“Ara mohon jangan pergi! Kenapa Om Nanda tidak bisa melihat ketulusan Ara? Ara sudah memberikan segalanya untuk Om, bahkan diri Ara sendiri. Kenapa Om tidak bisa menerima perasaan Ara? Ara mencintai Om!”
Asmara meraung kencang. Kemarahan dan kesedihan di hatinya membuat gadis yang saat ini hanya berselimut sebuah kain itu tak mempedulikan kondisinya sendiri. Matanya menyorot nyalang pada sesosok lelaki dewasa yang kini tengah berdiri di seberang ranjang. Penampilan lelaki itu sama berantakannya dengan Asmara. Kemeja putih yang ia kenakan tidak dikancingkan seluruhnya, ujung kainnya juga tampak kusut bernoda.
Tapi tidak sekusut ekspresinya sekarang.
Berkali-kali laki-laki itu mengerang berat, mengacak-ngacak rambutnya dan bahkan menyuarakan sumpah serapah. Seolah beban yang amat berat telah mendera hidupnya. Membuat Asmara bertanya-tanya, apakah menghabiskan malam dengannya begitu sulit diterima?
Semua bermula ketika Asmara menghadiri pesta wisuda yang diadakan di sebuah bar di salah satu hotel mewah. Dan seperti pesta kebanyakan, minuman beralkohol dan segala macam tentangnya tidak bisa terpisahkan. Asmara juga sama. Meneguk bergelas-gelas minuman memabukkan itu sampai dirasa tubuhnya tak sanggup lagi. Di tengah mabuknya Asmara memilih untuk beristirahat di ruangannya sendiri. Lalu saat itulah Asmara tak sengaja bertemu dengan laki-laki itu. Dia berdiri di sana, bersandar pada daun pintu yang tertutup. Tampak sama mabuknya dengan Asmara.
Dan mungkin karena rasa penasaran Asmara kemudian menghampirinya. Kemabukan di antara mereka membawa keduanya untuk menghabiskan malam bersama. Mendobrak tabu yang seharusnya tidak mereka lawan semudah itu. Asmara masih bisa mengingat sentuhannya di tengah keburaman yang memabukkan. Atau panggilan lembutnya yang memanggil nama wanita lain disaat dia tengah mendekap tubuhnya.
Ya, Asmara tidak salah mendengarnya.
Oleh karena, hal yang tidak dikehendaki selalu berakhir tragis.
Esok paginya, di saat mereka sudah cukup sadar atas perbuatan yang mereka lakukan tak satupun hal baik yang datang. Laki-laki itu, Nanda Zaiyyan, seseorang yang 12 tahun lebih tua dari Asmara langsung mencecarnya habis-habisan. Dia menyalahkan Asmara atas apa yang terjadi pada mereka.
“Kenapa kamu tidak pernah mengerti Asmara?! Kau dan aku tidak bisa bersama!! Apa kau gila?! Aku tidak memintamu untuk menyerahkan tubuhmu padaku. Kau yang tiba-tiba saja datang padaku, mengandalkan kemabukan kita berdua. Jika aku cukup sadar, aku tidak akan dengan gilanya menerima rayuan sialanmu itu!”
Asmara terbelalak tak percaya dengan apa yang ia saksikan. Ini pertama kalinya dia mendapati Nanda seperti itu. Selama ini Nanda adalah pribadi yang lembut. Dia bahkan tidak pernah menaikkan nada suaranya dan sebisa mungkin berbicara dengan nada mengayomi. Tapi sekarang, Asmara hampir tidak bisa mengenalinya lagi. Nanda nampak mengerikan.
Mengingat kepedihan yang ia rasakan di tengah malam yang gelap, Asmara mengepalkan jari-jarinya yang tersembunyi di balik selimut. Selama 22 tahun hidupnya Asmara tidak pernah merasa sesakit ini. Setiap kali dia bernafas terengah-engah, rasa sakit di hatinya terus melebihi batas. Mendorong Asmara mencapai ujung tebing dan hanya sedikit sapuan angin sampai jiwanya akan terjatuh ke dalam jurang yang tak berujung.
Bagaimana bisa Nanda menyalahkannya saat jelas-jelas Asmara juga mabuk saat itu. Dan bukankah seharusnya Asmara yang marah tatkala dirinya lah yang lebih dirugikan? Terutama saat Nanda memanggil nama perempuan lain dengan penuh keinginan saat laki-laki itu berada di tubuhnya?
Bagaimana Asmara tidak patah hati?
“Apa semua ini karena Mbak Maira? Karena dia Om nolak aku?”
Mendengar nama itu disebutkan Nanda seketika mendengus kasar.
“Bukankah aku sudah bilang, Mbak Maira tidak memiliki perasaan apapun untuk Om. Dia hanya menganggap Om sebagai orang yang bisa dia temui saat dia merasa resah. Dia mencintai orang lain. Kenapa Om tidak bisa menyadari kalau Mbak Maira hanya memanfaatkan Om saja?!”
“Diam!!”
Asmara terhenyak saat Nanda tiba-tiba saja meraih vas bunga dari atas lemari kecil dan melemparkannya ke dinding yang berada tepat di samping ranjang. Suara benturan keras terdengar, disertai dengan pecahan kaca yang terlempar ke sembarang arah. Ada beberapa yang menusuk kulit Asmara, menimbulkan sensasi perih tak terhingga. Sayangnya Asmara tidak serta merta mengacuhkannya, rasa sakit di hatinya jauh lebih parah dibandingkan sakit pada raganya.
Asmara pikir meskipun Nanda tidak pernah menanggapinya, lambat laun kehadirannya akan membuat Nanda sedikit mengerti perasaannya. Tapi setelah bertahun-tahun Asmara masih tidak bisa menyentuhnya barang sedikitpun. Atau mungkin Asmara tidak pernah berhasil menjadi sosok kecil yang muncul pada penglihatannya. Asmara tidak pernah teranggap ada.
Asmara menatap tangan kiri Nanda yang terkepal, membuat helaian kemerahan yang terikat di sana tampak mengencang erat.
“Kenapa Om melakukan ini?! Tahukah Om kalau kita terikat takdir? Om tidak akan bisa menemukan orang lain selain aku!!”
“Sudah cukup Asmara!”
“Om yang seharusnya bersikap cukup!! Kenapa rela menyakiti diri sendiri demi perempuan yang tidak pernah mencintai Om?! Perempuan itu jahat, dia hanya memanfaatkan Om saat dia terluka dan pergi saat dia telah sembuh. Kapan Om akan menyadari hal itu?!”
“Apa hakmu mengurusi kehidupanku?! Jika kau bukan cucu dari Nenek, aku mungkin sudah mengusirmu sejak lama. Kau pikir aku tidak merasa jijik dengan semua rayuan dan sandiwara murahanmu selama ini? Mulai sekarang enyahlah dari hidupku!! Jangan pernah muncul lagi di hadapanku!!”
Tepat setelahnya Nanda memilih untuk meraih jasnya kemudian melenggang pergi, meninggalkan Asmara yang hanya bisa tergugu tak berdaya. Perasaannya hancur lebur. Sang jodoh yang diciptakan Tuhan untuknya kini memintanya untuk pergi.
Asmara mengangkat lengan kirinya, mencoba menyentuh ikatan merah di sana meski selalu gagal. Benang cinta yang semula diciptakan dengan bentangan yang indah kini tampak kusut tak terurai. Ada banyak simpul yang terikat kuat-kuat dan mungkin terlihat mustahil dilepaskan.
Benang merah?
Ya, ini adalah sebuah kemampuan unik yang diturunkan dalam garis keturunan keluarganya. Beberapa anak perempuan yang lahir dalam keluarga Afsana akan memiliki kemampuan khusus, dimana mereka bisa melihat ikatan jodoh dirinya maupun orang lain melalui benang merah yang mengikat jari kelingking pada tangan kiri seseorang. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana mereka bisa mendapatkan kekuatan seperti ini. Yang jelas kemampuan ini telah muncul sejak berabad-abad lalu dan terus menurun kepada garis keturunan mereka.
Benang merah belahan jiwa telah terikat sejak manusia dilahirkan untuk pertama kalinya. Tidak bisa diubah maupun diputuskan. Bahkan saat ajal menjemput salah satunya. Sekali benang merah mengikat manusia maka takdir akan membawa mereka bersama bagaimanapun caranya. Indah maupun penuh duka.
Hanya saja tidak pernah ada yang tahu kemana ujung benang merah itu berada. Mungkin berada sangat dekat atau justru begitu jauh sampai sulit dilihat oleh kasat mata. Tapi ada waktu khusus dimana tepat ketika dua orang yang berjodoh berada di jarak yang berdekatan, benang merah akan terbentang, memperlihatkan kedua ujungnya yang terikat pada masing-masing jari sepasang insan yang ditakdirkan bersama.
Namun bukan berarti benang merah tidak bisa kusut.
Setiap kisah cinta memiliki alur yang berbeda. Ada yang terasa indah ada juga yang penuh duka. Oleh karena itu benang merah akan senantiasa mengikuti uraian cerita dari pemiliknya. Semakin kacau jalinan kasih yang terjadi maka akan semakin kusut pula benang merahnya.
Dan melihat dari benang merah miliknya dan Nanda, Asmara tahu kisah cinta mereka tidak akan bisa teruraikan dengan mudah.
Nanda adalah putra sahabat Kakeknya. Dan karena kedua orang tuanya telah meninggal disebabkan kecelakaan bertahun-tahun lalu, Neneknya bersedia menganggap Nanda sebagai putranya sendiri meskipun saat itu usia Nanda sudah menginjak 26 tahun. Usia yang cukup matang untuk bisa membina hidup sendiri. Akan tetapi sang Nenek masih bersikeras merawat Nanda seperti keluarganya sendiri.
Oleh karena itu, Asmara jadi bisa mengenalnya dengan sangat baik. Terutama saat dia tahu kalau Nanda adalah sang belahan jiwa yang terikat oleh sehelai benang merah dengannya. Sejak itu Asmara berusaha mendekati Nanda. Setiap hari dia akan pergi ke apartemen Nanda—yang kebetulan bersisian dengan apartemen miliknya—guna mengantarkan makanan. Dia juga akan mencari banyak alasan hanya agar bisa menemui Nanda.
Tapi sikap laki-laki itu berbanding terbalik dengannya. Perasaan Nanda tak lebih dari perasaan timbal balik untuk merawat cucu dari perempuan yang telah begitu berbaik hati padanya. Terlebih dengan perbedaan usia yang terpaut sangat jauh di antara mereka. Ini jugalah yang menjadi salah satu penolakan terbesar Nanda selama ini. Berkali-kali Nanda menegaskan bahwa Asmara telah ia anggap sebagai keluarganya sendiri, keponakan dan hubungan kerabat yang membuat mereka sulit bersama.
Hanya saja bagaimana bisa?
Mereka adalah belahan jiwa satu sama lain.
Asmara menjatuhkan dirinya ke atas ranjang. Tangisannya tak lagi bisa terbendung. Asmara terluka, amat parah sampai dia tidak tahu harus melakukan apa.
Mengapa Nanda melakukan itu padanya?
Mengapa Nanda tidak bisa melihat perasaannya?
Nanda adalah jodohnya. Pasangan jiwa yang telah Tuhan takdirkan untuknya. Hanya untuknya. Lalu kenapa Nanda justru mencintai perempuan lain dengan begitu hebatnya? Tidak bisakah Nanda hanya menjadi miliknya?
Seperti bagaimana Tuhan menciptakan sepasang belahan jiwa semestinya.
“Darimana saja kamu? Kenapa baru pulang sekarang? Kamu tahu betapa khawatirnya Ibu ketika nomor kamu tidak bisa dihubungi?”Cecaran Ibu menjadi hal pertama yang Asmara dengar saat ia memasuki apartemennya. Biasanya Asmara akan segera membujuk Ibu setiap kali perempuan itu marah padanya. Seperti memeluk atau mengecup pipinya sembari melontar beragam kalimat manis. Akan tetapi kali ini Asmara tidak segera melakukannya. Perasaannya benar-benar tengah hancur lebur sekarang. Bahkan Asmara tidak memiliki kekuatan hanya untuk sekedar membuka suaranya. Mengabaikan pertanyaan dari sang Ibu, Asmara melangkah lunglai menuju kamarnya.Sayangnya pengabaian Asmara membuat Ibu naik pitam. Perempuan yang telah berkepala empat itu mencekal lengan Asmara dan menariknya sehingga Asmara terhuyung mundur.“Jawab Ibu, Asmara! Dari mana saja kamu?!”Asmara menghembuskan nafas lelah. Berusaha sebisa mungkin menahan nyeri di kepalanya. “Bisa tolong jangan sekarang, Bu? Aku lelah.”“Lelah? Kalau kamu bisa meng
Asmara memperhatikan beberapa mobil yang terparkir di halaman depan rumah bergaya joglo. Hari ini adalah hari ulangtahun Neneknya dan seperti kebiasaan lama hampir semua kerabatnya akan berkumpul di kediaman sang Nenek sebagai perayaan. Bukan semacam pesta yang megah namun lebih mengarah kepada acara kumpul keluarga biasa dimana semua orang menghabiskan waktu dengan makan bersama dan mengobrol santai. Bedanya khusus untuk hari ini masing-masing dari mereka akan membawa satu pot bunga sebagai hadiah.Ya, Nenek suka sekali berkebun. Ada banyak sekali jenis tanaman yang tumbuh di halaman depannya dan mungkin akan selalu bertambah setiap tahunnya. Kebiasaan ini muncul setelah Kekek meninggal 8 tahun silam, sehingga guna meredam kesedihannya Nenek hanya menghabiskan waktu dengan bercocok tanam. Menghias kediamannya dengan berbagai bunga indah yang memanjakan mata.Sepanjang hidupnya Nenek hanya memiliki tiga orang anak saja. Satu anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak laki-lakinya yan
Asmara menyesap sebatang rokok yang terselip di sela-sela jarinya. Membiarkan asap beraroma tajam itu memenuhi rongga mulut. Baru saat nafasnya telah dirasa penuh, Asmara menghembuskan asap yang ia sesap seluruhnya. Membiarkan asap berwarna putih gelap melayang menutupi pandangan. Asmara terus melakukan hal itu sembari menatap tak fokus ke kejauhan. Memandang langit malam yang membentang di atas jutaan kelip cahaya. Tanpa sadar sudut matanya mulai terasa basah. Asmara tidak merepotkan diri untuk menghapusnya. Dia hanya membiarkan tetesan air jatuh mengenai pipinya. Mungkin dengan cara seperti itu keresahannya bisa sedikit memudar. Berkebalikan dengan kebisuan Asmara, Layina justru begitu was-was. Gadis itu berkali-kali melirik Asmara dan begitu mendapati kalau Asmara tak sedikitpun merubah posisi sejak senja beberapa waktu lalu, Layina hanya mampu menghela nafas berat. “Sebenarnya apa yang terjadi? Ini pertama kalinya aku melihatmu sekacau ini, Asmara." Pada akhirnya Layina tidak
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Pernikahan yang sudah direncanakan akhirnya terlaksana di kediaman sang Nenek. Akan tetapi, pada kenyataannya pernikahan itu tidak tergelar selayaknya pesta pernikahan yang dipenuhi gegap-gempita. Acara pernikahan digelar dengan sangat tertutup dan sederhana dengan hanya dihadiri oleh sebagian keluarga Afsana. Tidak ada resepsi meriah ataupun suasana syahdu yang seharusnya dirasakan ketika pernikahan dilaksanakan. Bahkan berbagai ornamen cantik yang menghiasi area taman rumah bergaya Joglo itu seakan tak menjadikan suasana menjadi penuh gembira. Nyatanya semua orang menyadari akan suasana membeku di antara kedua pengantin. Seakan tidak ada sedikitpun kebahagiaan yang menyelimuti keduanya. Asmara, yang hanya mengenakan kebaya putih sederhana, duduk termenung dengan mata memerah dan Nanda juga tak jauh berbeda. Kedua wajah mereka tak sedikitpun mengandung senyuman. Tepat setelah pengucapan ijab kabul selesai, Nanda dan Asmara memilih untuk lang
Asmara menatap layar ponselnya yang menunjukkan sederet pesan yang telah ia kirimkan kepada Nanda sejak beberapa waktu lalu. Semuanya sudah terbaca, hanya saja satu balasan singkat yang mengatakan bahwa Nanda masih sibuk adalah satu-satunya yang ia terima. Beberapa hari telah berlalu sejak Nanda memutuskan untuk pergi ke Singapura—dengan alasan untuk bekerja. Selama itu Ibu sudah mengabari hal ini kepada sang Nenek. Alhasil perempuan tua itu seketika mendatangi Asmara dan meminta maaf. Nenek sama sekali tidak menyangka jika Nanda akan berlaku sekejam itu padanya. Asmara hanya mampu berbohong kala itu. Mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Meski mereka mungkin menyadari betapa hancurnya ia kini. Pada hari kelima Asmara mendapat kabar jika Nanda sudah pulang. Namun karena beberapa urusan mendesak Nanda harus langsung pergi ke kantor. Nanda adalah seorang spesialis keamanan dibidang cyber pada salah satu perusahaan besar yang berkembang di bidang teknologi. Dan karena sebelumnya Asmara
Hal pertama yang Asmara lihat sejak membuka matanya adalah langit-langit luas dengan ornamen bunga berwarna putih. Pencahayaan yang sedikit temaram membuat Asmara harus beberapa kali menajamkan penglihatannya. Akan tetapi, rasa ngilu di sekujur tubuh jauh lebih menarik atensinya. Asmara mengerang tertahan, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dia tengah berbaring di atas ranjang, berselimut kain putih polos yang kusut. Di sekelilingnya, Asmara bisa melihat beragam perabotan sederhana yang ditata amat rapi. Tapi mengapa Asmara merasa familiar dengan tempat ini? Tempat ini sama persis dengan kamar hotel yang Asmara tempati saat dia menghabiskan waktu bersama Nanda malam itu. Tunggu! Asmara memaksa dirinya untuk bangkit. Kenapa Asmara tiba-tiba bisa berada di kamar hotel ini? Bukankah Asmara baru saja bertengkar hebat dalam ruangan kantor Nanda sebelum akhirnya berlari pergi dan mengalami kecelakaan tunggal? Asmara bahkan masih bisa mengingat dengan sangat jelas tatkala mo
Asmara mengalami mimpi yang sangat panjang hari ini. Setiap kenangan menyakitkan yang ia alami sebelumnya terus saja berkelebat dalam waktu cepat. Bagaimana Asmara bertengkar dengan Nanda, kekacauan di hari ulangtahun Nenek, pernikahannya dengan Nanda dan rasa sakit yang ia alami dalam kecelakaan itu. Segalanya menyatu dalam tempo yang membuat Asmara menderita. Jantungnya serasa berdetak amat cepat. Napasnya terengah-tengah dan sekujur tubuhnya bergetar dalam peluh yang terus menetes tanpa henti. Asmara memohon agar kenangan buruk itu berhenti bermunculan. Akan tetapi, apa yang ia hadapi hanyalah kerunyaman yang semakin nyata. Di tengah kegelisahan, Asmara tiba-tiba saja merasakan sentuhan lembut di pucuk kepalanya. Asmara mendongak. Mencoba mencari tahu siapa sang pemilik telapak tangan lembut itu. “Tidurlah Asmara, aku disini.” Suara hangat itu mengaung di telinganya. Menghentikan segala derita yang Asmara rasakan kini. Secara ajaib rentetan kenangan buruk itu juga turut
Meski Asmara telah membulatkan tekadnya untuk tidak terkurung dalam kehidupan masa lalu dan menjadikan segalanya sebagai tolak ukur untuk melangkah maju, nyatanya Asmara masih tidak bisa melepaskan efek dari kejadian tersebut. Salah satunya adalah trauma yang ia alami setelah mengalami kecelakaan mobil itu. Sejenak setelah Asmara duduk di kursi kemudi dan menyalakan mesin, Asmara bisa merasakan gemetar hebat di sekujur tubuhnya. Peluh dingin mulai bercucuran, membasahi punggungnya. Asmara langsung terjatuh tepat setelah ia keluar dari dalam mobil. Dia memuntahkan isi perutnya di sisi pagar kediaman sang Nenek. “Asmara, ada apa?” Layina yang menyadari kedatangan Asmara seketika berlari mendekat. Asmara mengusap bibirnya menggunakan selembar tisu yang Layina berikan sebelum akhirnya duduk bersandar di tanah. Wajahnya pucat pasi. “Mabuk perjalanan," jawabnya. Layina mengernyitkan keningnya, jelas tak mempercayai ucapan Asmara. “Mabuk perjalanan? Kita bahkan pernah berkendara sela