Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, Riana duduk di taman halaman belakang bersama bibi Lin yang menemaninya.
“Kak Frans itu, setelah kemarin ia dapat membuat perasaanku membaik, kini ia kembali seperti biasanya.Mengurung diri di kamarnya dan hanya menampakkan dirinya ketika makanan siap,” ujar Riana ketus.
“Ya, begitulah tuan muda Frans.Dia berambisi untuk menjadi penerus yang layak dari keluarga ini sehingga ia belajar setiap hari.“
“Untuk apa ia belajar terus?” tanya Riana.
“Katanya ia ingin mengikuti seleksi sekolah menengah atas dan perguruan tinggi di luar negeri.Ia ingin bisa lulus bukan hanya dengan modal nama keluarga, uang, ataupun kekuasaan.Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya layak secara individu dengan kemampuan yang memadai.” Lin menjelaskan dengan sabar pada Riana. “Daripada itu nona mengapa tidak mencoba bermain dengan teman-teman di luar? Akan bibi temani.”
“Tidak mau, mereka semua sama saja.Mereka hanya baik di depanku,berkata manis untuk mendapatkan simpatiku.Namun di balik itu semua,kebanyakan dari mereka seperti punya niat buruk.”
“Tapi nona, tidak semua dari mereka seperti itu kan? “
Riana tak lagi menanggapi perkataan Lin, perhatiannya telah tertuju pada kupu-kupu yang berterbangan di taman. Ada banyak sekali kupu-kupu di sana hinggap kesana-kemari.
Kupu-kupu dengan berbagai warna tersebut menarik perhatian Riana, terutama kupu-kupu berwarna keemasan yang terbang rendah mendekatinya.Kupu-kupu itu memancarkan sedikit cahaya dan tampak partikel-partikel keemasan seakan jatuh dari tubuh kupu-kupu itu.Ia berdiri mencoba menangkap kupu-kupu itu, namun upayahnya tidak berhasil.
“Bibi Lin, bantu aku menagkap kupu-kupu yang berwarna emas itu,” kata Riana sambil menunjuk
Bibi Lin melihat ke arah yang ditunjuk Riana, namun tak menemukan apa yang dimaksud. “Tapi nona, saya tidak melihat satupun kupu-kupu berwarna emas di sana”
“Masa bibi tidak lihat, jelas-jelas ia sedang terbang di atasku.” teriak Riana sambil melompat-lompat mecoba menangkap kupu-kupu itu.Bibi Lin hanya bingung melihat tingkah aneh dari Riana.
“Paman Sem, tolong bantu aku menangkap kupu-kupu emas itu,” teriak Riana pada Paman Sem yang sedari tadi sibuk membersihkan rumput liar.
Paman Sem mendongak ke atas, melihat langit kosong yang Riana tunjuk.
“Tapi nona, saya tidak melihat adanya kupu-kupu emas di sana,” ujar paman Sem.
“Tapi kupu-kupu itu masih di sini kok, ia belum terbang jauh,“ kata Riana kesal.
Kemudian Bibi Lin berjalan mendekati Riana, ia meletakkan telapak tangannya pada dahi Riana mencoba mengecek suhu tubuh Riana.
“Apa nona sakit? Saat ini matahari memang sedang teriknya, sebaiknya kita istarahat ke dalam,” ajak bibi Lin.
“Bibi, aku baik-baik saja, aku tidak sakit!” kemudian Riana berbalik memasang wajah cemberut dan kesal karena tidak ada yang percaya kepadanya. Kupu-kupu itu terbang semaki tinggi dan seperti akan terbang ke luar taman.
Beberapa saat kemudian, seorang anak laki-laki datang bersama dengan seorang asisten ayah Riana.
“Nona Riana ada yang ingin bertemu dengan Anda,” kata pria tinggi itu membawa anak laki-laki di sampingnya.
Riana berbalik dan seketika itu juga tubuh anak laki-laki itu diam membeku dan tak satupun kata dapat terucap dari mulutnya. Ia terkesima dengan anak perempuan yang berdiri cukup jauh di hadapannya itu.
“Paman, bisa bantu aku menangkap kupu-kupu emas itu? Bibi Lin dan paman Sem sama sekali tidak bisa diandalkan.” pinta Riana pada asisten ayahnya itu.
Pria tinggi itu kemudian mendongak, melihat sekeliling taman
“Nona, memang ada banyak kupu-kupu di sini, namun saya tidak melihat satupun kupu-kupu yang berwarna emas.”
