Beranda / Romansa / Cinta sang Asmara / Chapter 3. Ulang tahun Nenek

Share

Chapter 3. Ulang tahun Nenek

Asmara memperhatikan beberapa mobil yang terparkir di halaman depan rumah bergaya joglo. Hari ini adalah hari ulangtahun Neneknya dan seperti kebiasaan lama hampir semua kerabatnya akan berkumpul di kediaman sang Nenek sebagai perayaan. Bukan semacam pesta yang megah namun lebih mengarah kepada acara kumpul keluarga biasa dimana semua orang menghabiskan waktu dengan makan bersama dan mengobrol santai. Bedanya khusus untuk hari ini masing-masing dari mereka akan membawa satu pot bunga sebagai hadiah.

Ya, Nenek suka sekali berkebun. Ada banyak sekali jenis tanaman yang tumbuh di halaman depannya dan mungkin akan selalu bertambah setiap tahunnya. Kebiasaan ini muncul setelah Kekek meninggal 8 tahun silam, sehingga guna meredam kesedihannya Nenek hanya menghabiskan waktu dengan bercocok tanam. Menghias kediamannya dengan berbagai bunga indah yang memanjakan mata.

Sepanjang hidupnya Nenek hanya memiliki tiga orang anak saja. Satu anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak laki-lakinya yang tak lain adalah Ayah Asmara memilih untuk tinggal di luar negeri bersama keluarga barunya. Begitu pula dengan kedua putrinya yang juga tinggal di kota-kota berbeda setelah menikah. Meski begitu mereka tidak meninggalkan Nenek untuk hidup sendiri, mereka turut serta menyewa seorang pengasuh dan akan berkunjung secara berkala. Asmara juga terhitung cukup sering menemui sang Nenek. Apalagi di antara yang lainnya apartemen dimana Asmara tinggal berjarak paling dekat dengan rumah Nenek.

Mengambil satu pot bunga anggrek dari bagasi mobilnya Asmara kemudian melangkah memasuki area rumah, turut menyapa beberapa kerabatnya yang tengah bercengkerama di depan teras.  Baru ketika kedua kakinya melangkah memasuki pintu Asmara merasakan sebuah tarikan lembut di ujung jari kelingkingnya. Asmara menegang, pandangannya langsung mengedar ke setiap penjuru rumah. Pasalnya hanya ada satu pertanda mengapa benang merahnya bisa bereaksi seperti itu.

Nanda ada disini.

Benar saja, Asmara baru saja memasuki ruang tamu saat matanya segera menangkap sosok Nanda. Laki-laki itu tampak memukau dengan kemeja hitam yang membungkus tubuhnya yang lumayan kekar. Rambutnya di sisir rapi ke belakang, menyisakan beberapa helai yang jatuh ke wajahnya. Benang merah di jarinya berkibar seiring gerakan tangannya mengambil segelas jus di atas meja. Sebelum akhirnya menyerahkannya pada seorang gadis cantik yang duduk tepat di sebelahnya. Nanda tampak tersenyum amat hangat, membisikkan sesuatu yang membuat sang gadis tertawa.

Detak jantung Asmara melambat menyaksikan semuanya.

Maira adalah sahabat Nanda sejak duduk di bangku sekolah menengah. Dia berprofesi sebagai dokter di salah satu rumah sakit swasta. Dan bukan rahasia lagi kalau Nanda menaruh hati padanya. Setiap kali Maira ada, Asmara bisa melihat pancaran kelembutan di manik laki-laki itu. Hal yang tidak pernah Asmara dapatkan.

Maira sendiri sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih. Namanya Gilang, dia juga berprofesi sebagai dokter di rumah sakit yang sama. Dan Asmara bisa melihat benang merah yang menyatukan keduanya. Dengan kata lain Maira adalah jodoh yang Tuhan takdirkan untuk Gilang.

Sayangnya hubungan mereka begitu berkelok. Ada banyak rintangan yang membuat keduanya kerap kali terpisahkan. Dan selama masa itu, Maira akan datang menemui Nanda. Menunjukkan keresahannya dan meminta Nanda untuk mengobatinya.

Jelas, Nanda hanya berperan sebagai bahu sandaran saat diperlukan. Lalu saat perasaannya telah membaik Maira memilih kembali pada Gilang.

Asmara sudah berkali-kali mengingatkan Nanda bahwa Maira bukanlah orang yang tepat untuknya. Namun Nanda masih bersikeras. Mencintai Maira tanpa syarat.

