"Sendiri aja, Mas. Itu ada Pak Tono." Mella menunjuk Pak Tono saat Geri menawari untuk mengantarkannya.
Geri mengangguk. "Udah ah. Yuk pulang." Geri menggandeng tangan Sandra.
Laura dan Mella berdiri. Mereka berjalan mendekati mobilnya. Di dalam mobil Laura dan Mella masih menceritakan kehidupan Sandra dan Geri. Mereka terlihat romantis.
"Tapi kasian, udah 2 tahun nikah tapi belum dapet anak."
Laur mengangguk maklum. "Masih 2 tahun. Ya kita doain aja."
***
Laura dan Mella sedang mempersiapkan diri menuju tempat prom. Laura melirik Mella kesal. Mella tak mau kalah, dia pun melirik Laura kesal, namun setelah itu menampakkan senyum puas. Laura mendengus, menatap pantulan wajahnya di kaca mobil. Laura memang memuji keterampilan Mella dalam merias. Walaupun tadi Laura sempat kukuh dengan pendiriannya yang no make up. Sedangkan Mella dengan make up no make up. Dan akhirnya dimenangkan oleh Mella setelah perdebatan alot antara mereka.
Mereka turun dari mobil negitu sopir Mella mengatakan bahwa mereka sudah sampai. "Gue ngampirin Leon dulu, ya." Ujar Mella santai pada Laura, seolah perdebatan tadi tak pernah ada. Ya, begitulah sahabat.
"Ada gebetan, sahabat pun dinomorduakan." Dengus Laura.
Mella tertawa dan melambai meninggalkan Laura. Mata Laura bergerak acak memerhatikan suasana di sini. Tak sengaja matanya bertemu dengan Bagas. Bagas melambai dan menghampiri Laura. "Sendirian?"
Laura menelan kegugupannya. "Iya, Kak. Ditinggal Mella sama Leon." Ucap Laura setelah menghembuskan nafas panjang guna menetralisir kegugupannya.
"Sama gue aja." Tanpa aba-aba Bagas menggandeng Laura.
Laura sedikit terkesiap merasakan tangannya digenggam oleh Bagas. Dia harus meredakan jantungnya. Bagas menuntun Laura memasuki taman.
Laura berdecak kagum. Taman ini diubah dengan sangat cantik. Didominasi oleh bunga anyelir putih yang memberi kesan mewah. Ditambah pot dari botol yang berisi bunga tulip menggantung di pohon serta meja yang diatasnya ada berbagai hidangan memberi kesan yang natural di prom kali ini.
"Wanna dance?" Tanya Bagas dengan sedikit merendahkan tubuhnya dan mengulurkan tangannya. Laura menatap liar. Ternyata banyak yang sudah berdansa dengan pasangannya. Bahkan dia menangkap Mella sudah berdansa dan cekikikan bersama Leon di antara siswa-siswi lain. Sedikit ragu Laura menerima uluran tangan Bagas. Dia menegakkan tubuhnya kembali dan memindahkan tangannya ke pinggang Laura. Sedikit menariknya agar Laura lebih dekat dengannya.
"Apa gue belum bilang kalo lo sekarang cantik banget." Ucapan Bagas sontak membuat pipi Laura bersemu.
***
Laura merebahkan tubuhnya di samping Mella. "Eh tadi, Kak Gavin keren banget. Macho." Ucap Mella tiba-tiba.
Laura memandang Mella. Terlihat wajah Mella yang tersenyum membayangkan wajah tampan Gavin yang tadi memakai tuksedo moka dan celana jeans hitam. "Lo deket sama Leon, tapi lo suka Kak Gavin?" Tanya Laura tak percaya.
"Ish, nggak gitu. Gue liat Kak Gavin tuh-"
"Kayak lagi liat Ji Chang Wook. Cuma bisa dibayangin. Gak bisa didapetin." Lanjut Laura dengan nada mencibir. Mella nyengir.
"Udah ah, tidur. Besok ada rapat. LPJ prom." Ingat Laura.
***
Gavin memasuki rumahnya dan terkejut melihat ada orang yang sangat dibencinya sedang duduk di sofa ruang tamunya. "Siapa yang mengizinkan Anda masuk?" Rahang Gavin mengeras.
