Melanie tahu bahwa gugatan cerai di pengadilan perlu waktu sekurang-kurangnya tiga bulan sampai selesai. Namun, paling tidak, dengan begini Yudha tidak punya alasan untuk menunda-nunda.Mereka harus segera bercerai. Melanie sungguh gelisah membiarkan semua ini semakin berlarut-larut."Oke." Yara setuju setelah memikirkannya sejenak.Dia bertanya lagi dengan curiga, "Kematian Kak Nando beneran nggak ada hubungannya denganmu?"Melanie mengerutkan keningnya, kesal. "Berapa kali aku harus bilang? Polisi Meria sudah menutup kasus ini. Jangan berpikiran yang macam-macam.""Kalau begitu biarkan aku bicara sedikit dengan Amel berdua." Yara ingin memanfaatkan kesempatan terakhir."Oke." Tak disangka, Melanie menyetujuinya dengan tanpa keberatan.Jadi, setelah Yara keluar, dia menarik Amel ke samping. "Amel bersedia tinggal sama Ibu dan Paman Yudha?"Amel mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, Ibu sangat baik. Paman Yudha juga.""Oke kalau begitu." Yara menyerahkan kartu nama yang bertuliskan n
"Ada apa?" Yara langsung khawatir."Pastinya kurang jelas. Aku cuma merasa dia berbohong." Ini pertama kalinya Gio menghadapi situasi seperti ini. Anak itu baru tiga tahun, tetapi Gio dapat mendeteksi rasa tidak berdaya pada anak itu. Seakan anak itu tidak punya pilihan."Bohong? Tentang apa?" Yara jadi merasa bahwa Amel mungkin mengetahui sesuatu.Gio menggelengkan kepalanya dan tertawa pahit. "Aku takut kamu menganggapku konyol. Entahlah, cuma perasaanku saja dia bohong. Nggak ada bukti."Felix ikut berpikir. "Amel umur tiga tahun? Apa mungkin dia bisa bohong?"Ketiganya terdiam. Meski sulit dipercaya, firasat Gio sebagai seorang psikiater ahli seharusnya tidak salah."Apa mungkin Amel melihat sesuatu di hari kejadian?" Yara kembali khawatir.Jika Amel benar-benar melihat pembunuh ayahnya, mengapa dia diam saja? Mungkinkah pembunuhnya berhubungan dengan Melanie?"Dalam situasi ini, semua metodeku nggak akan bekerja di dia." Gio sedikit frustrasi. "Untuk saat ini cuma kecurigaan saja.
"Ada apa?" Siska lebih dulu bertanya.Yara tersenyum pahit. "Aku diminta ke rumah Kakek, makan malam."Siska terdiam. "Dia memata-matai kamu? Dari mana dia tahu kamu sudah sampai?"Yara membuang napas pelan, merasa tidak berdaya. Kenyataannya, dia memang tidak berdaya."Nggak apa-apa, aku akan menemanimu." Felix menenangkan dengan lembut di sampingnya.Jadi, mereka cepat-cepat meletakkan barang bawaan di rumah. Lalu Felix kembali ke rumah keluarga besar bersama Yara.Dalam perjalanan, Felix mengungkit masalah lama. "Bagaimana pendapatmu soal saranku sebelumnya?""Saran apa?" Yara tampak bingung."Pura-pura menikah denganku." Felix sudah beberapa kali mengutarakannya pada Yara saat masih di luar negeri. Namun, Yara selalu menolak dengan tegas setiap kali.Dia berpikir mungkin sekarang Yara akan berubah pikiran.Alhasil, Yara hanya tertawa. "Kak Felix, jangan bercanda seperti itu lagi.""Oke." Felix tidak patah semangat, tetapi hanya mengingatkan Yara, "Kamu boleh berubah pikiran kapan s
"Oke." Yara segera menerima tawaran yang lebih mudah. "Sama Bibi Mirza saja, sudah cukup."Dia takut Agnes akan lanjut lebih jauh lagi kalau dia tidak segera angkat bicara.Selera makannya tidak terlalu baik dan dia hanya makan beberapa suap saja."Aku mau ke atas ketemu Kakek.""Aku temani keluar jalan-jalan dulu." Melanie juga meletakkan sendoknya. "Siang begini, Kakek masih tidur. Tunggu agak sore."Agnes mengangguk. "Iya, kamu berkeliling taman dulu sama Melly.""Oke." Yara kebetulan ingin menanyakan kabar Amel.Yudha dan Melanie membawa Amel saat mereka pulang."Dia baik-baik saja, gampang adaptasi dengan hidup di sini. Baru kemarin masuk TK." Suasana hati Melanie tampaknya sedang cerah."Syukurlah." Yara mengangguk dan bertanya, "Aku boleh ketemu dekat-dekat ini?""Boleh." Melanie menyetujui tanpa berat hati. "Hari Sabtu saja, waktu istirahat. Kamu bisa jemput dia.""Oke." Yara bertanya lagi, "Bagaimana kabar Ayah?"Melanie menggeleng. "Dia koma. Kata dokter, kemungkinan besar ng
