Asmara menyesap sebatang tembakau sembari menatap kekejauhan. Lebih tepatnya pada keberadaan sang Nenek yang tengah begitu sibuk berkebun. Tubuh ringkih itu begitu gesit memindahkan setiap tanaman yang telah penuh sesak di dalam pot kecil ke pot yang jauh lebih besar. Nenek juga sangat lincah bergerak kesana-kemari untuk menata setiap tanaman miliknya. Sedangkan Asmara, dia sudah kelelahan hanya dengan menyeret dua karung tanah dari dalam gudang.
Hari ini adalah hari libur dan seperti kebiasaannya Asmara memilih untuk menghabiskan waktunya bersama sang Nenek. Meski kegiatannya tak lebih dari sekedar memperhatikan kegiatan Nenek sejak pagi sampai malam hari."Kamu masih merokok?" Nenek menatap Asmara dari posisinya kini dengan wajah berkerut. Habis pikir dengan kelakuan cucunya yang nampak begitu nyaman menyesap nikotin."Sudah kebiasaan, Nek.""Kan, Nenek sudah mewanti-wanti sejak dulu jangan pernah coba-coba, Asmara. Rokok itu berbahaya. Ada sanAsmara terbangun ketika suara percakapan samar disertai lantunan musik klasik terdengar di telinganya. Gadis itu mengerang pelan, memaksakan dirinya untuk membuka kedua mata dan mengerjap ketika cahaya silau dari jendela yang terbuka terasa menusuk penglihatannya.Kedua alisnya menukik tajam ketika Asmara menemukan dimana ia kini. Seingatnya Asmara masih berada di ruang kerja Kakeknya sampai ia tak sengaja terlelap ketika dini hari tiba. Tapi sekarang, ia malah terbangun di atas ranjang dengan sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya rapat-rapat. Tidak hanya itu, jepit rambutnya yang semula masih menggantung di rambut ikalnya kini telah teronggok di atas nakas. Tertata rapi bersama ponselnya.Aneh, pikirnya.Namun Asmara tidak mempunyai banyak waktu untuk memikirkan bagaimana caranya ia sampai ke kamar tidur, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, hampir mendekati waktu kerjanya. Buru-buru Asmara melompat ke kamar mandi guna membersihkan diri dan ber
"Asmara, boleh aku tanya sesuatu?"Asmara yang baru saja akan melangkah memasuki pintu kaca sebuah restoran, seketika menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang dan memasang raut penuh tanya kepada sang penanya, Sari. Tidak hanya dirinya, gerakan Sari juga turut menarik perhatian ketiga orang lainnya, Gania, Farhan serta Anton yang sudah lebih dulu membuka pintu. Masing-masing dari mereka memandang Sari penuh ingin tahu."Ada apa, Ri?" Tanya Gania penasaran. Sari segera memasang senyum kikuk, berusaha menegaskan bahwa tidak ada hal penting yang terjadi. Gadis itu menarik pergelangan tangan Asmara, seolah takut seseorang akan menghalanginya untuk berbicara. "Mbak sama yang lainnya bisa masuk ke dalam duluan saja, aku mau ngobrol sebentar sama Asmara.""Memangnya ada apa, Ri? Tidak biasanya kamu main rahasia-rahasiaan.""Bukan apa-apa kok, Mbak. Boleh ya, Mbak? Kalau mau kalian bisa makan duluan saja.""Ya sudah, janga
Asmara terkadang heran dengan perjalanan takdir. Di saat ia begitu mengingini sesuatu, takdir malah menjauhkan hal itu darinya. Jangankan membiarkannya menggenggam harapan barang sedetikpun, Asmara bahkan tak diperbolehkan untuk menyentuhnya. Seakan semesta tak sudi membiarkan manusia rendahan sepertinya mendapat segalanya dengan mudah. Dan bahkan jika ia telah melalui beragam kesakitan, belum tentu takdir akan bersimpati padanya.Tapi kini, ketika Asmara tak lagi bertekad memilikinya dan cenderung menjauhkan diri, tangan-tangan takdir justru mendorong hal itu ke depan matanya. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali mempermainkannya dengan kekuatannya yang maha kuat.Lalu ketika ia kembali tergoda, akankah takdir kembali menarik harapannya?Asmara merasakan suatu kehampaan yang mengganjal di dadanya, membuatnya hanya mampu tersenyum nanar memikirkan hidupnya. Dengan perasaan tergulung sendu, Asmara menatap seseorang yang kini duduk tepat di sa
Bagai rembulan yang kehilangan sumber sinarnya, Asmara telah kehilangan ketenangannya selama beberapa hari belakangan. Sejak malam dimana ia menghabiskan makan malam bersama Nanda dan teman-temannya, isi pikiran Asmara telah dipenuhi oleh beragam kebimbangan. Terutama jika ia mengingat percakapannya dengan Nanda waktu itu. "Apa gunanya mencari orang lain jika sejak awal aku tahu bukan dia orangnya?" Air muka Nanda tampak berubah tepat setelah Asmara melontarkan kalimat itu. Seolah sesuatu yang tak kasat mata telah memasuki relung jiwanya. Nanda terdiam sejenak, pandangannya jatuh ke atas langit dan Asmara dapat merasakan kegelisahaan pada setiap kedipan matanya. "Bagaimana kamu bisa tahu bahwa orang yang kita cari bukan orang yang tepat?" Lalu apa yang Nanda katakan di lantai dasar gedung apartemennya sekali lagi membuat detak waktu seakan terhenti. Sesak hingga tak tercegah. Asmara terpaku, memperhatikan Nanda