"Apa papa nggak boleh mengunjungi anak papa?" Tanya lelaki paruh baya yang tadi duduk di sofa. Dengan perlahan dia berdiri diikuti wanita yang ada di sampingnya.
"Siapa yang Anda maksud anak Anda?"
Lelaki itu menghembuskan nafas berat. Dia mendekati Gavin. Gavin sedikit memundurkan tubuhnya saat lelaki itu berasa dua langkah di hadapannya. Sorot benci masih Gavin layangkan pada lelaki itu. "Gavin, Papa mohon kamu jangan kayak gini. Maafin Papa. Papa salah. Tapi kamu gak bisa selamanya kayak gini. Kamu anak Papa."
"Seorang ayah gak bakal meninggalkan anaknya demi seorang wanita murahan." Ucap Gavin dengan melirik wanita di belakang orang yang mengaku papanya.
"Gavin!" Bentak laki-laki itu.
"Apa?" Tantang Gavin. "Anda bukan lagi papa saya semenjak Anda mengkhianati Mama dan saya empat tahun lalu." Ucap Gavin. "Dan perlu Anda tahu, selera Anda terlalu rendah untuk mencari selingkuhan." Gavin menatap wanita itu dingin. "Murahan." Desis Gavin.
Bugh.
Gavin tersungkur. Setelah itu dia berdiri dan menyentuh sudut bibirnya yang pecah dan mengeluarkan darah. Gavin tertawa dingin. "Seorang papa tak akan pernah memukul anaknya demi seorang jalang." Ucap Gavin sebelum meninggalkan ruang tamu.
"Gavin! Kamu-"
"Udah, Mas. Jangan kasar sama anak kamu." Potong wanita itu seraya mengelus lembut lengan suami sirinya. Lelaki itu menghapus air mata wanitanya.
"Dia telah menghinamu." Ucapnya sambil tetap mengelus pipi wanita itu.
"Nggak masalah, Mas. Dia hanya butuh waktu. Aku akan sabar menunggunya." Ucap wanita itu lembut.
Lelaki itu menghembuskan nafas kasar. "Sekarang kita pulang. Besok kita akan mengumumkan hubungan kita." Wanita itu mengangguk. Setelah itu mereka melegang meninggalkan rumah Gavin.
Gavin menggeram kesal menatap kepergian dua orang yang tadi menjadi tamu tak diharapkannya. Gavin mengambil jaket dan mengendarai motornya cepat. Hanya satu tempat yang dapat menenangkan hatinya untuk saat ini.
***
"Kita rapat di mana sih?" Tanya Laura pada Mella yang sedang menghias wajahnya.
"Di rumahnya Kak Gavin." Ucap Mella antusias.
Setelah Mella selesai, mereka segera melesat menuju rumah Gavin. "Kak Gavin itu baik gila, ya. Katanya rumahnya itu sering jadi tempat tongkrongan anak-anak. Apalagi kalo rapat, sering banget di sana." Cerita Mella dengan semangat. Laura hanya mengangguk, malas menanggapi.
Saat mereka sampai di sana, masih sedikit anak yang sampai. Hanya ada empat-lima anak yang sampai. Mereka masuk dan di ruang tamu terlihat ada wanita paruh baya yang sedang menyiapkan hidangan.
"Udah, Mbok. Makasih. Mbok dateng lagi lusa ya. Sekarang pulang sendiri atau aku anter?" Laura dan Mella melongo tak percaya. Mereka baru saja melihat sisi hangat Gavin. Ternyata Gavin tidak secuek yang mereka kira.
"Ndak usah, Nak Gavin. Mbok pulang sendiri aja. Temennya Nak Gavin udah pada dateng."
"Aku gak enak sama, Mbok. Kan harusnya hari ini jadwalnya mbok gak ke sini." Gavin menggaruk rambutnya yang tak gatal.
"Walah, Nak. Mbok itu kerja sebelum sampean laer. Sampean wes tak anggep cucunya Mbok. Ndak usah malu. Udah, Mbok balek dulu. Itu ada yang ngintipin kita lo." Simbok tertawa lalu meninggalkan Gavin.
