Laura's POV
"Apa sih, Mell? Aku nggak mau jadi panitia prom night." Aku masih berusaha membebaskan tanganku dari cengkraman dan tarikan sahabatku.
"Udahlah, Ra. Daftar doang. Kan nggak ada jaminan lo bakal keterima."
"No, tetep aja ada kemungkinan aku bakal keterima jadi panitia, kan? Males banget ngurusin acara orang."
"Emang lo ga mau apa deket sama Kak Gavin?" Tanya Mella. Aku memutar bola mataku malas karena mendengar Mella selalu memuja ketua OSIS tahun lalu itu.
Apa sih hebatnya dia? Ganteng sih, tapi kalo suka buat onar kan gak banget. Batinku. Heran ya, apa murid di sini cuma liat dari penampilan aja? Masa Kak Gavin yang terkenal pembuat onar itu bisa jadi ketua OSIS sih.
"Iya deh iya, lo kan sukanya yang pendiem, kutu buku, lempeng. Kenapa lo nggak deketin si Tian tuh. Kayaknya dia tipe lo banget."
Aku memelototi Mella yang kini tengah cekikikan. Dengan segera aku mengetuk-ngetuk kepalaku begitu bayangan Tian si cupu itu terlintas. Amit-amit deh.
"Udah ah, Mel. Yuk ah balik! Buat apa kita ngurus promnya mereka, mending kamu jadi MPK sono taun depan biar bisa ngurus prom." Bujukku.
Oiya, For your information ya, MPK itu singkatan dari Majelis Perwakilan Kelas. Jadi, di Newtonian High School, setiap kelas 12 ada yang namanya MPK. Tiga orang setiap kelas, biasanya jika ada sebuah acara yang dibuat khusus untuk kelas 12, MPK lah yang menjadi panitia dan juga pengurus OSIS yang sudah lengser.
"Yee... Kalo taun depan mah udah nggak ada Kak Gavin. Buat apa gue jadi panitia."
"Yaelah, jadi kamu daftar biar deket sama Kak Gavin doang?" Mella hanya menganggukkan kepalanya dengan semangat. Aku mendengus.
Aku dan Mella sampai di ujung koridor—tempat ruang OSIS berada. Di depan pintu, terdapat banyak sekali siswa—yang didominasi siswi—yang sedang mengantre. Sepertinya mereka juga ingin mendaftarkan diri mereka menjadi panitia prom.
Aneh, tahun kemaren perasaan ga serame ini. Gegara Kak Gavin nih pasti. Batinku.
Aku yakin, sebagian dari mereka punya niat yang sama dengan Mella. Aku menggelengkan kepalaku heran. Bisa-bisanya mereka mendaftar sebab ada Kak Gavin.
"Balik yuk, Mell. Rame tuh." Bujukku.
"Entaran dulu dong, Ra. Minimal minta formulirnya dulu lah." Mella masih setia mengantre bersama siswa-siswi lain.
Siswa-siswi semakin gaduh ketika mantan sekretaris OSIS tahun lalu memberi tahu bahwa formulirnya telah habis. "Oke, nanti kita buatkan lagi formulirnya, untuk sementara kalian balik ke kel-" Ucapan Kak Linda terputus karena sahutan-sahutan anak-anak yang telah lama mengantre.
Mella pun tak ketinggalan gaduhnya. "Terus gimana dong, Kak. Kita kan juga mau jadi panitia!" Teriak Mella menggebu.
Eleh. Aku memutar bola mataku.
"Oke-oke kita akan sege-" lagi-lagi ucapan Kak Linda terputus.
Kasian. Dari tadi ucapan Kak Linda terputus karena ricuhnya anak-anak yang ingin mendaftarkan diri. Perlahan-lahan aku memisahkan diriku dari kerumunan anak yang protes. Aku menunggu Mella di luar kerumunan.
