Suasana ruang inap yang saat ini sedang kutempati masih hening. Kami masih tetap saling mendiamkan meski Pak Bima sudah kembali dari kantin beberapa saat yang lalu. Hatiku masih sakit jika teringat bentakan yang keluar dari mulutnya. Rasa pilu yang kurasakan semakin menjadi-jadi, saat dia lebih asik dengan ponselnya dari pada mengajakku bicara dari hati ke hati.
Aku sadar, kecanggungan yang terjadi di antara kami, tidak sepenuhnya salah Pak Bima. Dia mungkin tidak akan bicara dengan nada tinggi, ketika aku tidak mendesaknya untuk menjelaskan perihal Brian. Namun, aku sudah tidak bisa menahan rasa penasaranku ini sebab semakin ke sini, ulah kakak iparku itu justru semakin anarkis. Sedangkan aku sendiri tidak paham, apa yang membuat dia memperlakukan aku dan suamiku seburuk ini.
Di sisi lain, aku merasa bahwa tidak memiliki arti penting bagi Pak Bima. Bagaimana tidak? Semenjak aku menjadi istrinya, tidak pernah sekalipun dia memberiku ke
Bima PoV"Saya tidak bisa resign dari sana," jawabku tegas dan juga mantap.Kalimat yang baru saja diucapkannya oleh Kiara membuat kebisuan di antara kami melebur.Aku menoleh ke arahnya sambil beranjak dari tempatku duduk. Kutatap kedua bola matanya dengan saksama. Jujur, aku kecewa dengan jawabannya. Aku tidak suka dengan penolakan, tapi aku tidak mungkin mengutarakan rasa tidak sukaku secara terang-terangan kepadanya. Dari dalam bola mata itu, aku berharap ada kebohongan dan rasa gentar yang terpancar dari netranya. Namun, sepertinya aku harus menelan mentah-mentah rasa tidak sukaku atas jawabannya. Matanya menyiratkan sebuah kesungguhan dan keteguhan.Aku mendesah pelan. Dadaku tiba-tiba terasa sesak, baru kali ini ada wanita yang secara tegas menolak permintaan dariku dan lagi wanita itu adalah istriku sendiri."Kenapa, Ki?" Suara terdengar begitu tegas, padahal aku sudah mencoba untuk bicara sepelan m
BRAK!Ayah menggebrak meja yang ada di depanku, sehingga membuat kopi yang tersaji di atas meja tumpah ke mana-mana. Aku yakin, tindakan Ayah barusan mengundang tatapan heran dari beberapa manusia yang ada di caffee ini. Apalagi memasuki jam makan siang, tempat semacam ini memang sedang ramai-ramainya.Tidak puas dengan gebrakan yang ditimbulkan, Ayah lalu membentakku dengan suara menggelegar miliknya. "BIMA, APA MAKSUDMU? APA TUJUANMU MENGAJAK AYAH BERTEMU, HANYA UNTUK MENJELEKKAN KINERJA AYAH, HAH?" Matanya melotot, seolah-olah Ayah memang ingin mengeluarkan kedua bola itu melompat dari rongganya.Aku memundurkan badan kemudian melipat kedua tanganku di depan dada. Dengan tatapan membunuh, aku ledakkan tawa dengan nada setengah mengejek, "hahahaha ... Kenapa marah? Ayah tidak terima? Merasa tersinggung dengan ucapanku?" Aku melengos kembali, tidak mengacuhkan wajah kesal yang dia tujukan kepadaku."Bima, Katakan pada Ayah apa maksud dari ucapanmu! Atau
Bima PoVAyah adalah sosok tegas yang tidak pernah bisa dibantah ketika sudah memutuskan sesuatu. Tidak peduli keputusan yang dia ambil akan merugikan orang lain atau tidak, yang jelas ketika dia sudah memilih, maka tidak ada satu pun orang yang bisa mengganggu gugat, termasuk anak dan juga istrinya.Aku tiba-tiba jadi teringat tentang kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat di mana Ayah dengan egoisnya memutuskan sesuatu tanpa melihat dampak buruknya bagi orang lain. Aku kecewa dan bahkan sangat benci dengan Ayah. Dari situlah hubunganku dengan Ayah memburuk. Kami bagaikan kutub utara dan selatan, sama-sama dingin dan tidak bisa untuk dipersatukan kembali.Siang ini, rasa kesalku terhadap Ayah muncul kembali. Setelah sekian lama aku berusaha mati-matian untuk melupakan kekecewaan itu, Ayah datang kembali dengan sebuah penghakiman yang sangat menyesakkan. Mereka (Ayah dan Ibu) ternyata menganggapku sebagai pembangkang yan