Gavin menatap Laura dan Mella yang sedang bersembunyi di balik pantry tajam. Mereka segera berlari kecil menuju ruang tamu dan ternyata semua sudah berkumpul. Gavin berjalan di belakang mereka.
"Kok aku gak liat Kak Bagas sama Kak Linda, ya." Ucap Laura seraya meniti satu persatu anak-anak yang datang.
"Katanya mereka ada acara keluarga." Ucap Mella tak acuh.
"Oke, kita mulai rapat buat LPJ." Ucapan Gavin menghentikan kegiatan anak-anak yang sedang membabat hidangan di atas meja.
Gavin mengintip ponselnya yang bergetar tanda chat masuk. Dengan cepat ia membuka ikon What’s App. Tangan Gavin mengepal begitu melihat orang yang mengiriminya chat.
Geovano: —bahkan Gavin tidak ingin repot-repot menamai kontak Papanya dengan sopan.
Walaupun kamu menentang, Papa tetep kirim berita bahagia Papa buat kamu.
Tulis lelaki itu beserta foto satu keluarga yang tengah berada di pelaminan.
***
"Oke, rapat selesai." Gavin merilekskan tubuhnya. Setelah tiga jam mereka rapat, akhirnya LPJ—Laporan Pertanggungjawaban— selesai. Tinggal diketik dan diprint. "Untuk sekretaris, gue mau laporannya sekarang." Laura mengangguk. Sudah biasa dengan sifat diktator Gavin.
"Gue dulu ya, Ra."
"Duluan, Ra."
Laura mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari buku dan laptopnya. Bukan tak tau sopan santun, hanya saja dia ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasnya dan pulang ke rumah. Tubuhnya benar-benar butuh rebahan.
"Ra, sorry nih. Bukannya nggak mau nemenin, tapi Zella minta gue buat nemenin dia beli keperluan camping. Dia besok kan camping."
"Iya, udah sono." Ucap Laura sambil melambaikan tangannya seolah mengusir Mella.
"Makasih ya. Gue duluan." Laura mengangguk.
***
"Halo, Mbok? Kenapa?"
"Halo, Nak Gavin. Nyonya kambuh. Nyonya liat undangan Mbok yang dikasih sama Tuan." Ucap Simbok terdengar panik.
"Argh..." Gavin memukulkan tangannya ke dinding hingga buku-buku jarinya berdarah. "Kenapa pecundang itu suka cari masalah?" Desisnya.
"Nak Gavin, orang yang sampean panggil pecundang itu papa sampean. Sejahat apapun beliau, sampean tetep harus hormati." Ingat Simbok tegas.
"Aku bisa liat mama, Mbok?" Tanya Gavin.
"Jangan dulu, Nak. Nyonya ndak kuat kalo harus liat Nak Gavin." Ucap Simbok dengan nada bersalah.
Gavin membanting ponselnya di ranjang setelah mematikan panggilan sepihak. Tangannya yang tadi berdarah kembali dia pukulkan ke dinding. "Kenapa muka gue mirip sama pecundang itu?" Geram Gavin.
Gavin mengambil minuman yang disembunyikannya. Dengan cepat dia membuka botolnya dan meneguknya habis dalam sekali tegukan. Merasa belum puas, Gavin kembali meneguk botol kedua. Setelah menghabiskan botol kedua, kepala Gavin merasa pening. Ruangan di hadapannya seolah berputar-putar.
***
Sudah satu jam Laura berkutat dengan bahan LPJ yang tadi telah dirapatkan. Akhirnya selesai juga. Laura meregangkan otot-otot tubuhnya karena merasa ototnya kaku.
Dia berdiri dari duduknya dan melongokkan kepalanya mencari keberadaan Gavin. Sepi banget ni rumah. Mana orang tua Kak Gavin, ya? Tanya Laura entah pada siapa.
"Kak Gavin." Panggil Laura pelan.
"Kak Gavin?" Ulangnya sedikit lebih keras. "Kok nggak ada sih."
***
Gavin beranjak dari kamarnya dengan sedikit sempoyongan. Dari sisa-sisa kesadarannya dia ingat bahwa ada orang lain yang menunggunya di ruang tamu. Gavin mengerjapkan matanya agar fokus. Tapi dia tidak bisa mendapatkan fokus itu. Tubuhnya terasa panas dan kepalanya sangat pening.
