gavin yang tadi memakai tuksedo moka dan celana jeans hitam. "Lo deket sama Leon, tapi lo suka Kak Gavin?" Tanya Laura tak percaya.
"Ish, nggak gitu. Gue liat Kak Gavin tuh-"
"Kayak lagi liat Ji Chang Wook. Cuma bisa dibayangin. Gak bisa didapetin." Lanjut Laura dengan nada mencibir. Mella nyengir.
"Udah ah, tidur. Besok ada rapat. LPJ prom." Ingat Laura.
***
Gavin memasuki rumahnya dan terkejut melihat ada orang yang sangat dibencinya sedang duduk di sofa ruang tamunya. "Siapa yang mengizinkan Anda masuk?" Rahang Gavin mengeras.
"Apa papa nggak boleh mengunjungi anak papa?" Tanya lelaki paruh baya yang tadi duduk di sofa. Dengan perlahan dia berdiri diikuti wanita yang ada di sampingnya.
"Siapa yang Anda maksud anak Anda?"
Lelaki itu menghembuskan nafas berat. Dia mendekati Gavin. Gavin sedikit memundurkan tubuhnya saat lelaki itu berasa dua langkah di hadapannya. Sorot benci masih Gavin layangkan pada lelaki itu. "Gavin, Papa mohon kamu jangan kayak gini. Maafin Papa. Papa salah. Tapi kamu gak bisa selamanya kayak gini. Kamu anak Papa."
"Seorang ayah gak bakal meninggalkan anaknya demi seorang wanita murahan." Ucap Gavin dengan melirik wanita di belakang orang yang mengaku papanya.
"Gavin!" Bentak laki-laki itu.
"Apa?" Tantang Gavin. "Anda bukan lagi papa saya semenjak Anda mengkhianati Mama dan saya empat tahun lalu." Ucap Gavin. "Dan perlu Anda tahu, selera Anda terlalu rendah untuk mencari selingkuhan." Gavin menatap wanita itu dingin. "Murahan." Desis Gavin.
Bugh.
Gavin tersungkur. Setelah itu dia berdiri dan menyentuh sudut bibirnya yang pecah dan mengeluarkan darah. Gavin tertawa dingin. "Seorang papa tak akan pernah memukul anaknya demi seorang jalang." Ucap Gavin sebelum meninggalkan ruang tamu.
"Gavin! Kamu-"
"Udah, Mas. Jangan kasar sama anak kamu." Potong wanita itu seraya mengelus lembut lengan suami sirinya. Lelaki itu menghapus air mata wanitanya.
"Dia telah menghinamu." Ucapnya sambil tetap mengelus pipi wanita itu.
"Nggak masalah, Mas. Dia hanya butuh waktu. Aku akan sabar menunggunya." Ucap wanita itu lembut.
Lelaki itu menghembuskan nafas kasar. "Sekarang kita pulang. Besok kita akan mengumumkan hubungan kita." Wanita itu mengangguk. Setelah itu mereka melegang meninggalkan rumah Gavin.
Gavin menggeram kesal menatap kepergian dua orang yang tadi menjadi tamu tak diharapkannya. Gavin mengambil jaket dan mengendarai motornya cepat. Hanya satu tempat yang dapat menenangkan hatinya untuk saat ini.
***
"Kita rapat di mana sih?" Tanya Laura pada Mella yang sedang menghias wajahnya.
"Di rumahnya Kak Gavin." Ucap Mella antusias.
Setelah Mella selesai, mereka segera melesat menuju rumah Gavin. "Kak Gavin itu baik gila, ya. Katanya rumahnya itu sering jadi tempat tongkrongan anak-anak. Apalagi kalo rapat, sering banget di sana." Cerita Mella dengan semangat. Laura hanya mengangguk, malas menanggapi.
