"Ayahmu sudah mati. Kenapa kamu nggak mau panggil Ayah ke Paman Yudha?" Melanie merayunya. "Amel, asal kamu tahu, Paman Yudha sangat berkuasa dan punya banyak uang. Dia bisa membelikan apa saja yang kamu mau. Tapi kamu harus panggil dia Ayah."Siapa sangka, Amel tetap tidak setuju. "Nggak, Amel punya ayah.""Dasar anak kecil, keras kepala, otak bodoh!" umpat Melanie. Anak ini tidak mirip dirinya. Anak ini mirip Nando, sangat bodoh.Di tempat lain, Yara dan Berlina pergi ke kantor polisi di pagi hari untuk dimintai keterangan. Sayangnya, tidak banyak yang bisa mereka dapat setelah .Yara meminta Melanie untuk menemuinya di sebuah kafe, ditemani Felix dan Gio."Aku nggak ikut dulu." Berlina bersiap-siap kembali ke kantor untuk mengajukan pengunduran diri. Naya masih menunggunya."Oke, selesaikan urusanmu. Hubungi aku kalau perlu sesuatu."Mereka pun berpisah.Sesampainya di kafe, Yara dan lainnya segera melihat Melanie dan Amel."Bibi Rara." Amel senang melihat Yara dan langsung memelukn
Melanie tahu bahwa gugatan cerai di pengadilan perlu waktu sekurang-kurangnya tiga bulan sampai selesai. Namun, paling tidak, dengan begini Yudha tidak punya alasan untuk menunda-nunda.Mereka harus segera bercerai. Melanie sungguh gelisah membiarkan semua ini semakin berlarut-larut."Oke." Yara setuju setelah memikirkannya sejenak.Dia bertanya lagi dengan curiga, "Kematian Kak Nando beneran nggak ada hubungannya denganmu?"Melanie mengerutkan keningnya, kesal. "Berapa kali aku harus bilang? Polisi Meria sudah menutup kasus ini. Jangan berpikiran yang macam-macam.""Kalau begitu biarkan aku bicara sedikit dengan Amel berdua." Yara ingin memanfaatkan kesempatan terakhir."Oke." Tak disangka, Melanie menyetujuinya dengan tanpa keberatan.Jadi, setelah Yara keluar, dia menarik Amel ke samping. "Amel bersedia tinggal sama Ibu dan Paman Yudha?"Amel mengangguk dengan penuh semangat. "Iya, Ibu sangat baik. Paman Yudha juga.""Oke kalau begitu." Yara menyerahkan kartu nama yang bertuliskan n
"Ada apa?" Yara langsung khawatir."Pastinya kurang jelas. Aku cuma merasa dia berbohong." Ini pertama kalinya Gio menghadapi situasi seperti ini. Anak itu baru tiga tahun, tetapi Gio dapat mendeteksi rasa tidak berdaya pada anak itu. Seakan anak itu tidak punya pilihan."Bohong? Tentang apa?" Yara jadi merasa bahwa Amel mungkin mengetahui sesuatu.Gio menggelengkan kepalanya dan tertawa pahit. "Aku takut kamu menganggapku konyol. Entahlah, cuma perasaanku saja dia bohong. Nggak ada bukti."Felix ikut berpikir. "Amel umur tiga tahun? Apa mungkin dia bisa bohong?"Ketiganya terdiam. Meski sulit dipercaya, firasat Gio sebagai seorang psikiater ahli seharusnya tidak salah."Apa mungkin Amel melihat sesuatu di hari kejadian?" Yara kembali khawatir.Jika Amel benar-benar melihat pembunuh ayahnya, mengapa dia diam saja? Mungkinkah pembunuhnya berhubungan dengan Melanie?"Dalam situasi ini, semua metodeku nggak akan bekerja di dia." Gio sedikit frustrasi. "Untuk saat ini cuma kecurigaan saja.