"Kak Gavin?" Gavin mendengar gadis itu memanggilnya.
"Gue di sini!" Teriak Gavin. Ingat jika kamarnya kedap suara, Gavin menyeret kakinya keluar pintu. Tangannya mencengkram pintu guna menopang tubuhnya.
"Gue di sini." Teriak Gavin.
***
Laura yang mendengar suara Gavin segera melangkahkan tubuhnya pelan menuju tempat di mana Gavin berada. Laura melihat Gavin berdiri di depan pintu. Laura menghampiri Gavin. Laura berdiri di depan Gavin dan mengulurkan laporan yang diminta Gavin.
Laura mendongakkan kepalanya saat merasa ada jemari yang menyentuh dagunya. Laura terkesiap. Saat kesadaran Laura datang, Laura segera memberontak. Dia dapat merasakan bau alkohol dari mulut Gavin. Laura tahu dirinya sekarang berada dalam bahaya. Gavin segera mendekatkan wajahnya. Laura menggelengkan kepalanya. Otaknya tahu apa yang akan terjadi. Dan tebakannya benar.
Gavin menciummya.
Laura yang mendengar suara Gavin segera melangkahkan tubuhnya pelan menuju tempat di mana Gavin berada. Laura melihat Gavin berdiri di depan pintu. Laura menghampiri Gavin. Laura berdiri di depan Gavin dan mengulurkan laporan yang diminta Gavin.Laura mendongakkan kepalanya saat merasa ada jemari yang menyentuh dagunya. Laura terkesiap. Saat kesadaran Laura datang, Laura segera memberontak. Dia dapat merasakan bau alkohol dari mulut Gavin. Laura tahu dirinya sekarang berada dalam bahaya. Gavin segera mendekatkan wajahnya. Laura menggelengkan kepalanya. Otaknya tahu apa yang akan terjadi. Dan tebakannya benar.Gavin menciummya.***Laura memberontak. Ciuman itu akhirnya terlepas. Air mata Laura mengalir. Ciuman pertamanya telah hilang. Laura menggosok kasar bibirnya. Seolah hendak menghilangkan bekas Gavin di bibirnya.Laura hendak berlari, namun Gavin lebih gesit. Gavin menarik Laura dan membenturkannya ke dinding. Gavin meletakkan tangannya di sam
Selamat Kak Gavin. Batin Laura pilu.Selamat karena Kakak sudah menghancurkan hidupku.Mata Laura memberat. Laura tak lagi mempedulikan Gavin yang sepertinya belum puas menghancurkan Laura. Laura memejamkan matanya. Dia berharap ini hanyalah mimpi. Jika ini bukan mimpi, Laura berharap saat bangun nanti sudah ada malaikat pencabut nyawa yang menantinya. Toh, dia sudah hancur, untuk apa lagi dia hidup?"Tidur dan selamat menikmati hidupmu yang baru, Cewek Bekas." Ucap Gavin sebelum tidur di sampingnya.Air mata Laura mengalir. Dia belum sepenuhnya tidur dan masih bisa mendengarkan ucapan tajam Gavin. Batin dan fisik Laura benar-benar sakit. Dia butuh istirahat dan akhirnya dia benar-benar tertidur. Beristirahat sejenak sebelum memulai hidup yang berbeda.Tuhan, tolong cabut nyawaku sedetik sebelum aku terbangun dari mimpi buruk ini. Batin Laura sebelum alam mimpi menjemputnya.***Laura menggerakkan tubuhnya yan
"Lo abis nangis?" Tanya Mella curiga. Bagas pun menatap Laura dengan tatapan curiga. "Eh, iya. Nggak. Eh." Laura kelabakan menjawabnya. Mata Mella dan Bagas semakin memincing. "Itu... Aku abis maraton. Iya maraton drakor." Ucap Laura. Mella dan Bagas hanya mengangguk mencoba percaya. "Eh mending aku ke minimarket dulu. Beli cemilan." Mereka mengangguk. Laura berjuang menormalkan cara jalannya. Sedikit sulit. Pangkal pahanya masih terasa sedikit nyeri, walau tak senyeri kemarin. Laura bernafas lega begitu sudah keluar dari gerbang sederhana. Dengan langkah pelan dia berjalan menuju minimarket yang ada di ujung gangnya. Setelah membeli beberapa cemilan, Laura keluar dari mini market. Tubuh Laura menegang. Wajah Laura berubah pias. Air mata sudah memupuk di kelopak matanya. "Hai." *** "Hai,” ucap Gavin dengan tangan yang dimasukkan ke dalam sakunya. Laura menunduk dan menjauhi Gavin. Dengan langk
