BRAK!
Ayah menggebrak meja yang ada di depanku, sehingga membuat kopi yang tersaji di atas meja tumpah ke mana-mana. Aku yakin, tindakan Ayah barusan mengundang tatapan heran dari beberapa manusia yang ada di caffee ini. Apalagi memasuki jam makan siang, tempat semacam ini memang sedang ramai-ramainya.
Tidak puas dengan gebrakan yang ditimbulkan, Ayah lalu membentakku dengan suara menggelegar miliknya. "BIMA, APA MAKSUDMU? APA TUJUANMU MENGAJAK AYAH BERTEMU, HANYA UNTUK MENJELEKKAN KINERJA AYAH, HAH?" Matanya melotot, seolah-olah Ayah memang ingin mengeluarkan kedua bola itu melompat dari rongganya.
Aku memundurkan badan kemudian melipat kedua tanganku di depan dada. Dengan tatapan membunuh, aku ledakkan tawa dengan nada setengah mengejek, "hahahaha ... Kenapa marah? Ayah tidak terima? Merasa tersinggung dengan ucapanku?" Aku melengos kembali, tidak mengacuhkan wajah kesal yang dia tujukan kepadaku.
"Bima, Katakan pada Ayah apa maksud dari ucapanmu! Atau
Bima PoVAyah adalah sosok tegas yang tidak pernah bisa dibantah ketika sudah memutuskan sesuatu. Tidak peduli keputusan yang dia ambil akan merugikan orang lain atau tidak, yang jelas ketika dia sudah memilih, maka tidak ada satu pun orang yang bisa mengganggu gugat, termasuk anak dan juga istrinya.Aku tiba-tiba jadi teringat tentang kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat di mana Ayah dengan egoisnya memutuskan sesuatu tanpa melihat dampak buruknya bagi orang lain. Aku kecewa dan bahkan sangat benci dengan Ayah. Dari situlah hubunganku dengan Ayah memburuk. Kami bagaikan kutub utara dan selatan, sama-sama dingin dan tidak bisa untuk dipersatukan kembali.Siang ini, rasa kesalku terhadap Ayah muncul kembali. Setelah sekian lama aku berusaha mati-matian untuk melupakan kekecewaan itu, Ayah datang kembali dengan sebuah penghakiman yang sangat menyesakkan. Mereka (Ayah dan Ibu) ternyata menganggapku sebagai pembangkang yan
"Pak...." Kiara memanggilku, lebih tepatnya dia sedang merengek kepadaku. Tatapan galak yang biasanya melekat pada kedua matanya, sekarang berubah menjadi sendu.Aku menoleh ke samping, tersenyum kaku menanggapi rengekannya. Jujur, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana untuk merespon kekhawatiran yang dirasakan oleh Kiara. Meski dulu, aku adalah orang yang paling peka terhadap Ibu dan Binar, tapi bersama Kiara semua kepekaan ini berubah menjadi kegugupan.Aku sengaja menyibukkan tanganku dengan ponsel, ketika bahu kiri Kiara menyenggol-nyenggol punggung tanganku. Bahunya terus bergerak untuk meredakan ketakutannya."Pak Bima ...." Dia kembali merengek, "Pak Hans meminta saya untuk menemui beliau besok, kira-kira apa ya yang ingin beliau sampaikan?" Kiara melirikku lalu mendesah ketika melihatku mengendikkan kedua bahu.Memang saat ini, aku pura-pura tidak tahu dengan apa yang akan diperbincangkan oleh Ayah b
Kiara PovSuara di kamar inapku tiba-tiba saja berubah menjadi hening. Orang yang sedari tadi membercandaiku, kini sedang berdiri diam di samping ranjangku. Matanya menatap kosong pada layar ponsel, sedang ekspresi wajahnya tegang, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Tidak lama setelah itu, ekspresinya berubah menjadi gusar. Dia meremas ponselnya kuat-kuat kemudian memijat pelipisnya pelan.l"Chat dari siapa, sih, Pak? Tegang amat mukanya?" Aku pura-pura tertawa untuk mencairkan suasana, tapi tawaku langsung padam ketika melihat Pak Bima berlalu begitu saja, tanpa merespon ucapanku. Wajahnya sangat masam, seperti buah jeruk yang belum matang.Aku memajukan badanku untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang dia lakukan di luar kamar, tapi sial, mataku tidak bisa menangkap bayangannya. Dia hilang dari pandangan begitu saja. Padahal, biasanya, dia hanya berdiri di depan pintu sambil menatap matahari yang akan tenggelam.
