Asmara merogoh tas selempangnya, mengeluarkan sebatang rokok yang ia sembunyikan di dalam dompet kecil sebelum akhirnya duduk di salah satu kursi yang diletakkan di depan teras. Kedua maniknya menyorot ke arah berbagai bunga yang tengah bermekaran sempurna. Asmara cukup tertarik dengan sekumpulan bunga melati yang harumnya paling tercium. Juga jenis bunga yang Nanda bilang paling dia sukai.Terkadang Asmara merasa cemburu dengan mereka. Terdengar aneh namun itulah kenyataannya. Jika Asmara terlahir sebagai bunga melati, Nanda mungkin saja akan memuji keindahannya dan menyukai keharumannya. Jika Asmara hanyalah setangkai melati, Nanda tidak perlu merasa terbebani oleh keberadaannya. Dan Asmara juga tidak perlu merasakan cinta mendalam yang menyakiti dirinya sendiri. Siklus hidupnya mungkin akan jauh lebih pendek, tapi setidaknya Asmara pernah dikagumi.Haha. Asmara tertawa nanar mendengar pikirannya sendiri. Tanpa bermaksud, Nanda masih saja munc
“Kak Asmara.”Asmara sedikit memutar tubuhnya saat Rizal, anak didiknya tiba-tiba datang menyusulnya. Padahal Asmara baru saja selesai mengajar beberapa waktu lalu. Akan tetapi dengan senyum hangat seperti biasa, Asmara menanggapi Rizal. “Rizal, ada apa?”“Rizal boleh minta waktu Kakak sebentar enggak?” Sebagai seseorang yang masih sangat muda Asmara lebih suka kalau semua anak didiknya memanggilnya dengan sebutan ‘Kakak’ bukan ‘Ibu’. Selain akan terkesan lebih akrab, Asmara juga tidak menginginkan suasana belajar yang kaku. Asmara lebih suka menciptakan lingkungan belajar yang nyaman namun masih memperhatikan norma yang berlaku. Dan terbukti, karena dengan metode pembelajaran seperti itu murid-muridnya jauh lebih mampu menyerap ilmu dengan cepat.“Kenapa? Ada pelajaran yang belum kamu pahami?”Rizal terlihat mengusap-usap ujung rambutnya dengan gugup. Siswa dengan seragam SMA itu lalu merogoh saku belakangnya, mengeluarkan sel
“Kenalin nih, ini sepupu Mbak namanya Farhan. Seperti yang Mbak bilang kemarin, Farhan ini kerja jadi manajer di perusahaan yang bergerak dibidang kosmetik. Gajinya lumayan. Yah ... lebih gede dari kita lah. Jauh malah.” Gania terbahak yang turut tertular kepada sosok lelaki yang duduk tepat di sampingnya.“Nah, sekarang kenalin rekan-rekan kerja Mbak. Ini Mas Anton, dia paling senior di tempat les. Kalau ini si bungsu Asmara sama Sari.”Asmara mengangguk saat Gania memperkenalkannya pada Farhan. Seperti perkataannya kemarin, Gania mengajak mereka semua untuk makan malam bersama sepupunya, Farhan. Awalnya Asmara masih enggan untuk datang, terutama dengan iming-iming kalau Farhan tengah mencari pendamping. Hanya saja berhubung Ibunya belum pulang dan tidak ada yang memasak untuknya, pada akhirnya Asmara memilih untuk ikut saja. “Mau pesan apa, Ra?” Tanya Anton sembari menunjukkan kertas menu padanya. “Samain aja deh sama Mas, tapi minumnya ice te
“Kenapa kamu tiba-tiba ingin tinggal bersama Layina?” Tanya Ibu sembari memasukkan helai demi helai pakaian ke dalam koper. Tadi malam Asmara tiba-tiba saja memberitahu kalau dia akan tinggal di apartemen Layina, sepupunya. Ibu tentu saja terkejut dan tidak menyetujuinya pada awalnya. Selain karena keputusan Asmara terlalu mendadak, Ibu juga tidak mengerti kenapa Asmara harus repot-repot pindah ke tempat yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari apartemen mereka. Sebaliknya jarak apartemen Layina justru lebih jauh dari tempat Asmara bekerja. Namun karena Asmara terus saja memohon, mau tak mau Ibu akhirnya menyetujuinya juga. “Kak Alan, kan sudah mau menikah, jadi Layina akan tinggal sendirian di apartemennya. Mungkin dia tidak berani dan minta Ara untuk menemaninya," ujar Asmara dengan sedikit bumbu dusta.“Ibu bukannya berpikir macam-macam, tapi kamu juga tahu Layina itu bagaimana. Jika kamu tinggal bersama Layina, takutnya kamu juga terbawa olehnya.”
