Kaget mendengar panggilan ayahnya, Riana berjalan perlahan mendekat. Ia berdiri diam di hadapan ayahnya, terdiam tak tahu harus bicara apa.
“Duduklah!” pinta ayahnya pada Riana.
“Ba-baik, Ayah.”
Riana menurut dan duduk di kursi dihadapan ayahnya.Mereka dipisahkan oleh sebuah meja kecil yang terbuat dari kaca dengan cangkir-cangkir sisa dari tamu tadi.
Tuan Freddy menghela nafas, bingung bagaimana cara menjelaskan situasi saat ini pada putrinya. Kemungkinan Riana sudah mendengar sebagian besar percakapannya dengan tuan Finch.
“Jadi sebanyak apa yang sudah Riana dengar?” tanya tuan Freddy pada putrinya dengan nada lembut agar Riana tidak merasa terintimidasi.
“Maafkan Riana ayah, aku tidak sengaja mendengar percakapan ayah.Tadinya aku hanya ingin memeriksa sumber suara keras yang kudengar saat di kamar tadi.Aku khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada ayah,” kata Riana.
“Ya tidak masalah,berarti tadi kamu mendengar soal perjodohan ya?” tanya tuan Freddy.
“Ya, aku mendengar paman tadi menyebutkan itu.Tapi aku tidak mengerti maksudnya,” jawab Riana.
Mendengar jawaban polos putrinya itu, membuat tuan Freddy semakin bingung untuk menjelaskannya.Ia berpikir untuk beberapa saat mencari kata-kata yang tepat dan dapat dicerna oleh putrinya.Ia juga mempertimbangkan untuk diam dan tidak menceritakan masalah tersebut pada Riana, namun khawatir ketidak tahuan Riana dan rasa penasaran yang mungkin timbul akan memberikan dampak yang buruk.
“Jadi, Riana, sebagai bentuk terima kasih untuk uang yang ia pinjamkan kepada ayah, ia ingin kamu menjadi teman putranya, mungkin untuk waktu yang sangat-sangat lama,” jawab tuan Freddy dengan berhati-hati terhadap pilihan katanya.
“Kemudian kamu dan putra dari paman itu menjadi keluarga begitu juga dengan keluarga kita dan keluarganya,” tambah tuan Freddy
“Apakah itu seperti ayah dan ibu? Aku pernah mendengarnya dari Rafael, kalau tidak salah ia menyebutnya sebagai ‘pernikahan’, waktu itu ia menghadiri pernikahan kenalan ibunya. Suasananya begitu ramai, banyak hiasan bunga yang dipasang. Laki-laki dan perempuan yang menikah itu pun kelihatan bahagia, itulah yang diceritakan Rafael padaku,” ucap Riana.
“Ya, kira-kira begitulah,” balas tuan Freddy yang merasa dimudahkan oleh penjelasan Rafael di waktu lampau itu.
“Tapi Rafael juga bercerita, bahwa kita tidak boleh sembarangan menikahi orang.Kita tidak akan mendapatkan apapun jika sembarangan melakukannya.Selain itu, jika aku boleh memilih orang yang ingin kunikahi, mungkin aku akan lebih memilih … Rafael,” tutur Riana pada ayahnya dan dengan malu-malu ia mengakhiri kalimatnya.
Tuan Freddy sama sekali tidak marah, ia hanya tersenyum melihat tingkah manis putrinya itu.Ia beranjak dari kursinya berjalan mendekati Riana.Kemudian ia mengambil posisi berlutut, mengelus pelan kepala Riana.
Tuan Freddy tersenyum. “Jika itu yang kamu inginkan, maka jagalah terus perasaan itu,” kata tuan Freddy.
Kemudian,dengan cepat Riana mendekap ayahnya itu. “Aku menyayangimu, Ayah,” kata Riana dalam dekapan tubuh besar ayahnya.
Tak lama kemudian Riana melepaskan dekapan itu, ia mengambil posisi duduknya yang semula dan menatap ayahnya.
“Aku senang ayah mau mendengarkan keinginanku, sekarang aku akan menuruti keinganan ayah.Katakanlah pada paman itu, jika itu kemauannya aku akan menurutinya,” Riana tersenyum di hadapan tuan Freddy, ayahnya itu.
“Riana, tapi bukan itu yang ayah ingin—“
“Aku tadi sempat mendengar, Ayah akan kehilangan segalanya jika Ayah gagal, oleh sebab itu aku ingin menjadi anak yang berguna, aku ... aku juga ingin menjaga peninggalan keluarga Ellon, juga tanah kelahiran kita,” ucap Riana.
“Riana, apapun pilihanmu sejak awal kita telah kehilangan segalanya sejak orang itu mengkhianati kita.Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah mengulur waktu.Paman tadi hanya memberikan waktu lima tahun, meskipun tanpa adanya bunga tetap mustahil bagi ayah untuk melunasinya,” kata tuan Freddy.
“Tapi ayah, jika aku menerima tawarannya mungkin paman tadi mau memberikan tambahan waktu, aku tadi juga mendengar bahwa ia tak akan menikahkanku sekarang, dan Rafael juga pernah mengatakan bahwa ada batasan minimal usia untuk pernikahan,” balas Riana.
“Memang benar begitu, tapi Ayah baru mengenal orang itu, hal itu juga membuat Ayah sedikit khawatir,” kata tuan Freddy.
“Tenang saja Ayah, orang tadi tidak memiliki niatan buruk, malah mungkin dia adalah orang yang baik sebagai manusia. Selain itu ayah, aku percaya sebelum aku menikahi putra paman itu ... Ayah dan Rafael pasti akan datang menjemputku,” kata Riana sambil tersenyum sumringah, menjelaskan kepercayaannya terhadap Ayahnya dan juga Rafael.
Tuan Freddy kembali ke kursinya, duduk pada posisinya semula.Ia menghela nafas mendengar jawaban bijak putri kecilnya itu. Ia tak menyangka akan jawaban tak terduga dari Riana, sebab ia memperkirakan putrinya itu akan menolak mentah-mentah tawaran itu.
Tuan Freddy memandangi sejenak putrinya itu, ia mengenakan kalung manik-manik dengan cincin berwarna hijau yang menjuntai di lehernya.Dalam keheningan itu ia berpikir dan menimbang lagi keputusan putrinya, di saat itu juga ia memantapkan keputusannya.
“Baiklah jika itu yang kamu mau, Ayah akan segera membicarakannya dengan paman tersebut.,” kata tuan Freddy.
“Baik, Ayah,” jawab Riana singkat.
Riana kemudian berdiri, pamit pada ayahnya, lalu meninggalkan ruangan itu dan kembali ke kamarnya.
Sementara itu tuan Freddy memanggil salah seorang asistennya, tak lama kemudian asistennya itu datang menghampirinya.
“Segera buat janji pertemuan dengan tuan Finch, ada hal penting yang perlu kubicarakan.”
“Baik, Tuan” jawab singkat asisten itu.
Pertemuan tuan Freddy dan tuan Finch serta Riana dilakukan tiga hari setelahnya, dalam pertemuan tersebut mereka sepakat bahwa jatuh tempo pembayaran lunas hutang tuan Freddy adalah sampai Riana berusia genap sembilan belas tahun. Jika tuan Freddy tak sanggup membayar semua hutangnya sampai batas waktu itu, maka Riana akan bertunangan dengan putra tuan Finch dan menikah empat tahun setelahnya, selain itu semua pembayaran yang telah diterima oleh tuan Finch akan dikembalikan seluruhnya pada tuan Freddy.
Kemudian agar Riana lebih mengenal lagi putra keluarga Finch dan putranya, maka selama menempuh pendidikan sekolah menengah Riana harus ikut ke negeri mereka. Awalnya tuan Freddy dan Riana menentang persyaratan ini, namun setelah perundingan panjang, akhirnya mereka menerima putusan tersebut.Kesepakatan itu dibuat ketika Riana hampir menginjak dua belas tahun dan kurang dari satu tahun lagi tersisa, sebelum ia lulus sekolah dasar.Ia terus menyembunyikan hal ini dari Rafael sampai satu minggu sebelum keberangkatannya.
