Di Kota Golden Valley terdapat sebuah keluarga yang memegang pengaruh besar di sana. Mereka adalah keluarga Ellon, yang merupakan pionir dari kemajuan pembangunan di kota tersebut. Mereka memiliki kekayaan yang cukup besar untuk menghidupi kota itu.
Dengan kekayaan tersebut mereka membangun banyak infrastruktur publik yang penting seperti armada bus yang menjangkau seluruh kota, gedung dan kantor pemerintahan serta banyak fasilitas publik lainnya yang mereka dirikan.
Seluruh infrastruktur tersebut diberikan kepada kota golden valley dan seisinya dan dikelola oleh pemerintah kota. Dengan demikian, keluarga Ellon disebut-sebut sebagai dermawan Kota Golden Valley, sedangkan beberapa pihak menyebut mereka sebagai pemerintah di balik layar.
Keluarga Ellon juga mengakusisi kepemilikan hutan golden forrest di utara dengan membayar mahal pada seluruh penduduk sekitar enam puluh tahun lalu. Sebenarnya nama golden forrest sendiri adalah pemberian mereka.
Menurut cerita yang beredar di kota, mengatakan bahwa petani dalam kisah golden flower berasal dari keluarga Ellon dan mereka masih menyembunyikan bunga itu di sana, untuk itulah mereka mengakusisi kepemilikan hutan tersebut. Para pendukung keluarga Ellon tentu saja membantah argumen tersebut, dengan fakta bahwa keluarga Ellon membuka hutan untuk di manfaatkan oleh seluruh warga kota tanpa pengecualian.
Keluarga Ellon sendiri menjalankan bisnis pariwisata yang memanfaatkan bentang alam di kota. Mereka mendirikan penginapan,transportasi dan jasa pariwisata lainnya. Mereka juga mendirikan pertanian dan peternakan di sisi barat kota, daerah hijau dengan tebing dan bukit rendah yang sepi penduduk.
Untuk semakin memajukan kota itu, beberapa tahun belakangan terdengar rumor bahwa keluarga Ellon hendak membangun Bandara, lintasan kereta dan fasilitas olahraga para layang di kota itu, memanfaatkan lahan kosong, bukit, dan tebing tinggi di Timur kota.
***
Ini adalah kisah sepuluh tahun lalu dari seorang anak laki-laki yang polos. Bersama ayahnya mereka menuju kediaman keluarga Ellon untuk mengembalikan uang yang mereka pinjam. Sebenarnya keluarga Ellon tidak berharap pengembalian dari uang tersebut. Namun, pria berusia tiga puluhan itu bersikeras untuk membayarnya. Ia tidak ingin menjadi contoh buruk bagi penduduk golden valley lainnya dengan memanfaatkan kebaikan dari keluarga Ellon.
Ketika sampai di sebuah rumah besar dengan pagar besi berwarna perak yang menjulang tinggi dan tembok-temboknya yang megah, mereka di sambut oleh satpam yang berjaga di pos luar rumah itu. Satpam itu tersenyum ramah sambil membuka gerbang karena ia telah mengenal pria itu.
“Silahkan masuk Pak Rian, dan juga Rafael,” sapa satpam dengan seragam berwarna hitam putih itu.
Pak Rian tersenyum. “Terima kasih pak.”
Lelaki yang di panggil Rian itu adalah seorang perajin keramik. Pak Rian membuat guci, cangkir, poci dan benda-benda keramik lainnya. Kerajinan itu di jual melalui sebuah toko kerajinan di pusat kota. Dengan tangan terampilnya, pak Rian mampu membuat kerajinan dengan nilai tinggi turun-temurun dari keluarganya. Harga jual keramiknya pun juga sangat mahal, namun di masa itu daya beli masyarakat terhadap kerajinannya bisa di katakan rendah.
Pak Rian meminjam uang untuk biaya pengobatan istrinya yang sakit keras waktu itu. Beruntung istrinya dapat diselamatkan dan dinyatakan telah cukup pulih. Setelah memasuki rumah itu, mereka duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Beberapa saat kemudian, sosok pria bertubuh tinggi berjalan mendekati mereka. Pria itu adalah Freddy Ellon, kepala keluarga Ellon saat itu.