Saat mereka sampai di sana, masih sedikit anak yang sampai. Hanya ada empat-lima anak yang sampai. Mereka masuk dan di ruang tamu terlihat ada wanita paruh baya yang sedang menyiapkan hidangan.
"Udah, Mbok. Makasih. Mbok dateng lagi lusa ya. Sekarang pulang sendiri atau aku anter?" Laura dan Mella melongo tak percaya. Mereka baru saja melihat sisi hangat Gavin. Ternyata Gavin tidak secuek yang mereka kira.
"Ndak usah, Nak Gavin. Mbok pulang sendiri aja. Temennya Nak Gavin udah pada dateng."
"Aku gak enak sama, Mbok. Kan harusnya hari ini jadwalnya mbok gak ke sini." Gavin menggaruk rambutnya yang tak gatal.
"Walah, Nak. Mbok itu kerja sebelum sampean laer. Sampean wes tak anggep cucunya Mbok. Ndak usah malu. Udah, Mbok balek dulu. Itu ada yang ngintipin kita lo." Simbok tertawa lalu meninggalkan Gavin.
Gavin menatap Laura dan Mella yang sedang bersembunyi di balik pantry tajam. Mereka segera berlari kecil menuju ruang tamu dan ternyata semua sudah berkumpul. Gavin berjalan di belakang mereka.
"Kok aku gak liat Kak Bagas sama Kak Linda, ya." Ucap Laura seraya meniti satu persatu anak-anak yang datang.
"Katanya mereka ada acara keluarga." Ucap Mella tak acuh.
"Oke, kita mulai rapat buat LPJ." Ucapan Gavin menghentikan kegiatan anak-anak yang sedang membabat hidangan di atas meja.
Gavin mengintip ponselnya yang bergetar tanda chat masuk. Dengan cepat ia membuka ikon What’s App. Tangan Gavin mengepal begitu melihat orang yang mengiriminya chat.
Geovano: —bahkan Gavin tidak ingin repot-repot menamai kontak Papanya dengan sopan.
Walaupun kamu menentang, Papa tetep kirim berita bahagia Papa buat kamu.
Tulis lelaki itu beserta foto satu keluarga yang tengah berada di pelaminan.
***
"Oke, rapat selesai." Gavin merilekskan tubuhnya. Setelah tiga jam mereka rapat, akhirnya LPJ—Laporan Pertanggungjawaban— selesai. Tinggal diketik dan diprint. "Untuk sekretaris, gue mau laporannya sekarang." Laura mengangguk. Sudah biasa dengan sifat diktator Gavin.
"Gue dulu ya, Ra."
"Duluan, Ra."
Laura mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari buku dan laptopnya. Bukan tak tau sopan santun, hanya saja dia ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasnya dan pulang ke rumah. Tubuhnya benar-benar butuh rebahan.
"Ra, sorry nih. Bukannya nggak mau nemenin, tapi Zella minta gue buat nemenin dia beli keperluan camping. Dia besok kan camping."
"Iya, udah sono." Ucap Laura sambil melambaikan tangannya seolah mengusir Mella.
"Makasih ya. Gue duluan." Laura mengangguk.
***
"Halo, Mbok? Kenapa?"
"Halo, Nak Gavin. Nyonya kambuh. Nyonya liat undangan Mbok yang dikasih sama Tuan." Ucap Simbok terdengar panik.
"Argh..." Gavin memukulkan tangannya ke dinding hingga buku-buku jarinya berdarah. "Kenapa pecundang itu suka cari masalah?" Desisnya.
"Nak Gavin, orang yang sampean panggil pecundang itu papa sampean. Sejahat apapun beliau, sampean tetep harus hormati." Ingat Simbok tegas.
"Aku bisa liat mama, Mbok?" Tanya Gavin.
"Jangan dulu, Nak. Nyonya ndak kuat kalo harus liat Nak Gavin." Ucap Simbok dengan nada bersalah.