***
Satu minggu sebelum keberangkatan Riana, di taman belakang kediaman Ellon.
Riana berniat memberitahu Rafael semuanya dan berpamitan dengannya.Selama ini ia bersusah payah untuk menyembunyikannya dan tibalah waktunya untuk mengatakan segalanya.
Saat ini mereka duduk berdua di kursi taman itu setelah bermain petak umpet bersama dengan bibi Lin dan paman Sem.
“Rafael ada yang ingin … aku bicarakan denganmu,” kata Riana dengan gelisah
“Kamu akan pergi jauh kan?” Rafael membalas, sontak membuat Riana terkejut
“Da-darimana … ka-kamu tahu?”
“Ah,betul ya? Aku hanya mengira-ngira saja dari kelakuanmu akhir-akhir ini, kamu tampak tidak seperti biasanya.Mengingat kita sudah kelas enam dan akan lanjut ke sekolah menengah, ada kemungkinan kamu akan memilih sekolah yang jauh seperti kakakmu,” kata Rafael.
“Ya, aku akan sekolah di tempat yang jauh, sangat jauh sekali.” Riana memberanikan diri mengatakan, saat itu Rafael hanya berdiri membelakangi Riana.
“Oh, begitu ya,” jawab Rafael singkat, sedangkan Riana seakan tidak puas mendengar jawaban itu.
Hanya begitu saja respon darinya? Setelah semua ini, batin Riana.
“Rafael,” Riana mencoba memanggil rafael, begitu terkejutnya ia mendengar suara gertak gigi yang cukup keras, sesaat kemudian Rafael berbalik dan langsung mendekap tubuh mungil Riana. Riana terkejut dengan tindakan Rafael
“A-apa yang kamu lakuan?” Riana bertanya dengan setengah berteriak, namun tertutup oleh suara tangis Rafael, air matanya telah membanjiri tengkuk Riana. ”Kamu jangan menangis begitu dong, aku jadi tak tahu apa yang kamu pikirkan,” kata Riana.
Sesaat kemudian Rafael melepas dekapannya, dengan tangannya ia mengucek matanya, membersihkan air mata dan cairan kental dari hidungnya.
*Hiks* tangis rafael yang belum berhenti.
“Kamu jangan cengeng begitu, kamu kan laki-laki,” kata Riana.
“Habisnya, kamu adalah temanku yang sangat berharga dan kamu bilang akan pergi jauh sebentar lagi.”
Riana tersenyum. “Sudah-sudah, saat liburan akan aku usahakan untuk kembali dan aku juga akan selalu mengabarimu,” kata Riana mencoba menghibur Rafael.
“Benarkah?” tanya Rafael yang masih mencoba membersihkan air mata di wajahnya.
“Tentu saja, kalau begitu bisa aku tahu alamat surelmu?” tanya Riana.
“Surel? Apa itu?” tanya Rafael bingung, tidak mengerti maksud pertanyaan Riana.
Riana tersenyum tipis. “Ah, sepertinya aku akan kirim surat saja langsung ke rumahmu.”
“Janji ya? Selain itu kamu juga jangan melupakanku ya disana.”
“Tentu saja.”
Riana mengeluarkan kalung yang ia kenakan tersembunyi di balik leher bajunya.Ia menunjukkan cincin plastik berwarna hijau muda yang menggantung di kalung itu.“ Dengan ini aku akan selalu mengingatmu,” tambah Riana tersenyum sumringah kepada Rafael.
“Maafkan aku yang hanya bisa memberikan itu dahulu, tapi nanti setelah ini aku akan mencari hadiah perpisahan yang lebih baik, sekalipun itu golden flower yang legendaris akan aku carikan untukmu,” kata Rafael.
“Ti-tidak perlu ini saja sudah lebih dari cukup, sebab dari benda inilah kita mulai berteman baik, iya kan?” balas Riana.
“Apa tidak masalah, itu cuma cincin plastik loh.”
Riana tersenyum. “Tentu saja, malahan aku selalu memakainya. Kamu mungkin tidak melihatnya tadi karena kusembunyikan di bawah leher bajuku.Ya, sebenarnya aku tidak terlalu suka memakai perhiasan sih, tapi benda ini pasti akan selalu kupakai,” Riana membalikkan badannya, mengarahkan pandangannya ke arah sebaliknya.