"Lo kek nyembunyiin sesuatu. Keknya lo banyak pikiran deh. Nggak mau share?" Mella masih memfokuskan dirinya dengan cemilan dan laptop. Laura meremas tangannya. Ucapan Mella membuat Laura kembali mengingat hari itu.Aku dilecehin, Mell. Aku dilecehin sama orang yang kamu kagumi. Ingin sekali Laura meneriakkan kalimat itu. Tapi Laura takut jika dia bilang ke Mella, akan ada orang lagi yang mengetahuinya. "Nggak ada, Mell.” "Ra,” ucap Mella, dia sudah memfokuskan dirinya pada Laura. "Gue sahabat lo. Lo bisasharemasalah lo ke gue. Gue gak bakal ninggalin lo. Gimanapun keadaan lo. Gue bakal bantuin lo.That's best friend for.” Laura menitikkan air matanya. Andai dia bisa mengungkapkan semuanya. Tapi Laura terlalu takut. Dia takut Mella menjauhinya. "Aku terharu,” Laura menghapus matanya dengan berlebihan. Mella memukul lengan atas Laura sebal. "But thanksMell. Aku bakal cerita apapu
"Anaknya papa cowok ganteng?" Tanya Dara.Bagas mengacak rambut adiknya gemas. "Masih kecil udah mikirin cowok ganteng. Ini kakak juga ganteng.”Dara menyingkirkan tangan Bagas kesal. "Aku bosen liat wajah kakak.” Dengusnya."Eh, nama anak papa siapa?"***Langit sudah gelap, Laura masih setia menatap langit kamarnya. Dia memikirkan tingkah Gavin yang aneh. Otak Laura kembali mengulang kejadian sore tadi."Mau buktiin gue bukan gay?" desis GavinLaura menggeleng, matanya kembali mengembun dan siap menurunkan air mata. Laura takut Gavin akan melakukan lagi hal yang sore itu ia lakukan. Laura sungguh tak ingin dilecehkan lagi."Kenapa nangis?" ucap Gavin tepat di depan wajah Laura. Laura dapat merasakan embusan nafas Gavin di wajahnya."Maaf,” Laura semakin menekan kepalanya ke pintu. Dia ingin menjauhkan kepalanya dari Gavin. Namun ruangnya terbatas.Gavin s
"Ayo, Ra. Makan.” Bagas mempersilahkan Laura.Laura terpaksa makan. Bagas memperhatikan Laura yang sedang makan dengan gelisah. "Kenapa?" Tanya Bagas.Laura tersedak karena terkejut. Bagas segera menyodorkan minuman ke Laura. "Eh itu, ayo pulang,” Laura segera menghabiskan makanannya dan berdiri. Bagas berdiri meninggalkan makanannya yang masih dimakan separuhnya."Kenapa buru-buru?" Tanya Bagas saat mereka sudah diperjalanan."Itu…” Laura memeras otaknya. "Aku ditunggu tukang yang mau benerin kran bocor.”Bagas menatap Laura aneh. Seolah-olah Laura telah mengatakan hal yang tak mungkin. Tapi Bagas hanya memilih diam.Ponsel Laura kembali bergetar. Seolah sudah menebak siapa yang memanggilnya, Laura segera mengangkat panggilan itu. [Gue sampe.] Dan panggilan dimatikan.Tubuh Laura kembali menegang.***Entah Laura harus merasa lega atau justru ta
“Lo nggak hamil kan?” tangan Laura yang sedang mengobati lutut Gavin menjadi kaku. Laura menggeleng. “Aku udah minum pil pencegah hamil,” lirih Laura. Gavin mengangguk. “Bagus. Gue nggak mau lo hamil.” Laura memandang rumah sederhana di depannya. Di rumah sederhana dan asri ini, banyak sekali duka di dalamnya. Dia meninggalkan Gavin di dalam dan memesan ojol. Ponsel Laura berdering. Dia melihat ada pesan dari Mella. Laura mengernyitkan alisnya melihat foto yang dikirimkan Mella. Mella:Send a picture Ini keluarganya Kak Bagas. Fyi, nyokapnya baru aja nikah lagi. Laura memusatkan perhatiannya pada ayah tiri Bagas. Dia benar-benar tidak asing dengan wajahnya. Baru saja Laura hendak memikirkan wajah ayah tiri Bagas, ojol yang dipesannya sudah datang. *** Sekolah sudah memulai tahun ajaran baru. Laura dan Mella berjalan dengan wajah sumri