“Ah, kalian semua sama saja.Tidak ada yang percaya padaku.”
Sekali lagi riana menunjukkan wajah cemberutnya, kesal dengan perlakuan orang-orang itu terhadapnya.Ia mendongak ke langit dan kini melihat kupu-kupu emas itu sudah terbang menjauh keluar dari taman.
Riana tampak kecewa menghadapkan wajahnya ke tanah. “Lihatlah kupu-kupu itu sudah terbang menjauh dari sini.”
“Tidak perlu khawatir nona Riana, aku akan membantumu menangkapnya,” ucap anak laki-laki yang di bawa oleh asisten ayahnya.
Anak laki-laki itu melihat sekitar, matanya menyipit pada salah satu titik “Dia terbang ke sana, kan? Baiklah aku akan mengejar melalui gerbang itu,” katanya sambil melihat gerbang belakang yang tidak jauh dari sana.Dengan secepat kilat anak laki-laki itu berlari, keluar dari taman itu.
“Hei, tunggu dulu kamu … ya sudahlah,” Riana pasrah melihat anak laki laki itu telah menghilang dari pandangannya keluar dari gerbang.
Hingga sore hari di mana mentari telah hampir tenggelam di telan bumi, anak laki-laki itu tak kunjung kemari.Riana dan Bibi Lin sudah menunggu sejak siang tadi.Riana khawatir jika ia masuk ke rumah, anak laki-laki itu akan kembali dan tidak mendapati Riana di taman.Oleh sebab itu ia terus menunggu, duduk di kursi taman.
“Nona, sebaiknya kita masuk ke dalam, hari sudah mulai gelap”
“Tapi … anak itu?”
“Tidak masalah nona, biar Paman Sem yang menunggu di sini,” kata paman Sem yang sedang menyirami tanaman di dekat sana.
“Tapi ….”
Beberapa saat kemudian sosok anak laki-laki itu tiba di muka gerbang, pakaiannya kotor, di kaki dan lengannya terlihat beberapa luka gores.Ia berjalan medekat pada Riana, dengan terengah-engah ia mencoba untuk berbicara.
“Maafkan aku nona Riana, aku sudah berupaya semampuku untuk mengejarnya namun aku tak sanggup membawa kupu-kupu itu kemari.” Kemudian anak laki-laki itu merogoh saku celananya, ia mengeluarkan sebuah benda berbentuk cincin dengan warna kehijauan yang mengkilat.
“Aku memang tak mendapatkan kupu-kupu tersebut, dan ketika berisitirahat di depan toko mainan aku tak sengaja melihat benda ini di pajang. Aku tak tahu mengapa, tanpa berpikir panjang aku langsung membelinya begitu saja, jadi … jika nona tidak keberatan, aku ingin memberikan benda ini sebagai permohonan maafku.Harganya memang tidak seberapa dan jika nona tidak menginginkannya nona dapat membuangnya,” kata anak laki-laki itu.
Riana mengambil benda itu, ia melihat wajah lelah anak itu, memerhatikan sorot matanya.
“Terima kasih, aku akan menerimanya.Kamu terlihat berbeda dari anak-anak lain yang kukenal, tidak ada niat tersembunyi atau hal buruk yang terbesit dari sorot matamu.Besok datang lagi ya.” Riana tersenyum pada anak laki-laki tersebut, ia tersentak dan hanya diam seribu bahasa.
Riana mengulurkan tangannya pada anak laki-laki itu, “Perkenalkan, namaku Riana, dan kamu bisa memanggilku seperti itu.Tidak perlu formal,kita teman kan?”
anak laki-laki tersebut meraih tangan itu, dengan sedikit terbata-bata ia berusaha membalasnya, “Na-namaku Rafael, senang berteman denganmu, nona Riana.”
Dengan gemetar Rafael segera pergi dari tempat itu. Di muka gerbang ia melambaikan tangannya kepada Riana, lalu pulang sendirian karena Ayahnya telah pulang duluan beberapa jam lalu.
“Hei, kamu … tidak ingin diantar pulang?” teriak Riana, bersamaan dengan hilangnya anak itu.
Bibi Lin memerhatikan Riana, selain dengan Frans baru kali ini Riana terlihat menyukai seseorang. Biasanya ia hanya diam tak menanggapi teman di sekolahnya apalagi orang yang baru dikenalnya.
“Nona Riana terlihat senang sekali ya,” ucap bibi Lin.