“Jadi, aku pasti akan selalu mengingatmu,” kata Riana pelan.
“Kamu mengatakan sesuatu tadi?” Rafael bertanya bingung.
“Ah, tidak ada apa-apa kok,” Riana kembali menghadapakan wajahnya kepada Rafael
“Riana, suatu hari nanti, aku pastikan akan mengganti cincin plastik itu dengan berlian yang sangat indah. Benda seperti itu lebih pantas untuk dikenakan oleh orang sepertimu,” ujar Rafael dengan percaya diri.
“Benarkah? Akan aku nantikan ya,” kata Riana tersenyum, namun jauh dari lubuk hatinya apa yang telah ia terima sekarang bahkan jauh lebih dari cukup.
Seminggu kemudian Riana berangkat ke negeri asing bersama dengan tuan Finch dan orang-orangnya.Tuan Freddy, asistennya serta Rafael dan keluarganya datang mengantarkan, namun tidak dengan ibu Riana.Ketika kapal yang dinaiki Riana mulai berlabuh meninggalkan kota golden valley, Rafael menangis sejadi-jadinya, lebih keras dari sebelumnya.
Mungkin ada yang gak tahu surel = surat elektronik = email.
Hampir tiga tahun di negeri asing tidak terlalu membuat Riana kesepian.Keluarga Finch menyambut hangat kehadirannya begitu pula dengan anak laki-laki yang dijodohkan dengannya.Namun, ia tetap merindukan keluarganya dan Rafael sebab selama ini ia belum pernah pulang ke Kota Golden Valley. Bukannya keluarga Finch tidak mengizinkannya pulang, namun setiap kali liburan tiba selalu ada saja yang menghalanginya.Mulai dari badai yang menganggu pelayaran hingga acara mendadak dari keluarga Finch membuat Riana tidak bisa meninggalkan negeri itu.Oleh karena itu pula entah sudah berapa kali Riana mengirimkan surat permohonan maaf kepada keluarganya dan Rafael. Saat ini Riana duduk di kelas tiga di sekolah menengah pertama di negeri itu, sementara anak laki-laki dari keluarga Finch yang dijodohkan dengannya sedang menempuh semester kedua dari program sarjana yang diikutinya. Victor Finch, itulah nama lengkap dari anak itu.Seorang pewaris tunggal dari keluarga Finch
Kembali ke masa kini di Perpustakaan Kota Distrik Utara. “Jadi begitulah yang terjadi selama beberapa tahun belakangan ini, beberapa bagian mungkin agak sedikit terdengar memalukan ya,” kata Riana tersenyum tipis pada Claudia. Claudia mengangkat tangannya, seperti murid sekolah dasar yang antusias bertanya pada gurunya.“Kak, boleh aku menanyakan beberapa hal?” “Ya, tentu saja.” “Di mana terakhir kali kakak melihat kupu-kupu emas yang tadi kakak ceritakan?” tanya Claudia dengan sedikit bersemangat, mengingat kemungkinan kupu-kupu itu adalah salah satu buruannya. “Kupu-kupu itu? Aku pertama kali melihatnya di taman rumahku dan itu jugalah terakhir kali aku melihatnya,” jawab Riana. Claudia tampak kecewa. “Begitu ya, jadi kak Rafael mengejar kupu-kupu itu dan ia tidak bisa menemukannya.” “Bagaimana menceritakannya ya … Aku tidak ingin membuatmu kecewa, tapi sepertinya kupu-kupu itu adalah fenomena supranatural yang tidak bisa dili
Di Kota Golden Valley untuk membantu memajukan pendidikan, sekitar lima puluh tahun lalu didirikanlah yayasan pendidikan Star Peak langsung di bawah nauangan Pemerintah Kota Golden Valley. Sebagian besar dana pembangunan tersebut berasal dari sumbangan keluarga Ellon. Star peak sendiri terdiri dari lembaga pendidikan mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi. Selain universitas yang hanya didirikan di pusat kota dan distrik utara, lembaga lainnya tersebar di seluruh distrik secara merata. Sekolah Dasar dan Menengah didirikan dalam lokasi yang berbeda.Sekolah dasar didirikan sendirian, jauh dari Sekolah Menengah yang biasanya didirikan berdekatan.Bahkan di distrik utara kedua gedung sekolah itu, SMP dan SMA, didirikan bersebrangan. Universitas yang didirikan di pusat kota juga merupakan pusat penelitian dan pengembangan teknologi di Kota Golden Valley, selain sebagai tempat untuk meraih gelar pasca sarjana dan doktoral. Sementara itu
