Aku masih tidak mengerti dengan suasana yang tercipta di ruang makan ini. Semua mata tertunduk, fokus pada makanan yang ada di atas piring mereka masing-masing. Aku sempat melirik ke samping, mencari tahu apa yang saat ini sedang dilakukan oleh suamiku. Wajahnya sedikit pucat dengan raut wajah yang agak tegang. Aku menyempatkan diri untuk tersenyum di tengah suasana yang tidak mengenakkan ini. Ekspresi ketakutan dari Pak Bima membuat hatiku tergelitik, meski aku sudah berulang kali mencoba untuk abai terhadap wajahnya.
"Uhuk huk huk." Pak Bima tersedak. Dia memukul-mukul dadanya sambil memasukkan air ke dalam mulutnya. Melihat dia minum dengan begitu brutalnya, aku jadi ikut panik. Tanganku terulur ke samping, berusaha untuk ikut memijat bahunya. Namun, bukan pijatan yang sampai ke bahu Pak Bima, tapi suara denting gelas yang beradu dengan lantai ruangan.
PYAAR !
Pak Bima terkesiap, kemudian membungkukkan badan untuk
"Ceraikan saja, Kiara, jika nyatanya hubungan kalian hanya mendatangkan sebuah luka. Saya tidak butuh menantu yang rela mati hanya demi sebuah senyum. Namun, yang saya butuhkan adalah menantu bertanggung jawab, yang bisa menghidupi dan melindunginya, termasuk melindungi senyum yang tercetak di wajahnya."Kalimat sarkastik yang diucapkan Ayah barusan membuat bibir Pak Bima terkatup rapat. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi kemudian menundukkan pandangannya. Dinginnya ruangan akibat hujan, semakin membuat suasana di dalam sana menjadi semakin tegang. Diam yang diciptakan oleh Pak Bima membungkus ruangan, hingga hening muncul untuk melengkapi suasana tersebut.Ayah berdehem pelan setelah ikut berdiam diri selama beberapa saat. "Kiara adalah satu-satunya anak perempuan yang saya miliki. Jika keberadaannya membebanimu, atau mungkin keberadaanmu membuat dia tidak bisa berkembang, maka kembalikan dia kesisiku." Suara Ayah nampak sedikit berget
Pak Bima mendesah pelan. "Yah, Ki. Tanggung." Aku menoleh ke samping, muka Pak Bima tampak sedikit memelas. Dia mengiba kepadaku sambil memohon agar aku mau menahan sakit yang disebabkan oleh dorongannya. Namun, pikiranku yang sudah kalut karena menahan perih tidak bisa untuk diajak diskusi. Aku lebih memilih untuk tidur memunggunginya dan berharap semoga petang segera beranjak pergi. ****Pagi hari saat adzan subuh berkumandang, mataku berkedip karena merasa ada sesuatu yang menempel di sana. Pak Bima tersenyum setelah melihat kedua mataku terbuka lebar. Bibir pink merekahnya ternyata baru saja mendarat di kedua manik mata milikku. "Pagi, Kiara. Mimpi apa semalam?" tanyanya lembut. Dia mengesampingkan poni yang menutupi mata bagian kananku. "Mimpi dipatok ular," jawabku asal. "Ular? Ular cobra? Atau ular apa?" Dia pura-pura terkejut. "Ularmu!" Aku mencibir lalu b
Setelah masuk ke dalam kamar, aku merebahkan diri di atas kasur. Pikiranku melayang, merasa ada yang janggal dengan kejadian yang baru saja kutemui di lantai satu. Putri haus dan Pak Bima ada di sana. Jika memang haus, kenapa tidak ambil minum melalui dispenser yang ada di lantai dua? Lalu, Jika memang hanya ingin mengecek kegaduhan yang ada di dapur, kenapa harus berjalan mengendap-endap seperti maling? Namun, untuk apa mereka melalukan itu? Bertemu secara diam-diam, ketika semua penghuni rumah sudah mulai tidur. Ada urusan apa mereka? Bukanlah sebelum ini mereka tidak saling mengenal?Pak Bima membalikkan badannya, kemudian memeluk mendekap perutku dengan kencang."Tidur!" perintahnya dengan mata yang sudah terpejam."Bentar lagi.""Nunggu apa? Kamu enggak ngantuk?""Belum.""Tidur, Ki. Dua hari lagi kita nikah." Dia mengingatkan tentang pernikahan di KUA yang akan kami
POV BIMASudah beberapa hari ini hatiku selalu merasa tidak tenang. Diam-diam aku menghubungi seseorang yang pernah memorak porandakan hatiku. Pikiranku selalu membayangkan sesuatu yang tidak-tidak. Jika suatu saat dia kembali, apa yang harus aku lakukan? Sedangkan sekarang, aku sudah memiliki seorang istri yang begitu cantik.Jujur, aku tidak berkeinginan untuk kembali kepadanya. Hanya saja, ada urusan yang belum selesai diantara kami berdua. Jika benar dia memiliki seorang anak berdarah Nawasena, maka aku akan bertanggung jawab kepadanya, apapun itu konsekuensi yang harus aku jalani.Pagi ini kegamangan kembali menyusup ke dalam hatiku. Bagaimana tidak, jika orang yang selama ini aku cari, ternyata aku temui di rumah mertuaku sendiri. Setelah tadi malam aku bisa tersenyum bahagia bersama dengan Kiara, pagi ini aku harus dikejutkan dengan kedatangannya.Aku tau persis, bahwa Kiara sengaja tidak mau membuk
