Asmara menyesap sebatang rokok yang terselip di sela-sela jarinya. Membiarkan asap beraroma tajam itu memenuhi rongga mulut. Baru saat nafasnya telah dirasa penuh, Asmara menghembuskan asap yang ia sesap seluruhnya. Membiarkan asap berwarna putih gelap melayang menutupi pandangan. Asmara terus melakukan hal itu sembari menatap tak fokus ke kejauhan. Memandang langit malam yang membentang di atas jutaan kelip cahaya.
Tanpa sadar sudut matanya mulai terasa basah. Asmara tidak merepotkan diri untuk menghapusnya. Dia hanya membiarkan tetesan air jatuh mengenai pipinya. Mungkin dengan cara seperti itu keresahannya bisa sedikit memudar. Berkebalikan dengan kebisuan Asmara, Layina justru begitu was-was. Gadis itu berkali-kali melirik Asmara dan begitu mendapati kalau Asmara tak sedikitpun merubah posisi sejak senja beberapa waktu lalu, Layina hanya mampu menghela nafas berat. “Sebenarnya apa yang terjadi? Ini pertama kalinya aku melihatmu sekacau ini, Asmara." Pada akhirnya Layina tidak bisa membendung rasa ingin tahunya. Mempertanyakan hal yang sejak tadi berkecamuk di kepalanya. Asmara sekali lagi menyesap batang tembakau sebelum mendesah lelah. Asmara teringat akan apa yang terjadi tadi siang. Di tengah percekcokannya dengan Nanda, Nenek tiba-tiba saja jatuh pingsan. Mengagetkan semua orang. Terutama ketika Nenek tak kunjung sadar setelah beberapa saat, yang pada akhirnya memaksa mereka untuk bergegas membawa Nenek ke rumah sakit. Dokter mendiagnosa kalau hal itu terjadi dikarenakan stres dan syok, sehingga tekanan darah Nenek meningkat. Oleh karena itu, hampir seluruh kerabatnya menyalahkan Asmara. Mereka mencecarnya karena tak bisa menahan diri sehingga kesehatan Nenek bisa menurun drastis. Tentu saja Asmara tidak bermaksud seperti itu. Di dunia ini Nenek adalah salah satu dari sedikit orang yang paling ia cintai. Asmara juga menyalahkan dirinya karena tak bisa menguasai emosi sehingga menyebabkan hal ini. Hanya saja siapa yang bisa memendam perasaan tatkala sebilah pedang terus saja mendesaknya menuju ujung jurang? Asmara hanya ingin mempertahankan dirinya, akan tetapi semua orang menganggap tindakannya sebagai sebuah kesalahan. “Aku hanya tidak mengerti, Layina. Om Nanda adalah belahan jiwa yang ditakdirkan untukku dan sebaliknya aku jugalah orang yang seharusnya bersama dia. Tapi kenapa dia malah mencintai orang lain? Tahukah kamu sehancur apa perasaanku saat dia memanggil nama Maira berkali-kali, ketika dia tengah memelukku? Aku sakit, Layina! Dan sekarang, saat seharusnya dia mempertanggungjawabkan perbuatannya dia malah memilih menjauhiku dan malah mencoba lebih dekat dengan perempuan lain. Menurutmu bagaimana perasaanku?!” Layina menghela nafas berat. “Ini yang menjadi alasan kenapa aku mengutuk kemampuan para Afsana untuk melihat ikatan jodoh. Benang merah terkutuk ini lah yang membuat kita tidak bisa melakukan apapun yang kita mau. Kita terbelenggu, tak mampu mengikuti keinginan, juga tak mampu mencintai sesuka hati. Tapi Asmara ... " Layina bergegas menghampiri Asmara, berdiri tepat di samping gadis itu. "Daripada mengurung dirimu dalam kesakitan seperti ini, kenapa tidak membebaskan diri sendiri? Kita mungkin tidak bisa bertindak sesuka hati selayaknya orang-orang, tapi setidaknya kita tidak perlu merasa tercekik." “Tidak semudah ini, Layina. Kau tidak akan mengerti perasaanku karena kau belum menemukan belahan jiwamu. Tapi suatu saat nanti, saat kamu menemukan belahan jiwamu kamu pasti akan mengerti betapa beratnya perasaan ini. Seolah aku berada di tengah-tengah padang pasir. Kamu terlalu takut untuk melangkah maju