“Selamat siang, tuan Freddy. Aku datang kemari untuk mengembalikan uang yang aku pinjam sebelumnya,” kata pak Rian memulai percakapan. “Aku juga membawakan hadiah sebagai wujud terima kasih, terimalah ini, Tuan.” Pak Rian menyerahkan sebuah amplop besar dan sebuah kotak yang berisi set perlengkapan minum teh.
Tuan Freddy membuka kotak itu, mengintip isinya “Wah, ini set yang sangat indah, aku akan menerimanya.Kemudian, bukankah aku sudah bilang bahwa uang itu tidak perlu dikembalikan, yang lebih penting istrimu dapat diselamatkan. Selain itu, kamu tidak perlu formal padaku, kita ini sudah kenal lama, kan.”
“Terima kasih banyak, namun hutang haruslah di bayar. Beberapa waktu lalu, ada seorang gadis kecil yang membeli set perlengkapan minum teh seperti yang saat ini tuan Freddy terima. Aku hanya membuat dua set yang seperti itu sebagai karya eksklusif, yah meskipun aku bukanlah seniman terkenal,” kata pak Rian seraya menggaruk belakang kepalanya, sedikit malu-malu.
“Gadis kecil? “ tuan Freddy mengerutkan keningnya, penasaran dengan orang yang dimaksud oleh pak Rian.
“Ya, aku bertemu dengan gadis kecil itu ketika hendak mengantarkan set itu ke toko. Karena buru-buru aku tak sengaja menyenggolnya dan membuatnya terjatuh. Aku membantunya berdiri dan ketika aku bertanya kemana ia akan pergi, ternyata ia sedang mencari set perlengkapan minum teh. Jadi, aku menawarinya dengan set yang aku bawa.
“Aku menunjukkan set yang aku simpan dalam kotak yang aku bawa dan tak disangka dia sangat menyukainya. Setelah aku menyerahkan set teh itu kepadanya, ia memasukan sesuatu ke saku celanaku. Karena itu, refleks aku mengarahkan pandanganku ke saku celana dan mendapati sebuah berlian berwarna biru di dalamnya. Sebentar saja aku mengalihkan pandangan dari gadis itu ia sudah hilang di tengah keramaian.
“Kemudian aku menjual berlian itu kepada seorang saudagar di dermaga dengan harga yang teramat tinggi, lebih dari cukup untuk melunasi hutangku. Lalu, dengan perasaan senang aku membuat satu lagi set yang sama seperti yang aku jual pada gadis itu, dan benda itulah yang saat ini Tuan Freddy terima,” cerita pak Rian panjang lebar.
“Cerita yang sangat menarik. Sepertinya keberuntunganmu sedang bagus saat itu.” tuan Freddy menanggapi sambil tersenyum kecil.
“Namun sayangnya aku belum mengucapkan terima kasih dengan benar. Selain itu, aku masih menyimpan sisa uang dari penjualan berlian tersebut. Jika bertemu lagi aku akan mengucapkan terima kasih dan mengembalikan sisa uangnya.”
Tuan Freddy tersenyum. “Kau benar-benar seperti Rian yang kukenal. Baiklah aku terima uang ini.“
“Ngomong-ngomong, Tuan Freddy, dimana nyonya?” pertanyaan itu membuat tuan Freddy tersentak, seketika itu juga raut wajahnya menjadi sedih.
“Seperti biasa, dia berada di rumah sakit,“ kata tuan Freddy.
“Oh, maafkan aku. Harusnya Tuan juga berada di sana ya,” ucap pak Rian turut prihatin.
“Tidak masalah, aku akan datang juga lain waktu.Namun, masalah lainnya adalah putriku Riana, ia tidak mau bermain keluar dan hanya menghabiskan waktu di sekitar rumah, terutama di taman belakang,” kata tuan Freddy sambil menunjuk dengan jempolnya ke arah belakang.