“Tentu saja, Bi, akhirnya ada seseorang dengan sorot mata yang sehangat itu.Tidak ada niat buruk, atau tujuan terselubung ia tulus membantuku hari ini,” kata Riana.
“Bagaimana nona bisa yakin dengan hal itu?” tanya bibi Lin.
“Entahlah, Bi, kadang-kadang aku bisa mendengar niat buruk seseorang dari sorot matanya,” kata Riana sambil terus memerhatikan cincin itu. Ia melirik ke arah paman Sem yang sedang menyiram tanaman tidak jauh dari sana. ”Bi, sepertinya paman Sem punya niat buruk terhadapmu,” kata Riana yang kemudian menyingkir agak menjauh dari Bibi Lin.
“A-apa nona? Sem punya niatan buruk? Mengapa nona berjalan menjauh?” Bibi Lin kemudian mengalihkan padangannya pada Sem yang tak jauh dari sana. “Sem, apa yang ak—“ seketika itu juga sejumlah air mendarat di wajahnya, sementara paman Sem hanya terkikik memegang selang air di tangannya. ”Sem, jangan membuang-buang air dengan percuma.Haruskah aku memberimu pelajaran?” Bibi Lin kini terlihat marah bersiap untuk balas dendam kepada Sem.Sementara itu Riana hanya tertawa, melihat kelakuan mereka berdua.
***
Malam harinya di kamarnya, Riana tertarik dengan benda asing di meja belajarnya.Di sana terlihat sebuah kalung yang di ronce dari manik-manik berwarna-warni. Ia meraih benda itu dan memerhatikan dengan seksama. Di sana juga terdapat sebuah kertas yang terlipat dua.
Ia membuka kertas itu, dan membaca tulisan di dalamnya.
Selamat Ulang Tahun Riana, maaf bila hadiahya terlambat. Terima kasih juga untuk kartu ucapan yang kamu kirimkan.
Di surat itu, tidak tertulis siapa pengirimnya.Namun, ia sudah dapat mengira-ngira dari siapa benda itu.Selain kalung manik-manik di meja, tidak jauh dari sana juga telah tertumpuk banyak sekali kotak hadiah.
“Pasti Ayah yang memasukkan benda-benda saat aku mandi.Selain dari ayah benda-benda ini juga berasal dari kolega-koleganya, beberapa juga dari teman-temanku di sekolah.Padahal sudah susah payah, aku menolak perayaan ulang tahunku untuk menghindari ini, tapi tetap saja …” Riana menitikkan air matanya, bukan karena bahagia namun karena merasa kesal.
Ia tak suka berada di keramaian karena yang ia bisa dengar hanyalah niat buruk, ambisi, kebencian, dengki dan iri yang di lontarkan terhadapnya.Sekalipun itu semua di kemas dalam wajah manis manusia, tetap saja itu adalah hal yang di benci oleh Riana. Hal itulah yang membuatnya tidak sudi menerima pemberian dari orang-orang itu.
Sebenarnya aku tak terlalu suka dengan kemampuan ini, aku memang pernah mengharapkannya untuk mendengar isi hati ibuku, namun karena sepertinya tak sekalipun ia pernah berniat buruk, aku tak bisa mendengar apa-apa darinya.Itu membuatku senang, namun di saat yang sama aku juga sedih karena ia jarang berbicara padaku batin Riana.
Kemudian ia mengambil cincin yang diberikan padanya sore ini dari laci meja.Ia mencoba mengenakannya, namun ukurannya terlalu besar.
Anak laki-laki tadi berbeda dari orang biasanya.Aku tidak bisa mendengarkan niatan buruk darinya, tapi justru matanya memancarkan kehangatan dan ketulusan. Sebegitu baikkah anak itu?
Ia melihat kembali kalung manik-manik tadi, setelah cukup lama memerhatikannya ia mendapatkan sebuah ide.Riana kemudian mengeluarkan gunting, benang dan peralatan lainnya.Ia merombak kalung tersebut dan menyatukannya dengan cincin yang ia miliki.Kini kalung manik-manik itu terlihat berbeda dengan cincin plastik berwarna hijau mengkilat di tengahnya.Riana merasa sangat puas setelah berhasil menciptakan mahakarya, pemberian dari orang-orang yang berharga.