karena tak mengetahui apa yang akan kamu hadapi di depan sana, tapi kamu juga sudah tak berdaya untuk mengambil langkah mundur karena kamu sudah melangkah terlalu jauh." “Jika kamu memang menderita, kenapa repot-repot melibatkan diri sejak awal? Semua orang tahu kalau Om Nanda menyukai Maira, itu fakta yang tidak bisa disembunyikan. Lalu kenapa kamu masih melangkah maju saat kamu sudah tahu pasti bagaimana akhirnya?” Asmara tersenyum nanar. Layina benar. Dia sudah bertemu Nanda sejak usianya masih sangat muda. Selain menyadari kalau Nanda adalah belahan jiwanya, Asmara juga turut mengetahui kalau Nanda menyukai perempuan lain sejak lama. Jauh sebelum dia bisa mengerti apa itu cinta sebenarnya. Seharusnya Asmara sudah bisa menduga bagaimana kisahnya akan terjadi hanya dengan mengetahui hal itu. Tapi dia masih dengan lugunya percaya kalau benang merah di jarinya akan membawanya pada akhir yang bahagia. Asmara terlalu bodoh saat itu. Dan sekarang Asmara jugalah yang harus menelan pahitnya. Asmara tidak bisa menyalahkan siapapun karena orang yang salah adalah dirinya sendiri. Dia yang mengambil inisiatif untuk mencintai Nanda. Dia tidak bisa menyalahkan Nanda yang tidak bisa melihat benang merah belahan jiwa. Tidak juga bisa menyalahkan Maira yang bertemu dengan Nanda lebih dulu. Akan tetapi Asmara juga membutuhkan hal untuk melampiaskan kemarahannya. Bagaimana takdir bersikap tidak adil padanya. Dia yang tertoreh oleh luka, dia jugalah yang merasakan perihnya. Lalu bisakah seseorang mengerti posisinya? Setidaknya mereka bisa mencoba bersimpati padanya. Sedikit saja. "Apa aku harus menyerah, Layina?" Pertanyaan lirih itu terucap dari bibir Asmara. "Tidak ada kata terlambat untuk itu," balas Layina tegas. "Tapi ... aku takut aku tidak bisa melakukannya. Sejak lama aku telah meyakinkan diri bahwa Om Nanda adalah jodohku. Aku selalu percaya bahwa kami akan bersama, selayaknya belahan jiwa. Akan tetapi, setelah semua yang ku lalui aku mulai ragu." Asmara mengangkat tangan kirinya, memperhatikan ikatan benang merah kusut miliknya. "Aku mencintainya, Layina. Sangat mencintainya." Layina menghela nafas kasar. Gadis itu mengulurkan tangannya, mengusap lelehan air mata yang membasahi wajah Asmara menggunakan punggung tangannya. Saat itu lah, seseorang tiba-tiba datang dari arah belakang. Layina langsung menoleh, sedikit mengernyit ketika merasa bahwa ekspresi orang itu sedikit aneh. "Ada apa, Kak?" Asmara ikut berbalik ketika Layina melontarkan pertanyaan tersebut. Alan, Kakak laki-laki Layina berkata. "Nenek ingin berbicara dengan kamu, Asmara." Asmara menggigit bibir bawahnya. Ada sedikit ketakutan di hatinya. Meski begitu Asmara langsung bergegas turun dari rooftop rumah sakit diikuti Alan dan Layina, terus turun menuju ruang rawat dimana Neneknya berada. Beberapa kerabat yang masih duduk di kursi tunggu menatap Asmara dengan pandangan menuduh, membuat Asmara merasa sesak. Untungnya Layina seketika meraih tangannya, memberi isyarat bahwa ia ada untuk Asmara. Dengan langkah berat, Asmara masuk ke dalam ruangan. Nenek tampak tengah duduk bersandar di tempat tidur, langsung menoleh ketika Asmara masuk. Asmara juga bisa melihat sosok Nanda yang tengah berdiri tak jauh dari sana dengan kepala tertunduk. "Nek." "Nenek sudah berbicara dengan Nanda, dia akan bertanggungjawab." Asmara membeliak kaget, seakan tak mempercayai perkataan sang Nenek. Namun apa yang Nenek katakan selanjutnya jauh lebih mengagetkan. "Kalian akan menikah minggu depan." "Nek—"" Nenek menggelengkan kepalanya dengan ekspresi lelah. "Bukan berarti Nenek tidak kecewa dengan apa