Farhan : Asmara, apa kabar?Asmara menghembuskan nafas resah begitu sebuah pesan muncul di layar ponselnya. Ini bukan pertama kalinya Farhan menghubunginya. Sejak pertemuan mereka malam itu, Farhan kerap kali mengiriminya pesan dengan dalih ingin saling mengenal. Memang Farhan tidak secara gamblang mengatakan tujuan utamanya. Setiap pesan yang Farhan kirimkan juga tidak selalu menjurus pada hal seperti itu. Namun hanya dengan secuil tindakan itu sudah mampu membuat Asmara memahami jikalau Farhan memang mencoba mendekatinya.Malam itu, setiap kali melontar pertanyaan mata lelaki itu selalu terarah pada Asmara dan bahkan ketika Sari yang menjawab pun, Farhan cenderung tak acuh. Laki-laki itu akan kembali menanyakan hal yang sama sampai Asmara menjawabnya. Dan sekarang Farhan juga mengiriminya pesan saat laki-laki itu tak sekalipun meminta kontak Sari.Tapi, Farhan adalah jodoh Sari.Dengan kemampuan melihat ikatan benang merah jodoh m
Farhan :Asmara, Mas sudah sampai di depan apartemen.Asmara mengusap pelipisnya dengan berat hati ketika Farhan mengiriminya pesan jikalau lelaki itu sudah sampai di depan gedung apartemen. Karena ulah Layina yang dengan seenaknya mengotak-atik ponselnya, terpaksa Asmara harus menempati janji yang tidak ia buat untuk pergi ke acara festival bersama Farhan.Sebenarnya Asmara sudah akan menjelaskan pada Farhan kalau Layina lah yang telah membalas pesannya bukan Asmara, namun begitu Asmara menelpon Farhan ternyata laki-laki itu sudah terlanjur bersiap. Alhasil tidak ada pilihan lain, Asmara hanya mampu mengorbankan dirinya sendiri dari pada melukai perasaan orang lain. "Dia sudah datang?" Tanya Layina sembari menjinjing sebuah tas kecil berwarna putih dari salah satu lemari yang terisi penuh oleh berbagai tas bermerk miliknya, lalu menyampirkannya di bahu Asmara. Gadis itu memperhatikan penampilan Asmara sembari berdecih jijik. "Padahal lebih baik kamu
“Asmara, ayo pulang bareng.”Asmara sontak menoleh ketika Gania tiba-tiba saja memasuki ruang kelas dan mengajaknya untuk pulang bersama. Hari sudah beranjak malam dan waktu ajarnya pun telah selesai, semula Asmara memang berniat segera pulang setelah membereskan barang-barangnya. Asmara hendak menyetujui tawaran Gania saat seseorang ikut melangkah masuk, membuat Asmara langsung menelan setiap kata yang hendak ia keluarkan. Sebaliknya Asmara mengurungkan niat dan menolak Gania.“Enggak usah deh, Mbak. Aku udah pesen ojek online nih, enggak tega kalau di-cancel.”Farhan yang sepertinya sudah dapat menebak penolakan Asmara segera mendekat. Laki-laki yang masih mengenakan jas kantornya itu meraih buku yang telah Asmara susun di atas meja. “Udah, ikut saja ya, Asmara. Untuk ojeknya enggak papa biar Mas yang bayar tapi kamu tetap ikut sama kita.”Di belakang Farhan, Gania mangut-mangut.“Kalau gitu aku jadinya ngerepotin Mas. Apalagi apartemen
