Hal pertama yang Asmara lihat sejak membuka matanya adalah langit-langit luas dengan ornamen bunga berwarna putih. Pencahayaan yang sedikit temaram membuat Asmara harus beberapa kali menajamkan penglihatannya. Akan tetapi, rasa ngilu di sekujur tubuh jauh lebih menarik atensinya.
Asmara mengerang tertahan, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dia tengah berbaring di atas ranjang, berselimut kain putih polos yang kusut. Di sekelilingnya, Asmara bisa melihat beragam perabotan sederhana yang ditata amat rapi. Tapi mengapa Asmara merasa familiar dengan tempat ini? Tempat ini sama persis dengan kamar hotel yang Asmara tempati saat dia menghabiskan waktu bersama Nanda malam itu. Tunggu! Asmara memaksa dirinya untuk bangkit. Kenapa Asmara tiba-tiba bisa berada di kamar hotel ini? Bukankah Asmara baru saja bertengkar hebat dalam ruangan kantor Nanda sebelum akhirnya berlari pergi dan mengalami kecelakaan tunggal? Asmara bahkan masih bisa mengingat dengan sangat jelas tatkala mobil yang ia kendarai menghantam pembatas jalan dan jatuh terperosok ke dalam jurang. Lalu mengapa dia tiba-tiba terbangun di sini? Apa Asmara selamat? Namun jika dia memang selamat kenapa Asmara berakhir di kamar hotel bukannya berada di ranjang rumah sakit? Asmara kemudian menatap tubuhnya yang telanjang. Jelas semakin membuatnya bertanya-tanya. Tapi tidak hanya sampai disana, Asmara turut menemukan gaun yang seingatnya ia pakai di pesta kelulusannya. Bahkan tas dan semua barang yang sama juga tergeletak di atas lantai. Apa yang terjadi? Saat Asmara masih termenung dalam kemelut di kepalanya, suara pintu terbuka mengagetkannya. Di buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuh bagian atasnya dan alangkah terkejutnya ia ketika melihat Nanda memasuki ruangan. Nanda memakai kemeja putih agak kusut yang dimasukkan ke dalam celana kerja berwarna hitam. Di tangannya terdapat kantung plastik berwarna putih. “Kamu sudah bangun?” Laki-laki itu bertanya, meletakkan kantung plastik yang ia bawa ke atas meja kecil di samping ranjang. Baru setelahnya dia memilih untuk duduk di sofa yang terletak di dekat jendela. Asmara kaget, kenapa Nanda bisa ada disini? “Asmara,” panggil Nanda dengan intonasi lelah yang tidak ditutup-tutupi. Sepanjang langkahnya di dalam sana, laki-laki itu tidak sekalipun menaruh pandangannya pada Asmara. Seolah dia secara terang-terangan menghindar. “Kita tahu apa yang terjadi semalam adalah sebuah kesalahan. Kita sama-sama dipengaruhi oleh alkohol, mabuk dan tidak dapat berpikir jernih. Karena itu, aku minta maaf. Aku seharusnya tidak melakukan itu. Terutama padamu.” Asmara bergeming, masih termenung dalam pikirannya sendiri. Kenapa dia merasa pernah mendengar perkataan Nanda? Itu adalah kalimat yang persis sama dengan yang Nanda katakan dulu, saat ia baru saja terbangun setelah mereka menghabiskan malam bersama. Belum selesai, Asmara semakin dibuat terkejut karena Nanda kembali mengatakan hal yang sama dengan apa yang ada di ingatannya. “Asmara, aku minta maaf. Bisakah kita melupakan apa yang terjadi dan menganggap semuanya tidak pernah ada?” Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Asmara mengalami hal yang sama dua kali? Asmara kemudian menatap kantung plastik yang Nanda bawa, ada sebungkus pil obat di dalamnya. Jika Asmara tidak salah ingat itu adalah obat pencegah kehamilan. Di masa lalu Asmara menolak habis-habisan ketika Nanda memintanya untuk meminum obat, dan itulah yang menjadi awal mula pertengkaran hebat di antara mereka. Mengingat apa yang terjadi di masa lalu, Asmara memandang sekitarnya dengan ngeri, mencoba mencari detail yang ia lewatkan. Jangan bilang kalau Asmara telah mengulang kembali waktu? Ataukah semua yang ia alami adalah mimpi belaka? Tapi kenapa Asmara bisa mengingat semuanya dengan sangat jelas? “Asmara, aku tahu kalau aku mungkin terdengar egois tapi ini jalan yang lebih baik kita lalui. Kita tahu kalau tadi malam hanyalah kesalahan, kita sama-sama tidak sadar dan menurutku alangkah lebih baik jika kita tidak melibatkan keberadaan yang lainnya.” “A‐aku mau pulang!” Seru Asmara panik. Nanda mengernyitkan kening, merasa terkejut dengan sikap Asmara yang nampak panik. “Asmara ... ” “Aku mau pulang! A-aku tidak mau disini. A-aku ... ” Menyadari kalau ada yang salah dengan perilaku Asmara, Nanda segera bangkit dari duduknya. Laki-laki itu berjalan mendekati Asmara namun, saat menyadari keadaan tubuh Asmara yang semakin gemetar setiap kali ia mendekatinya Nanda segera mengurungkan niat. Kembali mengambil langkah mundur. “Asmara, ada apa?” Asmara menutup wajahnya dengan kasar. Ada sedikit tangisan dalam suaranya. “Aku mau pergi ... ” Nanda memperhatikan kelainan Asmara dengan ekspresi berat. Selama beberapa saat keduanya terdiam dalam kebuntuan sampai Nanda yang mengambil langkah lebih dulu. Meraih gaun yang teronggok di lantai dan meletakkannya di atas ranjang, Nanda kemudian berkata dengan intonasi lebih lembut dari sebelumnya. “Aku akan tunggu kamu di luar kamar, setelah kamu cukup tenang kita akan pulang.” Sepeninggal Nanda, tangisan Asmara tak lagi bisa dia bendung. Perasaannya benar-benar kacau. Asmara tidak tahu apa yang terjadi padanya. Mengapa dia bisa mengulang kembali kejadian yang telah ia lalui sebelumnya? Atau jika kejadian sebelumnya hanyalah mimpi belaka lalu kenapa rasa sakitnya benar-benar terasa nyata? Terutama ketika mobilnya terjatuh ke dalam jurang, Asmara masih dapat mengingat betapa sakit seluruh tubuhnya kala itu. Tulang-tulangnya terasa patah, mengalirkan darah yang membasuh seluruh tubuhnya. Asmara bahkan berpikir kalau dia telah mati saat itu. Kemudian dia tiba-tiba saja terbangun pada peristiwa yang sama persis dengan ingatan masalalunya. Apa yang terjadi sebenarnya? Semuanya benar-benar membingungkan. Selama beberapa saat Asmara meringkuk dalam kebingungan, sampai setelah dirasa cukup tenang Asmara mulai menghapus air matanya. Setidaknya dia harus pergi dari kamar ini terlebih dahulu untuk menemukan jawaban atas kebingungannya. Mengambil nafas dalam-dalam, Asmara membangkitkan dirinya. Mengambil satu pil dari dalam kantung plastik dan menelannya. Baru setelahnya dia berjalan meninggalkan ranjang dan memasuki kamar mandi. Asmara menatap penampilannya di cermin. Rambut ikal panjangnya terurai berantakan, riasan wajahnya luntur dan beberapa jejak kemerahan tersebar di kulit kuning langsatnya. Setelah membersihkan diri dan kembali mengenakan gaun merahnya semalam, Asmara berjalan meninggalkan kamar hotel. Nanda masih menunggunya untuk pulang bersama. Mengandalkan benang merah di jarinya Asmara mencari keberadaan Nanda. Ini juga yang membuatnya semakin merasa ironis. Dia akan selalu mampu menemukan Nanda tidak peduli sejauh mana laki-laki itu pergi. Asmara hanya perlu