yang telah kalian lakukan, tapi semua sudah terjadi. Sekarang yang perlu kita lakukan adalah mempertanggungjawabkan semuanya. Oleh karena itu, Nenek meminta Nanda untuk segera menikahi kamu." Tepat setelah Nenek mengatakan hal itu, Nanda mulai bergerak. Meminta izin, Nanda langsung bergegas keluar ruangan. Ketika sosok Nanda melewati dirinya, tanpa sedikitpun menatap atau menoleh padanya, Asmara seketika menahan nafas. Hatinya seakan tertusuk benda tajam. "Nenek hanya akan berpesan satu hal pada kamu Asmara. Dengan kemampuan kita untuk melihat ikatan jodoh, bukan berarti kita bisa melakukan semua hal seenak hati kita. Pada dasarnya takdir telah diciptakan oleh Tuhan dan manusia hanya mampu mengikutinya. Nanda adalah jodohmu, belahan jiwa yang Tuhan takdirkan untukmu. Pada akhirnya kalian akan tetap bersama bagaimanapun. Namun kamu harus ingat, Asmara. Sebelum manusia meraih apa yang takdir tetapkan untuknya, apa yang manusia itu berbuat selama prosesnya juga dapat mempengaruhi kebahagiaannya." "Nek ... " "Satu hal lagi, camkan ini Asmara!. Cinta adalah sebuah keteguhan hati. Cobalah untuk sedikit bertabah, jangan bergerak tergesa-gesa karena pada akhirnya sakit dan senangnya hanya kamu yang merasakannya." Asmara menggigit bibir bawahnya sebelum berkata lirih. "Maafkan aku, Nek. Maaf ... " "Sudah, jangan menangis. Sebaiknya kamu pergi mempersiapkan pernikahan kalian. Nenek sudah meminta Alan untuk menghubungi Ibu dan Ayahmu, mungkin lusa Ayahmu sudah sampai disini. Hanya saja maafkan Nenek karena tidak bisa memberimu pernikahan yang layak. Hanya ini satu-satunya hal yang bisa Nenek lakukan untuk kalian berdua." Asmara menangis tergugu mendengar setiap perkataan sang Nenek.Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Pernikahan yang sudah direncanakan akhirnya terlaksana di kediaman sang Nenek. Akan tetapi, pada kenyataannya pernikahan itu tidak tergelar selayaknya pesta pernikahan yang dipenuhi gegap-gempita. Acara pernikahan digelar dengan sangat tertutup dan sederhana dengan hanya dihadiri oleh sebagian keluarga Afsana. Tidak ada resepsi meriah ataupun suasana syahdu yang seharusnya dirasakan ketika pernikahan dilaksanakan. Bahkan berbagai ornamen cantik yang menghiasi area taman rumah bergaya Joglo itu seakan tak menjadikan suasana menjadi penuh gembira. Nyatanya semua orang menyadari akan suasana membeku di antara kedua pengantin. Seakan tidak ada sedikitpun kebahagiaan yang menyelimuti keduanya. Asmara, yang hanya mengenakan kebaya putih sederhana, duduk termenung dengan mata memerah dan Nanda juga tak jauh berbeda. Kedua wajah mereka tak sedikitpun mengandung senyuman. Tepat setelah pengucapan ijab kabul selesai, Nanda dan Asmara memilih untuk lang
Asmara menatap layar ponselnya yang menunjukkan sederet pesan yang telah ia kirimkan kepada Nanda sejak beberapa waktu lalu. Semuanya sudah terbaca, hanya saja satu balasan singkat yang mengatakan bahwa Nanda masih sibuk adalah satu-satunya yang ia terima. Beberapa hari telah berlalu sejak Nanda memutuskan untuk pergi ke Singapura—dengan alasan untuk bekerja. Selama itu Ibu sudah mengabari hal ini kepada sang Nenek. Alhasil perempuan tua itu seketika mendatangi Asmara dan meminta maaf. Nenek sama sekali tidak menyangka jika Nanda akan berlaku sekejam itu padanya. Asmara hanya mampu berbohong kala itu. Mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Meski mereka mungkin menyadari betapa hancurnya ia kini. Pada hari kelima Asmara mendapat kabar jika Nanda sudah pulang. Namun karena beberapa urusan mendesak Nanda harus langsung pergi ke kantor. Nanda adalah seorang spesialis keamanan dibidang cyber pada salah satu perusahaan besar yang berkembang di bidang teknologi. Dan karena sebelumnya Asmara