Di saat Nanda mati-matian menghindarinya seolah Asmara adalah duri tajam yang kapan saja bisa melukainya, Nanda justru dengan suka rela memeluk duri yang lain atas kemauannya sendiri. Nanda bersedia mencintai Maira bahkan jika dia tahu kemunculan Maira hanya akan membuat hatinya terluka.

“Asmara!”

Asmara hendak menghampiri Nanda tatkala Nenek sudah lebih dulu berlari dan memeluknya. Membuat Asmara segera memalingkan wajah dan menyapa sang Nenek.

“Nenek, selamat ulangtahun. Semoga Nenek panjang umur, semakin bahagia, semakin cantik dan semakin menjadi Nenek kesayangan Ara." Nenek langsung mengamini begitu mendengar do'a Asmara untuknya. "Hari ini Ara bawakan Nenek bunga anggrek, Nenek suka tidak?”

“Ya ampun, terimakasih sayang. Anggreknya cantik sekali."

"Ara senang kalau Nenek suka."

"Asmara ..." Nenek tiba-tiba merendahkan suaranya. Membuat Asmara seketika menundukkan kepalanya mendekati Nenek. "Benang merah kamu dan Nanda ... mengapa itu begitu kusut?"

Sebagai seorang perempuan Afsana, Nenek juga memiliki kemampuan untuk melihat benang merah belahan jiwa. Dan Nenek jugalah yang berperan sebagai sosok pengarah bagi Asmara dan perempuan Afsana lainnya. Setiap kali ada masalah Nenek akan memapah putri serta cucunya, tak membiarkan mereka kesulitan karena kelebihan mereka.

"Nek, aku rasa kisah kami tidak akan berjalan mudah," lirih Asmara.

Nenek menyadari kesedihan yang terpancar dari raut wajah Asmara. Dengan penuh kelembutan Nenek menangkup pipi Asmara dengan telapak tangannya yang hangat.  "Cinta adalah sebuah keteguhan hati, Asmara. Adakalanya cinta bisa membuat seseorang bagai terjerat semak belukar, jika tidak hati-hati duri tajamnya bisa melukai diri kita."

Asmara menarik nafas, mencoba melapangkan dadanya yang terasa sesak. "Tapi kenapa semenyakitkan ini, Nek? Bukankah kemampuan kita harusnya membuat kita bisa mendapatkan cinta sejati? Tapi mengapa banyak dari kita malah mengalami kesakitan karenanya?"

"Kamu harus dapat membedakan perasaan apa yang kamu miliki sekarang, Asmara. Apa perasaan yang ada di hati kamu itu adalah cinta yang murni atau rasa kepemilikan saja." Nenek kemudian menunjuk dada Asmara dan berkata. "Disini, tepat di hati kamu, baik ketulusan atau perasaan yang mengandung ego kamu harus memahaminya lebih dulu. Jika kamu sudah mendapatkan jawabannya maka percayalah hatimu akan merasa jauh lebih baik."

Asmara terdiam. Mencoba memahami perkataan sang Nenek.

"Maira ada disini. Cobalah tabahkan hati terlebih dahulu, Nenek akan selalu dukung kamu," sambung Nenek penuh pengayoman.

Nenek  merangkul Asmara untuk memasuki ruang tamu dimana seluruh kerabatnya telah berkumpul. Asmara sengaja duduk tepat di depan Nanda dan Maira sehingga ia bisa melihat lelaki itu dengan leluasa. Meski setiap kali pandangan mereka bertemu, Nanda akan memalingkan wajah menghindarinya.

Asmara mengepalkan tangan mendapati perlakuan dingin itu.

Sebenarnya selama beberapa hari belakangan Asmara mencoba menghubungi Nanda baik lewat pesan ataupun panggilan telepon, akan tetapi setiap kali Nanda akan menolaknya. Nanda hanya akan membalasnya jika Asmara menggunakan kontak Ibunya, itupun tidak membuahkan hasil. Karena setiap kali Nanda menyadari kalau itu adalah Asmara, laki-laki itu akan langsung menghilang lagi. Mengetuk pintu apartemennya juga tidak berguna. Nanda sama sekali mengabaikannya.

“Asmara, apa kabar? Mbak dengar kamu sudah lulus ya, wah selamat ya. Maaf Mbak enggak bisa datang ke wisudaan kamu, Mbak masih ada kerjaan di rumah sakit.”