Aku yang asik memainkan ponselku mengernyit heran ketika suasana menjadi hening. Aku menolehkan kepalaku ke arah ruang OSIS. Aku manggut-manggut mengerti. Ternyata mereka diam karena ada Kak Gavin.
"Nanti bakal ada yang ke kelas kalian. Sekarang bubar!" Ucapnya dengan mengunyah permen karet. Setelah itu, Gavin pergi diikuti 2 cecunguknya. Eh maksudku temannya, Kak Rey dan Kak Thomas.
Cih, sok keren banget dia. Batinku menggerutu.
Aku segera berdiri dan mencari Mella.
"For God’s sake, Ra. Keren banget ga sih. Teges, berwibawa. Aduh..." Mella memegang pipinya yang merona.
"Apaan sih, Mell. Biasa aja deh." Aku segera menarik tangan Mella sebelum dia melakukan hal-hal yang akan memalukanku.
"Lo tau ngga sih, Ra. Tatapannya itu loh bikin meleleh banget ya." Mella masih saja mengoceh tak jelas. "Emangnya, Kak Gavin and the genk itu yang paling ganteng di sekolah. Tapi tetep, best of the best-nya Kak Gavin."
"Iya deh iya. Udah ah, ke kelas yuk."
***
Di dalam kelas, Mella dan beberapa siswi lain langsung saja menggosip tentang seberapa kerennya mantan ketua OSIS itu. Aku yang memang tidak tertarik pun lebih memilih untuk berselancar di sosial media. Entah untuk men-stalk akun siapapun itu. Toh nanti Mella juga akan menceritakan gosip terbaru kepadaku.
Bagasatya Aditama. Tiba-tiba nama itu terlintas di benakku. Segera aku men-stalk akun sosial medianya dan mengikutinya.
Oke, aku kenalkan. Kak Bagas, siswa yang manis dan ramah itu memang menjadi salah satu most wanted di SMA Newtonian ini. Yah, walaupun pesonanya masih kalah oleh Kak Gavin tentu saja. Namun menurutku, daripada Kak Gavin yang ganteng tapi bad boy. Aku lebih suka Kak Bagas yang ramah dan santun. Menurutku, dia adalah salah satu bukti dari kata sempurna.
Lamunanku tentang Kak Bagas pecah karena bunyi notifikasi di ponselku. Mataku melotot. Hampir saja aku menjatuhkan ponselku saking tak percayanya. Dengan gerakan tak sabar aku menepuk-nepuk pundak Mella meminta perhatiannya.
Mella mencoba menyingkirkan tanganku dari pundaknya. "Ish, apa sih, Ra." Tanpa kata aku langsung menunjukkan ponselku pada Mella. Mata Mella melotot.
"Lo di-follback sama Kak Bagas?"
Aku mengangguk senang.
"Lo-"
Belum sempat Mella melanjutkan ucapannya, dua panitia telah memasuki kelas. Kak Linda dan entahlah siapa lagi itu tengah membagikan formulir dan segera keluar kelas setelah mengatakan bahwa pukul sebelas harus dikumpulkan di ruang OSIS.
Dengan cepat Mella mengisi formulir dan—dengan repot-repot pula—dia mengisikan formulirku. "Ayo, kita harus cepet." Mella menarik tanganku agar aku beranjak dari bangku.
"Aku nggak mau, Mell." Ucapku malas.
"Udahlah ikutin aja. Coba-coba."
Aku dan Mella berjalan cepat menuju ruang OSIS. Aku tidak terlalu fokus dengan jalanku karena tangan kiriku diapit Mella dan tangan kananku kubuat membalas chat dari Mama.
Brakkk
"Ah, maaf-maaf aku nggak senga-." Aku terdiam tak bisa melanjutkan ucapanku ketika aku melihat orang yang aku tabrak tadi.
"Eh Kak Bagas." Aku tersenyum walau lututku yang sedikit nyeri karena membentur lantai. "Maaf ya, Kak. Aku nggak sengaja."
