Dia mengikuti Agnes ke dalam kamar.Begitu pintu kamar tertutup, wajah Agnes berubah seketika. Tatapannya kepada Yara semakin dingin.Tatapan seperti ini mengingatkan Yara pada saat dia masih bersama Yudha. Agnes selalu menatapnya seperti ini setiap kali dia datang berkunjung.Suasana hatinya saat ini tidak banyak berubah."Duduk." Agnes menyilakan dengan dingin.Yara menggeleng. "Nggak usah. Bibi, langsung katakan saja."Seiring bertambahnya usia kehamilan, duduk malah membuatnya semakin tidak nyaman.Agnes duduk sendirian dan menatap Yara. "Felix menemanimu di luar negeri selama tiga bulan."Yara tidak berkata apa-apa, mengiyakan dalam diam."Semua orang pada dasarnya sudah otomatis yakin kalian pasti akan menikah. Mereka semua juga mengira kamu mengandung anak-anak Felix." Nada bicara Agnes cukup tenang.Yara sedikit terkejut. Dari mana orang-orang di sini tahu tentang dia dan Felix tinggal di luar negeri?Apakah maksud Agnes sekarang adalah dia harus menerima pernikahan dengan Feli
"Ada apa?" Felix menoleh dengan bingung."Itu ..." Yara menatapnya, seolah ragu untuk bicara. "Kata-katamu sebelumnya, masih berlaku?"Felix tidak menjawab dan mengerutkan kening. "Kata-kata apa?"Namun, dia tiba-tiba teringat. "Maksudmu soal ... pura-pura menikah?"Yara mengangguk. "Bolehkah aku memikirkannya sekali lagi?"Tatapannya sangat tenang, menunggu Felix menjawab."Tentu saja." Felix tersenyum. "Aku bisa menunggu sampai kapan pun."Lalu dia berpaling, hendak pergi."Tunggu." Yara berjalan beberapa langkah ke depan. "Tapi, bukannya ini nggak adil bagimu?"Felix berpikir sejenak. "Coba aku balik pertanyaannya. Kalau aku suka kamu dan kamu nggak suka aku, apa ini adil bagiku?"Yara terdiam.Felix mengulurkan tangan dan mengusap kepalanya. "Jadi, bukan kamu yang menentukan ini adil atau nggak. Asalkan ini adil menurutku.""Oke." Keraguan di mata Yara menghilang. "Beri aku sedikit waktu lagi. Aku akan memikirkannya baik-baik. Proses perceraianku masih agak lama."Pikiran Yara tamp
Di lantai dua, pintu kamar ditutup. Wajah Yudha tiba-tiba semakin suram. "Yang dikandung Yara itu anak-anakmu atau bukan?"Felix sedikit terkejut. Dia tidak menyangka Yudha akan membicarakan soal itu lagi.Dia berusaha sebisa mungkin untuk bersikap wajar. "Yudha, kamu ada apa lagi? Bukannya sudah berkali-kali aku bilang, mereka bukan anak-anakmu.""Benar begitu?" Yudha menatapnya tanpa berkedip."Tentu saja." Felix tanpa sadar mengalihkan pandangannya."Kak, mereka memang tetap anak-anak keluarga Lastana, dan Ibu juga nggak keberatan. Tapi, apa menurutmu kamu nggak perlu tanya pendapat yang bersangkutan, sebelum memutuskan untuk membesarkan anak-anak adikmu?"Nada bicara Yudha sangat berat dan tegas.Felix terkejut. Apakah Agnes mengatakan sesuatu?Dia berpikir sejenak sebelum berkata, "Yudha, aku nggak tahu kamu dengar apa, atau punya pikiran salah apa. Tapi ada satu hal yang perlu kamu pahami.""Katakanlah mereka memang anak-anakmu. Tapi, baik itu ibu yang mengandung mereka atau ibu
Keesokan harinya, Yara bertemu dengan Amel.Amel kini punya identitas. Namanya Amel Gunawan. Usianya tiga tahun dan sekarang sudah masuk TK.Karena tidak ada jejak identitasnya sedikit pun di Meria, semuanya berada di bawah kendali Melanie. Wanita itu bisa menulis apa pun yang dia inginkan.Saat melihat anak itu lagi, Yara hampir tidak mengenalinya. Si kecil jelas jauh lebih putih dan lebih gemuk. Penampilannya sangat menggemaskan.Yara melihat lebih dekat, Amel sudah sedikit mirip dengan saat Melanie masih kecil.Rasa khawatir hinggap lagi di hatinya. Jika Amel semakin mirip dengan Melanie dalam beberapa tahun lagi, Melanie mungkin akan mengusir Amel."Bibi Rara, Amel kangen banget sama kamu." Mata gadis kecil itu memerah begitu melihatnya."Bibi juga kangen sama kamu. Bagaimana kabar Amel? Sudah terbiasa dengan suasana di sini?" tanya Yara penuh perhatian. "Ibu baik 'kan sama Amel?""Ibu baik banget. Paman Yudha juga baik." Amel tampak sangat patuh seperti biasanya. "Amel baik-baik s