Meski sakit, Asmara memaksakan dirinya untuk tersenyum menanggapi Maira.

“Oh iya, kamu masih kerja di tempat les? Ada rencana buat lamar pekerjaan lain? Kamu itu ‘kan jurusan matematika, pintar lagi, sayang loh kalau cuma kerja di tempat les. Apalagi waktu kerjanya juga cuma sore hari ‘kan? Enggak mau jadi guru sekolah saja? Kalau mau Mbak bisa hubungi kerabat Mbak, kebetulan mereka juga kerjanya sebagai guru di sekolah swasta yang elit.”

Asmara berkali-kali menekankan pada dirinya untuk bertahan. Meskipun Asmara benar-benar enggan mendengar perkataan Maira.

Ini juga yang membuat Asmara tidak menyukai Maira. Selain karena Maira selalu memanfaatkan kebaikan Nanda, Maira juga seringkali meremehkannya. Walau Maira tidak mengatakannya secara terang-terangan, hanya saja perkataan Maira membuat Asmara kerap kali tersinggung. Mungkin Maira merasa hebat karena berprofesi sebagai seorang dokter dan Asmara hanya bekerja sebagai staf pengajar biasa.

“Iya, Asmara. Kenapa tidak melamar ke sekolah saja atau kalau mau kamu bisa melamar jadi akuntan. Sayang loh gelar sarjana kamu,” timpal salah satu kerabatnya, jelas memperkeruh perasaan Asmara.

“Berapa sih gaji jadi guru les? Ini juga nih yang buat Tante nyuruh kamu masuk jurusan kedokteran bukannya malah milih jurusan guru matematika. Lihat Maira, dia masih muda tapi bisa jadi dokter dengan penghasilan yang cukup tinggi.”

Seakan semua orang berkolusi menunjuk Asmara sebagai target. Berbekal kalimat simpati mereka memojokkan Asmara secara bergantian.

“Sudah, setiap orang pasti punya pilihannya masing-masing. Memangnya kenapa kalau Asmara mau jadi guru? Dokter juga tidak akan bisa jadi dokter kalau tidak ada guru,” tutur Nenek menengahi. Nenek mungkin menyadari kalau perkataan mereka membuat Asmara tidak nyaman.

Layina—salah satu sepupu Asmara ikut bergabung. “Lagian Tante ini suka banget ngurusin gaji orang. Suka-suka kita dong mau kerja apa aja, gaji mah urusan belakang. Yang penting bisa makan dan kebutuhan bisa terpenuhi. Mau guru, mau apapun asal kerjaannya halal, ya enggak masalah. Oh iya, Yusril juga udah kerja belum? Udah 4 tahun lulus sarjana kesehatan kok enggak kerja-kerja?”

Begitu Layina menyinggung soal putranya, sang Tante yang memang terkenal sebagai penyinyir handal itu langsung mendengus dengan raut keruh. Asmara diam-diam berterimakasih pada sepupunya itu. Asmara dan Layina memang sangat dekat, mungkin karena usia dan kisah hidup mereka yang hampir sama. Asmara sering kali datang kepada Layina untuk mencurahkan segala isi hatinya. Maka tidak heran jika Layina mengetahui setiap hal tentang Asmara. Begitu juga sebaliknya.

Layina juga selalu berperan sebagai pelindung bagi Asmara. Contohnya saja seperti sekarang ini. Ketika seseorang menyinggung Asmara, Layina yang akan membalas mereka. Maklum saja di antara cucu-cucu Nenek, Layina memang terkenal nakal dan berlidah tajam.

Asmara mengucapkan 'thanks' tanpa suara yang membuat Layina tersenyum miring.

“Oh iya, rencananya besok Tante mau ke rumah sakit untuk vaksin anaknya Tante. Tante mau daftar antrian lewat kamu saja tidak papa?” Lontar salah satu dari kerabat yang lain, mencoba mengalihkan kebekuan.

“Yah ... maaf Tante, tapi besok aku kebetulan sedang tidak ada jadwal jaga. Aku juga harus bantu Nanda beres-beres di apartemen. Nanda tuh suka enggak teliti, kalau enggak dibantu nanti banyak barang yang ketinggalan.”

“Beres-beres? Beres-beres apa?” Tanya Asmara heran. Dia menatap Maira dan Nanda menuntut penjelasan.

“Loh, kamu belum tahu ya? Nanda ‘kan mau pindahan, dia baru aja beli rumah.”

Pindah?