"Ada apa?" Siska lebih dulu bertanya.Yara tersenyum pahit. "Aku diminta ke rumah Kakek, makan malam."Siska terdiam. "Dia memata-matai kamu? Dari mana dia tahu kamu sudah sampai?"Yara membuang napas pelan, merasa tidak berdaya. Kenyataannya, dia memang tidak berdaya."Nggak apa-apa, aku akan menemanimu." Felix menenangkan dengan lembut di sampingnya.Jadi, mereka cepat-cepat meletakkan barang bawaan di rumah. Lalu Felix kembali ke rumah keluarga besar bersama Yara.Dalam perjalanan, Felix mengungkit masalah lama. "Bagaimana pendapatmu soal saranku sebelumnya?""Saran apa?" Yara tampak bingung."Pura-pura menikah denganku." Felix sudah beberapa kali mengutarakannya pada Yara saat masih di luar negeri. Namun, Yara selalu menolak dengan tegas setiap kali.Dia berpikir mungkin sekarang Yara akan berubah pikiran.Alhasil, Yara hanya tertawa. "Kak Felix, jangan bercanda seperti itu lagi.""Oke." Felix tidak patah semangat, tetapi hanya mengingatkan Yara, "Kamu boleh berubah pikiran kapan s
"Oke." Yara segera menerima tawaran yang lebih mudah. "Sama Bibi Mirza saja, sudah cukup."Dia takut Agnes akan lanjut lebih jauh lagi kalau dia tidak segera angkat bicara.Selera makannya tidak terlalu baik dan dia hanya makan beberapa suap saja."Aku mau ke atas ketemu Kakek.""Aku temani keluar jalan-jalan dulu." Melanie juga meletakkan sendoknya. "Siang begini, Kakek masih tidur. Tunggu agak sore."Agnes mengangguk. "Iya, kamu berkeliling taman dulu sama Melly.""Oke." Yara kebetulan ingin menanyakan kabar Amel.Yudha dan Melanie membawa Amel saat mereka pulang."Dia baik-baik saja, gampang adaptasi dengan hidup di sini. Baru kemarin masuk TK." Suasana hati Melanie tampaknya sedang cerah."Syukurlah." Yara mengangguk dan bertanya, "Aku boleh ketemu dekat-dekat ini?""Boleh." Melanie menyetujui tanpa berat hati. "Hari Sabtu saja, waktu istirahat. Kamu bisa jemput dia.""Oke." Yara bertanya lagi, "Bagaimana kabar Ayah?"Melanie menggeleng. "Dia koma. Kata dokter, kemungkinan besar ng
"Kakek!" Yara sudah lama melupakan hal-hal ini. "Aku sudah mengajukan gugatan cerai. Yudha dan aku ... jangan ungkit apa-apa lagi."Kakek Susilo mendesah dalam-dalam dan bergumam dalam hati betapa kasihannya anak ini."Kakek jaga kesehatan. Dua bulan lagi, mereka akan lahir." Yara sangat antusias memikirkan tentang kelahiran anak-anaknya. "Kakek harus gendong mereka nanti.""Iya, iya." Kakek itu tersenyum. "Kakek nggak akan ngungkit-ungkit masalah itu lagi mulai sekarang."Dia selalu merasa kasihan pada Yara dan Yudha. Dia juga mengerti bahwa jika dia menyerah, dua anak itu benar-benar tidak ada harapan lagi.Akan tetapi, melihat dia dapat melihat situasinya. Sepertinya memang tidak ada lagi yang meributkannya selain dia. Dia jadi merasa bersalah jika terus-terusan keras kepala."Rara, asalkan kamu bahagia, Kakek juga ikut bahagia." Hanya itu yang akhirnya bisa dia katakan.Yara tersenyum. "Rara juga ingin Kakek selalu damai dan bahagia."Saat dia mendorong pintu, ternyata pintunya aga
Dia mengikuti Agnes ke dalam kamar.Begitu pintu kamar tertutup, wajah Agnes berubah seketika. Tatapannya kepada Yara semakin dingin.Tatapan seperti ini mengingatkan Yara pada saat dia masih bersama Yudha. Agnes selalu menatapnya seperti ini setiap kali dia datang berkunjung.Suasana hatinya saat ini tidak banyak berubah."Duduk." Agnes menyilakan dengan dingin.Yara menggeleng. "Nggak usah. Bibi, langsung katakan saja."Seiring bertambahnya usia kehamilan, duduk malah membuatnya semakin tidak nyaman.Agnes duduk sendirian dan menatap Yara. "Felix menemanimu di luar negeri selama tiga bulan."Yara tidak berkata apa-apa, mengiyakan dalam diam."Semua orang pada dasarnya sudah otomatis yakin kalian pasti akan menikah. Mereka semua juga mengira kamu mengandung anak-anak Felix." Nada bicara Agnes cukup tenang.Yara sedikit terkejut. Dari mana orang-orang di sini tahu tentang dia dan Felix tinggal di luar negeri?Apakah maksud Agnes sekarang adalah dia harus menerima pernikahan dengan Feli
"Ada apa?" Felix menoleh dengan bingung."Itu ..." Yara menatapnya, seolah ragu untuk bicara. "Kata-katamu sebelumnya, masih berlaku?"Felix tidak menjawab dan mengerutkan kening. "Kata-kata apa?"Namun, dia tiba-tiba teringat. "Maksudmu soal ... pura-pura menikah?"Yara mengangguk. "Bolehkah aku memikirkannya sekali lagi?"Tatapannya sangat tenang, menunggu Felix menjawab."Tentu saja." Felix tersenyum. "Aku bisa menunggu sampai kapan pun."Lalu dia berpaling, hendak pergi."Tunggu." Yara berjalan beberapa langkah ke depan. "Tapi, bukannya ini nggak adil bagimu?"Felix berpikir sejenak. "Coba aku balik pertanyaannya. Kalau aku suka kamu dan kamu nggak suka aku, apa ini adil bagiku?"Yara terdiam.Felix mengulurkan tangan dan mengusap kepalanya. "Jadi, bukan kamu yang menentukan ini adil atau nggak. Asalkan ini adil menurutku.""Oke." Keraguan di mata Yara menghilang. "Beri aku sedikit waktu lagi. Aku akan memikirkannya baik-baik. Proses perceraianku masih agak lama."Pikiran Yara tamp