“Aku mengerti keadaannya, pasti itu sulit baginya.Jika berkenan mungkin nona Riana bisa bermain dengan putraku, yah walau kedengarannya seperti tidak pantas ya,” kata pak Rian.
“Tidak masalah, selain itu panggil saja putriku Riana dan juga sekali lagi tidak perlu bersikap formal padaku,”
“Baiklah Fr-Freddy.”
“Nah, begitu lebih baik.”
Tuan Freddy kemudian memanggil salah seorang asistennya dan memintanya untuk mengantarkan Rafael ke taman belakang. Sementara itu bersama pak Rian, tuan Freddy membahas soal perluasan pasar penjualan keramiknya bagi wisatawan dan turis yang berkunjung dengan bekerja sama dengannya.
***
Kembali lagi ke masa sekarang di rumah kayu yang sederhana di tengah Hutan Golden Forrest.
“Kemudian aku diantarkan ke taman belakang, di sanalah pertama kalinya aku bertemu dengan Riana. Dia anak perempuan yang sangat manis sekali, lalu ak—“
“Oke, baik-baik sepertinya kakak menghabiskan banyak waktu untuk pengantar cerita, selanjutnya mungkin dipersingkat saja mengingat malam semakin larut.”
“Katanya kamu ingin mendengarkanku?”
“Bukan berarti aku berniat mendengarkan Kakak sepanjang malam. Selain itu, orang tua kakak mungkin sudah cemas di rumah.”
“Baiklah, singkatnya sejak pertama kali bertemu aku merasakan hal berbeda dengan gadis itu. Kami berteman lama sejak kecil dan aku menyadari bahwa aku menyukainya. Kami tidak bertemu semasa SMP karena ia bersekolah di luar negeri, aku dengar-dengar dia dijodohkan dengan orang asing. Namun, sewaktu SMA dia kembali ke kota ini dan kami berada di Sekolah yang sama. Tetapi, ia seakan menjaga jarak denganku, mungkin ia sudah mulai melupakanku.
“Kemudian belum lama ini aku mendengar bahwa ia akan kembali belajar di luar negeri. Firasatku mengatakan bahwa ia akan pergi dalam waktu yang lama, untuk itu agar ia tidak melupakanku lagi aku ingin memberinya golden flower, harta karun dari Kota Golden Valley dengan demikian aku yakin dia akan selalu mengingatku di manapun dia berada,” cerita Rafael panjang lebar.
Claudia mengankat cangkir tehnya, menyesap isinya perlahan lalu meletakkannya kembali di meja, “Semangat yang bagus, Kak, tapi aku berani bertaruh, sekalipun Kakak tidak memberikannya bunga golden flower, ia akan selalu mengingatmu.” Claudia menanggapi.
“Tapi, apakah Kakak pernah berterus terang soal perasaan kakak kepadanya?” Claudia menambahkan kalimatnya sebelumnya.
“Hmm, sepertinya tidak pernah,” jawab Rafael.
“Baiklah, kita sudah temukan hadiah terbaik untuk gadis itu. Kenapa Kakak tidak tembak saja dia langsung,” ujar Claudia sambil menyodorkan payung yang diambilnya dari rak kepada Rafael. Rafael berpikir sejenak mencoba mencerna gestur Claudia.
“Jika boleh memilih, bukankah lebih baik memberikan jam saku perak di sana sebagai hadiah daripada payung ini,” Rafael menunjuk jam saku berwarna perak yang terletak pada laci rak paling atas.
“Sekalipun dengan nyawamu sebagai bayarannya, aku tidak akan menyerahkan jam saku itu. Lagipula, payung ini hanya properti bukan hadiah dan aku juga hanya meminjamkannya,” tegas Claudia.
“Properti? Aku mengerti maksudmu untuk menembaknya, mengungkapkan perasaanku padanya. Tapi menggunakan payung sebagai properti? Aku tidak paham,” Rafael menggelengkan kepalanya, bingung dengan maksud Claudia.
Claudia mengusap keningnya sembari meletakan payung itu di meja, ia menatap tajam pada Rafael di seberang meja.
“Anggap saja payung ini sebagai jimat keberuntungan, selain itu besok akan turun hujan. Tunggulah ia di gerbang sekolah dan ajaklah ia pulang bersama. Selama perjalanan pikirkanlah untuk menembaknya, mau Kakak lakukan atau tidak itu terserah kakak. Ingat kak, kesempatan tidak akan datang dua kali,” ucap Claudia.
“Baik-baik aku mengerti. Tak kusangka aku mendengar hal ini dari seorang anak kecil,” kata Rafael sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Sebenarnya, jika menembaknya semudah yang kau katakan, sudah aku lakukan itu dari dulu.Tapi akan aku coba lakukan besok. Siapa tahu ia membatalkan studinya ke luar negeri karena luluh padaku,” Rafael tersenyum sinis dengan tatapan jahat.
“Percaya diri sekali Kakak,” Claudia tersenyum kecil, sementara Rafael hanya tertawa terkikik.
“Tapi, tahu darima kamu kalau besok akan turun hujan?” tanya Rafael
“Ramalan cuaca.” jawab Claudia singkat
“Oh, betul juga ya,” Rafael mendongakkan kepalanya dan mengelus dagunya. “Baiklah, sepertinya aku akan segera pulang dan membawa pulang payung ini. Aku pastikan akan mengembalikannya," kata Rafael.
Rafael melihat kembali set teh di atas meja, mengelus pelan dagunya. “Hmm ... Aku jadi teringat sesuatu setelah bercerita, set perlengkapan minum teh milikmu persis seperti buatan Ayahku dulu dan aku yakin set itu memang buatan ayahku.Karena itu sudah lama sekali dan jumlahnya hanya dua set, aku jadi sedikit lupa tadi.Apa benar kamu mendapatkannya di kota? “ tanya Rafael kembali soal poci dan cangkir yang ia gunakan tadi.
“E-eh? benda itu di beli oleh … kakak perempuanku, saat ini ia berada di luar negeri dan memberikannya padaku,” Claudia menjawab dengan sedikit tergagap.
“Begitu ya, kamu memang anak yang penuh misteri. Tapi, ya sudah lah. Aku mengucapkan banyak terima kasih untuk bantuan kakakmu dahulu. Entah darimana kakakmu mendapatkan berlian itu, tidak akan kutanyakan lebih lanjut,” Rafael menghentikan sejenak perkataannya.
“Sebenarnya, ayahku sangat ingin sekali bertemu dengan kakakmu dan melunasi hutangnya. Sayangnya dia meninggal empat tahun lalu karena serangan jantung. Tetapi, berkat berlian yang diberikan oleh kakakmu kami berhasil membuat bisnis keluarga kami semakin maju.
“Mewakili ayahku, aku mengucapkan banyak terima kasih. Jika kamu ingin menagih pengembalian dari berlian yang kamu berikan dahulu, kamu dapat berkunjug ke rumah atau toko kami di kota. Kami sudah menebus kembali berlian itu.”
“Ti-tidak perlu, sepertinya kakakku juga tidak menginginkan benda itu lagi,” kata Claudia.
“Murah hati sekali, kalau begitu sampai jumpa, Claudia.” Rafael tersenyum dan melambaikan tangannya, lalu keluar menghilang dari muka pintu.