mengangkat tangan kirinya dan mengikuti kemana benang merahnya membentang. Hanya dalam waktu singkat Asmara sudah bisa melihat sosok Nanda yang berdiri di dekat pintu elevator. Tampak tengah berbicara melalui ponselnya. Wajah Nanda masih sekeruh tadi dan beberapa kali menyuarakan kalimat seperti 'kita bicarakan nanti' dan 'tunggu aku'. Namun begitu sudut matanya melihat kedatangan Asmara, dia langsung menutup ponselnya. Seolah dia tidak mau Asmara mendengar pembicaraannya. “Kamu baik-baik saja?” Asmara mengangguk lesu. Meski tubuhnya masih terasa sedikit kaku dan ngilu, setidaknya Asmara masih bisa memaksakan diri untuk melangkah. Lagipula di masa lalu, ketika Nanda meninggalkannya sendiri di kamar hotel Asmara juga pulang sendiri dengan tertatih-tatih. “Kalau begitu ayo kita pergi.” Asmara mengikuti langkah Nanda dalam diam. Bahkan disaat mereka duduk bersisian di dalam mobil, keduanya tak sekalipun mengambil suara. Asmara hanya menyibukkan dirinya dengan menatap keluar jendela. Memperhatikan pemandangan luar yang bergerak maju. Sampai 40 menit kemudian mobil berhenti di depan sebuah gedung apartemen besar. Seperti biasa Asmara langsung melangkah memasuki elevator, menekan lantai 5—menuju apartemennya. “Asmara,” panggil Nanda saat Asmara akan menempelkan sidik jarinya untuk membuka pintu otomatis. Namun belum sempat Nanda melanjutkan maksudnya Asmara sudah lebih dulu memotong. “Aku tahu, aku akan melupakan semuanya. Om Nanda tidak perlu merasa bertanggungjawab. Kita anggap malam itu hanya sebuah kesalahan. Lagipula zaman telah berubah. Kesucian seorang wanita bukan lagi hal yang tabu.” Nanda tampak sedikit terguncang dengan perkataan Asmara. “Asmara, bukan seperti itu.” Tanpa menunggu perkataan Nanda lebih lanjut, Asmara memilih langsung masuk ke dalam apartemennya. Jelas karena Asmara tahu kemana pembicaraan itu akan mengarah. Jika dia bersedia menunggu sedikit lebih lama lagi untuk mendengarkan perkataan Nanda, dia akan terluka. Karena akhirnya akan sama. Nanda pasti akan memintanya untuk mundur, menjauhi kehidupan laki-laki itu dan seperti sebelumnya Asmara akan berakhir menderita sendirian. Dengan lunglai Asmara kemudian melangkah memasuki apartemennya. Tapi entah mengapa saat Asmara baru saja menapakkan kakinya di atas karpet, pandangannya tiba-tiba saja mengabur. Tenaganya juga terasa terkikis begitu cepat. Ibu yang semula tengah duduk di sofa tiba-tiba berdiri dan menghampiri Asmara dengan panik. “Asmara, ada apa?” Suara Ibu terdengar berdengung di telinganya. Pandangannya semakin memberat dan begitu pula dengan tubuhnya. Asmara tidak lagi bisa merasakan berat tubuhnya sendiri. Semuanya terasa mengambang. Bahkan setelah sosok lain datang merengkuh tubuhnya Asmara tidak menyadarinya. Dengan nafas terengah Asmara terjatuh tak sadarkan diri.Asmara mengalami mimpi yang sangat panjang hari ini. Setiap kenangan menyakitkan yang ia alami sebelumnya terus saja berkelebat dalam waktu cepat. Bagaimana Asmara bertengkar dengan Nanda, kekacauan di hari ulangtahun Nenek, pernikahannya dengan Nanda dan rasa sakit yang ia alami dalam kecelakaan itu. Segalanya menyatu dalam tempo yang membuat Asmara menderita. Jantungnya serasa berdetak amat cepat. Napasnya terengah-tengah dan sekujur tubuhnya bergetar dalam peluh yang terus menetes tanpa henti. Asmara memohon agar kenangan buruk itu berhenti bermunculan. Akan tetapi, apa yang ia hadapi hanyalah kerunyaman yang semakin nyata. Di tengah kegelisahan, Asmara tiba-tiba saja merasakan sentuhan lembut di pucuk kepalanya. Asmara mendongak. Mencoba mencari tahu siapa sang pemilik telapak tangan lembut itu. “Tidurlah Asmara, aku disini.” Suara hangat itu mengaung di telinganya. Menghentikan segala derita yang Asmara rasakan kini. Secara ajaib rentetan kenangan buruk itu juga turut
