Kringg … kringg … kringg.
Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi, para murid dan guru di SMA Star Peak mulai mempersiapkan diri untuk pulang. Begitu juga dengan murid dari ruangan 1 Kelas 3, tempat Rafael belajar. Saat itu Rafael sedang piket bersama dua orang temannya.
“Ya ampun, si Andi itu kabur lagi, tidakkah ia malu untuk kabur setiap kali dia piket? Terlebih lagi ia dapat meninggalkan ruangan ini dengan cepat sebelum kita menyadarinya. Entah belajar darimana anak sialan itu!” kata seorang murid perempuan menggerutu sambil menghapus formula matematika panjang di papan tulis.
“Ya, tapi setidaknya ada satu dua hal baik darinya, bukan?” seorang murid perempuan yang sedang merapikan meja guru membalas gerutu murid tadi.
“Benar juga, seperti mentraktir kita setiap dia bolos piket. Aku akan menagihnya besok.”
“Bukan begitu juga sih maksudku,” balas murid yang satunya.
“Frieda, bagaimana perkembangannya? “ tanya murid perempuan itu, usai menghapus papan tulis dan mendekati meja guru.
“Perkembangan apa, Tarisa?” Frieda balik bertanya.
“Ya ampun kamu ini, berapa kali kita harus mengulang hal ini,” Tarisa mengetuk dahi Frieda membuat Frieda merintih kesakitan.
“Aww, ada apa sih Tarisa,” keluh Frieda menahan sakit.
“Perasaan aku memukulmu pelan saja.Tapi, lupakan dulu itu. Aku bertanya bagaimana perkembanganmu dengan Rafael, apa telah terjadi sesuatu yang menarik?”
“E-eh? soal itu .…“ Frieda menundukkan wajahnya.
“Lagi-lagi jalan buntu ya. Padahal kalian sudah bersama sejak SMP, tidakkah itu waktu yang cukup. Setidaknya pastikannlah perasaannya padamu, kamu tidak harus terus menunggunya seperti ini,” ujar Tarisa.
“Tapi, sepertinya itu akan sulit,” Frieda membalas pelan.
“Jika masalahmu adalah sainganmu, Riana, kamu tak perlu ambil pusing. Ingatlah, novel romantis tidak selalu dimenangkan oleh sahabat masa kecil. Kamu masih punya kesempatan, terlebih lagi kalian sudah sangat dekat selama ini.“
Braak…
Rafael meletakkan tempat sampah besar di depan kelas setelah membuang isinya di tempat pembuangan di belakang sekolah. Kemudian memasuki ruang kelas, hendak bergabung dengan Frieda dan Tarisa.
“Yo, apa yang sedang kalian bahas?” sapa Rafael pada mereka berdua.
“A-a ….” Frieda tampak salah tingkah, wajahnya memerah khawatir Rafael mendengar pembicaraannya dengan Tarisa.
“Kamu kenapa Frieda? Apa kamu sakit?” tanya Rafael.
“Ti-tidak aku baik-baik saja kok, sungguh.” Frieda berusaha mengendalikan dirinya.
“Kami tadi membahas soal novel yang sebentar lagi akan rilis,” jawab Tarisa santai.
Rafael tersenyum. “Novel ya, aku jadi teringat waktu-waktu itu."
“Astaga! Aku baru ingat seri terbaru dari novel favoritku rilis hari ini, kalau begitu aku pulang duluan ya.” Tarisa langsung meraih tasnya lalu buru-buru meninggalkan ruang kelas.
“Semangat berjuang, kalian berdua,” teriak Tarisa dari luar kelas.
“Ya, aku akan berjuang hari ini,” Rafael membalas teriakan Tarisa.
“Be-berjuang untuk apa?” tanya Frieda penasaran.
“Oh, ya benar juga. Aku minta maaf ya tidak bisa menemanimu belajar di perpustakaan kota hari ini. Aku harus menyelesaikan urusanku dengan Riana," ucap Rafael.
“U-urusan?”
“Aku akan menembaknya hari ini, dan memastikan bagaimana perasaannya terhadapku,“ jawab Rafael dengan semangat berbanding terbalik dengan Frieda yang merasa sekujur tubuhnya lemas, wajahnya kini tampak pucat.
