Setengah tahun kemudian, aku bertemu Lucia lagi. Dia mencariku, meminta penjelasan dariku.Dengan kaki yang pincang, Lucia menghampiriku dan bertanya, "Kenapa bisa begini? Aku sudah menuruti instruksimu. Kenapa kamu nggak melepaskanku?"Penampilan Lucia yang begitu kacau membuatku merasa cukup puas. Aku mendongak menatapnya, lalu bertanya balik dengan santai, "Lucia, memangnya apa yang kulakukan?"Apa yang bisa kulakukan? Aku cuma memainkan sedikit tipu muslihat setelah tahu dia merayu pria baru. Harus diakui bahwa Lucia termasuk hebat, dia menggunakan kebenaran palsu saat itu untuk menipu seorang pria yang merasa kasihan padanya.Sementara itu, aku adalah wanita yang sangat baik hati. Aku mencari kontak pria itu dan memberi tahu kebenarannya tentang hubungan Lucia dan Nathan.Lucia murka hingga tubuhnya bergetar. "Kamu sudah ingkar janji!"Aku mengangguk. "Terserah kamu mau mikir gimana. Tapi, coba pikirkan baik-baik. Aku cuma janji nggak menyakiti putramu. Aku nggak menjanjikan hal l
Saat mengetahui Nathan selingkuh, aku menghancurkan semua benda di rumah. Pembantu di rumah panik dan berkali-kali meneleponnya, "Tuan, Nyonya mengamuk lagi di rumah."Aku terdiam sejenak, lalu jatuh terduduk di atas karpet. Saat Nathan akhirnya pulang, wajahnya terlihat sangat lelah. "Fira, ada apa lagi denganmu?"Sambil berbicara, dia mengulurkan tangan untuk melonggarkan dasi di lehernya. Saat melihat simpul dasi yang dipegangnya, aku tertegun sejenak. Tadi pagi sebelum dia berangkat, aku mengikatkan simpul Windsor untuknya. Namun sekarang, simpul yang kulihat adalah ....Simpul Pine Cone yang rumit.Itu adalah satu-satunya simpul dasi yang bisa diikat oleh mantan sekretarisnya, Lucia. Saat masih menjadi sekretaris, dia sering bekerja dengan kikuk. Namun, Nathan selalu memperlakukannya dengan penuh kesabaran.Aku pernah menanyakan alasannya dan dia hanya menjawab, "Fira, dia mengingatkanku pada semangat pantang menyerahmu."Saat itu, aku tidak terlalu memikirkannya.Aku hanya mengir
Angin di luar bertiup kencang, dinginnya yang menusuk menembus jendela. Nathan menyalakan sebatang rokok dan asapnya perlahan-lahan menutupi ekspresinya. Dia menatapku seraya berkata, "Dia seperti matahari kecil yang selalu penuh semangat dan ceria. Nggak seperti kamu yang sering kali emosi dan mudah marah.""Kerja saja sudah cukup membuatku pusing. Saat pulang aku masih harus menghadapi sikapmu." Nathan memijat pelipisnya dengan lelah saat berkata, "Fira, aku memang capek."Aku menatapnya dengan hampa dan bergumam pelan, "Lalu, kenapa nggak mengajukan cerai?"Nathan menundukkan kepalanya, lalu menatapku dengan serius. "Fira, aku memang capek, tapi nggak pernah terpikir untuk meninggalkanmu. Aku cuma butuh tempat untuk bernapas sebentar. Supaya aku bisa mengatur emosiku dan kembali mencintaimu."Jadi, Lucia adalah tempatnya untuk "bernapas", pelarian dan kenyamanan yang dicarinya. Ini begitu konyol dan juga menyakitkan. Aku menatapnya tak percaya. "Kamu benar-benar nggak tahu malu."Na
Nathan menyeretku ke tangga darurat dengan emosi menggebu-gebu. "Apa yang kamu omongkan di depan anak itu?"Aku memijat pergelangan tanganku yang memerah akibat cengkeramannya, lalu menatapnya balik dengan tajam. "Bagian mana yang salah dari ucapanku? Bagian 'aku adalah istrimu' atau bagian 'anak itu membuatku kehilangan bayiku'?"Ekspresi marah di wajah Nathan seketika membeku. "Itu … kejadian itu cuma kecelakaan ...."Aku bersandar pada dinding rumah sakit dan menatapnya dalam diam. "Kamu sendiri percaya sama kata-katamu itu?"Setahun yang lalu, aku buru-buru pulang setelah selesai dinas dari luar kota, hanya untuk membagikan kabar kehamilanku kepada Nathan. Namun saat masuk ke rumah, aku menemukan kondisi rumah kacau balau. Di tangga, foto pernikahan kami hancur berantakan.Aku naik untuk memeriksa apa yang terjadi. Namun di tengah tangga, tak kusangka ada sisa sabun mandi yang licin. Langkahku tergelincir dan aku terjatuh dari tangga. Begitulah aku kehilangan anak dalam kandunganku
Aku menatap seberkas cahaya di lantai dengan tatapan kosong. Kesedihan yang tak terbendung perlahan menyebar dalam hatiku. "Kamu nggak mau anak ini, 'kan?"Nathan menyalakan sebatang rokok, lalu menggigitnya di bibir dan mengisap dalam-dalam. "Fira, coba bicara dengan lebih rasional. Bukan berarti aku nggak menginginkannya."Dia menatapku dari balik asap dengan tatapannya yang rumit. "Kumohon, jangan selalu memaksakan kehendakmu padaku."Dalam pernikahan, pihak yang sudah menjauh memang akan selalu bersikap seperti ini. Ketika merasa bersalah, dia selalu berusaha melemparkan tanggung jawab pada orang lain."Tapi kalau kamu benar-benar mau anak ini ...." Aku tersenyum tipis, lalu sengaja mengucapkan dengan perlahan, "Kamu pasti nggak akan nyalain rokok ini di depanku."Kali ini, Nathan terdiam cukup lama. Saat bara merah di ujung rokok menyentuh jarinya, dia tersadar. Tatapannya berhenti di perutku beberapa detik, lalu bertanya dengan suara serak, "Fira, apa kamu menginginkan anak ini?"