Gavin membanting ponselnya di ranjang setelah mematikan panggilan sepihak. Tangannya yang tadi berdarah kembali dia pukulkan ke dinding. "Kenapa muka gue mirip sama pecundang itu?" Geram Gavin.
Gavin mengambil minuman yang disembunyikannya. Dengan cepat dia membuka botolnya dan meneguknya habis dalam sekali tegukan. Merasa belum puas, Gavin kembali meneguk botol kedua. Setelah menghabiskan botol kedua, kepala Gavin merasa pening. Ruangan di hadapannya seolah berputar-putar.
***
Sudah satu jam Laura berkutat dengan bahan LPJ yang tadi telah dirapatkan. Akhirnya selesai juga. Laura meregangkan otot-otot tubuhnya karena merasa ototnya kaku.
Dia berdiri dari duduknya dan melongokkan kepalanya mencari keberadaan Gavin. Sepi banget ni rumah. Mana orang tua Kak Gavin, ya? Tanya Laura entah pada siapa.
"Kak Gavin." Panggil Laura pelan.
"Kak Gavin?" Ulangnya sedikit lebih keras. "Kok nggak ada sih."
***
Gavin beranjak dari kamarnya dengan sedikit sempoyongan. Dari sisa-sisa kesadarannya dia ingat bahwa ada orang lain yang menunggunya di ruang tamu. Gavin mengerjapkan matanya agar fokus. Tapi dia tidak bisa mendapatkan fokus itu. Tubuhnya terasa panas dan kepalanya sangat pening.
"Kak Gavin?" Gavin mendengar gadis itu memanggilnya.
"Gue di sini!" Teriak Gavin. Ingat jika kamarnya kedap suara, Gavin menyeret kakinya keluar pintu. Tangannya mencengkram pintu guna menopang tubuhnya.
"Gue di sini." Teriak Gavin.
***
Laura yang mendengar suara Gavin segera melangkahkan tubuhnya pelan menuju tempat di mana Gavin berada. Laura melihat Gavin berdiri di depan pintu. Laura menghampiri Gavin. Laura berdiri di depan Gavin dan mengulurkan laporan yang diminta Gavin.
Laura mendongakkan kepalanya saat merasa ada jemari yang menyentuh dagunya. Laura terkesiap. Saat kesadaran Laura datang, Laura segera memberontak. Dia dapat merasakan bau alkohol dari mulut Gavin. Laura tahu dirinya sekarang berada dalam bahaya. Gavin segera mendekatkan wajahnya. Laura menggelengkan kepalanya. Otaknya tahu apa yang akan terjadi. Dan tebakannya benar.
Gavin menciummya.
Laura yang mendengar suara Gavin segera melangkahkan tubuhnya pelan menuju tempat di mana Gavin berada. Laura melihat Gavin berdiri di depan pintu. Laura menghampiri Gavin. Laura berdiri di depan Gavin dan mengulurkan laporan yang diminta Gavin.Laura mendongakkan kepalanya saat merasa ada jemari yang menyentuh dagunya. Laura terkesiap. Saat kesadaran Laura datang, Laura segera memberontak. Dia dapat merasakan bau alkohol dari mulut Gavin. Laura tahu dirinya sekarang berada dalam bahaya. Gavin segera mendekatkan wajahnya. Laura menggelengkan kepalanya. Otaknya tahu apa yang akan terjadi. Dan tebakannya benar.Gavin menciummya.***Laura memberontak. Ciuman itu akhirnya terlepas. Air mata Laura mengalir. Ciuman pertamanya telah hilang. Laura menggosok kasar bibirnya. Seolah hendak menghilangkan bekas Gavin di bibirnya.Laura hendak berlari, namun Gavin lebih gesit. Gavin menarik Laura dan membenturkannya ke dinding. Gavin meletakkan tangannya di sam