"Jangan mukul Kak Gavin lagi,” ucap Laura tajam dengan mata yang mengkristal.Laura berbalik dan memapah Gavin. Gavin tersenyum puas. Dia bisa melihat ketiga orang yang dibencinya hancur."Kalian jangan ganggu Kak Gavin lagi. Udah cukup kalian nyakitin Kak Gavin sama Tante Shanti,” setelah itu mereka benar-benar keluar.Sebelum melangkahkan kakinya melewati pintuprivate room, Laura menengok ke belakang. Laura dapat melihat wajah kacau Bagas. Bagas menatap Laura kecewa.Maafin aku, Kak. Bukannya aku mau membela Kak Gavin, tapi aku membela Tante Shanti.***Laura menghapus air matanya. Dia menatap ponsel yang sedari tadi berdering. Ingin sekali mengangkatnya, tapi dia ragu. Laura merasa sangat bersalah.Ponsel Laura berhenti berdering. Kini ada notifikasi pesan.Kak Bagas:Lo sama Gavin?Bisa ketemu besok?
Suara tepukan tangan terdengar meriah. Tangan Gavin mengelus surai lembut Laura yang tampak terharu. Di depan sana, di atas panggung, Davi berdiri dengan penuh percaya diri karena meraih predikat sebagai lulusan terbaik di taman kanak-kanak. Nama Gavin dipanggil untuk mendampingi Davi di atas panggung. “Kamu aja yang naik ke panggung.” Gavin menepukkan tangannya pada telapak tangan Laura yang menggenggam erat karena terlalu antusias.Laura menoleh. “Kak Gavin aja. Semuanya yang di atas ditemenin ayahnya.”“Aku mau videoin kamu di sini. Kamu aja yang naik.”Laura menatap Gavin dengan wajah terharu. “Terima kasih,” ujar Laura sebelum beranjak dari duduknya dan menghampiri Davi. Sebelum berdiri di belakang Davi, Laura mengecup puncak kepala Davi dan menggumamkan beberapa kata selamat sehingga wajah Davi terlihat lebih berseri.Gavin menatap dua sosok kesayangannya dari kursi wali murid. Dalam bayangannya, Gavin tidak pernah bermimpi berada di fase seperti ini. Jika boleh, Gavin ingin me
Di samping itu semua, Laura sangat terharu dengan interaksi antara Geo dan Gavin. pasangan ayah-anak tersebut beberapa kali melakukan interaksi, meskipun kecanggungan masih terasa di sana. Paling tidak, Laura tidak lagi melihat kebencian di mata Gavin saat menatap Sang Ayah. Laura menjadi saksi bagaimana beberapa hari ini Gavin mencoba berdamai dengan masa lalunya. Sejak perceraian Geo, hubungan suami dan ayah mertuanya itu sedikit membaik. Bahkan, Gavin juga menerima permintaan maaf Vega meskipun dirinya tidak ingin sama sekali berhubungan dengan mantan ibu tirinya itu.***Kembali lagi ke waktu dua hari setelah Laura keluar dari rumah sakit, Laura dan Gavin duduk berdua di depan rumah Laura. Geo, ayah Gavin, baru saja kembali dari rumah Laura sebab ada beberapa hal yang perlu beliau diskusikan bersama Arkan. Di sanalah Laura tahu bahwa antara Geo dan Vega sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan karena secara resmi sudah bercerai.“Kak Gavin…” Laura menjeda ucapannya. Jujur saja, d
