"Diam! Jangan membantah!"
Aku diam jika Pak Bima sudah mulai membentak seperti ini. Meski dia bukan tipe orang yang suka memaksa, tapi suara dingin miliknya selalu bisa membuatku bungkam dan menurut pada perintahnya.
Dorongan dari Pak Bima membuat kursi roda yang kunaiki kini sudah berada di ambang pintu. Aku mendongakkan kepala untuk mengintip ekspresi wajahnya. Alis yang bertaut dan Rahangnya yang mengetat, membuatku semakin yakin, bahwa saat ini dia memang sedang marah. Aku menilik ruang inapku tadi, ternyata di dalam sana sudah ada dua orang yang sedang sibuk membersihkan ruangan itu.
Pak Bima berdehem pelan sehingga membuat dua petugas kebersihan yang sedang menyapu lantai dan merapihkan tempat tidur, reflek menoleh ke arah pintu. Aku masih menundukkan kepala ketika Pak Bima berjalan maju beberapa langkah dari tempatku duduk.
"Maaf, Pak. Ada yang bisa kami bantu?" Petugas yang sedang merapihkan tempat tid
Pikiranku masih melayang-layang, hatiku pun juga ikut tidak tenang. Semenjak pesan singkat di ponsel Pak Bima terbaca olehku, isi kepalaku tidak berhenti menebak siapa orang dibalik kontak yang dinamai pinguin oleh suamiku. Jika memang dia adalah orang yang pernah menjalin hubungan dengan Pak Bima, kenapa ada pembahasan tentang anak? Mungkinkah dulu mereka sempat menikah? Atau justru mereka melakukan hubungan badan di luar bingkai pernikahan?Lamunanku hilang ketika Pak Bima datang membawa dua mangkuk sup ayam yang baru saja matang. Asapnya masih mengepul dan bau harum dari bawangnya menguar dengan sempurna di Indra penciumanku. Karena sedari tadi siang aku belum makan, maka aku langsung menyambar mangkuk panas itu dari atas meja."Auh," rintihku kepanasan."Pelan-pelan atuh, Ki. Sup ini baru saja diangkat dari panci, jadi pasti masih sangat panas sekali." Dia meraih tanganku kemudian mengusapnya dengan pelan, "saya ambilkan
Aku membuka mata ketika udara pagi berembus memasuki kamar tidur. Tubuhku menggeliat, lalu tanganku reflek menarik selimut sampai ke atas dada. Pak Bima menatap lembut wajahku sambil berjalan pelan mendekat ke ranjang."Pagi, Kiara." Dia duduk disampingku. Tangan kanannya merapikan anak rambut yang menutupi dahi. "Kamu masih ngantuk, ya?"Aku menggeleng cepat. Dengan nyawa yang masih berserakan di kasur, aku menggerakkan badanku pelan agar bisa duduk di samping Pak Bima."Kalau masih ngantuk, kamu tidur lagi aja." Dia memegang bahuku kemudian merebahkannya kembali pada posisi semula."Enggak, Pak, rasa kantuk saya sudah hilang dari setengah jam yang lalu. Sekarang saya mau pergi ke dapur, membuatkan sarapan untuk Pak Bima," ucapku penuh kebohongan. Sebenarnya mataku masih sangat berat, sebab tadi malam jahitan yang ada di bahuku terasa sangat perih sekali. Setiap kali mataku akan terpejam, rasa sakit itu muncul seca
"Dia hilang tiga tahun yang lalu." Binar meletakkan sendoknya kemudian menatap tajam pada kedua bola mataku."What? Hilang?" Aku hampir tersedak saat Binar mengucapkan kata 'hilang', isi kepalaku langsung membayangkan anak kucing yang tersesat di tengah jalan. Hilang, sebab tidak tahu jalan untuk kembali pulang.Dia mengangguk mantap."Jangan bercanda kamu, dek." Aku memajukan kepala, takut jika ucapan dia ada yang lolos dari pendengaranku."Serius lah, Kak." Dia menegakkan kepala, "emang muka aku kelihatan lagi bohong? Lagian, apa pernah sih aku bohong sama kak Kiara? Enggak pernah, kan?"Aku menatap Binar tidak percaya. Rasanya apa yang dikatakan oleh Binar tidak pas jika digabungkan dengan kejadian kemarin malam. Aku berani bersumpah, bahwa mata ini melihat dengan jelas, nama "Pinguin" ada disalah satu chatlist milik Pak Bima, masa iya sih kalau dia hilang sejak tiga tahun yang lalu? At
"Ki, jadi enggak?" Pak Bima duduk di pinggir ranjang. Wajahnya tampak sangat sumringah, sebab kenaikan pangkatnya di kantor memberikan banyak keuntungan untuknya. Selain gaji bulanannya naik, dia juga dipinjami sebuah mobil dengan merk "Niss*n T*ana" berwarna hitam dari kantor.Aku mengerutkan dahi sebelum menjawab pertanyaan dari Pak Bima. "Maksudnya?""Emmm, jadi enggak?" Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas paha."Jadi?" Aku mengulang ucapannya."Heem." Dia mengangguk malu-malu, seperti anak kucing habis diberi makan."Jadi apaan sik? Saya gak paham sama maksudnya, Bapak," jawabku jujur. Aku menurunkan novel yang sedang kubaca dari pandanganku. Entah kenapa ekspresi wajah Pak Bima lebih menarik dari pada novel yang ada di pangkuanku."Itu, loh, Ki." Pak Bima melirik ke arah lain, tapi masih berusaha untuk menjelaskan arti kalimatnya kepadaku.