Meski Asmara telah membulatkan tekadnya untuk tidak terkurung dalam kehidupan masa lalu dan menjadikan segalanya sebagai tolak ukur untuk melangkah maju, nyatanya Asmara masih tidak bisa melepaskan efek dari kejadian tersebut. Salah satunya adalah trauma yang ia alami setelah mengalami kecelakaan mobil itu. Sejenak setelah Asmara duduk di kursi kemudi dan menyalakan mesin, Asmara bisa merasakan gemetar hebat di sekujur tubuhnya. Peluh dingin mulai bercucuran, membasahi punggungnya. Asmara langsung terjatuh tepat setelah ia keluar dari dalam mobil. Dia memuntahkan isi perutnya di sisi pagar kediaman sang Nenek. “Asmara, ada apa?” Layina yang menyadari kedatangan Asmara seketika berlari mendekat. Asmara mengusap bibirnya menggunakan selembar tisu yang Layina berikan sebelum akhirnya duduk bersandar di tanah. Wajahnya pucat pasi. “Mabuk perjalanan," jawabnya. Layina mengernyitkan keningnya, jelas tak mempercayai ucapan Asmara. “Mabuk perjalanan? Kita bahkan pernah berkendara sela
Asmara merogoh tas selempangnya, mengeluarkan sebatang rokok yang ia sembunyikan di dalam dompet kecil sebelum akhirnya duduk di salah satu kursi yang diletakkan di depan teras. Kedua maniknya menyorot ke arah berbagai bunga yang tengah bermekaran sempurna. Asmara cukup tertarik dengan sekumpulan bunga melati yang harumnya paling tercium. Juga jenis bunga yang Nanda bilang paling dia sukai.Terkadang Asmara merasa cemburu dengan mereka. Terdengar aneh namun itulah kenyataannya. Jika Asmara terlahir sebagai bunga melati, Nanda mungkin saja akan memuji keindahannya dan menyukai keharumannya. Jika Asmara hanyalah setangkai melati, Nanda tidak perlu merasa terbebani oleh keberadaannya. Dan Asmara juga tidak perlu merasakan cinta mendalam yang menyakiti dirinya sendiri. Siklus hidupnya mungkin akan jauh lebih pendek, tapi setidaknya Asmara pernah dikagumi.Haha. Asmara tertawa nanar mendengar pikirannya sendiri. Tanpa bermaksud, Nanda masih saja munc
“Kak Asmara.”Asmara sedikit memutar tubuhnya saat Rizal, anak didiknya tiba-tiba datang menyusulnya. Padahal Asmara baru saja selesai mengajar beberapa waktu lalu. Akan tetapi dengan senyum hangat seperti biasa, Asmara menanggapi Rizal. “Rizal, ada apa?”“Rizal boleh minta waktu Kakak sebentar enggak?” Sebagai seseorang yang masih sangat muda Asmara lebih suka kalau semua anak didiknya memanggilnya dengan sebutan ‘Kakak’ bukan ‘Ibu’. Selain akan terkesan lebih akrab, Asmara juga tidak menginginkan suasana belajar yang kaku. Asmara lebih suka menciptakan lingkungan belajar yang nyaman namun masih memperhatikan norma yang berlaku. Dan terbukti, karena dengan metode pembelajaran seperti itu murid-muridnya jauh lebih mampu menyerap ilmu dengan cepat.“Kenapa? Ada pelajaran yang belum kamu pahami?”Rizal terlihat mengusap-usap ujung rambutnya dengan gugup. Siswa dengan seragam SMA itu lalu merogoh saku belakangnya, mengeluarkan sel
