Share

Bab 3

Nathan menyeretku ke tangga darurat dengan emosi menggebu-gebu. "Apa yang kamu omongkan di depan anak itu?"

Aku memijat pergelangan tanganku yang memerah akibat cengkeramannya, lalu menatapnya balik dengan tajam. "Bagian mana yang salah dari ucapanku? Bagian 'aku adalah istrimu' atau bagian 'anak itu membuatku kehilangan bayiku'?"

Ekspresi marah di wajah Nathan seketika membeku. "Itu … kejadian itu cuma kecelakaan ...."

Aku bersandar pada dinding rumah sakit dan menatapnya dalam diam. "Kamu sendiri percaya sama kata-katamu itu?"

Setahun yang lalu, aku buru-buru pulang setelah selesai dinas dari luar kota, hanya untuk membagikan kabar kehamilanku kepada Nathan. Namun saat masuk ke rumah, aku menemukan kondisi rumah kacau balau. Di tangga, foto pernikahan kami hancur berantakan.

Aku naik untuk memeriksa apa yang terjadi. Namun di tengah tangga, tak kusangka ada sisa sabun mandi yang licin. Langkahku tergelincir dan aku terjatuh dari tangga. Begitulah aku kehilangan anak dalam kandunganku.

"Saat itu, kamu bilang padaku, itu ulah anak dari kerabat yang bermain di rumah. Nathan, kamu punya hati nurani nggak?"

Nathan membuka mulutnya, tetapi tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Air mataku mengalir deras dan punggungku yang awalnya tegak mulai merosot tak berdaya. "Nathan, kenapa kamu bisa? Kenapa kamu sanggup melakukan semua ini?"

Sejak kehilangan anak itu, aku tak bisa tidur semalaman. Dalam mimpiku, aku terus melihat anakku berlumuran darah dan menuduhku karena tidak bisa melindunginya.

Penderitaan ini berakar begitu dalam hingga membuat emosiku semakin tak terkendali. Aku menyalahkan diri sendiri karena ceroboh, menyalahkan Nathan karena tak membereskan kekacauan, dan menyalahkan anak dari kerabatnya.

Awalnya, Nathan merasa bersalah dan kasihan padaku. Namun perlahan-lahan, perasaannya berubah menjadi jengkel. Dia berteriak menyebutku seperti orang gila, mengatakan bahwa anak kecil mana mungkin paham konsekuensi dari perbuatannya.

Ternyata, anak itu ... adalah anaknya sendiri.

Rasa sakit yang menyayat hati menusukku dan aku menggigit lidahku untuk mengatasi rasa sakit yang lebih mendalam. "Nathan, bagaimana ini? Aku hamil."

Dia terdiam tampak seakan-akan tak bisa memproses ucapanku. "Apa kamu bilang?"

Aku menatap matanya dengan tajam dan mengulanginya sekali lagi. Mata Nathan menyipit tajam dan dia menatap perutku dengan alis yang mengerut. "Hamil ...?"

Tubuhku mendadak terasa dingin, seolah-olah dibekukan seketika.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status