Hal pertama yang Asmara lihat sejak membuka matanya adalah langit-langit luas dengan ornamen bunga berwarna putih. Pencahayaan yang sedikit temaram membuat Asmara harus beberapa kali menajamkan penglihatannya. Akan tetapi, rasa ngilu di sekujur tubuh jauh lebih menarik atensinya. Asmara mengerang tertahan, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dia tengah berbaring di atas ranjang, berselimut kain putih polos yang kusut. Di sekelilingnya, Asmara bisa melihat beragam perabotan sederhana yang ditata amat rapi. Tapi mengapa Asmara merasa familiar dengan tempat ini? Tempat ini sama persis dengan kamar hotel yang Asmara tempati saat dia menghabiskan waktu bersama Nanda malam itu. Tunggu! Asmara memaksa dirinya untuk bangkit. Kenapa Asmara tiba-tiba bisa berada di kamar hotel ini? Bukankah Asmara baru saja bertengkar hebat dalam ruangan kantor Nanda sebelum akhirnya berlari pergi dan mengalami kecelakaan tunggal? Asmara bahkan masih bisa mengingat dengan sangat jelas tatkala mo
Asmara mengalami mimpi yang sangat panjang hari ini. Setiap kenangan menyakitkan yang ia alami sebelumnya terus saja berkelebat dalam waktu cepat. Bagaimana Asmara bertengkar dengan Nanda, kekacauan di hari ulangtahun Nenek, pernikahannya dengan Nanda dan rasa sakit yang ia alami dalam kecelakaan itu. Segalanya menyatu dalam tempo yang membuat Asmara menderita. Jantungnya serasa berdetak amat cepat. Napasnya terengah-tengah dan sekujur tubuhnya bergetar dalam peluh yang terus menetes tanpa henti. Asmara memohon agar kenangan buruk itu berhenti bermunculan. Akan tetapi, apa yang ia hadapi hanyalah kerunyaman yang semakin nyata. Di tengah kegelisahan, Asmara tiba-tiba saja merasakan sentuhan lembut di pucuk kepalanya. Asmara mendongak. Mencoba mencari tahu siapa sang pemilik telapak tangan lembut itu. “Tidurlah Asmara, aku disini.” Suara hangat itu mengaung di telinganya. Menghentikan segala derita yang Asmara rasakan kini. Secara ajaib rentetan kenangan buruk itu juga turut
Meski Asmara telah membulatkan tekadnya untuk tidak terkurung dalam kehidupan masa lalu dan menjadikan segalanya sebagai tolak ukur untuk melangkah maju, nyatanya Asmara masih tidak bisa melepaskan efek dari kejadian tersebut. Salah satunya adalah trauma yang ia alami setelah mengalami kecelakaan mobil itu. Sejenak setelah Asmara duduk di kursi kemudi dan menyalakan mesin, Asmara bisa merasakan gemetar hebat di sekujur tubuhnya. Peluh dingin mulai bercucuran, membasahi punggungnya. Asmara langsung terjatuh tepat setelah ia keluar dari dalam mobil. Dia memuntahkan isi perutnya di sisi pagar kediaman sang Nenek. “Asmara, ada apa?” Layina yang menyadari kedatangan Asmara seketika berlari mendekat. Asmara mengusap bibirnya menggunakan selembar tisu yang Layina berikan sebelum akhirnya duduk bersandar di tanah. Wajahnya pucat pasi. “Mabuk perjalanan," jawabnya. Layina mengernyitkan keningnya, jelas tak mempercayai ucapan Asmara. “Mabuk perjalanan? Kita bahkan pernah berkendara sela
Asmara merogoh tas selempangnya, mengeluarkan sebatang rokok yang ia sembunyikan di dalam dompet kecil sebelum akhirnya duduk di salah satu kursi yang diletakkan di depan teras. Kedua maniknya menyorot ke arah berbagai bunga yang tengah bermekaran sempurna. Asmara cukup tertarik dengan sekumpulan bunga melati yang harumnya paling tercium. Juga jenis bunga yang Nanda bilang paling dia sukai.Terkadang Asmara merasa cemburu dengan mereka. Terdengar aneh namun itulah kenyataannya. Jika Asmara terlahir sebagai bunga melati, Nanda mungkin saja akan memuji keindahannya dan menyukai keharumannya. Jika Asmara hanyalah setangkai melati, Nanda tidak perlu merasa terbebani oleh keberadaannya. Dan Asmara juga tidak perlu merasakan cinta mendalam yang menyakiti dirinya sendiri. Siklus hidupnya mungkin akan jauh lebih pendek, tapi setidaknya Asmara pernah dikagumi.Haha. Asmara tertawa nanar mendengar pikirannya sendiri. Tanpa bermaksud, Nanda masih saja munc
