“Kak Asmara.”
Asmara sedikit memutar tubuhnya saat Rizal, anak didiknya tiba-tiba datang menyusulnya. Padahal Asmara baru saja selesai mengajar beberapa waktu lalu. Akan tetapi dengan senyum hangat seperti biasa, Asmara menanggapi Rizal.“Rizal, ada apa?”“Rizal boleh minta waktu Kakak sebentar enggak?”Sebagai seseorang yang masih sangat muda Asmara lebih suka kalau semua anak didiknya memanggilnya dengan sebutan ‘Kakak’ bukan ‘Ibu’. Selain akan terkesan lebih akrab, Asmara juga tidak menginginkan suasana belajar yang kaku. Asmara lebih suka menciptakan lingkungan belajar yang nyaman namun masih memperhatikan norma yang berlaku. Dan terbukti, karena dengan metode pembelajaran seperti itu murid-muridnya jauh lebih mampu menyerap ilmu dengan cepat.“Kenapa? Ada pelajaran yang belum kamu pahami?”Rizal terlihat mengusap-usap ujung rambutnya dengan gugup. Siswa dengan seragam SMA itu lalu merogoh saku belakangnya, mengeluarkan sel“Kenalin nih, ini sepupu Mbak namanya Farhan. Seperti yang Mbak bilang kemarin, Farhan ini kerja jadi manajer di perusahaan yang bergerak dibidang kosmetik. Gajinya lumayan. Yah ... lebih gede dari kita lah. Jauh malah.” Gania terbahak yang turut tertular kepada sosok lelaki yang duduk tepat di sampingnya.“Nah, sekarang kenalin rekan-rekan kerja Mbak. Ini Mas Anton, dia paling senior di tempat les. Kalau ini si bungsu Asmara sama Sari.”Asmara mengangguk saat Gania memperkenalkannya pada Farhan. Seperti perkataannya kemarin, Gania mengajak mereka semua untuk makan malam bersama sepupunya, Farhan. Awalnya Asmara masih enggan untuk datang, terutama dengan iming-iming kalau Farhan tengah mencari pendamping. Hanya saja berhubung Ibunya belum pulang dan tidak ada yang memasak untuknya, pada akhirnya Asmara memilih untuk ikut saja. “Mau pesan apa, Ra?” Tanya Anton sembari menunjukkan kertas menu padanya. “Samain aja deh sama Mas, tapi minumnya ice te
“Kenapa kamu tiba-tiba ingin tinggal bersama Layina?” Tanya Ibu sembari memasukkan helai demi helai pakaian ke dalam koper. Tadi malam Asmara tiba-tiba saja memberitahu kalau dia akan tinggal di apartemen Layina, sepupunya. Ibu tentu saja terkejut dan tidak menyetujuinya pada awalnya. Selain karena keputusan Asmara terlalu mendadak, Ibu juga tidak mengerti kenapa Asmara harus repot-repot pindah ke tempat yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari apartemen mereka. Sebaliknya jarak apartemen Layina justru lebih jauh dari tempat Asmara bekerja. Namun karena Asmara terus saja memohon, mau tak mau Ibu akhirnya menyetujuinya juga. “Kak Alan, kan sudah mau menikah, jadi Layina akan tinggal sendirian di apartemennya. Mungkin dia tidak berani dan minta Ara untuk menemaninya," ujar Asmara dengan sedikit bumbu dusta.“Ibu bukannya berpikir macam-macam, tapi kamu juga tahu Layina itu bagaimana. Jika kamu tinggal bersama Layina, takutnya kamu juga terbawa olehnya.”
Farhan : Asmara, apa kabar?Asmara menghembuskan nafas resah begitu sebuah pesan muncul di layar ponselnya. Ini bukan pertama kalinya Farhan menghubunginya. Sejak pertemuan mereka malam itu, Farhan kerap kali mengiriminya pesan dengan dalih ingin saling mengenal. Memang Farhan tidak secara gamblang mengatakan tujuan utamanya. Setiap pesan yang Farhan kirimkan juga tidak selalu menjurus pada hal seperti itu. Namun hanya dengan secuil tindakan itu sudah mampu membuat Asmara memahami jikalau Farhan memang mencoba mendekatinya.Malam itu, setiap kali melontar pertanyaan mata lelaki itu selalu terarah pada Asmara dan bahkan ketika Sari yang menjawab pun, Farhan cenderung tak acuh. Laki-laki itu akan kembali menanyakan hal yang sama sampai Asmara menjawabnya. Dan sekarang Farhan juga mengiriminya pesan saat laki-laki itu tak sekalipun meminta kontak Sari.Tapi, Farhan adalah jodoh Sari.Dengan kemampuan melihat ikatan benang merah jodoh m