"Diam! Jangan membantah!"Aku diam jika Pak Bima sudah mulai membentak seperti ini. Meski dia bukan tipe orang yang suka memaksa, tapi suara dingin miliknya selalu bisa membuatku bungkam dan menurut pada perintahnya.Dorongan dari Pak Bima membuat kursi roda yang kunaiki kini sudah berada di ambang pintu. Aku mendongakkan kepala untuk mengintip ekspresi wajahnya. Alis yang bertaut dan Rahangnya yang mengetat, membuatku semakin yakin, bahwa saat ini dia memang sedang marah. Aku menilik ruang inapku tadi, ternyata di dalam sana sudah ada dua orang yang sedang sibuk membersihkan ruangan itu.Pak Bima berdehem pelan sehingga membuat dua petugas kebersihan yang sedang menyapu lantai dan merapihkan tempat tidur, reflek menoleh ke arah pintu. Aku masih menundukkan kepala ketika Pak Bima berjalan maju beberapa langkah dari tempatku duduk."Maaf, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" Petugas yang sedang merapihkan tempat tid
Pikiranku masih melayang-layang, hatiku pun juga ikut tidak tenang. Semenjak pesan singkat di ponsel Pak Bima terbaca olehku, isi kepalaku tidak berhenti menebak siapa orang dibalik kontak yang dinamai pinguin oleh suamiku. Jika memang dia adalah orang yang pernah menjalin hubungan dengan Pak Bima, kenapa ada pembahasan tentang anak? Mungkinkah dulu mereka sempat menikah? Atau justru mereka melakukan hubungan badan di luar bingkai pernikahan?Lamunanku hilang ketika Pak Bima datang membawa dua mangkuk sup ayam yang baru saja matang. Asapnya masih mengepul dan bau harum dari bawangnya menguar dengan sempurna di Indra penciumanku. Karena sedari tadi siang aku belum makan, maka aku langsung menyambar mangkuk panas itu dari atas meja."Auh," rintihku kepanasan."Pelan-pelan atuh, Ki. Sup ini baru saja diangkat dari panci, jadi pasti masih sangat panas sekali." Dia meraih tanganku kemudian mengusapnya dengan pelan, "saya ambilkan
Aku membuka mata ketika udara pagi berembus memasuki kamar tidur. Tubuhku menggeliat, lalu tanganku reflek menarik selimut sampai ke atas dada. Pak Bima menatap lembut wajahku sambil berjalan pelan mendekat ke ranjang."Pagi, Kiara." Dia duduk disampingku. Tangan kanannya merapikan anak rambut yang menutupi dahi. "Kamu masih ngantuk, ya?"Aku menggeleng cepat. Dengan nyawa yang masih berserakan di kasur, aku menggerakkan badanku pelan agar bisa duduk di samping Pak Bima."Kalau masih ngantuk, kamu tidur lagi aja." Dia memegang bahuku kemudian merebahkannya kembali pada posisi semula."Enggak, Pak, rasa kantuk saya sudah hilang dari setengah jam yang lalu. Sekarang saya mau pergi ke dapur, membuatkan sarapan untuk Pak Bima," ucapku penuh kebohongan. Sebenarnya mataku masih sangat berat, sebab tadi malam jahitan yang ada di bahuku terasa sangat perih sekali. Setiap kali mataku akan terpejam, rasa sakit itu muncul seca
"Dia hilang tiga tahun yang lalu." Binar meletakkan sendoknya kemudian menatap tajam pada kedua bola mataku."What? Hilang?" Aku hampir tersedak saat Binar mengucapkan kata 'hilang', isi kepalaku langsung membayangkan anak kucing yang tersesat di tengah jalan. Hilang, sebab tidak tahu jalan untuk kembali pulang.Dia mengangguk mantap."Jangan bercanda kamu, dek." Aku memajukan kepala, takut jika ucapan dia ada yang lolos dari pendengaranku."Serius lah, Kak." Dia menegakkan kepala, "emang muka aku kelihatan lagi bohong? Lagian, apa pernah sih aku bohong sama kak Kiara? Enggak pernah, kan?"Aku menatap Binar tidak percaya. Rasanya apa yang dikatakan oleh Binar tidak pas jika digabungkan dengan kejadian kemarin malam. Aku berani bersumpah, bahwa mata ini melihat dengan jelas, nama "Pinguin" ada disalah satu chatlist milik Pak Bima, masa iya sih kalau dia hilang sejak tiga tahun yang lalu? At