Sepuluh tahun lalu di Distrik Utara, pada suatu tempat yang dipenuhi dengan kios-kios di pinggir jalan, seorang anak laki-laki berjalan terengah-engah setelah berlarian ke sana kemari. Bajunya yang kotor dan luka pada kakinya tidak menyurutkan semangatnya untuk menggapai keinginannya. Ia sedang mengejar kupu-kupu emas yang bahkan tidak bisa dilihatnya. Ia hanya mengikuti instingnya, berlari ke sana ke mari berharap keajaiban membiarkan ia dapat melihatnya. Ia bersikeras untuk menangkapnya demi keinginannya sendiri dan untuk berteman dengan seseorang. Kupu-kupu emas adalah suatu fenomena yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang, dan anak laki-laki itu benar-benar ingin melihatnya meskipun hanya sekali seumur hidupnya. Karena terlalu lelah anak laki-laki itu berjalan sempoyongan di trotoar. Ia tidak menyadari langkahnya terlalu dekat dengan jalan raya. “Awas ….” teriak seorang anak perempuan yang ditujukan pada anak laki-laki itu. *Ngenggg*
“Jadi, Frieda boleh aku bertanya satu hal?” tanya Tarisa. “Apa itu?” jawab Frieda penasaran. “Bisa kamu tolong hitung jumlah orang dalam ruangan ini?” Kemudian Frieda meihat sekelilingnya, memindai setiap orang yang terlihat oleh matanya. Mulai dari mereka yang duduk tenang di kursinya, mereka yang berkerumun dengan teman lama mereka sampai sekelompok besar murid yang mengelilingi Rafael. “Dua puluh lima, dan sepertinya seluruh siswa sudah hadir di ruangan ini,” jawab Frieda. “Benar sekali.” Tarisa tersenyum tipis mendengar jawaban Frieda. Namun, Frieda sepertinya merasakan sedikit ketidak puasan dari Tarisa. Ia pun mencoba memikirkan alasan mengapa Tarisa bertanya hal seperti itu kepadanya dan menemukan satu kesimpulan. “Tarisa, apa sebelum kemari kamu mendengar sesuatu tentangku dari orang-orang?” “Ya … sedikit sih, setidaknya namamu dan beberapa … hal mungkin.” “Jika kamu mengharapkan aku yang dulu, itu sudah tidak a
Satu tahun telah berlalu, hubungan pertemanan Frieda dan Rafael semakin baik. Seperti yang Rafael janjikan, ia bersedia mendengarkan setiap cerita Frieda dan juga membagi kisah miliknya. Bersama-sama mereka juga menjalani berbagai kisah dalam lika-liku kehidupan sekolah mereka. Berkat dukungan dari Rafael, Frieda juga dapat berteman dengan teman-teman kelas lainnya. Rafael juga membantu membersihkan namanya dari rumor dan tudingan buruk terhadap Frieda. Memang, tidak semua orang mau mendengarkan, setidaknya kehidupan sekolah Frieda menjadi lebih baik ketimbang di sekolah dasar dahulu. Semakin berjalannya waktu Frieda merasa bahwa ia telah jatuh hati pada Rafael, namun ia masih meragukan soal perasaannya itu terlebih lagi ia telah mendengar soal teman masih kecil Rafael yang diceritakan padanya. Frieda juga berteman baik dengan Tarisa. Menurutnya, Tarisa adalah teman bicara terbaik setelah Rafael. Meskipun ia sering usil jika berbicara soal Rafael.Selain itu,
