"Ki, jadi enggak?" Pak Bima duduk di pinggir ranjang. Wajahnya tampak sangat sumringah, sebab kenaikan pangkatnya di kantor memberikan banyak keuntungan untuknya. Selain gaji bulanannya naik, dia juga dipinjami sebuah mobil dengan merk "Niss*n T*ana" berwarna hitam dari kantor.
Aku mengerutkan dahi sebelum menjawab pertanyaan dari Pak Bima. "Maksudnya?"
"Emmm, jadi enggak?" Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas paha.
"Jadi?" Aku mengulang ucapannya.
"Heem." Dia mengangguk malu-malu, seperti anak kucing habis diberi makan.
"Jadi apaan sik? Saya gak paham sama maksudnya, Bapak," jawabku jujur. Aku menurunkan novel yang sedang kubaca dari pandanganku. Entah kenapa ekspresi wajah Pak Bima lebih menarik dari pada novel yang ada di pangkuanku.
"Itu, loh, Ki." Pak Bima melirik ke arah lain, tapi masih berusaha untuk menjelaskan arti kalimatnya kepadaku.
"APA? KAMU BILANG SAYA CUPU? PENGEN LIHAT KEJANTANAN SAYA KAMU, KI?" ancamnya dengan suara sedikit membentak. Aku terkesiap, takut dengan suara Pak Bima yang tiba-tiba meninggi. Tangannya mengusap kasar pada bibir yang terluka karena gigitanku. Meski tidak ada darah yang terlihat di sana, tapi aku yakin bahwa luka itu pasti terasa begitu perih. Pak Bima memincingkan mata sipitnya, kemudian mengalihkan pandangannya, dari bibir bawah miliknya menuju wajahku.Merasa diperhatikan sebegitu tajamnya, aku mulai beringsut mundur. Kakiku gemetaran ketika melihat Pak Bima bergerak ke arahku dengan kedua tangan yang sedang melepas kancing bajunya. Dia menyeringai dengan tatapan mata yang susah untuk diartikan. Aku menggeleng lemah, seolah memberi sebuah isyarat kepadanya untuk tidak menyentuhku lagi.Dia memajukan tangannya kemudian meraih telapak kakiku. Dengan sekali tarikan, kini aku sudah berada tepat di depannya. Sebelah bibirnya terangkat sempu
Aku sama sekali tidak menyangka bahwa absenku selama beberapa hari kemarin, membuatku ditendang dari perusahaan. Dari sorot mata tuanya, aku bisa melihat bahwa Pak Hans sangat kecewa denganku. Dia tidak mau menerima segenap alasan yang kuutarakan, padahal apa yang kusampaikan tidak ada yang kubuat-buat.Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju ke ruang kerjaku. Di sana sudah ada orang baru yang ditugaskan oleh Pak Hans untuk menggantikan posisiku. Perasaanku berkecamuk ketika membereskan semua barang yang masih tersisa di atas meja. Entah harus merespon dengan perasaan senang atau sedih, yang jelas jauh di dalam lubuk hatiku ada kelegaan tersendiri. Setidaknya, untuk saat ini dan selanjutnya, Pak Brian sudah tidak bisa menggoda atau bahkan mengganggu aku beserta dengan suamiku.Aku menekan nomor yang sudah kuhafal di luar kepalaku, selagi nada dering masih tersambung, aku menarik napas panjang berkali-kali untuk menenangkan pikiranku."Halo, Ki ...
"Silakan duduk Pak Bima beserta dengan Ibu Kiara." Perasaanku mendadak tidak enak ketika melihat seorang lelaki yang saat ini duduk di depanku. Badannya yang tegap dan gagah, membuatku teringat dengan seseorang. Meski posisi duduknya saat ini membelakangiku, tapi aku yakin bahwa orang yang sedang sibuk dengan kertas-kertas itu adalah orang yang kukenal. Aku menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan terhadap atasannya Pak Bima. Tanpa diminta dua kali, aku dan Pak Bima duduk bersebelahan di sofa berwarna merah maroon ini. Mataku mencuri pandang berkali-kali kepada orang yang masih duduk di kursi kerja itu. Rasa penasaranku semakin membuncah ketika dia mengeluarkan suara dengan cara berdehem. Lututku lemas dan tubuhku terasa begitu panas, jika dugaanku terhadapnya benar maka aku akan keluar dari ruangan ini saat ini juga. Setelah beberapa menit kami duduk bertemankan kebisuan, akhirnya Pak Bima membuka suara untuk mengawali semuanya. "Perkenal
Aku tersenyum ketika mematut diri di depan cermin. Setelan blezzer coklat yang dipadukan dengan kemeja berwarna putih, terlihat sangat manis ketika menempel di badanku. Aku lalu membuka almari yang berada di sampingku, tangan cekatanku mengambil jas berwarna coklat susu dan kemeja yang warnanya senada dengan kemejaku. Senyumku tersungging, membayangkan Pak Bima memakai setelan baju kerja yang warnanya sangat mirip denganku.Dengan langkah tergesa, aku mulai berjalan keluar dari kamar ini. Setelah pintu terbuka, badan rampingku tidak sengaja menabrak Pak Bima, yang pada saat itu sudah berada di depan kamar. Aku reflek menutup wajah menggunakan telapak tangan, sedangkan dia kelabakan menaikkan handuk yang posisinya sudah melorot sampai ke lutut."Aaarghhh ... Pak Bima, porno!" aku masih berteriak meskipun handuk itu sudah kembali ditempatnya semula."Porno porno! Kamu tuh kalau jalan yang bener! Kalau kamu enggak nabrak, handuk ini juga enggak bakalan meloro