"Ki, jadi enggak?" Pak Bima duduk di pinggir ranjang. Wajahnya tampak sangat sumringah, sebab kenaikan pangkatnya di kantor memberikan banyak keuntungan untuknya. Selain gaji bulanannya naik, dia juga dipinjami sebuah mobil dengan merk "Niss*n T*ana" berwarna hitam dari kantor.Aku mengerutkan dahi sebelum menjawab pertanyaan dari Pak Bima. "Maksudnya?""Emmm, jadi enggak?" Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas paha."Jadi?" Aku mengulang ucapannya."Heem." Dia mengangguk malu-malu, seperti anak kucing habis diberi makan."Jadi apaan sik? Saya gak paham sama maksudnya, Bapak," jawabku jujur. Aku menurunkan novel yang sedang kubaca dari pandanganku. Entah kenapa ekspresi wajah Pak Bima lebih menarik dari pada novel yang ada di pangkuanku."Itu, loh, Ki." Pak Bima melirik ke arah lain, tapi masih berusaha untuk menjelaskan arti kalimatnya kepadaku.
"Baik,Ki. Aku akan pergi dari sini."Aku membenamkan kepala ke dalam dekapan Pak Bima. Rasa muak yang sudah kutahan beberapa waktu terakhir ini, akhirnya tumpah setelah melihat batang hidung milik Putri. Aku tidak menyangka bahwa dia memiliki nyali yang besar untk datang ke rumah ini."Duduk dulu, ya. Kamu butuh minum untuk meredakan emosimu."Jika biasanya aku selalu membantah perkataan Pak Bima, kali ini aku turuti semua saran darinya. Hal ini aku lakukan bukan karena aku ingin membuat Putri cemburu, tapi lebih kepada rasa lelah yang mengungkung hati dan juga pikiranku. Jujur, aku sudah capek dengan segalanya. Jika Pak Bima ingin menuntaskan semuanya saat ini juga, maka aku sudah menyiapkan hatiku."Minum dulu, Ki." Dia menyodorkan segelas air bening kepadaku. "Tarik napas dalam-dalam, kemudian keluarkan pelan-pelan."Pak Bima berjalan memutariku, kemudian memposisikan diri tepat di samp
Aku menangis setelah berada di dalam kamar. Setiap kali membahas tentang Putri, rasa sakit akibat cemburu ini tidak bisa dikendalikan. Aku selalu terbayang bagaimana dulu Pak Suami menjamah tubuh Putri dan kini aku pun pernah melakukannya bersama dengan Pak Bima. Rasa-rasanya aku seperti sedang berbagi raga dengan sahabat baikku sendiri dan saat ingatan itu muncul, dadaku terasa begitu sesak."Ki, Kiara, jangan marah. Kita bicarakan baik-baik masalah ini, Ki." Pak Bima mengetuk pintu kamar dengan keras.Aku menutup kedua telingaku menggunakan telapak tangan. Suara dari Pak Bima mengetuk hati. Membuat rasa sakit yang bersemayam di dalam sana, menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku."Kiara, saya minta maaf jika saya selalu mengecewakanku. Saya salah, tapi untuk kali ini biarkan saya menjelaskan semuanya kepadamu." Dia menaikkan ritme ketukan pada pintu kamar ini."Kiara." Dia memanggil namaku dengan suara