“Sepertinya kamu memang sakit Frieda, akan ku antarkan kamu ke UKS dulu. Riana masih mengikuti kelas tambahan untuk persiapan studinya ke luar negeri. Aku memang punya urusan penting, tapi aku tak bisa menelantarkan teman baikku.”
“Aku baik-baik saja kok, sungguh.“ kini Frieda memaksakan dirinya untuk tersenyum.
“Begitu ya“ Rafael menuju tempat duduknya yang berada di ujung barisan depan, ia mengambil tas dan mengeluarkan payung dari laci meja. Frieda melihat payung putih dengan ulir berwarna emas itu, mengamatinya sejenak, termangu karena benda itu.
“Ada apa Frieda?” tanya Rafael pada Frieda yang sepertinya tertarik dengan payung yang di bawanya.
Frieda tersenyum. “Ah, tidak ada apa-apa. Sebaiknya aku segera kembali, nenek pasti senang karena aku pulang cepat hari ini.”
“Hati-hati di jalan ya,” seru Rafael.
Frieda mengambil tasnya yang ia letakkan di meja guru sewaktu piket tadi, melambaikan pelan tangannya pada Rafael, lalu pergi terburu-buru meninggalkannya sendirian di ruang kelas. Tidak lama kemudian Rafael juga meninggalkan ruang kelas itu, dan menunggu di gerbang depan sesuai dengan saran dari Claudia, anak perempuan misterius yang ia temui di hutan semalam.
***
Rafael memperhatikan jam tangan miliknya, saat ini waktu menunjukkan pukul tiga lewat tiga puluh menit. Sudah hampir satu jam Rafael menunggu di gerbang sekolah ditemani oleh langit mendung yang bersiap menghujani bumi.
Ketika Rafael khawatir hujan akan turun sebelum Riana datang, wajahnya kembali cerah begitu melihat sosok seorang murid perempuan dari kejauhan. Gadis berambut panjang itu melambaikan tangannya ke arah Rafael setelah melihatnya dari kejauhan. Ia mempercepat langkahnya ke gerbang sekolah, mengubah irama jalannya yang semula teramat anggun.
“Hai, Rafael. Tumben jam segini belum pulang,” sapa murid perempuan.
“A-aku baru saja pulang dari perpustakaan sekolah setelah mencari referensi,” Rafael mencari-cari alasan, ia tidak ingin antusiasme terbaca oleh Riana.
“Begitu ya?” Riana melihat sekitarnya. “Apa kamu tidak bersama Frieda?” tanya Riana.
“Ah, tadi dia tampak sakit, jadi dia pulang terlebih dahulu," jawab Rafael.
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan sekarang?”
“A-aku ingin mengajakmu pulang bersama, sudah lama kita tak berjalan bersama, kan?”
“Loh, bukannya rumah kita berbeda arah ya?” Riana tampak bingung dengan tawaran Rafael.
Rafael membatu sesaat, sial, aku lupa itu karena terlalu bersemangat dengan rencana ini, gerutu Rafael dalam benaknya.
“Kalau kamu tidak keberatan, bisa kamu antarkan aku ke halte bus.” Riana tampak menengadahkan tangannya ke atas, merasakan cairan dingin telah hinggap di sana. Ia melirik ke arah payung putih yang digenggam oleh Rafael. Setelah menyadarinya dengan sigap Rafael membuka payungnya, dan menyediakan ruang untuk Riana.
Halte bus yang mereka tuju terletak tiga ratus meter dengan arah berlawanan dari jalur yang biasa di ambil Rafael untuk pulang. Namun, perjalanan tiga ratus meter tersebut menjadi sangat berarti dan bukanlah harga yang mahal untuknya. Rafael memperkirakan waktu untuk mencapi halte itu sekitar lima menit, yang berarti lima menit itulah batas waktunya.
Setelah menempuh seperlima perjalanan hujan menerjang dengan derasnya, jalan raya menjadi sedikit lenggang meninggalkan suara gemircik air yang menghujam tanah. Rafael mencoba untuk memulai pembicaraan, namun tiba-tiba ia merasa gugup.
Satu-satunya yang membuatnya tenang adalah langkah kaki Riana yang lambat, memberikannya waktu tambahan dari estimasi yang telah diperkirakan sebelumnya. Rafael mencoba memulai pembicaraan, tetapi perasaan gugup yang menghantuinya sejak memulai perjalanan tadi seakan mengunci mulutnya, memaksanya untuk diam.