"Iya, nggak masalah." Aku tercekat kala Kak Bagas mengulurkan tangannya.
Dengan sedikit malu aku menerima uluran tangannya dan berdiri. "Mm... Makasih ya, Kak." Kenapa aku jadi salah tingkah begini.
Aku mengambil formulir yang tadi terjatuh. "Lo daftar jadi panitia?"
"Oh itu, Kak. Aku-"
"Hei, Gas. Lo udah bikin susunan acara?"
Ucapanku terpotong oleh Kak Linda yang mengajak bicara Kak Gavin. Susunan acara? Mataku melebar. Kak Bagas kan bukan OSIS, jadi Kak Bagas itu MPK? Kak Bagas panitia?
Mella yang sedari tadi diam pun menoel-noel tanganku. "Kesempatan nih, Ra."
"Oh ya, tadi lo mau daftar apa nggak?"
"Aku-"
"Laura sih nggak mau daftar, Kak. Katanya males ngurusin acara-"
Aku membekap mulut Mella yang sedikit kurang ajar dan tersenyum canggung pada Kak Bagas. "Eh, nggak kok, Kak. Aku ikut daftar kok. Sekali-kali berpartisipasi sama acara kakak kelas. Biar dapet pengalaman gitu" Ucapku ngelantur.
Aku dapat melihat Kak Bagas tersenyum geli melihatku, sepertinya dia menahan tawa. "Ya udah, Kak. Aku ngumpulin formulir dulu, ya."
Aku segera menarik Mella. Aku benar-benar malu. "Eh, Laura." Panggil Kak Bagas.
Aku melebarkan mataku. Kak Bagas memanggilku? Dia tahu namaku? Dengan cepat aku membalikkan tubuhku. "Ruang OSIS di sebelah sana." Ucapnya dengan geli.
Aku merasakan pipiku memanas. "Oh iya, Kak." Aku segera melewati tubuh Kak Bagas dengan menunduk menutupi mukaku.
Mella yang ku tarik hanya tertawa geli. "Malu baget ya, Ra?" Godanya.
"Apa sih? Seneng?" Gerutuku.
"Banget." Ucapnya langsung tertawa.
"Mau ngumpulin formulir?" Tawa Mella seketika lenyap begitu mendengar ucapan dari Kak Gavin yang sedang duduk di depan ruang OSIS bersama kedua sahabatnya, Rey dan Thomas untuk menerima formulir dari anak-anak yang berniat mendaftarkan diri sebagai panitia. Kak Rey sama Kak Thomas, walaupun bukan OSIS ataupun MPK, mereka selalu mengintili Kak Gavin. Dan tentu saja tidak ada yang melarang. Memang siapa mau melarang? Menurut mereka, ketika Kak Gavin dan temannya berkumpul adalah surga dunia.
Kini giliranku yang menahan tawa. Rasain.
Dengan cepat aku merebut formulir Mella dan memberikannya pada Kak Gavin. Kalau menunggu Mella yang terpukau oleh Kak Gavin bisa lama selesainya. Aku segera menarik tangan Mella dan mengajaknya kembali ke kelas.
***
"Kenapa nggak dipulangin aja sih?" Gerutu Mella yang telah bosan di kelas. Memang hari ini semua kelas sedang jam kosong karena semua guru sedang rapat.
Aku menganggukkan kepalaku setuju. Sekolah dengan free class memang menyenangkan, namun jika free class seharian membosankan juga.
Ting.
Aku sedikit tersentak dan segera mengecek notifikasi di ponselku. Mataku melebar. Aku segera membaca direct message dari Kak Bagas.
Ya! Kak Bagas.
Aku segera menyodorkan ponselku pada Mella. Mella pun melebarkan matanya. Dan menatapku tak percaya.
BagasatyaA_:
Sabtu ada acara?