Sudah tiga hari ini aku berdiam diri kamar. Rasa sakit dan kecewa akibat kebohongan Pak Bima, masih terpahat rapi di sudut hatiku. Aku sudah berkali-kali menafikkan semua pikiran negatif tentang dia dan juga Putri. Namun, semakin kutolak, pikiran jelek tersebut semakin terpatri di dalam pikiranku.Aku beranjak dari kasur menuju meja rias. Setelah beberapa kali mengamati, ternyata wajahku lebih cocok dikatakan mirip Alien dari pada seorang wanita yang sedang patah hati. Mukaku terlihat sangat kuyu dengan tatapan mata sendu dan manik yang berkantung karena kurang tidur.Aku tidak tahu bagaimana keadaan Pak Bima setelah dia terjatuh dari tangga 3 hari yang lalu. Setelah aku masuk ke dalam kamar, aku tidak lagi mendengar panggilan darinya. Bisa jadi saat ini dia sedang meringis kesakitan, atau justru sedang tertawa karena dirawat oleh Putri. Ah, sial! Pikiranku selalu saja lari ke sana. Sadar atau tidak, ada rasa iri dan kesal ketika teringat akan sosok Putri. Kepolosan ya
Bima PoV'BRAK'Aku mengusap dadaku perlahan, gebrakan pintu di balik sana membuat jantungku melompat dari tempatnya."Telan semua alasan dan juga rahasiamu! Saya tidak butuh dan bahkan tidak peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan kehidupanmu!" Kiara kembali berteriak dari dalam kamar tidur. Suara melengkingnya membuat hatiku hancur. Aku tidak menyangka bahwa kesalahpahaman ini ternyata membuat dia semarah ini kepadaku.Dengan dada yang masih berdegub kencang, aku mulai beringsut mundur. Rasanya percuma aku berdiri terpaku di depan kamar seperti ini, sebab sekeras apapun aku berusaha untuk meyakinkan, Kiara tetap tidak akan mempercayaiku.Aku duduk termenung dengan kedua tangan menyangga kepala. Rasa sakit yang tadi bersemayam di dalam hati, kiri merembet naik ke kepalaku. Denyutan demi denyutan menjalar dari pelipis naik ke ubun-ubun. Jika seluruh bagian yang ada di kepalaku ini bisa berteriak, pasti ruangan ini sudah gaduh den
Sejujurnya aku masih tidak menyangka, bahwa ternyata dua orang yang paling aku percaya tega membiarkanku larut dalam ketidaktahuan. Aku kecewa dan tentunya marah kepada mereka. Dulu ketika Putri datang ke rumah dalam keadaan hamil dan meminta perlindungan, aku beserta dengan orang rumah membuka lebar pintu rumah kami, sebagai tempatnya untuk bersandar dan berpulang. Aku tidak tahu siapa orang yang tega memperlakukan Putri dengan cara yang tidak baik, merenggut kesuciannya, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sebuah kejelasan. Putri pun selalu bungkam ketika kami menanyakan siapa orang brengsek yang berani menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab, atas bayi yang ada di dalam kandungannya. Tiga tahun sudah dia memendam semuanya sendirian, dan hari ini semuanya terbongkar. Aku akhirnya tahu bahwa si bejat tidak bertanggung jawab itu adalah Pak Bima, suamiku sendiri. Dengan hati yang sudah terkoyak dan jantung yang detakannya patah-patah, aku mencoba
Aku mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa kemudian mendorong kuat-kuat tubuhnya yang masih mendekapku. Sebelum rasa nyaman menguasaiku, sebelum hatiku mulai melemah lagi, aku harus bisa menjauhkan diriku darinya."SAYA MAU PULANG!" Aku kembali membentaknya."Iya, Ki, iya. Kita pulang sekarang." Pak Bima menjawab bentakanku dengan begitu sabar. Suaranya lembut, seperti seorang Ayah yang sedang menghadapi anaknya yang sedang tantrum.Aku berjalan beberapa langkah di depan Pak Bima. Ku percepat langkahku agar dia tidak bisa menyejajarkan posisi kami. Pak Bima berulang kali menggaungkan namaku di koridor hotel, tapi tidak satupun panggilan darinya yang aku respon. Hatiku sudah terlalu sakit dan juga kecewa, tubuhku juga kembali menggigil. Hal ini bukan karena hawa dingin yang mulai menyusup kulit, tapi lebih kepada amarah yang sudah terlalu susah untuk dikendalikan.Pandangan mataku mengarah lurus ke depan tapi tatapan mataku kosong. Jaket yang tad