“Ri-riana, ada yang … ingin kutanyakan padamu?”
“Ya?” Riana menoleh ke wajah Rafael, memberikan serangan yang cukup kuat untuk membuatnya keringat dingin.
“Aku … aku su-sudah lama ….”
“Hmm?” Riana menunggu pertanyaan dari Rafael.
“Su-sudah lama … aku ingin bertanya mengapa halte bus sekolah kita letaknya cukup jauh!” Rafael kehilangan keberanian dan mengalihkan pembicaraan
*Pfff*
Riana tertawa kecil mendengar pertanyaan Rafael. “Ya ampun Rafael aku kira kau ingin bertanya apa.” Riana tersenyum, ia meletakan tangan kanannya yang mengepal di dada dan menarik nafas singkat.
“Jadi, sebenarnya bukan hanya sekolah kita saja yang memiliki halte bus yang cukup jauh, sekolah lainnya mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi juga seperti itu. Perkantoran dan pusat berbelanjaan juga sama. Namun, bangunan vital kota ini seperti rumah sakit dan apotek memiliki halte bus yang sangat dekat dengan bangunannnya. Khusus untuk pelabuhan mereka memiliki bus khusus yang mengantarkan penumpang kesana.“ Riana berhenti sejenak untuk mengambil nafas, entah mengapa ia menjadi sedikit kesulitan bernafas sejak Rafael mengajaknya jalan bersama.
”Alasan jauhnya halte bus itu sendiri ditujukan agar siswa, mahasiswa, dan pegawai perkantoran yang menggunakan bus berjalan kaki bolak balik tiga ratus meter setiap harinya untuk menjaga kebugaran mereka. Peguruan tinggi dan beberapa gedung kantor bahkan menempatkan lapangan parkir yang cukup jauh dari bangunan utama agar mereka yang menggunakan kendaraan pribadi juga berjalan kaki,” Riana menjelaskan dengan rinci jawaban dari pertanyaan Rafael itu.
“Jadi begitu ya ternyata,” Rafael tertawa kecil sambil menggaruk belakang kepalanya.
Mereka hampir sampai ke halte bus yang dituju, bangunan kecil dengan cat dominan merah serta kursi panjangnya itu telah menanti di depan mereka. Meskipun demikian sejak percakapan soal halte bus tadi, mereka berdua tidak bicara apapun lagi.
Payah aku benar-benar payah.Ayolah Rafael, kemana semua kepercayaan dirimu itu.
Rafael bergelut dalam batinnya, sampai ia teringat soal perkataan Claudia bahwa kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Dia kembali mengumpulkan keberaniannya dan terus berpikir dalam benaknya, tanpa disadari mereka telah sampai di halte yang dituju.
Riana tersenyum. “Terima kasih Rafael, sudah mengantarkanku sampai di sini.”
“Ah, tidak masalah aku senang bisa melakukannya,” ujar Rafael memaksakan dirinya tersenyum membalas Riana ditengah kekacauan pikirannya.
Riana berbalik hendak menaiki tangga pendek di halte itu. Namun, belum genap anak tangga itu dipijak, Rafael dengan segera menangkap tangan kiri Riana.
Tangan kirinya menggenggam erat payung mengumpulkan keberaniannya, di kala tangan kanannya menggenggam erat tangan Riana. “Riana ... aku ... aku suka padamu!” kata Rafael setengah berteriak. Rafael menundukkan kepalanya tak kuasa memandang punggung Riana. Seketika itu juga Riana membalikkan tubuhnya, dengan cepat ia mendekap tubuh Rafael, memeluknya erat.
“Dasar Rafael, lama sekali bilangnya!” Riana berteriak di pundak Rafael mengalahkan Suara hujan di jalanan yang lenggang. Rafael merasakan basah pada pundaknya, padahal ia yakin bahwa payung itu bahkan cukup untuk melindungi mereka berdua.
“Ri-riana jangan menangis dong, aku hanya ingin tahu bagaimana jawabanmu.” Rafael mencemaskan Riana yang tiba-tiba saja menangis sejak di pelukannya tadi.
“Tentu saja sudah jelas! Aku juga menyukaimu, bahkan sejak lama.” Riana melepaskan pelukannya, dan mengusap matanya yang berair. Rafael mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan menyerahkannya pada Riana.