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq." Suara lantang milik Pak Bima menggema dengan mantap di langit-langit gedung ini. Aku tersenyum simpul ketika melihat raut wajah leganya setelah mengucapkan kalimat sakral itu. Meskipun ini bukan kali pertamanya dia menerima Ijab dari Ayah, tetapi rasa tegang itu tetap saja melekat padanya, ketika dia melafalkan kalimat kabul."Saahhh?" tanya Pak Penghulu"Saahhhhhh." Riuh sahutan dari saksi dan tepuk tangan mereka membuat debaran yang ada di dalam hati kami mereda.Aku mencium tangannya dengan perasaan bahagia, sedangkan dia mengecup keningku dengan perasaan suka cita. Kali ini kami benar-benar menjadi suami istri yang sah, baik sah secara agama ataupun negara.Setelah proses ijab kabul selesai, aku dan Pak Bima duduk di depan para tamu. Sebenarnya tidak ada acara yang 'wah' untuk pernikahan kami, hanya saja Ayah memintaku untuk mengadakan peng
"Ki, jangan lupa bawa jaket yang tebal, kalau perlu yang banyak deh." Pak Bima melirikku sekilas, kemudian fokus kepada benda kotak yang ada di dalam genggamannya. "Lebay amat! Emang kita mau liburan ke kutub?" Aku menjulurkan lidahku. "Dih, dikasih tau malah ngledek! Besok kalau sampai di sana kamu menggigil kedinginan, saya ceburin ke empang sekalian!" Pak Bima menatapku sengit. "Yakin nih mau nglempar saya ke empang?" Aku beranjak dari posisiku, kemudian berjalan mendekat ke arahnya. "Ya iya lah. Biar tau rasa kamu!" Dia melengos, bibirnya mengerucut ke depan. "Ahh ... Yakin?" Aku naik ke atas kasur, kemudian merangkak mendekatinya. Kebetulan siang ini aku sedang memakai kemeja tanpa motif dengan ukuran oversize, sehingga membuat Pak Bima bisa dengan mudahnya melihat isi kaosku. "Masa sih Bapak tega lemparin saya ke empang?" Dengan posisi seperti orang merangkak,
Tanganku gemetar tatkala memutar handle pintu kamar. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Pak Bima dan Putri bisa setega ini kepadaku. Kemarin aku sudah bertanya baik-baik perihal hubungan mereka. Namun, mereka sama-sama mengatakan bahwa sebelumnya tidak saling mengenal. Aku mencoba untuk berlari, menjauh sebisaku dari kamar hotel yang saat ini sedang aku tempati. Kejadian ini mengingatkanku pada keputusan yang dibuat oleh Ervan beberapa tahun yang lalu, sama-sama menyakitkan dan sama-sama mengandung sebuah kebohongan. Ah... Tapi setelah dipikir ulang, aku rasa kebenaran ini berkali-kali lebih menyakitkan dari pada apa yang pernah Ervan lakukan terhadapku. Aku bukanlah orang yang mudah menjatuhkan hati kepada orang lain, begitu pula terhadap Pak Bima. Namun, setelah aku mempercayainya dan menyerahkan seluruhnya kepada Pak Bima, dia tega berbohong bahkan menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku, dari istrinya sendiri.Benarkah mereka pernah berhubungan? Jika iya, apa
Aku mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa kemudian mendorong kuat-kuat tubuhnya yang masih mendekapku. Sebelum rasa nyaman menguasaiku, sebelum hatiku mulai melemah lagi, aku harus bisa menjauhkan diriku darinya."SAYA MAU PULANG!" Aku kembali membentaknya."Iya, Ki, iya. Kita pulang sekarang." Pak Bima menjawab bentakanku dengan begitu sabar. Suaranya lembut, seperti seorang Ayah yang sedang menghadapi anaknya yang sedang tantrum.Aku berjalan beberapa langkah di depan Pak Bima. Ku percepat langkahku agar dia tidak bisa menyejajarkan posisi kami. Pak Bima berulang kali menggaungkan namaku di koridor hotel, tapi tidak satupun panggilan darinya yang aku respon. Hatiku sudah terlalu sakit dan juga kecewa, tubuhku juga kembali menggigil. Hal ini bukan karena hawa dingin yang mulai menyusup kulit, tapi lebih kepada amarah yang sudah terlalu susah untuk dikendalikan.Pandangan mataku mengarah lurus ke depan tapi tatapan mataku kosong. Jaket yang tad