Aku segera menyodorkan ponselku pada Mella setelah aku mendapatkan pesan yang sangat mengejutkan ini. Mella pun melebarkan matanya. Dan menatapku tak percaya. Bahkan, saat inipun aku juga sama tidak percayanya dengan Mella.BagasatyaA_:Sabtu ada acara?***Laura turun dari angkot dan segera memasuki gerbang sekolah dengan langkah santai. Telinganya yang tersumpalearphonemembuatnya tak bisa mendengar keramaian di sekitarnya. Laura memang orang yang lumayan supel dan ramah. Namun terkadang dia juga membutuhkan ketenangan. Dan hanya musik klasik yang bisa menenangkannya.Laura memasuki kelas dengan santai. Dia langsung duduk di bangku tengah dekat dengan jendela. Setelah melepasearphone, Laura mengecek aplikasi Whatsappnya. Bibirnya melengkungkan sebuah senyuman.Kak Bagas:Udah sampe?
Laura kembali menangkap pemandangan Gavin yang sedang menatap ke arah Bagas. Matanya terbelalak begitu dia menatap Gavin yang tengah menyeringai ke arahnya. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya. Bukan karena tak suka dengan senyum Gavin, hanya saja itu bukan senyum manis membuat hati berdebar kencang. Melainkan senyum menyeramkan yang dapat membangkitkan bulu kuduk. Seolah-olah dia memiliki sebuah rencana misterius.Jantung Laura berdetak kencang. Apa yang mau dilakukan Kak Gavin ke padanya? Atau lebih tepatnya, apa yang akan Kak Gavin lakukan pada Kak Bagas?Laura merasa selama ini Gavin dan Bagas tidak memiliki masalah. Kedua teman baiknya, Rey dan Thomas pun sepertinya tidak memiliki masalah dengan Bagas. Bahkan sepertinya, Laura tidak pernah menangkap momen mereka bersama, entah itu berteman maupun bertengkar. Jadi kenapa?Eh kenapa aku jadi kepo?Laura menggeleng."Hei, Ra.Are you okay?" Bagas mengibaskan
Baik Laura maupun Mella, mereka merasa gugup saat melewati koridor lantai 3. Tidak sedikit kakak kelas menggoda mereka. Memang koridor kelas 12 ini terkenal seram. Hanya anak anak kelas 11 dan 10 yang memiliki mental baja yang dapat melewatinya. Oke itu lebay. Tapi melewati koridor itu saat sedang jam pelajaran memang menantang maut. Laura dan Mella mungkin hanya beberapa kali melewaatinya karena ruang ekskul yang memang berada di sana. Itupun saat pulang sekolah dan tidak ada orang di lorong.Plat kelas 12 IPA 3 telah terlihat. Dengan pelan mereka melintasi pintu. Bu Ratih mengisyaratkan pada Mella dan Laura agar menyimpan buku-buku yang dibawa oleh mereka di atas meja guru. Setelah pamit pada Bu Ratih, Mella dan Laura segera keluar dari kelas tersebut dengan menundukkan kepalanya karena takut dan gugup.Laura merasa sedang diperhatikan. Dari ujung matanya Laura mencari orang yang sekiranya memperhatikannya. Nafas Laura tertahan. Di sana. Di bangku paling bel
"Sendiri aja, Mas. Itu ada Pak Tono." Mella menunjuk Pak Tono saat Geri menawari untuk mengantarkannya.Geri mengangguk. "Udah ah. Yuk pulang." Geri menggandeng tangan Sandra.Laura dan Mella berdiri. Mereka berjalan mendekati mobilnya. Di dalam mobil Laura dan Mella masih menceritakan kehidupan Sandra dan Geri. Mereka terlihat romantis."Tapi kasian, udah 2 tahun nikah tapi belum dapet anak."Laur mengangguk maklum. "Masih 2 tahun. Ya kita doain aja."***Laura dan Mella sedang mempersiapkan diri menuju tempatprom. Laura melirik Mella kesal. Mella tak mau kalah, dia pun melirik Laura kesal, namun setelah itu menampakkan senyum puas. Laura mendengus, menatap pantulan wajahnya di kaca mobil. Laura memang memuji keterampilan Mella dalam merias. Walaupun tadi Laura sempat kukuh dengan pendiriannya yangno make up. Sedangkan Mella denganmake up no make up. Dan akhirnya dimenangkan oleh Mella setelah pe