“Riana, aku tahu kamu akan melanjutkan pendidikanmu ke luar negeri. Jadi,—“
“Sudah kubatalkan kok.”
“Hah?”
“Ya, aku telah menyelesaikan masalah di keluargaku. Jadi aku tidak perlu pergi jauh meninggalkan kota ini.”
“Syukurlah, kalau begitu.” Rafael merasa lega mendengarkan kabar baik itu.
Tak lama kemudian bus berwarna merah datang, berjalan pelan merapat pada halte bus. Terlihat beberapa orang keluar dari bus itu yang di arahkan oleh seorang kondektur dengan suara lantang.
“Sepertinya aku harus pulang sekarang. Sampai jumpa Rafael.”
“Ya, sampai bertemu lagi besok.”
Riana melambaikan tangannya pelan di muka pintu bus kepada Rafael, lalu masuk ke dalam bus. Tak lama kemudian bus itu melaju perlahan meninggalkan halte. Rafael menutup payungnya, lalu duduk di kursi panjang halte. Berusaha menenangkan dirinya, ritme nafas dan denyut janungnya begitu cepat. Meskipun terlihat lelah, ia merasa senang dan rencana yang di jalankannya hari ini berjalan lancar.
“Sepertinya kakak sangat senang ya?” suara yang tak asing menggelitik telinga Rafael, ia menoleh ke samping di ujung kursi panjang halte itu. Terlihat seorang anak perempuan dengan pakain serba putih.Ia mengenakan pita hitam di dadanya dan tas punggung berwarna merah muda menempel di punggungnya.
“Se-sejak kapan kamu di sana Claudia,” ucap Rafael.
“Aku turun bersama beberapa penumpang dari bus tadi. Sepertinya mata kakak telah disilaukan oleh kemilau kebahagiaan ya,” kata Claudia.
“Ya, habisnya aku senang sekali.Kamu tahu, saking senangnya sampai-sampai kakiku sulit digerakkan.Jadi, aku beristirahat dulu sebentar di sini.” Rafael memegangi kakinya yang lemas dan memijat ringan kakinya itu.
“Kalau begitu aku turut senang.“ Claudia merogoh tas punggunggnya, lalu duduk mendekati Rafael. Kemudian ia menyerahkan botol minum dari tas-nya kepada Rafael.
“Terima kasih banyak, kebetulan aku haus sekali.” Rafael meraih botol itu, lalu membuka tutupnya. Kemudian tercium aroma teh seperti yang ia minum pada waktu pertama kali bertemu dengan Claudia.
“Teh buatanmu enak seperti biasanya,” balasnya setelah menyesap teh dari mulut botol itu.
“Padahal kakak baru dua kali meminumnya,” ujar Claudia.
Mereka berdua duduk di halte itu, saling diam meninggalkan kesunyian di tengah-tengah hujan gerimis, sisa dari hujan lebat tadi untuk waktu yang cukup lama. Rafael masih sibuk menikmati tehnya, sementara itu Claudia mengeluarkan jam saku perak miliknya, memperhatikan pergerakan jarum jam dan menyelami setiap suara detaknya.
“Menurut Kakak, apa yang paling kakak takuti dari orang yang kakak sayanginya?” Claudia memulai percakapan sambil tetap melihat jam saku peraknya.
“Untuk apa kamu bertanya begitu?” Rafael balik bertanya.
“Sudahlah, jawab saja,” desak Claudia.
“Hanya satu, ketika kami tak bisa bertemu lagi,” jawab Rafael singkat.
Kemudian samar-samar mereka mendengar suara dentuman, Rafael sempat berpikir ada petir yang menyambar pohon besar.
Tak lama kemudian terdengar banyak bunyi sirine yang memekakkan telinga. Entah mengapa perasaan Rafael menjadi tidak enak.
“Sudah tiba, kah?” gumam Claudia pelan.