Hampir satu setengah tahun telah berlalu (delapan setengah tahun lalu), banyak hal yang telah terjadi pada Riana dan keluarganya.Setelah pertemuannya dengan Rafael di waktu itu, mereka selalu bermain bersama di taman belakang.Dalam waktu yang masih tergolong singkat itu, mereka telah menjadi teman yang sangat dekat. Namun, hari ini, alih-alih bermain di taman belakang, di lapangan hijau itu dengan pakaian serba hitam Riana berdiri di dekat sebuah nisan besar.Di sana seorang wanita terus menangis memeluk nisan itu, tak kenal lelah sudah hampir tiga jam ia di sana dan Riana menemaninya. Hari itu, adalah hari pemakaman adiknya, Rin Ellon, setelah lama berjuang melawan penyakitnya ia meninggal di usia 6 tahun.Ibunya seakan tak merelakan putri bungsunya itu, setelah sekian lama ia menemani dalam perjuangannya.Riana hanya berdiri di sana menemani ibunya, tak kuasa berkata apapun melihat kesedihan yang begitu besar terpancar dari sorot matanya. “Nona Riana, Ny
Kaget mendengar panggilan ayahnya, Riana berjalan perlahan mendekat. Ia berdiri diam di hadapan ayahnya, terdiam tak tahu harus bicara apa. “Duduklah!” pinta ayahnya pada Riana. “Ba-baik, Ayah.” Riana menurut dan duduk di kursi dihadapan ayahnya.Mereka dipisahkan oleh sebuah meja kecil yang terbuat dari kaca dengan cangkir-cangkir sisa dari tamu tadi. Tuan Freddy menghela nafas, bingung bagaimana cara menjelaskan situasi saat ini pada putrinya. Kemungkinan Riana sudah mendengar sebagian besar percakapannya dengan tuan Finch. “Jadi sebanyak apa yang sudah Riana dengar?” tanya tuan Freddy pada putrinya dengan nada lembut agar Riana tidak merasa terintimidasi. “Maafkan Riana ayah, aku tidak sengaja mendengar percakapan ayah.Tadinya aku hanya ingin memeriksa sumber suara keras yang kudengar saat di kamar tadi.Aku khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada ayah,” kata Riana. “Ya tidak masalah,berarti tadi kamu mendengar soal perjodoha
Hampir tiga tahun di negeri asing tidak terlalu membuat Riana kesepian.Keluarga Finch menyambut hangat kehadirannya begitu pula dengan anak laki-laki yang dijodohkan dengannya.Namun, ia tetap merindukan keluarganya dan Rafael sebab selama ini ia belum pernah pulang ke Kota Golden Valley. Bukannya keluarga Finch tidak mengizinkannya pulang, namun setiap kali liburan tiba selalu ada saja yang menghalanginya.Mulai dari badai yang menganggu pelayaran hingga acara mendadak dari keluarga Finch membuat Riana tidak bisa meninggalkan negeri itu.Oleh karena itu pula entah sudah berapa kali Riana mengirimkan surat permohonan maaf kepada keluarganya dan Rafael. Saat ini Riana duduk di kelas tiga di sekolah menengah pertama di negeri itu, sementara anak laki-laki dari keluarga Finch yang dijodohkan dengannya sedang menempuh semester kedua dari program sarjana yang diikutinya. Victor Finch, itulah nama lengkap dari anak itu.Seorang pewaris tunggal dari keluarga Finch
Kembali ke masa kini di Perpustakaan Kota Distrik Utara. “Jadi begitulah yang terjadi selama beberapa tahun belakangan ini, beberapa bagian mungkin agak sedikit terdengar memalukan ya,” kata Riana tersenyum tipis pada Claudia. Claudia mengangkat tangannya, seperti murid sekolah dasar yang antusias bertanya pada gurunya.“Kak, boleh aku menanyakan beberapa hal?” “Ya, tentu saja.” “Di mana terakhir kali kakak melihat kupu-kupu emas yang tadi kakak ceritakan?” tanya Claudia dengan sedikit bersemangat, mengingat kemungkinan kupu-kupu itu adalah salah satu buruannya. “Kupu-kupu itu? Aku pertama kali melihatnya di taman rumahku dan itu jugalah terakhir kali aku melihatnya,” jawab Riana. Claudia tampak kecewa. “Begitu ya, jadi kak Rafael mengejar kupu-kupu itu dan ia tidak bisa menemukannya.” “Bagaimana menceritakannya ya … Aku tidak ingin membuatmu kecewa, tapi sepertinya kupu-kupu itu adalah fenomena supranatural yang tidak bisa dili