“Mbak, aku boleh titip ini buat Mas Farhan.” Asmara menyodorkan paperbag berisi gelang pemberian Farhan kepada Gania, berhati-hati agar suaranya tidak terdengar orang lain. Asmara juga sengaja untuk datang ke tempat les lebih awal agar tidak ada banyak orang yang akan melihatnya. Gania yang semula tengah merapikan lembar tes di mejanya sontak menoleh heran. “Loh, kenapa enggak kasih langsung saja, Ra?” Asmara menggeleng. “Kan ada Mbak.” "Memangnya ini apa, Ra?" Asmara sedikit mencondongkan tubuhnya beberapa derajat, menoleh ke setiap sisi sebelum berkata dengan suara pelan. “Tapi Mbak jangan kasih tahu yang lain ya, Mbak. Terutama pada Sari. Kemarin waktu antar aku pulang, Mas Farhan kasih aku hadiah. Tapi karena hadiahnya terlalu mahal, jadi aku mau kembalikan saja lewat Mbak. Boleh, kan Mbak?" “Loh, kok gitu? Kenapa enggak kamu terima saja, Ra?" “Enggak bisa, Mbak. Aku akan merasa tidak enak
"Kamu ada dimana?" Asmara memijat pelipisnya karena sensasi pusing yang mendera kepalanya kini. Segalanya tampak berputar. Tubuhnya terasa mengambang meski Asmara tahu bila ia tengah menapak di atas lantai. Suara-suara yang semula terdengar lantang juga kini secara perlahan terdengar bagai nada terputus-putus. Memberi petunjuk bahwa kini Asmara tak lagi mampu menanggung akibat dari minuman yang ia teguk beberapa waktu lalu."Asmara." Suara di seberang telepon kembali menarik sedikit kesadarannya. Asmara memaksakan tangannya yang berat untuk menempelkan ponselnya ke telinga, lalu menjawab dengan gumamam singkat."Bar.""Bar yang mana?""Music Bar sunshine.""Tunggu di sana, jangan kemana-mana!""Hei!"Asmara berseru keras ketika panggilan terputus begitu saja. Kedua matanya mengerjap cepat memperhatikan layar ponsel, meski begitu penglihatannya yang kabur ditambah sinar yang terlalu silau membuatn
Bagai rembulan yang kehilangan sumber sinarnya, Asmara telah kehilangan ketenangannya selama beberapa hari belakangan. Sejak malam dimana ia menghabiskan makan malam bersama Nanda dan teman-temannya, isi pikiran Asmara telah dipenuhi oleh beragam kebimbangan. Terutama jika ia mengingat percakapannya dengan Nanda waktu itu. "Apa gunanya mencari orang lain jika sejak awal aku tahu bukan dia orangnya?" Air muka Nanda tampak berubah tepat setelah Asmara melontarkan kalimat itu. Seolah sesuatu yang tak kasat mata telah memasuki relung jiwanya. Nanda terdiam sejenak, pandangannya jatuh ke atas langit dan Asmara dapat merasakan kegelisahaan pada setiap kedipan matanya. "Bagaimana kamu bisa tahu bahwa orang yang kita cari bukan orang yang tepat?" Lalu apa yang Nanda katakan di lantai dasar gedung apartemennya sekali lagi membuat detak waktu seakan terhenti. Sesak hingga tak tercegah. Asmara terpaku, memperhatikan Nanda
Asmara terkadang heran dengan perjalanan takdir. Di saat ia begitu mengingini sesuatu, takdir malah menjauhkan hal itu darinya. Jangankan membiarkannya menggenggam harapan barang sedetikpun, Asmara bahkan tak diperbolehkan untuk menyentuhnya. Seakan semesta tak sudi membiarkan manusia rendahan sepertinya mendapat segalanya dengan mudah. Dan bahkan jika ia telah melalui beragam kesakitan, belum tentu takdir akan bersimpati padanya.Tapi kini, ketika Asmara tak lagi bertekad memilikinya dan cenderung menjauhkan diri, tangan-tangan takdir justru mendorong hal itu ke depan matanya. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali mempermainkannya dengan kekuatannya yang maha kuat.Lalu ketika ia kembali tergoda, akankah takdir kembali menarik harapannya?Asmara merasakan suatu kehampaan yang mengganjal di dadanya, membuatnya hanya mampu tersenyum nanar memikirkan hidupnya. Dengan perasaan tergulung sendu, Asmara menatap seseorang yang kini duduk tepat di sa
"Asmara, boleh aku tanya sesuatu?"Asmara yang baru saja akan melangkah memasuki pintu kaca sebuah restoran, seketika menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang dan memasang raut penuh tanya kepada sang penanya, Sari. Tidak hanya dirinya, gerakan Sari juga turut menarik perhatian ketiga orang lainnya, Gania, Farhan serta Anton yang sudah lebih dulu membuka pintu. Masing-masing dari mereka memandang Sari penuh ingin tahu."Ada apa, Ri?" Tanya Gania penasaran. Sari segera memasang senyum kikuk, berusaha menegaskan bahwa tidak ada hal penting yang terjadi. Gadis itu menarik pergelangan tangan Asmara, seolah takut seseorang akan menghalanginya untuk berbicara. "Mbak sama yang lainnya bisa masuk ke dalam duluan saja, aku mau ngobrol sebentar sama Asmara.""Memangnya ada apa, Ri? Tidak biasanya kamu main rahasia-rahasiaan.""Bukan apa-apa kok, Mbak. Boleh ya, Mbak? Kalau mau kalian bisa makan duluan saja.""Ya sudah, janga
Asmara terbangun ketika suara percakapan samar disertai lantunan musik klasik terdengar di telinganya. Gadis itu mengerang pelan, memaksakan dirinya untuk membuka kedua mata dan mengerjap ketika cahaya silau dari jendela yang terbuka terasa menusuk penglihatannya.Kedua alisnya menukik tajam ketika Asmara menemukan dimana ia kini. Seingatnya Asmara masih berada di ruang kerja Kakeknya sampai ia tak sengaja terlelap ketika dini hari tiba. Tapi sekarang, ia malah terbangun di atas ranjang dengan sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya rapat-rapat. Tidak hanya itu, jepit rambutnya yang semula masih menggantung di rambut ikalnya kini telah teronggok di atas nakas. Tertata rapi bersama ponselnya.Aneh, pikirnya.Namun Asmara tidak mempunyai banyak waktu untuk memikirkan bagaimana caranya ia sampai ke kamar tidur, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, hampir mendekati waktu kerjanya. Buru-buru Asmara melompat ke kamar mandi guna membersihkan diri dan ber
Asmara menyesap sebatang tembakau sembari menatap kekejauhan. Lebih tepatnya pada keberadaan sang Nenek yang tengah begitu sibuk berkebun. Tubuh ringkih itu begitu gesit memindahkan setiap tanaman yang telah penuh sesak di dalam pot kecil ke pot yang jauh lebih besar. Nenek juga sangat lincah bergerak kesana-kemari untuk menata setiap tanaman miliknya. Sedangkan Asmara, dia sudah kelelahan hanya dengan menyeret dua karung tanah dari dalam gudang. Hari ini adalah hari libur dan seperti kebiasaannya Asmara memilih untuk menghabiskan waktunya bersama sang Nenek. Meski kegiatannya tak lebih dari sekedar memperhatikan kegiatan Nenek sejak pagi sampai malam hari."Kamu masih merokok?" Nenek menatap Asmara dari posisinya kini dengan wajah berkerut. Habis pikir dengan kelakuan cucunya yang nampak begitu nyaman menyesap nikotin."Sudah kebiasaan, Nek.""Kan, Nenek sudah mewanti-wanti sejak dulu jangan pernah coba-coba, Asmara. Rokok itu berbahaya. Ada san