Laura yang mendengar suara Gavin segera melangkahkan tubuhnya pelan menuju tempat di mana Gavin berada. Laura melihat Gavin berdiri di depan pintu. Laura menghampiri Gavin. Laura berdiri di depan Gavin dan mengulurkan laporan yang diminta Gavin.Laura mendongakkan kepalanya saat merasa ada jemari yang menyentuh dagunya. Laura terkesiap. Saat kesadaran Laura datang, Laura segera memberontak. Dia dapat merasakan bau alkohol dari mulut Gavin. Laura tahu dirinya sekarang berada dalam bahaya. Gavin segera mendekatkan wajahnya. Laura menggelengkan kepalanya. Otaknya tahu apa yang akan terjadi. Dan tebakannya benar.Gavin menciummya.***Laura memberontak. Ciuman itu akhirnya terlepas. Air mata Laura mengalir. Ciuman pertamanya telah hilang. Laura menggosok kasar bibirnya. Seolah hendak menghilangkan bekas Gavin di bibirnya.Laura hendak berlari, namun Gavin lebih gesit. Gavin menarik Laura dan membenturkannya ke dinding. Gavin meletakkan tangannya di sam
Selamat Kak Gavin. Batin Laura pilu.Selamat karena Kakak sudah menghancurkan hidupku.Mata Laura memberat. Laura tak lagi mempedulikan Gavin yang sepertinya belum puas menghancurkan Laura. Laura memejamkan matanya. Dia berharap ini hanyalah mimpi. Jika ini bukan mimpi, Laura berharap saat bangun nanti sudah ada malaikat pencabut nyawa yang menantinya. Toh, dia sudah hancur, untuk apa lagi dia hidup?"Tidur dan selamat menikmati hidupmu yang baru, Cewek Bekas." Ucap Gavin sebelum tidur di sampingnya.Air mata Laura mengalir. Dia belum sepenuhnya tidur dan masih bisa mendengarkan ucapan tajam Gavin. Batin dan fisik Laura benar-benar sakit. Dia butuh istirahat dan akhirnya dia benar-benar tertidur. Beristirahat sejenak sebelum memulai hidup yang berbeda.Tuhan, tolong cabut nyawaku sedetik sebelum aku terbangun dari mimpi buruk ini. Batin Laura sebelum alam mimpi menjemputnya.***Laura menggerakkan tubuhnya yan
"Lo abis nangis?" Tanya Mella curiga. Bagas pun menatap Laura dengan tatapan curiga. "Eh, iya. Nggak. Eh." Laura kelabakan menjawabnya. Mata Mella dan Bagas semakin memincing. "Itu... Aku abis maraton. Iya maraton drakor." Ucap Laura. Mella dan Bagas hanya mengangguk mencoba percaya. "Eh mending aku ke minimarket dulu. Beli cemilan." Mereka mengangguk. Laura berjuang menormalkan cara jalannya. Sedikit sulit. Pangkal pahanya masih terasa sedikit nyeri, walau tak senyeri kemarin. Laura bernafas lega begitu sudah keluar dari gerbang sederhana. Dengan langkah pelan dia berjalan menuju minimarket yang ada di ujung gangnya. Setelah membeli beberapa cemilan, Laura keluar dari mini market. Tubuh Laura menegang. Wajah Laura berubah pias. Air mata sudah memupuk di kelopak matanya. "Hai." *** "Hai,” ucap Gavin dengan tangan yang dimasukkan ke dalam sakunya. Laura menunduk dan menjauhi Gavin. Dengan langk