Riana melambaikan tangannya pelan kepada Rafael, hingga sesaat kemudian ia menyadari keberadaan anak kecil yang duduk di ujung kursi panjang itu, Eh, anak perempuan itu? batin Riana. Kondektur bus memintanya untuk mengambil kursi di depan karena bagian belakang yang sudah penuh. Riana berjalan menuju bagian depan bus, mendapati seorang anak perempuan berusia delapan tahunan duduk sendirian di bangku tepat di belakang sopir. Pada sisi yang lainnya dari bangku yang ditempati oleh anak, duduk pula seorang wanita dengan banyak bawaannya. “Kak, duduk di sini saja,” kata anak perempuan itu menawari bangku kosong di sebelahnya “Terima kasih, “ Riana membalas sopan anak itu. Sesaat kemudian suara desing dari mesin bus terdengar, tanda bus akan segera berangkat meninggalkan halte itu. Riana memperhatikan anak itu, bernyanyi kecil sambil memegang erat buket bunga di tangannya. “Bunga untuk siapa itu, Dik? ” tanya Riana. “Oh,
Lima hari lalu sebelum kecelakaan, di rumah kayu, di tengah Hutan Golden Forrest. Claudia sedang duduk santai di ruang depan sedang membaca sepucuk surat.Tak lama kemudian seorang pria tinggi dengan pakaian serba hitam menerobos masuk melalui pintu yang tidak dikunci.Ia membuka tudung yang menutup wajahnya, sehingga wajahnya yang rupawan itu dapat kelihatan. Matanya berwarna keemasan dan rambut serta bulu matanya berwarna putih bersih seperti salju. Dia adalah seorang malaikat yang bertugas di bumi, tepatnya bisa dikatakan saat ini sedang bertugas di sekitaran kota itu.Ia mengambil rupa sebagai manusia dua puluh tahunan yang menuntun jiwa-jiwa manusia yang mati, untuk menyebrang ke perhentian selanjutnya melewati dunia perbatasan. Meskipun, kadang pekerjaannya tidak selalu mulus, mengingat beberapa jiwa yang kadang tak menurut atau menemukan sendiri jalan kembali ke dunia nyata dari perbatasan. Kebanyakan dari mereka adalah
Ratusan tahun lalu sekumpulan orang dari belahan bumi yang jauh mengarungi lautan dengan kapal-kapal mereka.Dengan tujuan untuk mencari tempat hidup yang lebih baik dan mudah Sampai suatu hari sampailah mereka di sebuah pulau yang kelihatan terisolasi. Pulau tersebut tampak sunyi dan tidak berpenghuni.Geografis pulau itu berada pada wilayah tropis, sehingga mereka tidak perlu mengkhawatirkan kehidupan sulit di musim dingin. Pulau tersebut berukuran cukup besar dengan dikelilingi oleh perbukitan pada sisi timur dan baratnya, kemudian pada bagian utara diisi oleh hutan yang cukup luas.Bagian selatan berupa pantai dengan pasir putihnya dan bagian tengah berupa ladang rumput yang hijau. Mereka sangat yakin pulau tersebut menjanjikan,dan bersiap untuk mendirikan peradaban di sana.Karena kekurangan bahan mereka terpaksa merombak kapal-kapal mereka untuk mendapatkan material tambahan.Dengan demikian mereka tidak bisa kembali lagi. Itulah sepenggal ceri
Sepuluh tahun lalu di halaman belakang kediaman Ellon, distrik utara kota Golden Valley. Seorang anak perempuan sibuk menghias sebuah kursi taman, dengan tangan kecilnya ia memasang bunga-bunga mawar pada sela-sela kursi itu yang baru saja ia petik.Ia juga mengaitkan beberapa sulur di kursi itu untuk menambah kesan alamiahnya. “Nona Riana, jika nona memetik mawar sebanyak ini bisa-bisa nyonya dan tuan marah ketika melihatnya.” keluh seorang wanita paruh baya yang menemani Riana.Ia ditugaskan oleh Freddy Ellon, kepala keluarga Ellon saat itu untuk menemani Riana bermain di taman belakang. Riana tak merespon ocehan yang diterimanya, sementara wanita yang menemaninya itu hanya pasrah duduk di kursi lain saat ocehannya tidak digubris. “Tidak usah khawatir, nona Riana sudah di izinkan mengambil bunga-bunga itu,” bisik seorang pria yang baru saja datang, menghampiri wanita itu. Pria tersebut tersebut membawa lebih banyak lagi bunga mawar
