Beranda / Romansa / Cinta sang Asmara / Chapter 4. Mempertanggungjawabkan

Share

Chapter 4. Mempertanggungjawabkan

Asmara menyesap sebatang rokok yang terselip di sela-sela jarinya. Membiarkan asap beraroma tajam itu memenuhi rongga mulut. Baru saat nafasnya telah dirasa penuh, Asmara menghembuskan asap yang ia sesap seluruhnya. Membiarkan asap berwarna putih gelap melayang menutupi pandangan. Asmara terus melakukan hal itu sembari menatap tak fokus ke kejauhan. Memandang langit malam yang membentang di atas jutaan kelip cahaya.

Tanpa sadar sudut matanya mulai terasa basah. Asmara tidak merepotkan diri untuk menghapusnya. Dia hanya membiarkan tetesan air jatuh mengenai pipinya. Mungkin dengan cara seperti itu keresahannya bisa sedikit memudar.

Berkebalikan dengan kebisuan Asmara, Layina justru begitu was-was. Gadis itu berkali-kali melirik Asmara dan begitu mendapati kalau Asmara tak sedikitpun merubah posisi sejak senja beberapa waktu lalu, Layina hanya mampu menghela nafas berat.

“Sebenarnya apa yang terjadi? Ini pertama kalinya aku melihatmu sekacau ini, Asmara." Pada akhirnya Layina tidak bisa membendung rasa ingin tahunya. Mempertanyakan hal yang sejak tadi berkecamuk di kepalanya.

Asmara sekali lagi menyesap batang tembakau sebelum mendesah lelah. Asmara teringat akan apa yang terjadi tadi siang. Di tengah percekcokannya dengan Nanda, Nenek tiba-tiba saja jatuh pingsan. Mengagetkan semua orang. Terutama ketika Nenek tak kunjung sadar setelah beberapa saat, yang pada akhirnya memaksa mereka untuk bergegas membawa Nenek ke rumah sakit. Dokter mendiagnosa kalau hal itu terjadi dikarenakan stres dan syok, sehingga tekanan darah Nenek meningkat. Oleh karena itu, hampir seluruh kerabatnya menyalahkan Asmara. Mereka mencecarnya karena tak bisa menahan diri sehingga kesehatan Nenek bisa menurun drastis.

Tentu saja Asmara tidak bermaksud seperti itu. Di dunia ini Nenek adalah salah satu dari sedikit orang yang paling ia cintai. Asmara juga menyalahkan dirinya karena tak bisa menguasai emosi sehingga menyebabkan hal ini.

Hanya saja siapa yang bisa memendam perasaan tatkala sebilah pedang terus saja mendesaknya menuju ujung jurang? Asmara hanya ingin mempertahankan dirinya, akan tetapi semua orang menganggap tindakannya sebagai sebuah kesalahan.

“Aku hanya tidak mengerti, Layina. Om Nanda adalah belahan jiwa yang ditakdirkan untukku dan sebaliknya aku jugalah orang yang seharusnya bersama dia. Tapi kenapa dia malah mencintai orang lain? Tahukah kamu sehancur apa perasaanku saat dia memanggil nama Maira berkali-kali, ketika dia tengah memelukku? Aku sakit, Layina! Dan sekarang, saat seharusnya dia mempertanggungjawabkan perbuatannya dia malah memilih menjauhiku dan malah mencoba lebih dekat dengan perempuan lain. Menurutmu bagaimana perasaanku?!”

Layina menghela nafas berat. “Ini yang menjadi alasan kenapa aku mengutuk kemampuan para Afsana untuk melihat ikatan jodoh. Benang merah terkutuk ini lah yang membuat kita tidak bisa melakukan apapun yang kita mau. Kita terbelenggu, tak mampu mengikuti keinginan, juga tak mampu mencintai sesuka hati. Tapi Asmara ... "

Layina bergegas menghampiri Asmara, berdiri tepat di samping gadis itu. "Daripada mengurung dirimu dalam kesakitan seperti ini, kenapa tidak membebaskan diri sendiri? Kita mungkin tidak bisa bertindak sesuka hati selayaknya orang-orang, tapi setidaknya kita tidak perlu merasa tercekik."

“Tidak semudah ini, Layina. Kau tidak akan mengerti perasaanku karena kau belum menemukan belahan jiwamu. Tapi suatu saat nanti, saat kamu menemukan belahan jiwamu kamu pasti akan mengerti betapa beratnya perasaan ini. Seolah aku berada di tengah-tengah padang pasir. Kamu terlalu takut untuk melangkah maju karena tak mengetahui apa yang akan kamu hadapi di depan sana, tapi kamu juga sudah tak berdaya untuk mengambil langkah mundur karena kamu sudah melangkah terlalu jauh."

“Jika kamu memang menderita, kenapa repot-repot melibatkan diri sejak awal? Semua orang tahu kalau Om Nanda menyukai Maira, itu fakta yang tidak bisa disembunyikan. Lalu kenapa kamu masih melangkah maju saat kamu sudah tahu pasti bagaimana akhirnya?”

Asmara tersenyum nanar. Layina benar. Dia sudah bertemu Nanda sejak usianya masih sangat muda. Selain menyadari kalau Nanda adalah belahan jiwanya, Asmara juga turut mengetahui kalau Nanda menyukai perempuan lain sejak lama. Jauh sebelum dia bisa mengerti apa itu cinta sebenarnya. Seharusnya Asmara sudah bisa menduga bagaimana kisahnya akan terjadi hanya dengan mengetahui hal itu. Tapi dia masih dengan lugunya percaya kalau benang merah di jarinya akan membawanya pada akhir yang bahagia. Asmara terlalu bodoh saat itu.