Hari itu Frieda berjalan-jalan di taman kota. Ia melihat seorang anak perempuan, sendirian, duduk di kursi taman yang usang.Ia mendekati anak tersebut, perlahan berjalan ke arahnya. Anak tersebut hanya mengayunkan kakinya, menyanyi kecil sambil memerhatikan sekitar.Ia memerhatikan sosok yang kira-kira berusia enam tahun itu.Ketika ia semakin mendekat anak itu menyadari keberadaan Frieda, ia menatap balik Frieda membuatnya terkejut dan terduduk di tanah. Tubuhnya tidak bisa digerakkan membeku di hadapan sosok itu.Ia tidak bisa melihat wajahnya karena awan hitam yang menutupinya, hal itu jugalah yang membuat perasaan ngeri merasuki dirinya.Anak itu tertawa kecil, mengulurkan tangannya.“Kak Frieda, ayo kita bermain.Hari ini aku akan buatkan istana pasir yang besar untukmu, tempat di mana tidak seorang pun yang akan menghinamu, di mana kamu bisa membuang segala kesedihanmu dan mendapatkan kebahagiaanmu.”Frieda menggelengkan kepalanya, ia
Hari ini adalah hari yang buruk bagi Rafael. Dengan pakaian serba hitamnya dan perasaan berkabung yang meliputi hatinya, dia harus merelakan ayah tercintanya. Kemarin, ketika ia pergi meninggalkan ayahnya di rumah sakit, tak lama kemudian terjadi perburukan pada kondisi ayahnya. Penyakit jantung yang telah lama diidap ayahnya itu, dan membawa derita pada hari-harinya, kini telah membawanya kedalam ketenangan yang sejati. Rafael menangis pilu, ketika peti mati itu di masukan ke liang lahat, dikubur perlahan oleh beberapa orang di sana.Ia menaburkan bunga-bunga sebagai bentuk penghormatannya.Orang-orang di sana berusaha menghiburnya, namun hal seperti ini mungkin terlalu berat untuknya. Ia masih merespon ungkapan-ungkapan bela sungkawa yang diterimanya.Meskipun air mata tak lagi mengalir, perasaan sedih dan kehilangan yang besar tak dapat di sembunyikan. Pemakaman itu dihadiri oleh kerabat dan kenalan ayahnya, juga beberapa teman sekelasnya termasuk Fri
Halo, Terima kasih untuk kalian yang masih setia membaca kisah ini. Berhubung kesibukan author yang tak terelakan di kehidupan nyata, dan lagi cerita seperti ini sepertinya kurang diminati disini, dengan berat hati author menghentikan pengerjaan novel ini. Kisah ini memang belum berakhir dan Masih banyak misteri yang belum terpecahkan, dan mungkin selamanya akan menjadi misteri bahkan bagi author sendiri. Pengerjaan novel ini benar-benar author hentikan, dan sejenak berisitirahat dari kesibukan dunia tulis menulis ini. Ya, meskipun author bisa dibilang awam dalam dunia kepenulisan ini, namun setidaknya author telah belajar banyak hal dan mendapatkan banyak pengalaman. Kedepannya jika memungkinkan, author akan kembali dengan membawa kisah baru lainnya yang jauh lebih baik dari ini. Sekali lagi author mengucapkan terima kasih banyak, terutama buat kalian yang mendukung novel ini melalui vote gem, juga kepada Editor yang senantiasa memberikan ilmunya kepada author
Dari atas tebing yang tak jauh dari istana pasir itu, Claudia dan Jack duduk di atas sebuah batu memperhatikan mereka dari kejauhan. Jack mengalihkan pandangannya dan menunjuk ke arah sebuah menara yang tinggi, berdiri tidak jauh dari sana. Menara itu tingginya sekitar 48 meter, dan merupakan bangunan tertinggi di Distrik Selatan.“Claudia, lihatlah menara itu, seingatku sewaktu kunjungan terakhir kita, menara itu masih dalam tahap pembangunan,”“Ah, menara itu sudah selesai di bangun?” tanya Claudia.“Tentu saja, karena menggunakan biaya yang besar pembangunan menara tersebut bisa dilakukan dengan cepat dan selesai tiga tahun lalu,” ujar Jack.“Maafkan aku, karena fokus pada istana pasirku aku tidak memerhatikan menara itu,” kata Claudia melayangkan pandangannya ke arah menara yang ditunjuk Jack,” kata Claudia.“Menara itu dibangun karena impian seseorang, karena itu pula menara itu dinam