“Kak Asmara.”Asmara sedikit memutar tubuhnya saat Rizal, anak didiknya tiba-tiba datang menyusulnya. Padahal Asmara baru saja selesai mengajar beberapa waktu lalu. Akan tetapi dengan senyum hangat seperti biasa, Asmara menanggapi Rizal. “Rizal, ada apa?”“Rizal boleh minta waktu Kakak sebentar enggak?” Sebagai seseorang yang masih sangat muda Asmara lebih suka kalau semua anak didiknya memanggilnya dengan sebutan ‘Kakak’ bukan ‘Ibu’. Selain akan terkesan lebih akrab, Asmara juga tidak menginginkan suasana belajar yang kaku. Asmara lebih suka menciptakan lingkungan belajar yang nyaman namun masih memperhatikan norma yang berlaku. Dan terbukti, karena dengan metode pembelajaran seperti itu murid-muridnya jauh lebih mampu menyerap ilmu dengan cepat.“Kenapa? Ada pelajaran yang belum kamu pahami?”Rizal terlihat mengusap-usap ujung rambutnya dengan gugup. Siswa dengan seragam SMA itu lalu merogoh saku belakangnya, mengeluarkan sel
“Kenalin nih, ini sepupu Mbak namanya Farhan. Seperti yang Mbak bilang kemarin, Farhan ini kerja jadi manajer di perusahaan yang bergerak dibidang kosmetik. Gajinya lumayan. Yah ... lebih gede dari kita lah. Jauh malah.” Gania terbahak yang turut tertular kepada sosok lelaki yang duduk tepat di sampingnya.“Nah, sekarang kenalin rekan-rekan kerja Mbak. Ini Mas Anton, dia paling senior di tempat les. Kalau ini si bungsu Asmara sama Sari.”Asmara mengangguk saat Gania memperkenalkannya pada Farhan. Seperti perkataannya kemarin, Gania mengajak mereka semua untuk makan malam bersama sepupunya, Farhan. Awalnya Asmara masih enggan untuk datang, terutama dengan iming-iming kalau Farhan tengah mencari pendamping. Hanya saja berhubung Ibunya belum pulang dan tidak ada yang memasak untuknya, pada akhirnya Asmara memilih untuk ikut saja. “Mau pesan apa, Ra?” Tanya Anton sembari menunjukkan kertas menu padanya. “Samain aja deh sama Mas, tapi minumnya ice te
"Kamu ada dimana?" Asmara memijat pelipisnya karena sensasi pusing yang mendera kepalanya kini. Segalanya tampak berputar. Tubuhnya terasa mengambang meski Asmara tahu bila ia tengah menapak di atas lantai. Suara-suara yang semula terdengar lantang juga kini secara perlahan terdengar bagai nada terputus-putus. Memberi petunjuk bahwa kini Asmara tak lagi mampu menanggung akibat dari minuman yang ia teguk beberapa waktu lalu."Asmara." Suara di seberang telepon kembali menarik sedikit kesadarannya. Asmara memaksakan tangannya yang berat untuk menempelkan ponselnya ke telinga, lalu menjawab dengan gumamam singkat."Bar.""Bar yang mana?""Music Bar sunshine.""Tunggu di sana, jangan kemana-mana!""Hei!"Asmara berseru keras ketika panggilan terputus begitu saja. Kedua matanya mengerjap cepat memperhatikan layar ponsel, meski begitu penglihatannya yang kabur ditambah sinar yang terlalu silau membuatn