Di Kota Golden Valley untuk membantu memajukan pendidikan, sekitar lima puluh tahun lalu didirikanlah yayasan pendidikan Star Peak langsung di bawah nauangan Pemerintah Kota Golden Valley. Sebagian besar dana pembangunan tersebut berasal dari sumbangan keluarga Ellon. Star peak sendiri terdiri dari lembaga pendidikan mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi. Selain universitas yang hanya didirikan di pusat kota dan distrik utara, lembaga lainnya tersebar di seluruh distrik secara merata. Sekolah Dasar dan Menengah didirikan dalam lokasi yang berbeda.Sekolah dasar didirikan sendirian, jauh dari Sekolah Menengah yang biasanya didirikan berdekatan.Bahkan di distrik utara kedua gedung sekolah itu, SMP dan SMA, didirikan bersebrangan. Universitas yang didirikan di pusat kota juga merupakan pusat penelitian dan pengembangan teknologi di Kota Golden Valley, selain sebagai tempat untuk meraih gelar pasca sarjana dan doktoral. Sementara itu
Sepuluh tahun lalu di Distrik Utara, pada suatu tempat yang dipenuhi dengan kios-kios di pinggir jalan, seorang anak laki-laki berjalan terengah-engah setelah berlarian ke sana kemari. Bajunya yang kotor dan luka pada kakinya tidak menyurutkan semangatnya untuk menggapai keinginannya. Ia sedang mengejar kupu-kupu emas yang bahkan tidak bisa dilihatnya. Ia hanya mengikuti instingnya, berlari ke sana ke mari berharap keajaiban membiarkan ia dapat melihatnya. Ia bersikeras untuk menangkapnya demi keinginannya sendiri dan untuk berteman dengan seseorang. Kupu-kupu emas adalah suatu fenomena yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang, dan anak laki-laki itu benar-benar ingin melihatnya meskipun hanya sekali seumur hidupnya. Karena terlalu lelah anak laki-laki itu berjalan sempoyongan di trotoar. Ia tidak menyadari langkahnya terlalu dekat dengan jalan raya. “Awas ….” teriak seorang anak perempuan yang ditujukan pada anak laki-laki itu. *Ngenggg*
“Jadi, Frieda boleh aku bertanya satu hal?” tanya Tarisa. “Apa itu?” jawab Frieda penasaran. “Bisa kamu tolong hitung jumlah orang dalam ruangan ini?” Kemudian Frieda meihat sekelilingnya, memindai setiap orang yang terlihat oleh matanya. Mulai dari mereka yang duduk tenang di kursinya, mereka yang berkerumun dengan teman lama mereka sampai sekelompok besar murid yang mengelilingi Rafael. “Dua puluh lima, dan sepertinya seluruh siswa sudah hadir di ruangan ini,” jawab Frieda. “Benar sekali.” Tarisa tersenyum tipis mendengar jawaban Frieda. Namun, Frieda sepertinya merasakan sedikit ketidak puasan dari Tarisa. Ia pun mencoba memikirkan alasan mengapa Tarisa bertanya hal seperti itu kepadanya dan menemukan satu kesimpulan. “Tarisa, apa sebelum kemari kamu mendengar sesuatu tentangku dari orang-orang?” “Ya … sedikit sih, setidaknya namamu dan beberapa … hal mungkin.” “Jika kamu mengharapkan aku yang dulu, itu sudah tidak a
Satu tahun telah berlalu, hubungan pertemanan Frieda dan Rafael semakin baik. Seperti yang Rafael janjikan, ia bersedia mendengarkan setiap cerita Frieda dan juga membagi kisah miliknya. Bersama-sama mereka juga menjalani berbagai kisah dalam lika-liku kehidupan sekolah mereka. Berkat dukungan dari Rafael, Frieda juga dapat berteman dengan teman-teman kelas lainnya. Rafael juga membantu membersihkan namanya dari rumor dan tudingan buruk terhadap Frieda. Memang, tidak semua orang mau mendengarkan, setidaknya kehidupan sekolah Frieda menjadi lebih baik ketimbang di sekolah dasar dahulu. Semakin berjalannya waktu Frieda merasa bahwa ia telah jatuh hati pada Rafael, namun ia masih meragukan soal perasaannya itu terlebih lagi ia telah mendengar soal teman masih kecil Rafael yang diceritakan padanya. Frieda juga berteman baik dengan Tarisa. Menurutnya, Tarisa adalah teman bicara terbaik setelah Rafael. Meskipun ia sering usil jika berbicara soal Rafael.Selain itu,