Farhan :Asmara, Mas sudah sampai di depan apartemen.Asmara mengusap pelipisnya dengan berat hati ketika Farhan mengiriminya pesan jikalau lelaki itu sudah sampai di depan gedung apartemen. Karena ulah Layina yang dengan seenaknya mengotak-atik ponselnya, terpaksa Asmara harus menempati janji yang tidak ia buat untuk pergi ke acara festival bersama Farhan.Sebenarnya Asmara sudah akan menjelaskan pada Farhan kalau Layina lah yang telah membalas pesannya bukan Asmara, namun begitu Asmara menelpon Farhan ternyata laki-laki itu sudah terlanjur bersiap. Alhasil tidak ada pilihan lain, Asmara hanya mampu mengorbankan dirinya sendiri dari pada melukai perasaan orang lain. "Dia sudah datang?" Tanya Layina sembari menjinjing sebuah tas kecil berwarna putih dari salah satu lemari yang terisi penuh oleh berbagai tas bermerk miliknya, lalu menyampirkannya di bahu Asmara. Gadis itu memperhatikan penampilan Asmara sembari berdecih jijik. "Padahal lebih baik kamu
“Asmara, ayo pulang bareng.”Asmara sontak menoleh ketika Gania tiba-tiba saja memasuki ruang kelas dan mengajaknya untuk pulang bersama. Hari sudah beranjak malam dan waktu ajarnya pun telah selesai, semula Asmara memang berniat segera pulang setelah membereskan barang-barangnya. Asmara hendak menyetujui tawaran Gania saat seseorang ikut melangkah masuk, membuat Asmara langsung menelan setiap kata yang hendak ia keluarkan. Sebaliknya Asmara mengurungkan niat dan menolak Gania.“Enggak usah deh, Mbak. Aku udah pesen ojek online nih, enggak tega kalau di-cancel.”Farhan yang sepertinya sudah dapat menebak penolakan Asmara segera mendekat. Laki-laki yang masih mengenakan jas kantornya itu meraih buku yang telah Asmara susun di atas meja. “Udah, ikut saja ya, Asmara. Untuk ojeknya enggak papa biar Mas yang bayar tapi kamu tetap ikut sama kita.”Di belakang Farhan, Gania mangut-mangut.“Kalau gitu aku jadinya ngerepotin Mas. Apalagi apartemen
“Mbak, aku boleh titip ini buat Mas Farhan.” Asmara menyodorkan paperbag berisi gelang pemberian Farhan kepada Gania, berhati-hati agar suaranya tidak terdengar orang lain. Asmara juga sengaja untuk datang ke tempat les lebih awal agar tidak ada banyak orang yang akan melihatnya. Gania yang semula tengah merapikan lembar tes di mejanya sontak menoleh heran. “Loh, kenapa enggak kasih langsung saja, Ra?” Asmara menggeleng. “Kan ada Mbak.” "Memangnya ini apa, Ra?" Asmara sedikit mencondongkan tubuhnya beberapa derajat, menoleh ke setiap sisi sebelum berkata dengan suara pelan. “Tapi Mbak jangan kasih tahu yang lain ya, Mbak. Terutama pada Sari. Kemarin waktu antar aku pulang, Mas Farhan kasih aku hadiah. Tapi karena hadiahnya terlalu mahal, jadi aku mau kembalikan saja lewat Mbak. Boleh, kan Mbak?" “Loh, kok gitu? Kenapa enggak kamu terima saja, Ra?" “Enggak bisa, Mbak. Aku akan merasa tidak enak
"Asmara, bangun!" Asmara mengerang jengkel ketika Layina mendobrak pintu kamarnya lalu berteriak-teriak keras. Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi, jelas masih terlalu awal bagi Asmara untuk memulai hari. Tapi sepertinya Layina sedang tidak mau meninggalkannya dengan tenang, Layina malah menaiki ranjang dan melompat-lompat, membuat tubuh Asmara terpental-pental kecil. "Asmara, aku bilang bangun!!" "Berisik!" Seru Asmara, terganggu. "Ayo bangun, Asmara. Laki-laki itu ada disini.” Asmara yang masih setia menutup matanya, mengerutkan kening tak mengerti. "Siapa?” “Belahan jiwamu." "Belahan jiwaku?" Beo Asmara. "Iya, belahan jiwamu yang bajingan itu." Siapa? Asmara mengerang dalam hati. Asmara sama sekali tidak mengenal seseorang dengan gelar 'bajingan' seperti itu. Asmara kemudian memaksakan diri untuk bangkit karena Layina tak kunjung
Asmara menyesap sebatang tembakau sembari menatap kekejauhan. Lebih tepatnya pada keberadaan sang Nenek yang tengah begitu sibuk berkebun. Tubuh ringkih itu begitu gesit memindahkan setiap tanaman yang telah penuh sesak di dalam pot kecil ke pot yang jauh lebih besar. Nenek juga sangat lincah bergerak kesana-kemari untuk menata setiap tanaman miliknya. Sedangkan Asmara, dia sudah kelelahan hanya dengan menyeret dua karung tanah dari dalam gudang. Hari ini adalah hari libur dan seperti kebiasaannya Asmara memilih untuk menghabiskan waktunya bersama sang Nenek. Meski kegiatannya tak lebih dari sekedar memperhatikan kegiatan Nenek sejak pagi sampai malam hari."Kamu masih merokok?" Nenek menatap Asmara dari posisinya kini dengan wajah berkerut. Habis pikir dengan kelakuan cucunya yang nampak begitu nyaman menyesap nikotin."Sudah kebiasaan, Nek.""Kan, Nenek sudah mewanti-wanti sejak dulu jangan pernah coba-coba, Asmara. Rokok itu berbahaya. Ada san