"Kakek!" Yara sudah lama melupakan hal-hal ini. "Aku sudah mengajukan gugatan cerai. Yudha dan aku ... jangan ungkit apa-apa lagi."Kakek Susilo mendesah dalam-dalam dan bergumam dalam hati betapa kasihannya anak ini."Kakek jaga kesehatan. Dua bulan lagi, mereka akan lahir." Yara sangat antusias memikirkan tentang kelahiran anak-anaknya. "Kakek harus gendong mereka nanti.""Iya, iya." Kakek itu tersenyum. "Kakek nggak akan ngungkit-ungkit masalah itu lagi mulai sekarang."Dia selalu merasa kasihan pada Yara dan Yudha. Dia juga mengerti bahwa jika dia menyerah, dua anak itu benar-benar tidak ada harapan lagi.Akan tetapi, melihat dia dapat melihat situasinya. Sepertinya memang tidak ada lagi yang meributkannya selain dia. Dia jadi merasa bersalah jika terus-terusan keras kepala."Rara, asalkan kamu bahagia, Kakek juga ikut bahagia." Hanya itu yang akhirnya bisa dia katakan.Yara tersenyum. "Rara juga ingin Kakek selalu damai dan bahagia."Saat dia mendorong pintu, ternyata pintunya aga
Dia mengikuti Agnes ke dalam kamar.Begitu pintu kamar tertutup, wajah Agnes berubah seketika. Tatapannya kepada Yara semakin dingin.Tatapan seperti ini mengingatkan Yara pada saat dia masih bersama Yudha. Agnes selalu menatapnya seperti ini setiap kali dia datang berkunjung.Suasana hatinya saat ini tidak banyak berubah."Duduk." Agnes menyilakan dengan dingin.Yara menggeleng. "Nggak usah. Bibi, langsung katakan saja."Seiring bertambahnya usia kehamilan, duduk malah membuatnya semakin tidak nyaman.Agnes duduk sendirian dan menatap Yara. "Felix menemanimu di luar negeri selama tiga bulan."Yara tidak berkata apa-apa, mengiyakan dalam diam."Semua orang pada dasarnya sudah otomatis yakin kalian pasti akan menikah. Mereka semua juga mengira kamu mengandung anak-anak Felix." Nada bicara Agnes cukup tenang.Yara sedikit terkejut. Dari mana orang-orang di sini tahu tentang dia dan Felix tinggal di luar negeri?Apakah maksud Agnes sekarang adalah dia harus menerima pernikahan dengan Feli
"Ada apa?" Felix menoleh dengan bingung."Itu ..." Yara menatapnya, seolah ragu untuk bicara. "Kata-katamu sebelumnya, masih berlaku?"Felix tidak menjawab dan mengerutkan kening. "Kata-kata apa?"Namun, dia tiba-tiba teringat. "Maksudmu soal ... pura-pura menikah?"Yara mengangguk. "Bolehkah aku memikirkannya sekali lagi?"Tatapannya sangat tenang, menunggu Felix menjawab."Tentu saja." Felix tersenyum. "Aku bisa menunggu sampai kapan pun."Lalu dia berpaling, hendak pergi."Tunggu." Yara berjalan beberapa langkah ke depan. "Tapi, bukannya ini nggak adil bagimu?"Felix berpikir sejenak. "Coba aku balik pertanyaannya. Kalau aku suka kamu dan kamu nggak suka aku, apa ini adil bagiku?"Yara terdiam.Felix mengulurkan tangan dan mengusap kepalanya. "Jadi, bukan kamu yang menentukan ini adil atau nggak. Asalkan ini adil menurutku.""Oke." Keraguan di mata Yara menghilang. "Beri aku sedikit waktu lagi. Aku akan memikirkannya baik-baik. Proses perceraianku masih agak lama."Pikiran Yara tamp
Di lantai dua, pintu kamar ditutup. Wajah Yudha tiba-tiba semakin suram. "Yang dikandung Yara itu anak-anakmu atau bukan?"Felix sedikit terkejut. Dia tidak menyangka Yudha akan membicarakan soal itu lagi.Dia berusaha sebisa mungkin untuk bersikap wajar. "Yudha, kamu ada apa lagi? Bukannya sudah berkali-kali aku bilang, mereka bukan anak-anakmu.""Benar begitu?" Yudha menatapnya tanpa berkedip."Tentu saja." Felix tanpa sadar mengalihkan pandangannya."Kak, mereka memang tetap anak-anak keluarga Lastana, dan Ibu juga nggak keberatan. Tapi, apa menurutmu kamu nggak perlu tanya pendapat yang bersangkutan, sebelum memutuskan untuk membesarkan anak-anak adikmu?"Nada bicara Yudha sangat berat dan tegas.Felix terkejut. Apakah Agnes mengatakan sesuatu?Dia berpikir sejenak sebelum berkata, "Yudha, aku nggak tahu kamu dengar apa, atau punya pikiran salah apa. Tapi ada satu hal yang perlu kamu pahami.""Katakanlah mereka memang anak-anakmu. Tapi, baik itu ibu yang mengandung mereka atau ibu
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid