Home / Romansa / Cinta sang Asmara / Chapter 2. Memulai pertengkaran

Share

Chapter 2. Memulai pertengkaran

“Darimana saja kamu? Kenapa baru pulang sekarang? Kamu tahu betapa khawatirnya Ibu ketika nomor kamu tidak bisa dihubungi?”

Cecaran Ibu menjadi hal pertama yang Asmara dengar saat ia memasuki apartemennya. Biasanya Asmara akan segera membujuk Ibu setiap kali perempuan itu marah padanya. Seperti memeluk atau mengecup pipinya sembari melontar beragam kalimat manis. Akan tetapi kali ini Asmara tidak segera melakukannya. Perasaannya benar-benar tengah hancur lebur sekarang. Bahkan Asmara tidak memiliki kekuatan hanya untuk sekedar membuka suaranya. Mengabaikan pertanyaan dari sang Ibu, Asmara melangkah lunglai menuju kamarnya.

Sayangnya pengabaian Asmara membuat Ibu naik pitam. Perempuan yang telah berkepala empat itu mencekal lengan Asmara dan menariknya sehingga Asmara terhuyung mundur.

“Jawab Ibu, Asmara! Dari mana saja kamu?!”

Asmara menghembuskan nafas lelah. Berusaha sebisa mungkin menahan nyeri di kepalanya. “Bisa tolong jangan sekarang, Bu? Aku lelah.”

“Lelah? Kalau kamu bisa mengeluh lelah, kenapa kamu harus pulang di pagi hari dengan bau alkohol seperti ini?! Bukannya ibu sudah bilang berkali-kali Asmara, berhenti minum!! Sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini? Kamu itu seorang guru, pengajar ilmu. Seharusnya kamu bisa menjadi pedoman untuk anak didik kamu, bukannya malah keluyuran dan bergaul sebebas ini!”

Asmara mengerang. "Bu ..."

"Ibu benar-benar lelah menasehati kamu, Asmara. Kamu tidak pernah mencoba merubah sikap buruk selama ini. Kamu terus saja mabuk-mabukkan, merokok dan pulang malam. Kamu sudah dewasa Asmara. Sudah saatnya kamu memikirkan masa depan. Jangan hanya terus bermain-main. Jangan jadikan kehidupan Ibu sebagai contoh. Bermain-main sepuas hati dan lihatlah akhirnya, Ibu menyesal. Kamu harus jadi orang yang lebih baik, Asmara. Lihat Nanda atau Maira, mereka masih muda tapi sudah menjadi orang sukses."

Mendengar nama kedua orang yang saat ini menjadi alasan kegundahannya, Asmara mengatupkan rahangnya marah. Seketika sesak di dadanya tak lagi bisa ia tahan. Asmara menoleh pada sang ibu dan mengutarakan pikirannya dengan perasaan nyeri.

"Kenapa kalian semua  selalu membanding-bandingkan aku dengan Maira? Apa karena Maira adalah seorang dokter dan aku hanyalah guru les biasa?! Lalu apa salahnya? Aku mungkin tidak seterhormat mereka, tapi bukankah seharusnya Ibu mendukungku? Bukannya malah membandingkan ku dengan orang lain. Bukan salahku kalau aku menjadi seperti ini. Kalian saja yang tidak mampu melahirkan seorang anak hebat yang bisa sukses di usia muda."

"Asmara ..."

“Kenapa kalian terus menyalahkanku? Kenapa aku selalu menjadi pihak yang salah saat aku tidak melakukan hal yang salah?! Aku juga dirugikan!! Kenapa tidak ada yang bisa mengerti?!" Raung Asmara, tidak lagi bisa menyembunyikan kemelut di hatinya. Asmara sudah cukup sabar menahan kemarahannya setiap kali seseorang membandingkan hidupnya. Asmara mungkin tidak sebaik mereka tapi Asmara juga memiliki harga diri. Tidak sudi terus direndahkan seperti itu.

Ibu membeliak kaget dengan emosi Asmara yang meledak tiba-tiba. “Asmara!”

“Bukankah aku anak Ibu? Sebagai seorang Ibu bisakah Ibu mengerti sedikit saja ... sedikit saja perasaanku? Aku lelah. Aku lelah Bu!! Bukankah biasanya Ibu pergi selama berhari-hari meninggalkan aku sendiri, lalu kenapa sekarang Ibu tiba-tiba bertingkah seperti seorang Ibu yang baik?! Aku seperti ini juga karena Ibu!”

PLAK!

Asmara menekan sisi wajahnya kemudian menatap sang Ibu dengan pandangan tak percaya. “Ibu menampar aku?”

Dengan nafas terengah karena marah, Ibu berkata. “Jadi seperti ini perlakuan kamu pada Ibu, setelah Ibu banting tulang untuk menghidupi kamu! Kamu membangkang pada Ibu.”

“Kalau memang Ibu keberatan kenapa dulu Ibu tidak menyerahkanku pada Ayah saja?! Jadi sekarang Ibu tidak perlu merasa terbebani dan Ibu mungkin bisa menikah lagi lalu memiliki seorang anak yang baik sesuai keinginan Ibu!”

“Asmara, kamu sudah kelewatan batas! Mulai sekarang kamu dilarang untuk keluar apartemen ini selain untuk bekerja. Kamu tidak boleh menemui teman-teman kamu yang berandalan itu. Ibu benar-benar kecewa dengan kamu!”

Kecewa?

Bukankah Asmara yang seharusnya kecewa?

Kedua orang tuanya bercerai saat Asmara masih duduk di bangku sekolah dasar setelah sang ayah diketahui berselingkuh dengan wali kelasnya sendiri. Sang Ibu, yang kini menjadi single mother juga lebih sibuk pada pekerjaannya sebagai seorang pengacara dan membiarkan Asmara hidup sendiri hanya dengan pengawasan seorang pengasuh.

Lalu di saat Asmara berhasil menemukan belahan jiwanya, lelaki itu malah berpaling darinya. Tak sedikitpun memiliki perasaan yang sama sepertinya. Laki-laki itu justru dengan begitu gilanya mencintai perempuan lain tatkala Asmara adalah orang yang ditakdirkan untuknya.

Dengan kisah yang berselimut kelabu seperti itu, bukankah seharusnya Asmara yang merasa kecewa. Dia yang terluka. Dia yang diperlakukan secara tidak adil. Lalu mengapa justru pihak lain yang merasa kecewa padanya?

“Aku hanya ingin mendapatkan apa yang seharusnya aku dapatkan, Bu. Apakah itu tidak bisa? Aku bukannya ingin merebut segala hal di dunia, tapi bahkan hal sekecil itupun tidak bisa aku miliki. Lalu untuk apa hidup dengan kemampuan ini jika hal yang ku ketahui hanya membuatku terluka?”

Asmara menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Seluruh tubuhnya jatuh lunglai ke atas lantai yang dingin. Asmara menangis. Air mata yang sebelumnya belum benar-benar mengering kini kembali jatuh bebas.

Asmara cukup sadar diri kalau dia tidak sempurna. Dia tidak sebaik orang lain. Dia telah belajar meminum minuman memabukkan sejak duduk di bangku SMP, merokok dan berkelahi bukanlah hal yang aneh baginya.

Akan tetapi bukankah ketidakadilan ini terlalu berlebihan baginya?

Asmara bukannya tidak mencoba menata hidup. Semenjak Asmara menginjak usia dewasa Asmara telah berusaha sangat keras untuk berubah. Dia belajar dengan giat dan berhasil mendapat gelar sarjana serta bekerja sebagai seorang pendidik di salah satu tempat les yang cukup tersohor.

Bahkan untuk menjadi perempuan yang Nanda sukai, Asmara rela merubah dirinya. Dia merombak penampilannya, memaksa dirinya untuk selalu memakai pakaian yang feminin saat Asmara lebih nyaman dengan penampilannya yang lebih santai. Asmara memanjangkan rambutnya yang semula sangat pendek begitu Nanda bilang kalau dia menyukai perempuan berambut panjang. Asmara belajar memasak, mengikuti les merias, mendaftar kelas bisnis dan belajar segala hal lainnya hanya agar dia bisa diterima.

Tapi itu tidak pernah cukup.

Asmara akan selalu tidak cukup di mata orang lain.

“Asmara, ada apa nak?” Melihat keadaan Asmara membuat Ibu seketika panik. Kemarahannya menghilang sepenuhnya. Sebaliknya Ibu ikut berlutut di samping Asmara dan memeluk putri semata wayangnya erat-erat. “Asmara, kenapa kamu menangis? Ibu sudah menyakiti kamu ya? Maafkan Ibu.  Ibu salah ...”

Asmara tidak lagi bisa membendung kesedihannya. Pada akhirnya dia membiarkan kerentanannya bersandar pada dekapan Ibu. Dia menangis, mengeluhkan ketidakadilan takdir padanya.

Sampai selama beberapa saat air matanya mulai mereda. Dengan sapuan lembut Ibu memapah Asmara menuju kamarnya. Masih mendekapnya di tempat tidur sampai Asmara bisa tertidur lelap.

Sayangnya mungkin karena efek alkohol yang ia tenggak dan kemelut yang terjadi, Asmara jatuh demam. Selama dua hari gadis itu tidak bisa bangkit dari ranjangnya sendiri. Seluruh tubuhnya terasa panas dan menggigil di waktu yang bersamaan. Setiap kali Asmara mencoba bangkit, ngilu di tulang-tulangnya membuat Asmara meringis sebelum akhirnya kembali terjatuh. Selama itu pula Ibu selalu ada di sampingnya. Merawat Asmara dengan telaten dan tak sekalipun meninggalkannya.

Ibu mungkin terkejut karena selama ini Asmara tidak pernah kehilangan kendali seperti itu. Asmara juga tidak pernah membalas dan menangis sekencang itu sebelumnya. Akan tetapi tidak peduli pertanyaan apa yang Ibu lontarkan Asmara tidak pernah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Hanya saja melalui perubahan sikap Asmara yang semula ceria kini terlihat murung dan beberapa bekas di tubuh gadis itu, membuat Ibu sedikit memahami apa yang terjadi. Ibu hanya bisa diam-diam merawat Asmara dan tak lagi bertanya.

Baru beberapa hari kemudian kondisi Asmara berangsur-angsur membaik. Suhu tubuhnya tidak lagi setinggi sebelum-sebelumnya dan nafsu makan Asmara juga sudah mulai kembali.

"Minum obatnya," perintah Ibu setelah Asmara berhasil menghabiskan semangkuk bubur seafood kesukaannya. Tanpa banyak mengeluh Asmara langsung melaksanakanya.

“Besok lusa adalah ulangtahun Nenek, kamu ingin pergi?”

“Ibu akan pergi?” Asmara balik bertanya.

“Sepertinya tidak. Ibu sudah terlalu lama mengambil cuti bekerja.”

Asmara mengangguk paham.  Setelah bercerai dengan sang Ayah, Ibu memilih untuk kembali bekerja sebagai pengacara di salah satu firma hukum. Meski Ayahnya tetap membiayai seluruh kehidupan mereka, Ibu kekeh pada keputusannya.

“Kalau gitu, Ara pergi sendiri saja.”

“Kamu yakin? Kamu masih belum sembuh total. Kalau urusan Nenek nanti Ibu yang telpon Nenek kamu.”

“Tidak papa, Bu. Asmara juga ingin mengobrol dengan Nenek.”

“Ya sudah.” Ibu tak lagi memaksa.

Sayangnya, Asmara tidak mengetahui bahwa kehadirannya di pesta ulangtahun sang Nenek akan membawanya pada kekacauan yang lebih menyakitkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status