"Jujur sama saya, kamu kenal kan sama Ervan?"Aku tertegun mendengar pertanyaan dari Pak Bima. Badanku dingin sedangkan tenggorokanku terasa begitu kerung. Aku menarik napas panjang sambil menelan salivaku dengan susah payah. Dalam kondisi yang seperti ini, haruskah aku jujur kepada suamiku?"Sssss saaay..." Suaraku memelan sebelum jawaban itu keluar dari mulutku. Setelah berpikir ulang, aku tidak mungkin menjawab pertanyaan Pak Bima apa adanya. Sebab hal itu bisa membuatnya salah Paham, apalagi jika dia mengetahui bahwa aku adalah mantan tunangannya Ervan.Aku mengurungkan niatku untuk langsung menjawab pertanyaan darinya. Isi kepalaku juga membutuhkan waktu untuk menyusun kalimat yang utuh dan juga masuk akal.Pak Bima menautkan kedua alisnya. Sebelum dia bertanya dua kali kepadaku, akhirnya aku meloloskan sebuah kalimat yang membuat dahinya jadi berkerut."I-iya, Pak. Saya kenal dengan
"Jika saya tidak bisa mendapatkanmu, maka tidak ada orang lain yang bisa memilikimu." Aku masih kesal jika teringat dengan ekspresi wajah Ervan ketika mengucapkan kalimat itu. Senyum licik dan suara jumawanya membuat isi perutku bergejolak, muak dan juga mual. Jika memuntahkan semuanya bisa membuatnya sadar, maka hal itu sudah aku lakukan sedari tadi. Namun, orang seperti ini tidak akan peduli dengan apa yang aku lakukan di depannya. Dia hanya fokus dengan apa yang akan menjadi tujuannya. Pikiranku melayang pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Disaat semua hal yang berkaitan dengan pernikahan sudah disiapkan oleh Ibu dan Ayah, dia dengan santainya datang hanya untuk membatalkan semuanya. Tidak ada masalah sebelumnya, bahkan tidak ada pertengkaran diantara kami. Namun, dia dengan tega membawa kabar duka bagi keluargaku. Pernikahan itu tidak jadi dilaksanakan. Ibuku menangis sepanjang hari, sedang Ayahku hanya diam di tempatny
"Kiara." Panggilan itu membuat kepalaku reflek menoleh ke samping. Tubuhku menegang ketika tahu bahwa suara lantang itu adalah milik suamiku. Dengan tenaga yang masih tersisa, kudorong tubuh Ervan hingga dia mundur beberapa langkah dari posisi awal. Keringat dingin mulai membanjiri dahi, ketika kulihat kedua tangan Pak Bima yang sudah mengepal. Kakiku mulai bergetar hebat, terasa lemas dan sedikit berat jika digerakkan. Lelaki bermata sipit itu berjalan mendekati kami, bibirnya tersenyum kecut, sedangkan tatapan matanya menghunus tajam kepada kami. Dia meraih lenganku kemudian berjalan memutariku. Setelah puas dengan apa yang dia lakukan, tatapan matanya beralih kepada orang yang saat ini ada di sebelah kananku.Andai saja semua kejadian ini adalah skenario dari sebuah sinetron, aku pasti sudah memohon ampun sambil mengatakan bahwa apa yang dilihat oleh suamiku, tidak lah seperti apa yang dia pikirkan. Jangankan untuk meminta maaf kepadanya, untuk sekadar
"Tidak. Kamu hutang penjelasan kepada saya, Kiara!" Rahangnya mengetat dengan sorot mata tajam bagai harimau kelaparan, aku sampai menundukkan kepala ketika melihat tatapan sadis yang dia tunjukkan, dia seperti ingin menelanku bulat-bulat. Dalam sekali hentakan, Pak Bima memundurkan badannya lalu menginjak pedal gas sekuat yang dia bisa. Badanku terlempar ke depan tatkala mobil ini melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku reflek memejamkan mata karenai takut. Meski saat ini kami sedang melintas di jalan tol, akan tetapi bayangan akan kejadian buruk, melintas begitu saja di dalam kepalaku. "Pelan-pelan, Pak." "Kenapa, Ki? Kamu takut?" Suaranya lirih, bahkan hampir tidak terdengar karena kalah dengan raungan yang dikeluarkan oleh mobil ini. Aku mengangguk cepat. Bahkan hatiku berdesir tidak tenang karena memikirkan kemungkinan terburuk dari nasib kami. "Buka matamu, Ki!" titahnya padaku. Aku menggeleng. "Tidak, Pak." "Kenapa, Ki? I