"Lo kek nyembunyiin sesuatu. Keknya lo banyak pikiran deh. Nggak mau share?" Mella masih memfokuskan dirinya dengan cemilan dan laptop. Laura meremas tangannya. Ucapan Mella membuat Laura kembali mengingat hari itu.Aku dilecehin, Mell. Aku dilecehin sama orang yang kamu kagumi. Ingin sekali Laura meneriakkan kalimat itu. Tapi Laura takut jika dia bilang ke Mella, akan ada orang lagi yang mengetahuinya. "Nggak ada, Mell.” "Ra,” ucap Mella, dia sudah memfokuskan dirinya pada Laura. "Gue sahabat lo. Lo bisasharemasalah lo ke gue. Gue gak bakal ninggalin lo. Gimanapun keadaan lo. Gue bakal bantuin lo.That's best friend for.” Laura menitikkan air matanya. Andai dia bisa mengungkapkan semuanya. Tapi Laura terlalu takut. Dia takut Mella menjauhinya. "Aku terharu,” Laura menghapus matanya dengan berlebihan. Mella memukul lengan atas Laura sebal. "But thanksMell. Aku bakal cerita apapu
Suara tepukan tangan terdengar meriah. Tangan Gavin mengelus surai lembut Laura yang tampak terharu. Di depan sana, di atas panggung, Davi berdiri dengan penuh percaya diri karena meraih predikat sebagai lulusan terbaik di taman kanak-kanak. Nama Gavin dipanggil untuk mendampingi Davi di atas panggung. “Kamu aja yang naik ke panggung.” Gavin menepukkan tangannya pada telapak tangan Laura yang menggenggam erat karena terlalu antusias.Laura menoleh. “Kak Gavin aja. Semuanya yang di atas ditemenin ayahnya.”“Aku mau videoin kamu di sini. Kamu aja yang naik.”Laura menatap Gavin dengan wajah terharu. “Terima kasih,” ujar Laura sebelum beranjak dari duduknya dan menghampiri Davi. Sebelum berdiri di belakang Davi, Laura mengecup puncak kepala Davi dan menggumamkan beberapa kata selamat sehingga wajah Davi terlihat lebih berseri.Gavin menatap dua sosok kesayangannya dari kursi wali murid. Dalam bayangannya, Gavin tidak pernah bermimpi berada di fase seperti ini. Jika boleh, Gavin ingin me
Di samping itu semua, Laura sangat terharu dengan interaksi antara Geo dan Gavin. pasangan ayah-anak tersebut beberapa kali melakukan interaksi, meskipun kecanggungan masih terasa di sana. Paling tidak, Laura tidak lagi melihat kebencian di mata Gavin saat menatap Sang Ayah. Laura menjadi saksi bagaimana beberapa hari ini Gavin mencoba berdamai dengan masa lalunya. Sejak perceraian Geo, hubungan suami dan ayah mertuanya itu sedikit membaik. Bahkan, Gavin juga menerima permintaan maaf Vega meskipun dirinya tidak ingin sama sekali berhubungan dengan mantan ibu tirinya itu.***Kembali lagi ke waktu dua hari setelah Laura keluar dari rumah sakit, Laura dan Gavin duduk berdua di depan rumah Laura. Geo, ayah Gavin, baru saja kembali dari rumah Laura sebab ada beberapa hal yang perlu beliau diskusikan bersama Arkan. Di sanalah Laura tahu bahwa antara Geo dan Vega sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan karena secara resmi sudah bercerai.“Kak Gavin…” Laura menjeda ucapannya. Jujur saja, d
Punggung Laura yang tegang kini mulai mengendur. “Jangan hari ini ya, Kak?” pinta Laura pada Gavin.Gavin menganggukkan kepalanya. Tangannya masih belum berhenti untuk mengelus tengkuk Laura. “Hari ini aku cuma mau denger cerita tentang kamu dan Davi yang masih belum aku tau.”Malam itu, Laura dan Gavin habiskan untuk membahas banyak sekali hal. Bukan hanya Laura, Gavin juga menceritakan tentang kesehariannya selama dia bersekolah di luar negeri. Laura merasa sangat antusias mendengar cerita dari Gavin tentang masa kuliah karena dia tidak bisa merasakan masa itu dulu. Jika ditanyakan menyesal atau tidak, Laura tidak menyesal. Baginya, menjadi ibu yang baik untuk Davi sudah membuatnya sangat puas.