"Kamu ada dimana?" Asmara memijat pelipisnya karena sensasi pusing yang mendera kepalanya kini. Segalanya tampak berputar. Tubuhnya terasa mengambang meski Asmara tahu bila ia tengah menapak di atas lantai. Suara-suara yang semula terdengar lantang juga kini secara perlahan terdengar bagai nada terputus-putus. Memberi petunjuk bahwa kini Asmara tak lagi mampu menanggung akibat dari minuman yang ia teguk beberapa waktu lalu."Asmara." Suara di seberang telepon kembali menarik sedikit kesadarannya. Asmara memaksakan tangannya yang berat untuk menempelkan ponselnya ke telinga, lalu menjawab dengan gumamam singkat."Bar.""Bar yang mana?""Music Bar sunshine.""Tunggu di sana, jangan kemana-mana!""Hei!"Asmara berseru keras ketika panggilan terputus begitu saja. Kedua matanya mengerjap cepat memperhatikan layar ponsel, meski begitu penglihatannya yang kabur ditambah sinar yang terlalu silau membuatn
“Ara mohon jangan pergi! Kenapa Om Nanda tidak bisa melihat ketulusan Ara? Ara sudah memberikan segalanya untuk Om, bahkan diri Ara sendiri. Kenapa Om tidak bisa menerima perasaan Ara? Ara mencintai Om!”Asmara meraung kencang. Kemarahan dan kesedihan di hatinya membuat gadis yang saat ini hanya berselimut sebuah kain itu tak mempedulikan kondisinya sendiri. Matanya menyorot nyalang pada sesosok lelaki dewasa yang kini tengah berdiri di seberang ranjang. Penampilan lelaki itu sama berantakannya dengan Asmara. Kemeja putih yang ia kenakan tidak dikancingkan seluruhnya, ujung kainnya juga tampak kusut bernoda.Tapi tidak sekusut ekspresinya sekarang.Berkali-kali laki-laki itu mengerang berat, mengacak-ngacak rambutnya dan bahkan menyuarakan sumpah serapah. Seolah beban yang amat berat telah mendera hidupnya. Membuat Asmara bertanya-tanya, apakah menghabiskan malam dengannya begitu sulit diterima?Semua bermula ketika Asmara menghadiri pesta wisuda yang diadakan di sebuah bar di salah s
“Darimana saja kamu? Kenapa baru pulang sekarang? Kamu tahu betapa khawatirnya Ibu ketika nomor kamu tidak bisa dihubungi?”Cecaran Ibu menjadi hal pertama yang Asmara dengar saat ia memasuki apartemennya. Biasanya Asmara akan segera membujuk Ibu setiap kali perempuan itu marah padanya. Seperti memeluk atau mengecup pipinya sembari melontar beragam kalimat manis. Akan tetapi kali ini Asmara tidak segera melakukannya. Perasaannya benar-benar tengah hancur lebur sekarang. Bahkan Asmara tidak memiliki kekuatan hanya untuk sekedar membuka suaranya. Mengabaikan pertanyaan dari sang Ibu, Asmara melangkah lunglai menuju kamarnya.Sayangnya pengabaian Asmara membuat Ibu naik pitam. Perempuan yang telah berkepala empat itu mencekal lengan Asmara dan menariknya sehingga Asmara terhuyung mundur.“Jawab Ibu, Asmara! Dari mana saja kamu?!”Asmara menghembuskan nafas lelah. Berusaha sebisa mungkin menahan nyeri di kepalanya. “Bisa tolong jangan sekarang, Bu? Aku lelah.”“Lelah? Kalau kamu bisa meng
Asmara memperhatikan beberapa mobil yang terparkir di halaman depan rumah bergaya joglo. Hari ini adalah hari ulangtahun Neneknya dan seperti kebiasaan lama hampir semua kerabatnya akan berkumpul di kediaman sang Nenek sebagai perayaan. Bukan semacam pesta yang megah namun lebih mengarah kepada acara kumpul keluarga biasa dimana semua orang menghabiskan waktu dengan makan bersama dan mengobrol santai. Bedanya khusus untuk hari ini masing-masing dari mereka akan membawa satu pot bunga sebagai hadiah.Ya, Nenek suka sekali berkebun. Ada banyak sekali jenis tanaman yang tumbuh di halaman depannya dan mungkin akan selalu bertambah setiap tahunnya. Kebiasaan ini muncul setelah Kekek meninggal 8 tahun silam, sehingga guna meredam kesedihannya Nenek hanya menghabiskan waktu dengan bercocok tanam. Menghias kediamannya dengan berbagai bunga indah yang memanjakan mata.Sepanjang hidupnya Nenek hanya memiliki tiga orang anak saja. Satu anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak laki-lakinya yan