"Oh." Yara tersenyum pahit. Mungkin, semua orang menganggap bahwa Nando pantas mati. Namun, bagaimana dengan Amel?Dia tahu bahwa di mata Amel, Nando akan selalu menjadi ayah yang terbaik."Masalah ini cuma bisa sampai di sini saja." Felix tidak ingin suasana hati Yara terpengaruh. "Rara, prioritas pertamamu sekarang adalah menjaga suasana hatimu dan siap-siap menjadi seorang ibu.""Iya, aku mengerti, Kak, jangan khawatir." Yara segera menutup telepon.Dia berpikir sejenak, lalu mengirim pesan ke Amel yang sekarang sudah menggunakan jam tangan pintar."Amel, kalau sewaktu-waktu kamu mau main dengan Bibi Rara, tinggal bilang saja. Nanti pasti Bibi jemput. Bilang ke Bibi juga kalau kamu nggak nyaman tinggal di keluarga Lastana."Si kecil yang belum bisa mengetik segera mengirimkan suara. Suaranya terdengar menggemaskan. "Bibi Rara jangan khawatir. Amel baik-baik saja."Yara meletakkan ponselnya dan teringat pada Gio yang mengatakan bahwa Amel terlihat aneh.Entah karena tersugesti atau a
Keesokan harinya, Sophia menemui Yudha.Dia sempat tertegun ketika melihat Yara. Paras wanita muda itu sungguh lebih cantik daripada sebagian besar artis di televisi. Kini, setelah melihat Yudha, dia bahkan lebih terkesima lagi.Saat dia duduk di kantor direktur di lantai atas gedung Grup Lastana, barulah dia sadar. Rupanya dia sedang menangani perceraian keluarga kaya."Selamat pagi, Pak Yudha. Saya Sophia Martin." Dia memperkenalkan diri sesuai prosedur. "Pak Yudha pasti sudah tahu 'kan kalau istri Bapak mengajukan gugatan cerai?"Yudha duduk dengan kaki menyilang di sofa, mengangguk."Saya hakim yang menangani kasus kalian." Sophia entah kenapa merasa gugup menerima tatapan pria itu. "Sesuai prosedur, kami harus membantu mediasi terlebih dahulu. Kalau mediasi berhasil, nggak perlu diadakan sidang. Kalau mediasi gagal, nggak ada pilihan lain lagi ...."Dia tersenyum canggung. "Hubungan antara suami istri adalah sesuatu yang sangat berharga. Kalau menurut saya, kalian sebenarnya nggak
Yudha tanpa sadar mengerutkan kening. "Seharusnya begitu. Singkatnya, ini adalah keinginannya.""Oh." Sophia tersenyum canggung. "Menurut saya, menggunakan pernikahan untuk membalas budi bukanlah pilihan yang baik."Yudha mengangkat alisnya, memberi isyarat kepada Sophia untuk melanjutkan."Bagaimanapun juga, pernikahan melibatkan dua orang. Dua orang itu harus mempertahankannya bersama-sama. Kalau Pak Yudha menikahi wanita ini untuk membalas budi, dia nggak akan bisa menerima cinta dan perhatian yang selayaknya diterima oleh seorang istri.""Dia mungkin bisa memuaskan cintanya untuk sementara waktu setelah pernikahan. Tapi, namanya nggak cinta ya tetap nggak cinta. Hidupnya di masa depan hanya akan dipenuhi penyesalan dan kecewa tanpa akhir."Yudha tampak memikirkannya dengan serius dan tidak berbicara."Ngomong-ngomong, soal pengorbanan yang nggak bisa diperbaiki itu ..." Sophia bertanya dengan hati-hati, "Apa menyebabkan cacat fisik?"Yudha mengangguk."Dengan kekayaan dan koneksi P
Melanie bangkit dan pergi ke kamarnya. Suasana hatinya sangat buruk.Kenapa semuanya bisa sampai begini?Setelah semua kerja keras dan perhitungannya, kenapa Yara masih mendapatkan cinta Yudha?Sekarang, dia bahkan tidak bisa merebut Yudha?Dia benar-benar tidak bisa menerimanya. Rasa frustrasi yang luar biasa menjalari seluruh pikirannya."Bu?" Suara Amel terdengar dari ambang pintu."Keluar!" teriak Melanie. Dia sedang tidak ingin berurusan dengan anak ini.Untung saja, anak itu pintar dan selalu bersikap sesuai keinginannya. Jadi, dia hampir tidak pernah keberatan dengan keberadaan Amel."Bu." Sayangnya, Amel hari ini sedang tidak terlalu penurut. Dia malah membuka pintu dan memaksa masuk. "Jangan sedih. Kalau ibu sedih, Amel juga ikut sedih."Melanie memelototinya. "Nggak usah ngoceh nggak berguna. Kamu nggak bisa apa-apa. Keluar sekarang!""Bu, aku bisa membuat Ibu bahagia." Amel melangkah maju.Melanie mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"Amel berjalan menuju tempat tidur dan tiba