***Laura dan Gavin menata barang-barangnya di rumah baru mereka. Laura sangat berterima kasih kepada Gavin saat lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan rumah untuk ditinggalinya bertiga. Gavin juga sangat mempertimbangkan lokasinya untuk perkembangan Davi. Gavin memilih lokasi d
“Abis sarapan aku mau ngajak kamu buat nyiapin berkas buat akad, takutnya nanti Davi kecapean kalo ikut kita.” Laura hanya menganggukkan kepalanya paham saat menerima penjelasan Davi. Gavin membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Laura masuk. Laura hanya diam menurut saat Gavin yang biasanya memilih untuk menyetir sendiri mobil saat bersamanya, hari ini menggunakan supir. Begitu mobil melaju, Gavin langsung merebahkan kepalanya ke arah Laura. Tubuhnya juga dia dekatkan hingga menempel penuh dengan Laura. “Kak Gavin jangan gini, ah. Malu.” Laura berbisik pada Gavin karena takut menyinggung supir Gavin. “Aku kangen banget,” ujar Gavin yang semakin menempelkan tubuh mereka. *** Laura dan Gavin sudah menyelesaikan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk menikah pada empat hari mendatang. Tentu saja banyak uang yang harus Gavin keluarkan agar proses yang dibutuhkan lancar dan cepat. Atas permintaan Laura, akad akan dilakukan secara sederhana di rumahnya. Tidak serta merta menur
Vega berdiri dan mendekatkan dirinya pada Geo yang menatapnya dengan datar. “Mas, apapun keputusanmu, aku terima. Kalo kamu mau ceraiin aku juga aku terima, Mas. Asalkan kamu bisa maafin aku.”“Kamu bisa ngembaliin semuanya, nggak? Bisa bikin Shanti hidup dan maafin aku lagi? Bisa bikin Gavin nggak benci aku lagi? Bisa bikin semuanya balik normal lagi. Kalo kamu bisa, aku maafin kamu.”“Mas, aku nyesel, aku minta maaf.” Vega menggumamkannya berkali-kali dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya.Geo menghembuskan nafasnya dengan berat. “Jelasin semuanya ke Gavin tanpa ada yang kamu tutupi. Setelah itu, saya akan ngajuin perceraian kita. Saya nggak bisa nikah sama orang jahat seperti kamu.” Geo mulai mengembalikan gaya bahasa seperti dulu dan Vega hanya bisa pasrah.***Dua hari berlalu dan Laura hari ini keluar dari rumah sakit. Dari tadi, Gavi sudah disibukkan dengan administrasi. Sebelumnya, Arkan sudah ingin mengurusnya, namun dengan tegas Gavin menolaknya. Bagi
Dunia Geo terasa runtuh pada saat membaca berkas dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Vega tengah mengandung. Meskipun Geo tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi di malam itu, dirinya tetap harus mempertanggung-jawabkannya. Geo menghembuskan nafasnya panjang, semua ini terasa berat baginya.Geo tidak sanggup jika harus mengatakannya pada Shanti dan Gavin. Dirinya belum siap, tidak akan siap jika kedua orang itu harus membencinya. Mata Geo memanas, hatinya sangat hancur saat dirinya membayangkan bagaimana reaksi Shanti dan Gavin.“Aku nggak masalah kalau kita harus nikah siri dan menyembunyikannya dari Shanti, Mas.”“Keluar.” Hanya satu kata itu yang bisa Geo ucapkan.“Mas, aku-”“Saya bilang keluar, Vega!” tegas Geo dengan nada tinggi. Vega akhirnya mengangguk sedih dan memilih untuk keluar dari ruangan Geo. Vega memberikan sedikit ruang pada Geo. Namun, hanya ada satu pilihan pada saat ini, yaitu Geo menikahinya.“Maafin aku, Shanti.”***“Ma, aku kemaren denger Mama nangis
Geo menghembuskan nafasnya berat. Lagi dan lagi, rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya itu kembali menghantam hati Geo. Sebab dirinya, Dara dan Bagas, anak pertama Egi harus kehilangan peran ayah. “Baiklah,” ujar Geo dengan memaksakan senyumnya.“Makasih ya.” Vega memberikan senyum terbaiknya kepada Geo yang hanya dibalas anggukan singkat dari Geo.“Saya kabari Shanti dulu,” ujar Geo tanpa memberikan banyak atensi pada Vega.Geo bergerak gelisah dengan tangan memandangi layar ponselnya. Di sana, terdapat nama kontak “Soul” dan dibubuhkan emoji hati di sampingnya. Sedari tadi, kontak Shanti hanya berdering tanpa diangkat oleh empunya.Menyerah, Geo memilih untuk mengetikkan pesan pada Shanti bahwa dirinya tidak pulang untuk malam ini karena ada beberapa pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Untungnya, sebelum kematian Egi, Geo memang sudah sering menginap di kantor karena memang banyak pekerjaan yang hars segera diselesaikannya karena tenggat waktu yang sudah
Ciuman itu terhenti dengan Laura yang terengah-engah dan segera meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Berbeda dengan Laura, Gavin sama sekali terlihat biasa saja. Bahkan, tangan Gavin sekarang bergerak untuk membersihkan bibir Laura yang basah akibat saliva mereka berdua.“Faktanya emang kamu nggak nolak ciuman dari aku, Ra.”Laura menghembuskan nafasnya lelah. Berbicara dengan Gavin membuatnya tidak pernah bisa berkutik. Gavin dengan segala argumennya membuat Laura kalah. Selain itu, aura dominan yang menguar dari tubuh Gavin membuat siapa pun akan memilih diam daripada semakin kalah. “Terserah kak Gavin aja deh.”“Oh iya, Ra. Kamu kudu belajar pernafasan lagi, deh.”“Kenapa emangnya?” tanya Laura yang sedikit bingung dengan ucapan Gavin yang tiba-tiba dan sangat tak terduga itu.“Biar kita kalo ciuman bisa lebih lama.”***Vega POVAku berjalan menuju salah satu kamar di rumah sakit dengan kaki yang lemas. Setelah mendapatkan telpon dari pihak rumah sakit, serta merta hatiku dil
Tangan kiri Gavin yang sedari tadi diam dan tidak ikut mengelus rambut Laura beralih untuk mencubit pipi Laura dengan lembut. Tangan Laura terangkat untuk melindungi pipinya dari serangan Gavin. Meski begitu, Gavin masih memiliki cela untuk mencubit pipi Laura. Bahkan, sekarang Gavin beralih untuk mencubit hidung mancung Laura.“Kak Gavin, stop it,” ujar Laura dengan geli. Gavin terkekeh dan menghentikan cubitannya pada Laura.“I wanna kiss you so bad,” bisik Gavin dengan suara lirihnya. Bahkan saat ini, wajah Gavin berada tepat di atas wajah Laura. Bergerak sedikit saja, bibir Laura pasti akan menyentuh bibir milik Gavin.Wajah Laura rasanya terbakar melihat tatapan Gavin yang sangat intens padanya. Jantung Laura terasa berdebar. “Apa Kak Gavin bakal natap aku terus? Bukannya di film kalo orang ciuman bakal nutup matanya?” batin Laura menjerit. Dengan perlahan, Laura menutup matanya, mencoba untuk mengabaikan Gavin yang masih menatapnya dengan intens.Tubuh Laura semakin kaku saat me