Kringg … kringg … kringg. Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi, para murid dan guru di SMA Star Peak mulai mempersiapkan diri untuk pulang. Begitu juga dengan murid dari ruangan 1 Kelas 3, tempat Rafael belajar. Saat itu Rafael sedang piket bersama dua orang temannya. “Ya ampun, si Andi itu kabur lagi, tidakkah ia malu untuk kabur setiap kali dia piket? Terlebih lagi ia dapat meninggalkan ruangan ini dengan cepat sebelum kita menyadarinya. Entah belajar darimana anak sialan itu!” kata seorang murid perempuan menggerutu sambil menghapus formula matematika panjang di papan tulis. “Ya, tapi setidaknya ada satu dua hal baik darinya, bukan?” seorang murid perempuan yang sedang merapikan meja guru membalas gerutu murid tadi. “Benar juga, seperti mentraktir kita setiap dia bolos piket. Aku akan menagihnya besok.” “Bukan begitu juga sih maksudku,” balas murid yang satunya. “Frieda, bagaimana perkembangannya? “ tanya murid perempuan itu, usai
Riana melambaikan tangannya pelan kepada Rafael, hingga sesaat kemudian ia menyadari keberadaan anak kecil yang duduk di ujung kursi panjang itu, Eh, anak perempuan itu? batin Riana. Kondektur bus memintanya untuk mengambil kursi di depan karena bagian belakang yang sudah penuh. Riana berjalan menuju bagian depan bus, mendapati seorang anak perempuan berusia delapan tahunan duduk sendirian di bangku tepat di belakang sopir. Pada sisi yang lainnya dari bangku yang ditempati oleh anak, duduk pula seorang wanita dengan banyak bawaannya. “Kak, duduk di sini saja,” kata anak perempuan itu menawari bangku kosong di sebelahnya “Terima kasih, “ Riana membalas sopan anak itu. Sesaat kemudian suara desing dari mesin bus terdengar, tanda bus akan segera berangkat meninggalkan halte itu. Riana memperhatikan anak itu, bernyanyi kecil sambil memegang erat buket bunga di tangannya. “Bunga untuk siapa itu, Dik? ” tanya Riana. “Oh,
Lima hari lalu sebelum kecelakaan, di rumah kayu, di tengah Hutan Golden Forrest. Claudia sedang duduk santai di ruang depan sedang membaca sepucuk surat.Tak lama kemudian seorang pria tinggi dengan pakaian serba hitam menerobos masuk melalui pintu yang tidak dikunci.Ia membuka tudung yang menutup wajahnya, sehingga wajahnya yang rupawan itu dapat kelihatan. Matanya berwarna keemasan dan rambut serta bulu matanya berwarna putih bersih seperti salju. Dia adalah seorang malaikat yang bertugas di bumi, tepatnya bisa dikatakan saat ini sedang bertugas di sekitaran kota itu.Ia mengambil rupa sebagai manusia dua puluh tahunan yang menuntun jiwa-jiwa manusia yang mati, untuk menyebrang ke perhentian selanjutnya melewati dunia perbatasan. Meskipun, kadang pekerjaannya tidak selalu mulus, mengingat beberapa jiwa yang kadang tak menurut atau menemukan sendiri jalan kembali ke dunia nyata dari perbatasan. Kebanyakan dari mereka adalah
Ratusan tahun lalu sekumpulan orang dari belahan bumi yang jauh mengarungi lautan dengan kapal-kapal mereka.Dengan tujuan untuk mencari tempat hidup yang lebih baik dan mudah Sampai suatu hari sampailah mereka di sebuah pulau yang kelihatan terisolasi. Pulau tersebut tampak sunyi dan tidak berpenghuni.Geografis pulau itu berada pada wilayah tropis, sehingga mereka tidak perlu mengkhawatirkan kehidupan sulit di musim dingin. Pulau tersebut berukuran cukup besar dengan dikelilingi oleh perbukitan pada sisi timur dan baratnya, kemudian pada bagian utara diisi oleh hutan yang cukup luas.Bagian selatan berupa pantai dengan pasir putihnya dan bagian tengah berupa ladang rumput yang hijau. Mereka sangat yakin pulau tersebut menjanjikan,dan bersiap untuk mendirikan peradaban di sana.Karena kekurangan bahan mereka terpaksa merombak kapal-kapal mereka untuk mendapatkan material tambahan.Dengan demikian mereka tidak bisa kembali lagi. Itulah sepenggal ceri