Punggung Laura yang tegang kini mulai mengendur. “Jangan hari ini ya, Kak?” pinta Laura pada Gavin.Gavin menganggukkan kepalanya. Tangannya masih belum berhenti untuk mengelus tengkuk Laura. “Hari ini aku cuma mau denger cerita tentang kamu dan Davi yang masih belum aku tau.”Malam itu, Laura dan Gavin habiskan untuk membahas banyak sekali hal. Bukan hanya Laura, Gavin juga menceritakan tentang kesehariannya selama dia bersekolah di luar negeri. Laura merasa sangat antusias mendengar cerita dari Gavin tentang masa kuliah karena dia tidak bisa merasakan masa itu dulu. Jika ditanyakan menyesal atau tidak, Laura tidak menyesal. Baginya, menjadi ibu yang baik untuk Davi sudah membuatnya sangat puas.***Laura dan Gavin menata barang-barangnya di rumah baru mereka. Laura sangat berterima kasih kepada Gavin saat lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan rumah untuk ditinggalinya bertiga. Gavin juga sangat mempertimbangkan lokasinya untuk perkembangan Davi. Gavin memilih lokasi d
“Abis sarapan aku mau ngajak kamu buat nyiapin berkas buat akad, takutnya nanti Davi kecapean kalo ikut kita.” Laura hanya menganggukkan kepalanya paham saat menerima penjelasan Davi. Gavin membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Laura masuk. Laura hanya diam menurut saat Gavin yang biasanya memilih untuk menyetir sendiri mobil saat bersamanya, hari ini menggunakan supir. Begitu mobil melaju, Gavin langsung merebahkan kepalanya ke arah Laura. Tubuhnya juga dia dekatkan hingga menempel penuh dengan Laura. “Kak Gavin jangan gini, ah. Malu.” Laura berbisik pada Gavin karena takut menyinggung supir Gavin. “Aku kangen banget,” ujar Gavin yang semakin menempelkan tubuh mereka. *** Laura dan Gavin sudah menyelesaikan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk menikah pada empat hari mendatang. Tentu saja banyak uang yang harus Gavin keluarkan agar proses yang dibutuhkan lancar dan cepat. Atas permintaan Laura, akad akan dilakukan secara sederhana di rumahnya. Tidak serta merta menur
Vega berdiri dan mendekatkan dirinya pada Geo yang menatapnya dengan datar. “Mas, apapun keputusanmu, aku terima. Kalo kamu mau ceraiin aku juga aku terima, Mas. Asalkan kamu bisa maafin aku.”“Kamu bisa ngembaliin semuanya, nggak? Bisa bikin Shanti hidup dan maafin aku lagi? Bisa bikin Gavin nggak benci aku lagi? Bisa bikin semuanya balik normal lagi. Kalo kamu bisa, aku maafin kamu.”“Mas, aku nyesel, aku minta maaf.” Vega menggumamkannya berkali-kali dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya.Geo menghembuskan nafasnya dengan berat. “Jelasin semuanya ke Gavin tanpa ada yang kamu tutupi. Setelah itu, saya akan ngajuin perceraian kita. Saya nggak bisa nikah sama orang jahat seperti kamu.” Geo mulai mengembalikan gaya bahasa seperti dulu dan Vega hanya bisa pasrah.***Dua hari berlalu dan Laura hari ini keluar dari rumah sakit. Dari tadi, Gavi sudah disibukkan dengan administrasi. Sebelumnya, Arkan sudah ingin mengurusnya, namun dengan tegas Gavin menolaknya. Bagi
Dunia Geo terasa runtuh pada saat membaca berkas dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Vega tengah mengandung. Meskipun Geo tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi di malam itu, dirinya tetap harus mempertanggung-jawabkannya. Geo menghembuskan nafasnya panjang, semua ini terasa berat baginya.Geo tidak sanggup jika harus mengatakannya pada Shanti dan Gavin. Dirinya belum siap, tidak akan siap jika kedua orang itu harus membencinya. Mata Geo memanas, hatinya sangat hancur saat dirinya membayangkan bagaimana reaksi Shanti dan Gavin.“Aku nggak masalah kalau kita harus nikah siri dan menyembunyikannya dari Shanti, Mas.”“Keluar.” Hanya satu kata itu yang bisa Geo ucapkan.“Mas, aku-”“Saya bilang keluar, Vega!” tegas Geo dengan nada tinggi. Vega akhirnya mengangguk sedih dan memilih untuk keluar dari ruangan Geo. Vega memberikan sedikit ruang pada Geo. Namun, hanya ada satu pilihan pada saat ini, yaitu Geo menikahinya.“Maafin aku, Shanti.”***“Ma, aku kemaren denger Mama nangis