Kenapa Asmara tidak tahu?

Apartemen yang Nanda tinggali sekarang adalah warisan dari mendiang kedua orangtuanya. Nanda begitu menyayanginya. Walaupun selama ini Nanda mampu untuk membeli tempat tinggal yang jauh lebih besar, Nanda memilih untuk tetap tinggal disana. Bahkan setelah bertahun-tahun Nanda sebisa mungkin mempertahankan seluruh isinya sama seperti dahulu kala sehingga ia bisa menjaga kenangan bersama keluarganya.

Oleh karena itu Asmara benar-benar terkejut begitu mengetahui kalau Nanda akan pindah dari sana.

Asmara menatap Nanda. Mendapati kalau laki-laki itu mengalihkan pandangannya membuat Asmara seketika mengatupkan rahangnya marah. “Kenapa Om mau pindah? Bukankah selama ini Om selalu tinggal di apartemen itu?”

“Mungkin Nanda cuma mau suasana baru aja, iya ‘kan Nda? Apalagi rumah barunya deket banget sama rumah Mbak. Jadi Nda enggak perlu muter lagi kalau mau jemput aku.”

Asmara mencelos. Dia paham sekarang. Nanda adalah tipe orang yang enggan merugikan orang lain. Oleh karena itu, sebisa mungkin Nanda selalu menanggapi setiap orang hanya agar orang tersebut merasa nyaman. Tidak peduli jika orang itu adalah orang yang Nanda tidak sukai. Nanda masih akan memperlakukannya dengan sopan.

Akan tetapi, berkebalikan dengan sikapnya. Nanda malah tidak menanggapi Asmara sama sekali. Nanda seolah tidak memikirkan perasaan Asmara setelah ia menghilang begitu saja. Dan semua perubahan sikap itu terjadi sejak kejadian malam itu.

Lalu tiba-tiba saja Asmara mengetahui kalau di samping penghindaran Nanda padanya, lelaki itu malah mencoba lebih dekat kepada Maira. Jantungnya berdenyit nyeri menyadari kalau Nanda benar-benar ingin menghilang dari hidupnya.

Setidakpantas itu kah Asmara sampai Nanda memilih untuk meninggalkan kenangan keluarganya hanya untuk menjauhi dirinya?Lalu sebaliknya Nanda malah memilih untuk melangkah maju kepada Maira.

“Kenapa? Apa karena aku?! Apa karena kejadian itu sampai Om memilih pindah?” Asmara bertanya dengan perasaan terluka.

“Kejadian apa?” Tanya Maira bingung. Dia melirik Nanda dan Asmara bergantian. “Nda, kejadian apa?”

Untuk pertama kalinya Nanda kembali memandang Asmara. Sayangnya bukan binar mata yang Asmara harapkan, sebaliknya cara Nanda memandangnya begitu dingin. Seolah Asmara bukanlah bagian dari hidupnya.

“Asmara, jangan macam-macam."

Jelas peringatan Nanda malah membuat Asmara semakin emosi. “Kenapa? Apa Om takut? Tidak bisakah dia tahu soal kita, Om? Apa setidakpantas itukah aku sehingga Om tidak sudi membiarkan orang lain tahu?”

Nenek dan beberapa orang yang ada disana seketika mengalihkan atensinya pada Asmara dan Nanda. Mereka mungkin merasa penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi setelah mendengar perkataan Asmara.

Asmara menunjuk Nanda tepat setelah sang Nenek menanyakan apa yang terjadi. “Tahukah Nenek kalau Om Nanda sudah menyentuh Ara? Kami melakukan itu di malam saat aku menghadiri pesta kelulusanku.”

Jelas, apa yang Asmara beberkan langsung membuat semua orang yang mendengarnya terkejut bukan main. Bahkan Maira, selaku orang yang duduk paling dekat dengan Nanda langsung menutupi mulutnya tak percaya.

“Nda, ini serius? Kalian ...”

Nanda mengusap wajahnya kasar. “Itu tidak disengaja. Kami berdua mabuk dan segalanya terjadi begitu saja.”

“Tapi semuanya sudah terjadi, Nanda kamu harus bertanggungjawab," cecar salah satu kerabat Asmara yang diikuti oleh sahutan yang lain.

“Tapi Nanda tidak sadar saat itu, kalian tidak bisa memaksa Nanda. Kalau saja Asmara tidak mabuk saat itu, Nanda juga tidak akan berani." Maira menatap Asmara penuh tuduhan. Seolah semua yang terjadi adalah kesalahan Asmara sepenuhnya.