"Pak...." Kiara memanggilku, lebih tepatnya dia sedang merengek kepadaku. Tatapan galak yang biasanya melekat pada kedua matanya, sekarang berubah menjadi sendu.Aku menoleh ke samping, tersenyum kaku menanggapi rengekannya. Jujur, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana untuk merespon kekhawatiran yang dirasakan oleh Kiara. Meski dulu, aku adalah orang yang paling peka terhadap Ibu dan Binar, tapi bersama Kiara semua kepekaan ini berubah menjadi kegugupan.Aku sengaja menyibukkan tanganku dengan ponsel, ketika bahu kiri Kiara menyenggol-nyenggol punggung tanganku. Bahunya terus bergerak untuk meredakan ketakutannya."Pak Bima ...." Dia kembali merengek, "Pak Hans meminta saya untuk menemui beliau besok, kira-kira apa ya yang ingin beliau sampaikan?" Kiara melirikku lalu mendesah ketika melihatku mengendikkan kedua bahu.Memang saat ini, aku pura-pura tidak tahu dengan apa yang akan diperbincangkan oleh Ayah b
Kiara PovSuara di kamar inapku tiba-tiba saja berubah menjadi hening. Orang yang sedari tadi membercandaiku, kini sedang berdiri diam di samping ranjangku. Matanya menatap kosong pada layar ponsel, sedang ekspresi wajahnya tegang, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Tidak lama setelah itu, ekspresinya berubah menjadi gusar. Dia meremas ponselnya kuat-kuat kemudian memijat pelipisnya pelan.l"Chat dari siapa, sih, Pak? Tegang amat mukanya?" Aku pura-pura tertawa untuk mencairkan suasana, tapi tawaku langsung padam ketika melihat Pak Bima berlalu begitu saja, tanpa merespon ucapanku. Wajahnya sangat masam, seperti buah jeruk yang belum matang.Aku memajukan badanku untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang dia lakukan di luar kamar, tapi sial, mataku tidak bisa menangkap bayangannya. Dia hilang dari pandangan begitu saja. Padahal, biasanya, dia hanya berdiri di depan pintu sambil menatap matahari yang akan tenggelam.
"Diam! Jangan membantah!"Aku diam jika Pak Bima sudah mulai membentak seperti ini. Meski dia bukan tipe orang yang suka memaksa, tapi suara dingin miliknya selalu bisa membuatku bungkam dan menurut pada perintahnya.Dorongan dari Pak Bima membuat kursi roda yang kunaiki kini sudah berada di ambang pintu. Aku mendongakkan kepala untuk mengintip ekspresi wajahnya. Alis yang bertaut dan Rahangnya yang mengetat, membuatku semakin yakin, bahwa saat ini dia memang sedang marah. Aku menilik ruang inapku tadi, ternyata di dalam sana sudah ada dua orang yang sedang sibuk membersihkan ruangan itu.Pak Bima berdehem pelan sehingga membuat dua petugas kebersihan yang sedang menyapu lantai dan merapihkan tempat tidur, reflek menoleh ke arah pintu. Aku masih menundukkan kepala ketika Pak Bima berjalan maju beberapa langkah dari tempatku duduk."Maaf, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" Petugas yang sedang merapihkan tempat tid
Pikiranku masih melayang-layang, hatiku pun juga ikut tidak tenang. Semenjak pesan singkat di ponsel Pak Bima terbaca olehku, isi kepalaku tidak berhenti menebak siapa orang dibalik kontak yang dinamai pinguin oleh suamiku. Jika memang dia adalah orang yang pernah menjalin hubungan dengan Pak Bima, kenapa ada pembahasan tentang anak? Mungkinkah dulu mereka sempat menikah? Atau justru mereka melakukan hubungan badan di luar bingkai pernikahan?Lamunanku hilang ketika Pak Bima datang membawa dua mangkuk sup ayam yang baru saja matang. Asapnya masih mengepul dan bau harum dari bawangnya menguar dengan sempurna di Indra penciumanku. Karena sedari tadi siang aku belum makan, maka aku langsung menyambar mangkuk panas itu dari atas meja."Auh," rintihku kepanasan."Pelan-pelan atuh, Ki. Sup ini baru saja diangkat dari panci, jadi pasti masih sangat panas sekali." Dia meraih tanganku kemudian mengusapnya dengan pelan, "saya ambilkan
Aku membuka mata ketika udara pagi berembus memasuki kamar tidur. Tubuhku menggeliat, lalu tanganku reflek menarik selimut sampai ke atas dada. Pak Bima menatap lembut wajahku sambil berjalan pelan mendekat ke ranjang."Pagi, Kiara." Dia duduk disampingku. Tangan kanannya merapikan anak rambut yang menutupi dahi. "Kamu masih ngantuk, ya?"Aku menggeleng cepat. Dengan nyawa yang masih berserakan di kasur, aku menggerakkan badanku pelan agar bisa duduk di samping Pak Bima."Kalau masih ngantuk, kamu tidur lagi aja." Dia memegang bahuku kemudian merebahkannya kembali pada posisi semula."Enggak, Pak, rasa kantuk saya sudah hilang dari setengah jam yang lalu. Sekarang saya mau pergi ke dapur, membuatkan sarapan untuk Pak Bima," ucapku penuh kebohongan. Sebenarnya mataku masih sangat berat, sebab tadi malam jahitan yang ada di bahuku terasa sangat perih sekali. Setiap kali mataku akan terpejam, rasa sakit itu muncul seca