Saat aku keluar dari tangga darurat, Lucia sudah berdiri di luar. Melihatku muncul, dia tampak semakin gugup dan gelisah. Matanya memerah karena ketakutan."Bu Fira, tolong jangan sakiti anakku," katanya sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada untuk memohon. "Aku akan pergi membawa anakku, kumohon jangan sakiti dia.""Jangan bicara sembarangan. Kamu mau pergi ke mana?" Nathan melangkah maju untuk melindungi Lucia dalam pelukannya. "Aku ada di sini. Siapa pun yang berani menyakiti kalian, harus hadapi aku dulu."Ucapan itu jelas ditujukan untukku dan aku tak perlu menebak maksudnya. Sebuah perasaan getir menyusup ke dalam hatiku, membuat mataku terasa pedih."Maaf mengganggu kalian berdua. Apa anakmu tahu bahwa ibunya adalah seorang pelakor dan dia adalah anak haram?"Wajah Lucia seketika pucat pasi. Dia menggenggam erat lengan Nathan, menatapnya dengan tatapan penuh kecemasan. "Anakku bukan ... dia bukan ...." Dia menggigit bibirnya, tampak tak berdaya dan rapuh. Penampilanny
Aku duduk di dekat jendela sembari menoleh melihat ke luar. Cahaya lampu yang gemerlap di luar sana justru semakin membuat suasana rumah ini terasa gelap dan suram.Saat memulai bisnis dengan Nathan dulu, hidup kami memang sangat berat. Kami tinggal di ruang bawah tanah yang lembap dan gelap, dengan banyak jamur di dinding. Saat itu, keuangan kami sangat terbatas, bahkan saat tubuhku dipenuhi ruam, aku tak rela pergi ke rumah sakit untuk memeriksanya. Meski hidup susah, bersama orang yang kucintai membuat semuanya terasa cukup.Sekarang, setelah melewati masa-masa sulit, hati seseorang telah berubah.Aku menarik napas dalam-dalam menahan rasa perih di hati. Kucoba menuliskan pesan, menghapusnya, dan menuliskannya lagi, hingga akhirnya hanya ada satu kalimat yang kukirim.[ Nathan, kita cerai saja. ]....Nathan pulang saat senja menjelang. Sebelum dia sempat bicara, aku langsung bertanya, "Sudah melihat pesannya?"Dia refleks meraih ponselnya dan sepertinya menyadari sesuatu. Nada bica
Di saat perusahaan kami go public, Nathan berdiri di atas panggung menyampaikan pidato ucapan terima kasih. Mendekati akhir pidatonya, dia menyebutkan namaku, "Di sini, saya ingin mengucapkan terima kasih khusus kepada istri saya. Karena dukungannya, saya bisa berdiri di sini hari ini."Dia kemudian melanjutkan dengan senyum bahagia yang menghiasi wajahnya, "Selain itu, kami juga punya kabar baik untuk dibagikan kepada semua orang. Istri saya sedang mengandung.""Setelah ini, dia akan mengundurkan diri dari posisi wakil direktur dan beristirahat di rumah," tambahnya disertai tatapan penuh cinta yang tampak tulus. Seketika, tepuk tangan menggema di sekeliling ruangan.Setelah pidato selesai, Nathan mendekatiku bersama Lucia dengan senyum sinis menghiasi wajahnya. "Fira, karena kamu nggak cukup patuh, mulai sekarang Lucia akan menggantikan posisimu."Jelas, dia ingin memanfaatkan perusahaan untuk memaksaku tunduk. Dia tahu betapa besar rasa cintaku pada perusahaan yang juga kubangun deng