Tanganku gemetar tatkala memutar handle pintu kamar. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Pak Bima dan Putri bisa setega ini kepadaku. Kemarin aku sudah bertanya baik-baik perihal hubungan mereka. Namun, mereka sama-sama mengatakan bahwa sebelumnya tidak saling mengenal. Aku mencoba untuk berlari, menjauh sebisaku dari kamar hotel yang saat ini sedang aku tempati. Kejadian ini mengingatkanku pada keputusan yang dibuat oleh Ervan beberapa tahun yang lalu, sama-sama menyakitkan dan sama-sama mengandung sebuah kebohongan. Ah... Tapi setelah dipikir ulang, aku rasa kebenaran ini berkali-kali lebih menyakitkan dari pada apa yang pernah Ervan lakukan terhadapku. Aku bukanlah orang yang mudah menjatuhkan hati kepada orang lain, begitu pula terhadap Pak Bima. Namun, setelah aku mempercayainya dan menyerahkan seluruhnya kepada Pak Bima, dia tega berbohong bahkan menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku, dari istrinya sendiri.Benarkah mereka pernah berhubungan? Jika iya, apa
"Ki, jangan lupa bawa jaket yang tebal, kalau perlu yang banyak deh." Pak Bima melirikku sekilas, kemudian fokus kepada benda kotak yang ada di dalam genggamannya. "Lebay amat! Emang kita mau liburan ke kutub?" Aku menjulurkan lidahku. "Dih, dikasih tau malah ngledek! Besok kalau sampai di sana kamu menggigil kedinginan, saya ceburin ke empang sekalian!" Pak Bima menatapku sengit. "Yakin nih mau nglempar saya ke empang?" Aku beranjak dari posisiku, kemudian berjalan mendekat ke arahnya. "Ya iya lah. Biar tau rasa kamu!" Dia melengos, bibirnya mengerucut ke depan. "Ahh ... Yakin?" Aku naik ke atas kasur, kemudian merangkak mendekatinya. Kebetulan siang ini aku sedang memakai kemeja tanpa motif dengan ukuran oversize, sehingga membuat Pak Bima bisa dengan mudahnya melihat isi kaosku. "Masa sih Bapak tega lemparin saya ke empang?" Dengan posisi seperti orang merangkak,
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq." Suara lantang milik Pak Bima menggema dengan mantap di langit-langit gedung ini. Aku tersenyum simpul ketika melihat raut wajah leganya setelah mengucapkan kalimat sakral itu. Meskipun ini bukan kali pertamanya dia menerima Ijab dari Ayah, tetapi rasa tegang itu tetap saja melekat padanya, ketika dia melafalkan kalimat kabul."Saahhh?" tanya Pak Penghulu"Saahhhhhh." Riuh sahutan dari saksi dan tepuk tangan mereka membuat debaran yang ada di dalam hati kami mereda.Aku mencium tangannya dengan perasaan bahagia, sedangkan dia mengecup keningku dengan perasaan suka cita. Kali ini kami benar-benar menjadi suami istri yang sah, baik sah secara agama ataupun negara.Setelah proses ijab kabul selesai, aku dan Pak Bima duduk di depan para tamu. Sebenarnya tidak ada acara yang 'wah' untuk pernikahan kami, hanya saja Ayah memintaku untuk mengadakan peng