Bagai rembulan yang kehilangan sumber sinarnya, Asmara telah kehilangan ketenangannya selama beberapa hari belakangan. Sejak malam dimana ia menghabiskan makan malam bersama Nanda dan teman-temannya, isi pikiran Asmara telah dipenuhi oleh beragam kebimbangan. Terutama jika ia mengingat percakapannya dengan Nanda waktu itu. "Apa gunanya mencari orang lain jika sejak awal aku tahu bukan dia orangnya?" Air muka Nanda tampak berubah tepat setelah Asmara melontarkan kalimat itu. Seolah sesuatu yang tak kasat mata telah memasuki relung jiwanya. Nanda terdiam sejenak, pandangannya jatuh ke atas langit dan Asmara dapat merasakan kegelisahaan pada setiap kedipan matanya. "Bagaimana kamu bisa tahu bahwa orang yang kita cari bukan orang yang tepat?" Lalu apa yang Nanda katakan di lantai dasar gedung apartemennya sekali lagi membuat detak waktu seakan terhenti. Sesak hingga tak tercegah. Asmara terpaku, memperhatikan Nanda
Asmara terkadang heran dengan perjalanan takdir. Di saat ia begitu mengingini sesuatu, takdir malah menjauhkan hal itu darinya. Jangankan membiarkannya menggenggam harapan barang sedetikpun, Asmara bahkan tak diperbolehkan untuk menyentuhnya. Seakan semesta tak sudi membiarkan manusia rendahan sepertinya mendapat segalanya dengan mudah. Dan bahkan jika ia telah melalui beragam kesakitan, belum tentu takdir akan bersimpati padanya.Tapi kini, ketika Asmara tak lagi bertekad memilikinya dan cenderung menjauhkan diri, tangan-tangan takdir justru mendorong hal itu ke depan matanya. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali mempermainkannya dengan kekuatannya yang maha kuat.Lalu ketika ia kembali tergoda, akankah takdir kembali menarik harapannya?Asmara merasakan suatu kehampaan yang mengganjal di dadanya, membuatnya hanya mampu tersenyum nanar memikirkan hidupnya. Dengan perasaan tergulung sendu, Asmara menatap seseorang yang kini duduk tepat di sa
"Asmara, boleh aku tanya sesuatu?"Asmara yang baru saja akan melangkah memasuki pintu kaca sebuah restoran, seketika menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang dan memasang raut penuh tanya kepada sang penanya, Sari. Tidak hanya dirinya, gerakan Sari juga turut menarik perhatian ketiga orang lainnya, Gania, Farhan serta Anton yang sudah lebih dulu membuka pintu. Masing-masing dari mereka memandang Sari penuh ingin tahu."Ada apa, Ri?" Tanya Gania penasaran. Sari segera memasang senyum kikuk, berusaha menegaskan bahwa tidak ada hal penting yang terjadi. Gadis itu menarik pergelangan tangan Asmara, seolah takut seseorang akan menghalanginya untuk berbicara. "Mbak sama yang lainnya bisa masuk ke dalam duluan saja, aku mau ngobrol sebentar sama Asmara.""Memangnya ada apa, Ri? Tidak biasanya kamu main rahasia-rahasiaan.""Bukan apa-apa kok, Mbak. Boleh ya, Mbak? Kalau mau kalian bisa makan duluan saja.""Ya sudah, janga
Asmara terbangun ketika suara percakapan samar disertai lantunan musik klasik terdengar di telinganya. Gadis itu mengerang pelan, memaksakan dirinya untuk membuka kedua mata dan mengerjap ketika cahaya silau dari jendela yang terbuka terasa menusuk penglihatannya.Kedua alisnya menukik tajam ketika Asmara menemukan dimana ia kini. Seingatnya Asmara masih berada di ruang kerja Kakeknya sampai ia tak sengaja terlelap ketika dini hari tiba. Tapi sekarang, ia malah terbangun di atas ranjang dengan sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya rapat-rapat. Tidak hanya itu, jepit rambutnya yang semula masih menggantung di rambut ikalnya kini telah teronggok di atas nakas. Tertata rapi bersama ponselnya.Aneh, pikirnya.Namun Asmara tidak mempunyai banyak waktu untuk memikirkan bagaimana caranya ia sampai ke kamar tidur, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, hampir mendekati waktu kerjanya. Buru-buru Asmara melompat ke kamar mandi guna membersihkan diri dan ber