Geo menghembuskan nafasnya berat. Lagi dan lagi, rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya itu kembali menghantam hati Geo. Sebab dirinya, Dara dan Bagas, anak pertama Egi harus kehilangan peran ayah. “Baiklah,” ujar Geo dengan memaksakan senyumnya.“Makasih ya.” Vega memberikan senyum terbaiknya kepada Geo yang hanya dibalas anggukan singkat dari Geo.“Saya kabari Shanti dulu,” ujar Geo tanpa memberikan banyak atensi pada Vega.Geo bergerak gelisah dengan tangan memandangi layar ponselnya. Di sana, terdapat nama kontak “Soul” dan dibubuhkan emoji hati di sampingnya. Sedari tadi, kontak Shanti hanya berdering tanpa diangkat oleh empunya.Menyerah, Geo memilih untuk mengetikkan pesan pada Shanti bahwa dirinya tidak pulang untuk malam ini karena ada beberapa pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Untungnya, sebelum kematian Egi, Geo memang sudah sering menginap di kantor karena memang banyak pekerjaan yang hars segera diselesaikannya karena tenggat waktu yang sudah
Ciuman itu terhenti dengan Laura yang terengah-engah dan segera meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Berbeda dengan Laura, Gavin sama sekali terlihat biasa saja. Bahkan, tangan Gavin sekarang bergerak untuk membersihkan bibir Laura yang basah akibat saliva mereka berdua.“Faktanya emang kamu nggak nolak ciuman dari aku, Ra.”Laura menghembuskan nafasnya lelah. Berbicara dengan Gavin membuatnya tidak pernah bisa berkutik. Gavin dengan segala argumennya membuat Laura kalah. Selain itu, aura dominan yang menguar dari tubuh Gavin membuat siapa pun akan memilih diam daripada semakin kalah. “Terserah kak Gavin aja deh.”“Oh iya, Ra. Kamu kudu belajar pernafasan lagi, deh.”“Kenapa emangnya?” tanya Laura yang sedikit bingung dengan ucapan Gavin yang tiba-tiba dan sangat tak terduga itu.“Biar kita kalo ciuman bisa lebih lama.”***Vega POVAku berjalan menuju salah satu kamar di rumah sakit dengan kaki yang lemas. Setelah mendapatkan telpon dari pihak rumah sakit, serta merta hatiku dil
Tangan kiri Gavin yang sedari tadi diam dan tidak ikut mengelus rambut Laura beralih untuk mencubit pipi Laura dengan lembut. Tangan Laura terangkat untuk melindungi pipinya dari serangan Gavin. Meski begitu, Gavin masih memiliki cela untuk mencubit pipi Laura. Bahkan, sekarang Gavin beralih untuk mencubit hidung mancung Laura.“Kak Gavin, stop it,” ujar Laura dengan geli. Gavin terkekeh dan menghentikan cubitannya pada Laura.“I wanna kiss you so bad,” bisik Gavin dengan suara lirihnya. Bahkan saat ini, wajah Gavin berada tepat di atas wajah Laura. Bergerak sedikit saja, bibir Laura pasti akan menyentuh bibir milik Gavin.Wajah Laura rasanya terbakar melihat tatapan Gavin yang sangat intens padanya. Jantung Laura terasa berdebar. “Apa Kak Gavin bakal natap aku terus? Bukannya di film kalo orang ciuman bakal nutup matanya?” batin Laura menjerit. Dengan perlahan, Laura menutup matanya, mencoba untuk mengabaikan Gavin yang masih menatapnya dengan intens.Tubuh Laura semakin kaku saat me