Dari apartemen itu mereka langsung bertolak ke Pantai Golden Valley di Distrik Selatan. Claudia melepas kemampuan iblisnya, merubah matanya menjadi merah menyala.“Aku tidak bisa berlama-lama menggunakan kemampuan ini, jadi semua berpegangan tangan, kita akan langsung berteleportasi ke Pantai Golden Valley,” ujar Claudia.“Tapi Claudia, apa kamu sudah pernah pergi ke sana?” tanya Frieda.Jack tersenyum. “ Tentu saja, aku pernah membawanya satu kali ke sana, melihat sebuah menara tinggi,” ujar Jack.“Ah, menara itu ya,” kata Frieda.“Sudah cukup ngobrolnya, ayo kita bergegas, cepat berpengangan tangan lalu lompat dalam hitungan ketiga,” ujar Claudia.Tarisa tampak bingung. “Eh, apa kita harus melom–““Satu, dua, tiga, lompat!” seru Claudia.Ketika mereka melompat mereka dapat merasakan sensasi perlambatan di udara, dan saat kaki mereka kemb
Melihat ketegangan yang mulai muncul sebelum mereka memulai rencana mereka, Jack mencoba menenangkan mereka.“Tarisa, apa yang terjadi pada Rin tidak ada hubungannya dengan Claudia, kita hanya mengikuti panduan kita, apa yang telah tertulis di sana adalah keputusan mutlak dan bukan disebabkan oleh siapapun,” kata Jack.“Panduan apa? Aku bahkan tidak memilikinya, yang aku tahu penyebab kematian Rin secara tidak langsung disebabkan oleh kutukan itu, dan iblis dihadapan kita ini adalah dalang di balik itu semua,” ujar Tarisa.“Tentu saja kamu tidak punya, karena kamu belum menyelesaikan ujianmu. Dengar Tarisa, menurutku sekarang ini kita sudah terlalu jauh mengusik manusia. Sebenarnya tidak semestinya kita tidak terlibat langsung dalam urusan ini, tapi mengingat kamu yang tidak bisa keluar dari masalah ini sendiri, membuatku turut ikut turun tangan,” ujar Jack.“Aku sudah terlalu lama menunggu dan sekarang ada kesemp
Di waktu sekarang di kamar apartemen Tarisa. “Aku ingin mendirikan sebuah istana pasir yang sangat megah, yang tingginya kira-kira sepuluh meter,” ucap Rin. Seketika itu juga, seisi ruangan menjadi hening. Claudia mengusap dahinya perlahan, Tarisa hanya tersenyum melihat ekspresi mereka. Sedangkan Jack, sepertinya menyadari bahwa permintaan Rin bukan hanya sekadar membangun istana pasir, namun lebih berat yang bahkan membuat Tarisa tidak dapat menyelesaikannya selama hampir sembilan tahun. “Mungkin kalian mengira ini adalah permintaan yang mudah, namun hal tersulitnya adalah membuat keluarganya dapat melihatnya dalam wujud roh tidak bisa kulakukan sampai sekarang,” kata Tarisa. “Soal itu, aku yakin Claudia bisa melakukannya,” ucap Frieda. “Terima kasih Frieda,” balas Tarisa. “Jika ingin membuat keluarganya bisa melihat Rin, kenapa kamu tidak mencoba mengalirkan energe supernaturalmua kepada Rin?” kata Claudia. Tarisa menghela n