"Asmara, bangun!" Asmara mengerang jengkel ketika Layina mendobrak pintu kamarnya lalu berteriak-teriak keras. Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi, jelas masih terlalu awal bagi Asmara untuk memulai hari. Tapi sepertinya Layina sedang tidak mau meninggalkannya dengan tenang, Layina malah menaiki ranjang dan melompat-lompat, membuat tubuh Asmara terpental-pental kecil. "Asmara, aku bilang bangun!!" "Berisik!" Seru Asmara, terganggu. "Ayo bangun, Asmara. Laki-laki itu ada disini.” Asmara yang masih setia menutup matanya, mengerutkan kening tak mengerti. "Siapa?” “Belahan jiwamu." "Belahan jiwaku?" Beo Asmara. "Iya, belahan jiwamu yang bajingan itu." Siapa? Asmara mengerang dalam hati. Asmara sama sekali tidak mengenal seseorang dengan gelar 'bajingan' seperti itu. Asmara kemudian memaksakan diri untuk bangkit karena Layina tak kunjung
“Mbak, aku boleh titip ini buat Mas Farhan.” Asmara menyodorkan paperbag berisi gelang pemberian Farhan kepada Gania, berhati-hati agar suaranya tidak terdengar orang lain. Asmara juga sengaja untuk datang ke tempat les lebih awal agar tidak ada banyak orang yang akan melihatnya. Gania yang semula tengah merapikan lembar tes di mejanya sontak menoleh heran. “Loh, kenapa enggak kasih langsung saja, Ra?” Asmara menggeleng. “Kan ada Mbak.” "Memangnya ini apa, Ra?" Asmara sedikit mencondongkan tubuhnya beberapa derajat, menoleh ke setiap sisi sebelum berkata dengan suara pelan. “Tapi Mbak jangan kasih tahu yang lain ya, Mbak. Terutama pada Sari. Kemarin waktu antar aku pulang, Mas Farhan kasih aku hadiah. Tapi karena hadiahnya terlalu mahal, jadi aku mau kembalikan saja lewat Mbak. Boleh, kan Mbak?" “Loh, kok gitu? Kenapa enggak kamu terima saja, Ra?" “Enggak bisa, Mbak. Aku akan merasa tidak enak
“Asmara, ayo pulang bareng.”Asmara sontak menoleh ketika Gania tiba-tiba saja memasuki ruang kelas dan mengajaknya untuk pulang bersama. Hari sudah beranjak malam dan waktu ajarnya pun telah selesai, semula Asmara memang berniat segera pulang setelah membereskan barang-barangnya. Asmara hendak menyetujui tawaran Gania saat seseorang ikut melangkah masuk, membuat Asmara langsung menelan setiap kata yang hendak ia keluarkan. Sebaliknya Asmara mengurungkan niat dan menolak Gania.“Enggak usah deh, Mbak. Aku udah pesen ojek online nih, enggak tega kalau di-cancel.”Farhan yang sepertinya sudah dapat menebak penolakan Asmara segera mendekat. Laki-laki yang masih mengenakan jas kantornya itu meraih buku yang telah Asmara susun di atas meja. “Udah, ikut saja ya, Asmara. Untuk ojeknya enggak papa biar Mas yang bayar tapi kamu tetap ikut sama kita.”Di belakang Farhan, Gania mangut-mangut.“Kalau gitu aku jadinya ngerepotin Mas. Apalagi apartemen