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, Riana duduk di taman halaman belakang bersama bibi Lin yang menemaninya. “Kak Frans itu, setelah kemarin ia dapat membuat perasaanku membaik, kini ia kembali seperti biasanya.Mengurung diri di kamarnya dan hanya menampakkan dirinya ketika makanan siap,” ujar Riana ketus. “Ya, begitulah tuan muda Frans.Dia berambisi untuk menjadi penerus yang layak dari keluarga ini sehingga ia belajar setiap hari.“ “Untuk apa ia belajar terus?” tanya Riana. “Katanya ia ingin mengikuti seleksi sekolah menengah atas dan perguruan tinggi di luar negeri.Ia ingin bisa lulus bukan hanya dengan modal nama keluarga, uang, ataupun kekuasaan.Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya layak secara individu dengan kemampuan yang memadai.” Lin menjelaskan dengan sabar pada Riana. “Daripada itu nona mengapa tidak mencoba bermain dengan teman-teman di luar? Akan bibi temani.” “Tidak mau, mereka semua sama saja.Mereka hanya baik di depanku,be
Hampir satu setengah tahun telah berlalu (delapan setengah tahun lalu), banyak hal yang telah terjadi pada Riana dan keluarganya.Setelah pertemuannya dengan Rafael di waktu itu, mereka selalu bermain bersama di taman belakang.Dalam waktu yang masih tergolong singkat itu, mereka telah menjadi teman yang sangat dekat. Namun, hari ini, alih-alih bermain di taman belakang, di lapangan hijau itu dengan pakaian serba hitam Riana berdiri di dekat sebuah nisan besar.Di sana seorang wanita terus menangis memeluk nisan itu, tak kenal lelah sudah hampir tiga jam ia di sana dan Riana menemaninya. Hari itu, adalah hari pemakaman adiknya, Rin Ellon, setelah lama berjuang melawan penyakitnya ia meninggal di usia 6 tahun.Ibunya seakan tak merelakan putri bungsunya itu, setelah sekian lama ia menemani dalam perjuangannya.Riana hanya berdiri di sana menemani ibunya, tak kuasa berkata apapun melihat kesedihan yang begitu besar terpancar dari sorot matanya. “Nona Riana, Ny
Kaget mendengar panggilan ayahnya, Riana berjalan perlahan mendekat. Ia berdiri diam di hadapan ayahnya, terdiam tak tahu harus bicara apa. “Duduklah!” pinta ayahnya pada Riana. “Ba-baik, Ayah.” Riana menurut dan duduk di kursi dihadapan ayahnya.Mereka dipisahkan oleh sebuah meja kecil yang terbuat dari kaca dengan cangkir-cangkir sisa dari tamu tadi. Tuan Freddy menghela nafas, bingung bagaimana cara menjelaskan situasi saat ini pada putrinya. Kemungkinan Riana sudah mendengar sebagian besar percakapannya dengan tuan Finch. “Jadi sebanyak apa yang sudah Riana dengar?” tanya tuan Freddy pada putrinya dengan nada lembut agar Riana tidak merasa terintimidasi. “Maafkan Riana ayah, aku tidak sengaja mendengar percakapan ayah.Tadinya aku hanya ingin memeriksa sumber suara keras yang kudengar saat di kamar tadi.Aku khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada ayah,” kata Riana. “Ya tidak masalah,berarti tadi kamu mendengar soal perjodoha
Hampir tiga tahun di negeri asing tidak terlalu membuat Riana kesepian.Keluarga Finch menyambut hangat kehadirannya begitu pula dengan anak laki-laki yang dijodohkan dengannya.Namun, ia tetap merindukan keluarganya dan Rafael sebab selama ini ia belum pernah pulang ke Kota Golden Valley. Bukannya keluarga Finch tidak mengizinkannya pulang, namun setiap kali liburan tiba selalu ada saja yang menghalanginya.Mulai dari badai yang menganggu pelayaran hingga acara mendadak dari keluarga Finch membuat Riana tidak bisa meninggalkan negeri itu.Oleh karena itu pula entah sudah berapa kali Riana mengirimkan surat permohonan maaf kepada keluarganya dan Rafael. Saat ini Riana duduk di kelas tiga di sekolah menengah pertama di negeri itu, sementara anak laki-laki dari keluarga Finch yang dijodohkan dengannya sedang menempuh semester kedua dari program sarjana yang diikutinya. Victor Finch, itulah nama lengkap dari anak itu.Seorang pewaris tunggal dari keluarga Finch