Aku tersenyum ketika mematut diri di depan cermin. Setelan blezzer coklat yang dipadukan dengan kemeja berwarna putih, terlihat sangat manis ketika menempel di badanku. Aku lalu membuka almari yang berada di sampingku, tangan cekatanku mengambil jas berwarna coklat susu dan kemeja yang warnanya senada dengan kemejaku. Senyumku tersungging, membayangkan Pak Bima memakai setelan baju kerja yang warnanya sangat mirip denganku.
Dengan langkah tergesa, aku mulai berjalan keluar dari kamar ini. Setelah pintu terbuka, badan rampingku tidak sengaja menabrak Pak Bima, yang pada saat itu sudah berada di depan kamar. Aku reflek menutup wajah menggunakan telapak tangan, sedangkan dia kelabakan menaikkan handuk yang posisinya sudah melorot sampai ke lutut.
"Aaarghhh ... Pak Bima, porno!" aku masih berteriak meskipun handuk itu sudah kembali ditempatnya semula.
"Porno porno! Kamu tuh kalau jalan yang bener! Kalau kamu enggak nabrak, handuk ini juga enggak bakalan meloro
"Jujur sama saya, kamu kenal kan sama Ervan?"Aku tertegun mendengar pertanyaan dari Pak Bima. Badanku dingin sedangkan tenggorokanku terasa begitu kerung. Aku menarik napas panjang sambil menelan salivaku dengan susah payah. Dalam kondisi yang seperti ini, haruskah aku jujur kepada suamiku?"Sssss saaay..." Suaraku memelan sebelum jawaban itu keluar dari mulutku. Setelah berpikir ulang, aku tidak mungkin menjawab pertanyaan Pak Bima apa adanya. Sebab hal itu bisa membuatnya salah Paham, apalagi jika dia mengetahui bahwa aku adalah mantan tunangannya Ervan.Aku mengurungkan niatku untuk langsung menjawab pertanyaan darinya. Isi kepalaku juga membutuhkan waktu untuk menyusun kalimat yang utuh dan juga masuk akal.Pak Bima menautkan kedua alisnya. Sebelum dia bertanya dua kali kepadaku, akhirnya aku meloloskan sebuah kalimat yang membuat dahinya jadi berkerut."I-iya, Pak. Saya kenal dengan
"Jika saya tidak bisa mendapatkanmu, maka tidak ada orang lain yang bisa memilikimu." Aku masih kesal jika teringat dengan ekspresi wajah Ervan ketika mengucapkan kalimat itu. Senyum licik dan suara jumawanya membuat isi perutku bergejolak, muak dan juga mual. Jika memuntahkan semuanya bisa membuatnya sadar, maka hal itu sudah aku lakukan sedari tadi. Namun, orang seperti ini tidak akan peduli dengan apa yang aku lakukan di depannya. Dia hanya fokus dengan apa yang akan menjadi tujuannya. Pikiranku melayang pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Disaat semua hal yang berkaitan dengan pernikahan sudah disiapkan oleh Ibu dan Ayah, dia dengan santainya datang hanya untuk membatalkan semuanya. Tidak ada masalah sebelumnya, bahkan tidak ada pertengkaran diantara kami. Namun, dia dengan tega membawa kabar duka bagi keluargaku. Pernikahan itu tidak jadi dilaksanakan. Ibuku menangis sepanjang hari, sedang Ayahku hanya diam di tempatny
"Kiara." Panggilan itu membuat kepalaku reflek menoleh ke samping. Tubuhku menegang ketika tahu bahwa suara lantang itu adalah milik suamiku. Dengan tenaga yang masih tersisa, kudorong tubuh Ervan hingga dia mundur beberapa langkah dari posisi awal. Keringat dingin mulai membanjiri dahi, ketika kulihat kedua tangan Pak Bima yang sudah mengepal. Kakiku mulai bergetar hebat, terasa lemas dan sedikit berat jika digerakkan. Lelaki bermata sipit itu berjalan mendekati kami, bibirnya tersenyum kecut, sedangkan tatapan matanya menghunus tajam kepada kami. Dia meraih lenganku kemudian berjalan memutariku. Setelah puas dengan apa yang dia lakukan, tatapan matanya beralih kepada orang yang saat ini ada di sebelah kananku.Andai saja semua kejadian ini adalah skenario dari sebuah sinetron, aku pasti sudah memohon ampun sambil mengatakan bahwa apa yang dilihat oleh suamiku, tidak lah seperti apa yang dia pikirkan. Jangankan untuk meminta maaf kepadanya, untuk sekadar