"APA? KAMU BILANG SAYA CUPU? PENGEN LIHAT KEJANTANAN SAYA KAMU, KI?" ancamnya dengan suara sedikit membentak. Aku terkesiap, takut dengan suara Pak Bima yang tiba-tiba meninggi. Tangannya mengusap kasar pada bibir yang terluka karena gigitanku. Meski tidak ada darah yang terlihat di sana, tapi aku yakin bahwa luka itu pasti terasa begitu perih. Pak Bima memincingkan mata sipitnya, kemudian mengalihkan pandangannya, dari bibir bawah miliknya menuju wajahku.Merasa diperhatikan sebegitu tajamnya, aku mulai beringsut mundur. Kakiku gemetaran ketika melihat Pak Bima bergerak ke arahku dengan kedua tangan yang sedang melepas kancing bajunya. Dia menyeringai dengan tatapan mata yang susah untuk diartikan. Aku menggeleng lemah, seolah memberi sebuah isyarat kepadanya untuk tidak menyentuhku lagi.Dia memajukan tangannya kemudian meraih telapak kakiku. Dengan sekali tarikan, kini aku sudah berada tepat di depannya. Sebelah bibirnya terangkat sempu
Aku sama sekali tidak menyangka bahwa absenku selama beberapa hari kemarin, membuatku ditendang dari perusahaan. Dari sorot mata tuanya, aku bisa melihat bahwa Pak Hans sangat kecewa denganku. Dia tidak mau menerima segenap alasan yang kuutarakan, padahal apa yang kusampaikan tidak ada yang kubuat-buat.Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju ke ruang kerjaku. Di sana sudah ada orang baru yang ditugaskan oleh Pak Hans untuk menggantikan posisiku. Perasaanku berkecamuk ketika membereskan semua barang yang masih tersisa di atas meja. Entah harus merespon dengan perasaan senang atau sedih, yang jelas jauh di dalam lubuk hatiku ada kelegaan tersendiri. Setidaknya, untuk saat ini dan selanjutnya, Pak Brian sudah tidak bisa menggoda atau bahkan mengganggu aku beserta dengan suamiku.Aku menekan nomor yang sudah kuhafal di luar kepalaku, selagi nada dering masih tersambung, aku menarik napas panjang berkali-kali untuk menenangkan pikiranku."Halo, Ki ...
"Silakan duduk Pak Bima beserta dengan Ibu Kiara." Perasaanku mendadak tidak enak ketika melihat seorang lelaki yang saat ini duduk di depanku. Badannya yang tegap dan gagah, membuatku teringat dengan seseorang. Meski posisi duduknya saat ini membelakangiku, tapi aku yakin bahwa orang yang sedang sibuk dengan kertas-kertas itu adalah orang yang kukenal. Aku menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan terhadap atasannya Pak Bima. Tanpa diminta dua kali, aku dan Pak Bima duduk bersebelahan di sofa berwarna merah maroon ini. Mataku mencuri pandang berkali-kali kepada orang yang masih duduk di kursi kerja itu. Rasa penasaranku semakin membuncah ketika dia mengeluarkan suara dengan cara berdehem. Lututku lemas dan tubuhku terasa begitu panas, jika dugaanku terhadapnya benar maka aku akan keluar dari ruangan ini saat ini juga. Setelah beberapa menit kami duduk bertemankan kebisuan, akhirnya Pak Bima membuka suara untuk mengawali semuanya. "Perkenal
Aku tersenyum ketika mematut diri di depan cermin. Setelan blezzer coklat yang dipadukan dengan kemeja berwarna putih, terlihat sangat manis ketika menempel di badanku. Aku lalu membuka almari yang berada di sampingku, tangan cekatanku mengambil jas berwarna coklat susu dan kemeja yang warnanya senada dengan kemejaku. Senyumku tersungging, membayangkan Pak Bima memakai setelan baju kerja yang warnanya sangat mirip denganku.Dengan langkah tergesa, aku mulai berjalan keluar dari kamar ini. Setelah pintu terbuka, badan rampingku tidak sengaja menabrak Pak Bima, yang pada saat itu sudah berada di depan kamar. Aku reflek menutup wajah menggunakan telapak tangan, sedangkan dia kelabakan menaikkan handuk yang posisinya sudah melorot sampai ke lutut."Aaarghhh ... Pak Bima, porno!" aku masih berteriak meskipun handuk itu sudah kembali ditempatnya semula."Porno porno! Kamu tuh kalau jalan yang bener! Kalau kamu enggak nabrak, handuk ini juga enggak bakalan meloro