Sepuluh tahun lalu di halaman belakang kediaman Ellon, distrik utara kota Golden Valley. Seorang anak perempuan sibuk menghias sebuah kursi taman, dengan tangan kecilnya ia memasang bunga-bunga mawar pada sela-sela kursi itu yang baru saja ia petik.Ia juga mengaitkan beberapa sulur di kursi itu untuk menambah kesan alamiahnya. “Nona Riana, jika nona memetik mawar sebanyak ini bisa-bisa nyonya dan tuan marah ketika melihatnya.” keluh seorang wanita paruh baya yang menemani Riana.Ia ditugaskan oleh Freddy Ellon, kepala keluarga Ellon saat itu untuk menemani Riana bermain di taman belakang. Riana tak merespon ocehan yang diterimanya, sementara wanita yang menemaninya itu hanya pasrah duduk di kursi lain saat ocehannya tidak digubris. “Tidak usah khawatir, nona Riana sudah di izinkan mengambil bunga-bunga itu,” bisik seorang pria yang baru saja datang, menghampiri wanita itu. Pria tersebut tersebut membawa lebih banyak lagi bunga mawar
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, Riana duduk di taman halaman belakang bersama bibi Lin yang menemaninya. “Kak Frans itu, setelah kemarin ia dapat membuat perasaanku membaik, kini ia kembali seperti biasanya.Mengurung diri di kamarnya dan hanya menampakkan dirinya ketika makanan siap,” ujar Riana ketus. “Ya, begitulah tuan muda Frans.Dia berambisi untuk menjadi penerus yang layak dari keluarga ini sehingga ia belajar setiap hari.“ “Untuk apa ia belajar terus?” tanya Riana. “Katanya ia ingin mengikuti seleksi sekolah menengah atas dan perguruan tinggi di luar negeri.Ia ingin bisa lulus bukan hanya dengan modal nama keluarga, uang, ataupun kekuasaan.Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya layak secara individu dengan kemampuan yang memadai.” Lin menjelaskan dengan sabar pada Riana. “Daripada itu nona mengapa tidak mencoba bermain dengan teman-teman di luar? Akan bibi temani.” “Tidak mau, mereka semua sama saja.Mereka hanya baik di depanku,be
Hampir satu setengah tahun telah berlalu (delapan setengah tahun lalu), banyak hal yang telah terjadi pada Riana dan keluarganya.Setelah pertemuannya dengan Rafael di waktu itu, mereka selalu bermain bersama di taman belakang.Dalam waktu yang masih tergolong singkat itu, mereka telah menjadi teman yang sangat dekat. Namun, hari ini, alih-alih bermain di taman belakang, di lapangan hijau itu dengan pakaian serba hitam Riana berdiri di dekat sebuah nisan besar.Di sana seorang wanita terus menangis memeluk nisan itu, tak kenal lelah sudah hampir tiga jam ia di sana dan Riana menemaninya. Hari itu, adalah hari pemakaman adiknya, Rin Ellon, setelah lama berjuang melawan penyakitnya ia meninggal di usia 6 tahun.Ibunya seakan tak merelakan putri bungsunya itu, setelah sekian lama ia menemani dalam perjuangannya.Riana hanya berdiri di sana menemani ibunya, tak kuasa berkata apapun melihat kesedihan yang begitu besar terpancar dari sorot matanya. “Nona Riana, Ny
Kaget mendengar panggilan ayahnya, Riana berjalan perlahan mendekat. Ia berdiri diam di hadapan ayahnya, terdiam tak tahu harus bicara apa. “Duduklah!” pinta ayahnya pada Riana. “Ba-baik, Ayah.” Riana menurut dan duduk di kursi dihadapan ayahnya.Mereka dipisahkan oleh sebuah meja kecil yang terbuat dari kaca dengan cangkir-cangkir sisa dari tamu tadi. Tuan Freddy menghela nafas, bingung bagaimana cara menjelaskan situasi saat ini pada putrinya. Kemungkinan Riana sudah mendengar sebagian besar percakapannya dengan tuan Finch. “Jadi sebanyak apa yang sudah Riana dengar?” tanya tuan Freddy pada putrinya dengan nada lembut agar Riana tidak merasa terintimidasi. “Maafkan Riana ayah, aku tidak sengaja mendengar percakapan ayah.Tadinya aku hanya ingin memeriksa sumber suara keras yang kudengar saat di kamar tadi.Aku khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada ayah,” kata Riana. “Ya tidak masalah,berarti tadi kamu mendengar soal perjodoha