Hampir dua tahun bermain sendirian di bak pasir taman itu, tidak membuat Rin menyerah, ia terus menunggu kedatangan Frieda dan datang ke tempat itu setiap hari. Sementara itu, Tarisa masih melanjutkan penyelidikannya meski tidak ada kemajuan yang berarti. Hari-hari mereka berlangsung damai, kekhawatiran Tarisa akan malaikat lain yang mengejar mereka sepertinya hampir hilang dan dengan demikian ia telah menurunkan kewaspadaannya. Meskipun demikian ia yakin, mereka hanya membiarkan dirinya untuk sementara waktu, dan sebuah hukuman besar telah disiapkan untuknya. Karena itu, sebelum hukumannya tiba, ia bertekad untuk dapat segera mewujudkan keinginan Rin. Suatu hari ketika mencoba berkeliling kota sendirian, Tarisa melihat anak-anak perempuan dengan seragam sekolah pulang bersama dengan teman-temannya. Ia melihat mereka tampak bahagia, bersenda gurau dan sibuk membicarakan soal kegiatan liburan mereka. Melihat itu, terbesit rasa penasaran dalam diri Tarisa, ingin mencob
Sudah hampir dua minggu Tarisa tinggal di kamar apartemen itu bersama roh Rin. Di sana ia menemukan beberapa keanehan seperti laci yang berisi banyak uang. Di laci itu juga terdapat pesan untuk tanpa segan menggunakan uang tersebut. Tarisa menanyakan keanehan itu kepada pria paruh baya pemilik apartemen yang dahulu menawarkan kamar itu kepadanya, tetapi ia tidak tahu apa-apa dan menyarankan padanya untuk menggunakan uang itu sesuai dengan pesan yang tertulis di sana.Pada awalnya, Tarisa tidak ingin menggunakan uang itu, namun lama kelamaan uang yang ia miliki semakin menipis, karena dengan wujud manusia maka ia juga akan memiliki kebutuhan seperti manusia, dan ia membutuhkan uang untuk memenuhinya.Oleh karena itu, ia berniat untuk mencari pekerjaan. Namun, karena ia tidak memiliki banyak dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintahan Kota Golden Valley, membuatnya tidak bisa mendapatkan pekerjaan bahkan paruh waktu sekalipun. Akhirnya ia menyerah dan mengguna
Pada awal pelarian mereka, mereka sama sekali tidak memiliki tempat tinggal. Jadi, mereka akan beristirahat di halte bus, pinggiran toko, atau taman kota. Seperti yang ia janjikan, Tarisa mengabulkan permintaan Rin untuk tetap bermain bersama Frieda. Setiap hari Frieda akan datang ke bak pasir yang sama di taman, dan mereka bermain di tempat itu.Sementara itu, Tarisa mengawasi mereka dari kejauahan, melihat gerak-gerik Jack atau malaikat lainnya yang mungkin mengejarnya dan Rin. Saat matahari terbenam, ia akan menjemput Rin.Pada waktu itu, Tarisa sengaja membuat dirinya terlihat. Ia dan Rin berjalan-jalan di sekitar komplek apartemen dan penyewaan rumah. Ia rasa punya tempat tinggal untuk bersembunyi akan jauh lebih baik daripada hidup tidak jelas di luar.Ia masih memiliki sisa uang pemberian Jack, tidak terlalu banyak, namun ia rasa itu cukup untuk menyewa sebuah kamar apartemen di sana.Kemudian tibalah ia di sebuah apartemen berlantai dua yang tampa
Setelah perjalanan cukup panjang dengan bus, mereka akhirnya tiba di taman kota yang berada di Distrik Utara. Di taman itu tersedia banyak fasilitas bermain untuk anak-anak dan warga kota lainnya untuk bersantai. Mereka memasuki taman itu dan duduk di kursi taman dekat salah satu bak pasir yang lebih sepi dikunjungi. “Kak Tarisa, Rin ingin bermain pasir lagi,” katanya sambil menunjuk bak pasir yang tidak jauh dari sana. “Boleh saja, tapi sepertinya dari yang aku perhatikan tadi, anak-anak bermain pasir dengan ember dan beberapa alat untuk mencetak. Peralatan itu disewakan di sana, jika tidak keberatan aku akan pergi ke sana dan menyewa satu untukmu,” kata Tarisa. “Ya, Kak, Rin mau,” ujar Rin. Tarisa bergegas ke tempat yang disinggungya tadi, meninggalkan Rin duduk sendirian di kursi taman itu. Sambil menunggu ia mengayunkan kakinya perlahan sambil menyanyi kecil. Sampai suatu ketika seorang anak perempuan datang mendekatinya. “Ka-kamu …