"Tidak. Kamu hutang penjelasan kepada saya, Kiara!" Rahangnya mengetat dengan sorot mata tajam bagai harimau kelaparan, aku sampai menundukkan kepala ketika melihat tatapan sadis yang dia tunjukkan, dia seperti ingin menelanku bulat-bulat. Dalam sekali hentakan, Pak Bima memundurkan badannya lalu menginjak pedal gas sekuat yang dia bisa. Badanku terlempar ke depan tatkala mobil ini melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku reflek memejamkan mata karenai takut. Meski saat ini kami sedang melintas di jalan tol, akan tetapi bayangan akan kejadian buruk, melintas begitu saja di dalam kepalaku. "Pelan-pelan, Pak." "Kenapa, Ki? Kamu takut?" Suaranya lirih, bahkan hampir tidak terdengar karena kalah dengan raungan yang dikeluarkan oleh mobil ini. Aku mengangguk cepat. Bahkan hatiku berdesir tidak tenang karena memikirkan kemungkinan terburuk dari nasib kami. "Buka matamu, Ki!" titahnya padaku. Aku menggeleng. "Tidak, Pak." "Kenapa, Ki? I
"Ki, nanti jadi pulang ke rumah Bapak Ibumu?" Pak Bima bertanya lirih ketika aku membetulkan dasi yang saat itu sedang dia kenakan.Aku mendongak ke atas, melihat wajah tampannya yang kebetulan juga sedang menatap ke arahku."Heem. Kan, kemarin sudah kasih tau Ibu," jawabku mantap."Hmmm." Dia berdehem panjang, sepertinya sedang menyusun kalimat yang tepat untuk menanggapi ucapanku. Sorot matanya teduh, tetapi menyiratkan sebuah keraguan."Kenapa, Pak?" Klise memang, tapi hanya dari kata tanya itulah, aku bisa mendapatkan jawaban atas keraguan yang saat itu sedang dia rasakan."Enggak apa-apa, sih, Ki. Saya cuma ..."Aku tersenyum simpul, kemudian mengusap pelan lengannya. "Keraguan apa yang Bapak simpan?""Tidak ada." Dia membalas senyumku.Aku memegang dada kanannya, merasakan detakan di dalamnya. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Pak
Aku masih tidak mengerti dengan suasana yang tercipta di ruang makan ini. Semua mata tertunduk, fokus pada makanan yang ada di atas piring mereka masing-masing. Aku sempat melirik ke samping, mencari tahu apa yang saat ini sedang dilakukan oleh suamiku. Wajahnya sedikit pucat dengan raut wajah yang agak tegang. Aku menyempatkan diri untuk tersenyum di tengah suasana yang tidak mengenakkan ini. Ekspresi ketakutan dari Pak Bima membuat hatiku tergelitik, meski aku sudah berulang kali mencoba untuk abai terhadap wajahnya."Uhuk huk huk." Pak Bima tersedak. Dia memukul-mukul dadanya sambil memasukkan air ke dalam mulutnya. Melihat dia minum dengan begitu brutalnya, aku jadi ikut panik. Tanganku terulur ke samping, berusaha untuk ikut memijat bahunya. Namun, bukan pijatan yang sampai ke bahu Pak Bima, tapi suara denting gelas yang beradu dengan lantai ruangan.PYAAR !Pak Bima terkesiap, kemudian membungkukkan badan untuk
"Ceraikan saja, Kiara, jika nyatanya hubungan kalian hanya mendatangkan sebuah luka. Saya tidak butuh menantu yang rela mati hanya demi sebuah senyum. Namun, yang saya butuhkan adalah menantu bertanggung jawab, yang bisa menghidupi dan melindunginya, termasuk melindungi senyum yang tercetak di wajahnya."Kalimat sarkastik yang diucapkan Ayah barusan membuat bibir Pak Bima terkatup rapat. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi kemudian menundukkan pandangannya. Dinginnya ruangan akibat hujan, semakin membuat suasana di dalam sana menjadi semakin tegang. Diam yang diciptakan oleh Pak Bima membungkus ruangan, hingga hening muncul untuk melengkapi suasana tersebut.Ayah berdehem pelan setelah ikut berdiam diri selama beberapa saat. "Kiara adalah satu-satunya anak perempuan yang saya miliki. Jika keberadaannya membebanimu, atau mungkin keberadaanmu membuat dia tidak bisa berkembang, maka kembalikan dia kesisiku." Suara Ayah nampak sedikit berget
Pak Bima mendesah pelan. "Yah, Ki. Tanggung." Aku menoleh ke samping, muka Pak Bima tampak sedikit memelas. Dia mengiba kepadaku sambil memohon agar aku mau menahan sakit yang disebabkan oleh dorongannya. Namun, pikiranku yang sudah kalut karena menahan perih tidak bisa untuk diajak diskusi. Aku lebih memilih untuk tidur memunggunginya dan berharap semoga petang segera beranjak pergi. ****Pagi hari saat adzan subuh berkumandang, mataku berkedip karena merasa ada sesuatu yang menempel di sana. Pak Bima tersenyum setelah melihat kedua mataku terbuka lebar. Bibir pink merekahnya ternyata baru saja mendarat di kedua manik mata milikku. "Pagi, Kiara. Mimpi apa semalam?" tanyanya lembut. Dia mengesampingkan poni yang menutupi mata bagian kananku. "Mimpi dipatok ular," jawabku asal. "Ular? Ular cobra? Atau ular apa?" Dia pura-pura terkejut. "Ularmu!" Aku mencibir lalu b