Selamat Kak Gavin. Batin Laura pilu.Selamat karena Kakak sudah menghancurkan hidupku.Mata Laura memberat. Laura tak lagi mempedulikan Gavin yang sepertinya belum puas menghancurkan Laura. Laura memejamkan matanya. Dia berharap ini hanyalah mimpi. Jika ini bukan mimpi, Laura berharap saat bangun nanti sudah ada malaikat pencabut nyawa yang menantinya. Toh, dia sudah hancur, untuk apa lagi dia hidup?"Tidur dan selamat menikmati hidupmu yang baru, Cewek Bekas." Ucap Gavin sebelum tidur di sampingnya.Air mata Laura mengalir. Dia belum sepenuhnya tidur dan masih bisa mendengarkan ucapan tajam Gavin. Batin dan fisik Laura benar-benar sakit. Dia butuh istirahat dan akhirnya dia benar-benar tertidur. Beristirahat sejenak sebelum memulai hidup yang berbeda.Tuhan, tolong cabut nyawaku sedetik sebelum aku terbangun dari mimpi buruk ini. Batin Laura sebelum alam mimpi menjemputnya.***Laura menggerakkan tubuhnya yan
"Lo abis nangis?" Tanya Mella curiga. Bagas pun menatap Laura dengan tatapan curiga. "Eh, iya. Nggak. Eh." Laura kelabakan menjawabnya. Mata Mella dan Bagas semakin memincing. "Itu... Aku abis maraton. Iya maraton drakor." Ucap Laura. Mella dan Bagas hanya mengangguk mencoba percaya. "Eh mending aku ke minimarket dulu. Beli cemilan." Mereka mengangguk. Laura berjuang menormalkan cara jalannya. Sedikit sulit. Pangkal pahanya masih terasa sedikit nyeri, walau tak senyeri kemarin. Laura bernafas lega begitu sudah keluar dari gerbang sederhana. Dengan langkah pelan dia berjalan menuju minimarket yang ada di ujung gangnya. Setelah membeli beberapa cemilan, Laura keluar dari mini market. Tubuh Laura menegang. Wajah Laura berubah pias. Air mata sudah memupuk di kelopak matanya. "Hai." *** "Hai,” ucap Gavin dengan tangan yang dimasukkan ke dalam sakunya. Laura menunduk dan menjauhi Gavin. Dengan langk
"Lo kek nyembunyiin sesuatu. Keknya lo banyak pikiran deh. Nggak mau share?" Mella masih memfokuskan dirinya dengan cemilan dan laptop. Laura meremas tangannya. Ucapan Mella membuat Laura kembali mengingat hari itu.Aku dilecehin, Mell. Aku dilecehin sama orang yang kamu kagumi. Ingin sekali Laura meneriakkan kalimat itu. Tapi Laura takut jika dia bilang ke Mella, akan ada orang lagi yang mengetahuinya. "Nggak ada, Mell.” "Ra,” ucap Mella, dia sudah memfokuskan dirinya pada Laura. "Gue sahabat lo. Lo bisasharemasalah lo ke gue. Gue gak bakal ninggalin lo. Gimanapun keadaan lo. Gue bakal bantuin lo.That's best friend for.” Laura menitikkan air matanya. Andai dia bisa mengungkapkan semuanya. Tapi Laura terlalu takut. Dia takut Mella menjauhinya. "Aku terharu,” Laura menghapus matanya dengan berlebihan. Mella memukul lengan atas Laura sebal. "But thanksMell. Aku bakal cerita apapu