Dan sekarang Asmara jugalah yang harus menelan pahitnya. Asmara tidak bisa menyalahkan siapapun karena orang yang salah adalah dirinya sendiri. Dia yang mengambil inisiatif untuk mencintai Nanda. Dia tidak bisa menyalahkan Nanda yang tidak bisa melihat benang merah belahan jiwa. Tidak juga bisa menyalahkan Maira yang bertemu dengan Nanda lebih dulu.

Akan tetapi Asmara juga membutuhkan hal untuk melampiaskan kemarahannya. Bagaimana takdir bersikap tidak adil padanya. Dia yang tertoreh oleh luka, dia jugalah yang merasakan perihnya. Lalu bisakah seseorang mengerti posisinya? Setidaknya mereka bisa mencoba bersimpati padanya.

Sedikit saja.

"Apa aku harus menyerah, Layina?" Pertanyaan lirih itu terucap dari bibir Asmara.

"Tidak ada kata terlambat untuk itu," balas Layina tegas.

"Tapi ... aku takut aku tidak bisa melakukannya. Sejak lama aku telah meyakinkan diri bahwa Om Nanda adalah jodohku. Aku selalu percaya bahwa kami akan bersama, selayaknya belahan jiwa. Akan tetapi, setelah semua yang ku lalui aku mulai ragu."

Asmara mengangkat tangan kirinya, memperhatikan ikatan benang merah kusut miliknya.

"Aku mencintainya, Layina. Sangat mencintainya."

Layina menghela nafas kasar. Gadis itu mengulurkan tangannya, mengusap lelehan air mata yang membasahi wajah Asmara menggunakan punggung tangannya.

Saat itu lah, seseorang tiba-tiba datang dari arah belakang. Layina langsung menoleh, sedikit mengernyit ketika merasa bahwa ekspresi orang itu sedikit aneh.

"Ada apa, Kak?"

Asmara ikut berbalik ketika Layina melontarkan pertanyaan tersebut.

Alan, Kakak laki-laki Layina berkata. "Nenek ingin berbicara dengan kamu, Asmara."

Asmara menggigit bibir bawahnya. Ada sedikit ketakutan di hatinya. Meski begitu Asmara langsung bergegas turun dari rooftop rumah sakit diikuti Alan dan Layina, terus turun menuju ruang rawat dimana Neneknya berada. Beberapa kerabat yang masih duduk di kursi tunggu menatap Asmara dengan pandangan menuduh, membuat Asmara merasa sesak. Untungnya Layina seketika meraih tangannya, memberi isyarat bahwa ia ada untuk Asmara.

Dengan langkah berat, Asmara masuk ke dalam ruangan. Nenek tampak tengah duduk bersandar di tempat tidur, langsung menoleh ketika Asmara masuk. Asmara juga bisa melihat sosok Nanda yang tengah berdiri tak jauh dari sana dengan kepala tertunduk.

"Nek."

"Nenek sudah berbicara dengan Nanda, dia akan bertanggungjawab."

Asmara membeliak kaget, seakan tak mempercayai perkataan sang Nenek. Namun apa yang Nenek katakan selanjutnya jauh lebih mengagetkan.

"Kalian akan menikah minggu depan."

"Nek—""

Nenek menggelengkan kepalanya dengan ekspresi lelah. "Bukan berarti Nenek tidak kecewa dengan apa yang telah kalian lakukan, tapi semua sudah terjadi. Sekarang yang perlu kita lakukan adalah mempertanggungjawabkan semuanya. Oleh karena itu, Nenek meminta Nanda untuk segera menikahi kamu."

Tepat setelah Nenek mengatakan hal itu, Nanda mulai bergerak. Meminta izin, Nanda langsung bergegas keluar ruangan. Ketika sosok Nanda melewati dirinya, tanpa sedikitpun menatap atau menoleh padanya, Asmara seketika menahan nafas. Hatinya seakan tertusuk benda tajam.

"Nenek hanya akan berpesan satu hal pada kamu Asmara. Dengan kemampuan kita untuk melihat ikatan jodoh, bukan berarti kita bisa melakukan semua hal seenak hati kita. Pada dasarnya takdir telah diciptakan oleh Tuhan dan manusia hanya mampu mengikutinya. Nanda adalah jodohmu, belahan jiwa yang Tuhan takdirkan untukmu. Pada akhirnya kalian akan tetap bersama bagaimanapun. Namun kamu harus ingat, Asmara. Sebelum manusia meraih apa yang takdir tetapkan untuknya, apa yang manusia itu berbuat selama prosesnya juga dapat mempengaruhi kebahagiaannya."

"Nek ... "

"Satu hal lagi, camkan ini Asmara!. Cinta adalah sebuah keteguhan hati. Cobalah untuk sedikit bertabah, jangan bergerak tergesa-gesa karena pada akhirnya sakit dan senangnya hanya kamu yang merasakannya."

Asmara menggigit bibir bawahnya sebelum berkata lirih. "Maafkan aku, Nek. Maaf ... "

"Sudah, jangan menangis. Sebaiknya kamu pergi mempersiapkan pernikahan kalian. Nenek sudah meminta Alan untuk menghubungi Ibu dan Ayahmu, mungkin lusa Ayahmu sudah sampai disini. Hanya saja maafkan Nenek karena tidak bisa memberimu pernikahan yang layak. Hanya ini satu-satunya hal yang bisa Nenek lakukan untuk kalian berdua."

Asmara menangis tergugu mendengar setiap perkataan sang Nenek.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status