Asmara menyesap sebatang tembakau sembari menatap kekejauhan. Lebih tepatnya pada keberadaan sang Nenek yang tengah begitu sibuk berkebun. Tubuh ringkih itu begitu gesit memindahkan setiap tanaman yang telah penuh sesak di dalam pot kecil ke pot yang jauh lebih besar. Nenek juga sangat lincah bergerak kesana-kemari untuk menata setiap tanaman miliknya. Sedangkan Asmara, dia sudah kelelahan hanya dengan menyeret dua karung tanah dari dalam gudang. Hari ini adalah hari libur dan seperti kebiasaannya Asmara memilih untuk menghabiskan waktunya bersama sang Nenek. Meski kegiatannya tak lebih dari sekedar memperhatikan kegiatan Nenek sejak pagi sampai malam hari."Kamu masih merokok?" Nenek menatap Asmara dari posisinya kini dengan wajah berkerut. Habis pikir dengan kelakuan cucunya yang nampak begitu nyaman menyesap nikotin."Sudah kebiasaan, Nek.""Kan, Nenek sudah mewanti-wanti sejak dulu jangan pernah coba-coba, Asmara. Rokok itu berbahaya. Ada san
"Asmara, bangun!" Asmara mengerang jengkel ketika Layina mendobrak pintu kamarnya lalu berteriak-teriak keras. Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi, jelas masih terlalu awal bagi Asmara untuk memulai hari. Tapi sepertinya Layina sedang tidak mau meninggalkannya dengan tenang, Layina malah menaiki ranjang dan melompat-lompat, membuat tubuh Asmara terpental-pental kecil. "Asmara, aku bilang bangun!!" "Berisik!" Seru Asmara, terganggu. "Ayo bangun, Asmara. Laki-laki itu ada disini.” Asmara yang masih setia menutup matanya, mengerutkan kening tak mengerti. "Siapa?” “Belahan jiwamu." "Belahan jiwaku?" Beo Asmara. "Iya, belahan jiwamu yang bajingan itu." Siapa? Asmara mengerang dalam hati. Asmara sama sekali tidak mengenal seseorang dengan gelar 'bajingan' seperti itu. Asmara kemudian memaksakan diri untuk bangkit karena Layina tak kunjung
“Mbak, aku boleh titip ini buat Mas Farhan.” Asmara menyodorkan paperbag berisi gelang pemberian Farhan kepada Gania, berhati-hati agar suaranya tidak terdengar orang lain. Asmara juga sengaja untuk datang ke tempat les lebih awal agar tidak ada banyak orang yang akan melihatnya. Gania yang semula tengah merapikan lembar tes di mejanya sontak menoleh heran. “Loh, kenapa enggak kasih langsung saja, Ra?” Asmara menggeleng. “Kan ada Mbak.” "Memangnya ini apa, Ra?" Asmara sedikit mencondongkan tubuhnya beberapa derajat, menoleh ke setiap sisi sebelum berkata dengan suara pelan. “Tapi Mbak jangan kasih tahu yang lain ya, Mbak. Terutama pada Sari. Kemarin waktu antar aku pulang, Mas Farhan kasih aku hadiah. Tapi karena hadiahnya terlalu mahal, jadi aku mau kembalikan saja lewat Mbak. Boleh, kan Mbak?" “Loh, kok gitu? Kenapa enggak kamu terima saja, Ra?" “Enggak bisa, Mbak. Aku akan merasa tidak enak
“Asmara, ayo pulang bareng.”Asmara sontak menoleh ketika Gania tiba-tiba saja memasuki ruang kelas dan mengajaknya untuk pulang bersama. Hari sudah beranjak malam dan waktu ajarnya pun telah selesai, semula Asmara memang berniat segera pulang setelah membereskan barang-barangnya. Asmara hendak menyetujui tawaran Gania saat seseorang ikut melangkah masuk, membuat Asmara langsung menelan setiap kata yang hendak ia keluarkan. Sebaliknya Asmara mengurungkan niat dan menolak Gania.“Enggak usah deh, Mbak. Aku udah pesen ojek online nih, enggak tega kalau di-cancel.”Farhan yang sepertinya sudah dapat menebak penolakan Asmara segera mendekat. Laki-laki yang masih mengenakan jas kantornya itu meraih buku yang telah Asmara susun di atas meja. “Udah, ikut saja ya, Asmara. Untuk ojeknya enggak papa biar Mas yang bayar tapi kamu tetap ikut sama kita.”Di belakang Farhan, Gania mangut-mangut.“Kalau gitu aku jadinya ngerepotin Mas. Apalagi apartemen