"Anaknya papa cowok ganteng?" Tanya Dara.Bagas mengacak rambut adiknya gemas. "Masih kecil udah mikirin cowok ganteng. Ini kakak juga ganteng.”Dara menyingkirkan tangan Bagas kesal. "Aku bosen liat wajah kakak.” Dengusnya."Eh, nama anak papa siapa?"***Langit sudah gelap, Laura masih setia menatap langit kamarnya. Dia memikirkan tingkah Gavin yang aneh. Otak Laura kembali mengulang kejadian sore tadi."Mau buktiin gue bukan gay?" desis GavinLaura menggeleng, matanya kembali mengembun dan siap menurunkan air mata. Laura takut Gavin akan melakukan lagi hal yang sore itu ia lakukan. Laura sungguh tak ingin dilecehkan lagi."Kenapa nangis?" ucap Gavin tepat di depan wajah Laura. Laura dapat merasakan embusan nafas Gavin di wajahnya."Maaf,” Laura semakin menekan kepalanya ke pintu. Dia ingin menjauhkan kepalanya dari Gavin. Namun ruangnya terbatas.Gavin s
"Ayo, Ra. Makan.” Bagas mempersilahkan Laura.Laura terpaksa makan. Bagas memperhatikan Laura yang sedang makan dengan gelisah. "Kenapa?" Tanya Bagas.Laura tersedak karena terkejut. Bagas segera menyodorkan minuman ke Laura. "Eh itu, ayo pulang,” Laura segera menghabiskan makanannya dan berdiri. Bagas berdiri meninggalkan makanannya yang masih dimakan separuhnya."Kenapa buru-buru?" Tanya Bagas saat mereka sudah diperjalanan."Itu…” Laura memeras otaknya. "Aku ditunggu tukang yang mau benerin kran bocor.”Bagas menatap Laura aneh. Seolah-olah Laura telah mengatakan hal yang tak mungkin. Tapi Bagas hanya memilih diam.Ponsel Laura kembali bergetar. Seolah sudah menebak siapa yang memanggilnya, Laura segera mengangkat panggilan itu. [Gue sampe.] Dan panggilan dimatikan.Tubuh Laura kembali menegang.***Entah Laura harus merasa lega atau justru ta
“Lo nggak hamil kan?” tangan Laura yang sedang mengobati lutut Gavin menjadi kaku. Laura menggeleng. “Aku udah minum pil pencegah hamil,” lirih Laura. Gavin mengangguk. “Bagus. Gue nggak mau lo hamil.” Laura memandang rumah sederhana di depannya. Di rumah sederhana dan asri ini, banyak sekali duka di dalamnya. Dia meninggalkan Gavin di dalam dan memesan ojol. Ponsel Laura berdering. Dia melihat ada pesan dari Mella. Laura mengernyitkan alisnya melihat foto yang dikirimkan Mella. Mella:Send a picture Ini keluarganya Kak Bagas. Fyi, nyokapnya baru aja nikah lagi. Laura memusatkan perhatiannya pada ayah tiri Bagas. Dia benar-benar tidak asing dengan wajahnya. Baru saja Laura hendak memikirkan wajah ayah tiri Bagas, ojol yang dipesannya sudah datang. *** Sekolah sudah memulai tahun ajaran baru. Laura dan Mella berjalan dengan wajah sumri
"Jangan mukul Kak Gavin lagi,” ucap Laura tajam dengan mata yang mengkristal.Laura berbalik dan memapah Gavin. Gavin tersenyum puas. Dia bisa melihat ketiga orang yang dibencinya hancur."Kalian jangan ganggu Kak Gavin lagi. Udah cukup kalian nyakitin Kak Gavin sama Tante Shanti,” setelah itu mereka benar-benar keluar.Sebelum melangkahkan kakinya melewati pintuprivate room, Laura menengok ke belakang. Laura dapat melihat wajah kacau Bagas. Bagas menatap Laura kecewa.Maafin aku, Kak. Bukannya aku mau membela Kak Gavin, tapi aku membela Tante Shanti.***Laura menghapus air matanya. Dia menatap ponsel yang sedari tadi berdering. Ingin sekali mengangkatnya, tapi dia ragu. Laura merasa sangat bersalah.Ponsel Laura berhenti berdering. Kini ada notifikasi pesan.Kak Bagas:Lo sama Gavin?Bisa ketemu besok?