Asmara tertawa mengejek. “Mengapa? Bukankah kamu sudah memiliki seorang kekasih? Kenapa repot-repot mempertahankan laki-laki lain.”

“Bukan seperti itu, Asmara. Kamu tidak bisa memaksa perasaan kamu pada seseorang yang tidak mencintai kamu. Lagipula kamu juga mabuk saat itu. Itu tidak sepenuhnya salah Nanda.”

“Mbak Maira, bukankah kamu tidak tahu malu. Kamu berbicara tanpa melihat diri kamu sendiri. Bukankah Mbak juga seperti itu? Mbak sudah memiliki kekasih tapi masih mengombang-ambing Om Nanda. Seharusnya Mbak tahu malu, jangan selalu bertingkah menjadi perempuan suci saat Mbak bahkan tidak peduli pada kesucian perempuan lain.”

“Asmara, kamu sudah keterlaluan ... aku tidak seperti itu.” Maira terhenyak mundur. Matanya mulai memerah seakan siap meneteskan air mata kapan saja. Asmara mendengus sinis melihatnya, tidak mempercayai tangisan Maira yang menurutnya hanya mengemis simpati.

"Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan sekarang?" Asmara menunjuk lengan Maira yang merangkul Nanda. "Menurut Mbak bagaimana perasaan kekasih Mbak jika melihat Mbak memeluk pria lain seperti itu? Dia pasti akan sangat terluka bukan?"

“Mbak tahu tidak kalau orang-orang juga bisa  muak dengan air mata buaya itu. Kamu—”

“ASMARA SUDAH CUKUP!!”

Asmara tersentak begitu Nanda meneriakinya dengan cukup keras, seketika mengingatkannya pada celaan Nanda di pagi itu. Asmara merasakan nafasnya terengah-engah nyeri. Terutama saat Nanda memeluk Maira yang gemetar karena tangis.

“Sebaiknya kamu pikirkan dulu perilaku kamu," peringat Nanda sebelum akhirnya bergegas bangkit membawa Maira bersamanya.

Asmara mencekal langkah Nanda.

“Kenapa Om melakukan ini padaku? Apa yang kurang dariku? Selama ini aku sudah berusaha menjadi sosok terbaik untukmu. Aku merubah diriku sendiri hanya untukmu. Tapi bahkan setelah semua yang aku berikan Om masih terjebak pada perempuan tidak tahu diri ini!! Tahukah Om betapa sakitnya perasaanku saat Om memanggil nama perempuan lain ketika Om tengah memelukku?! Bukankah seharusnya aku yang marah? Bukankah seharusnya aku yang dikasihani? Bukan dia!! Tapi aku!!”

“ASMARA, CUKUP!” Nanda menyentak cekalan Asmara padanya. “Kamu pikir kamu siapa? Jika bukan karena kamu cucu Nenek, aku juga tidak akan sudi menerimamu! Malam itu kamu juga yang pertama kali mendekatiku, kamu yang menggodaku dan sekarang kamu meminta pertanggungjawaban? Pergi, aku tidak mau melihatmu lagi!”

“Semua ini karena perempuan itu bukan? Kamu itu milikku! Kamu belahan jiwaku!! Kenapa kamu harus mencintai perempuan yang jelas-jelas hanya memanfaatkan kamu saja? Lihat aku, hanya aku yang bisa mencintai kamu, Om. Hanya aku!!”

"Asmara, kamu sudah gila," geram Nanda.

"Aku juga tidak akan seperti ini jika Om tidak memperlakukan aku dengan begitu jahat."

Asmara menarik Nanda, mencoba memisahkannya dari Maira. Sayangnya Nanda tak sedikitpun bergerak. Dia masih bergeming, memeluk Maira dengan erat, dengan tangan yang diikat oleh benang merah—yang seharusnya menyatukan Asmara dan Nanda. Menyadarkan Asmara bahwa dia tidak memiliki kesempatan sedikitpun.

"Kenapa? Apa kurangnya aku? Aku begitu mencintai kamu, Om. Tapi mengapa kamu lebih memilih orang lain? Cintai aku, hanya cintai aku. Aku mohon ... "

“Asma—”

“Nenek pingsan!”

Seketika Asmara langsung merasakan sebuah beban jatuh padanya ketika menyaksikan bagaimana sosok Nenek meluruh jatuh. Asmara membeliak. "Nenek!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status