“Kenalin nih, ini sepupu Mbak namanya Farhan. Seperti yang Mbak bilang kemarin, Farhan ini kerja jadi manajer di perusahaan yang bergerak dibidang kosmetik. Gajinya lumayan. Yah ... lebih gede dari kita lah. Jauh malah.” Gania terbahak yang turut tertular kepada sosok lelaki yang duduk tepat di sampingnya.“Nah, sekarang kenalin rekan-rekan kerja Mbak. Ini Mas Anton, dia paling senior di tempat les. Kalau ini si bungsu Asmara sama Sari.”Asmara mengangguk saat Gania memperkenalkannya pada Farhan. Seperti perkataannya kemarin, Gania mengajak mereka semua untuk makan malam bersama sepupunya, Farhan. Awalnya Asmara masih enggan untuk datang, terutama dengan iming-iming kalau Farhan tengah mencari pendamping. Hanya saja berhubung Ibunya belum pulang dan tidak ada yang memasak untuknya, pada akhirnya Asmara memilih untuk ikut saja. “Mau pesan apa, Ra?” Tanya Anton sembari menunjukkan kertas menu padanya. “Samain aja deh sama Mas, tapi minumnya ice te
“Kenapa kamu tiba-tiba ingin tinggal bersama Layina?” Tanya Ibu sembari memasukkan helai demi helai pakaian ke dalam koper. Tadi malam Asmara tiba-tiba saja memberitahu kalau dia akan tinggal di apartemen Layina, sepupunya. Ibu tentu saja terkejut dan tidak menyetujuinya pada awalnya. Selain karena keputusan Asmara terlalu mendadak, Ibu juga tidak mengerti kenapa Asmara harus repot-repot pindah ke tempat yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari apartemen mereka. Sebaliknya jarak apartemen Layina justru lebih jauh dari tempat Asmara bekerja. Namun karena Asmara terus saja memohon, mau tak mau Ibu akhirnya menyetujuinya juga. “Kak Alan, kan sudah mau menikah, jadi Layina akan tinggal sendirian di apartemennya. Mungkin dia tidak berani dan minta Ara untuk menemaninya," ujar Asmara dengan sedikit bumbu dusta.“Ibu bukannya berpikir macam-macam, tapi kamu juga tahu Layina itu bagaimana. Jika kamu tinggal bersama Layina, takutnya kamu juga terbawa olehnya.”
Farhan : Asmara, apa kabar?Asmara menghembuskan nafas resah begitu sebuah pesan muncul di layar ponselnya. Ini bukan pertama kalinya Farhan menghubunginya. Sejak pertemuan mereka malam itu, Farhan kerap kali mengiriminya pesan dengan dalih ingin saling mengenal. Memang Farhan tidak secara gamblang mengatakan tujuan utamanya. Setiap pesan yang Farhan kirimkan juga tidak selalu menjurus pada hal seperti itu. Namun hanya dengan secuil tindakan itu sudah mampu membuat Asmara memahami jikalau Farhan memang mencoba mendekatinya.Malam itu, setiap kali melontar pertanyaan mata lelaki itu selalu terarah pada Asmara dan bahkan ketika Sari yang menjawab pun, Farhan cenderung tak acuh. Laki-laki itu akan kembali menanyakan hal yang sama sampai Asmara menjawabnya. Dan sekarang Farhan juga mengiriminya pesan saat laki-laki itu tak sekalipun meminta kontak Sari.Tapi, Farhan adalah jodoh Sari.Dengan kemampuan melihat ikatan benang merah jodoh m
Farhan :Asmara, Mas sudah sampai di depan apartemen.Asmara mengusap pelipisnya dengan berat hati ketika Farhan mengiriminya pesan jikalau lelaki itu sudah sampai di depan gedung apartemen. Karena ulah Layina yang dengan seenaknya mengotak-atik ponselnya, terpaksa Asmara harus menempati janji yang tidak ia buat untuk pergi ke acara festival bersama Farhan.Sebenarnya Asmara sudah akan menjelaskan pada Farhan kalau Layina lah yang telah membalas pesannya bukan Asmara, namun begitu Asmara menelpon Farhan ternyata laki-laki itu sudah terlanjur bersiap. Alhasil tidak ada pilihan lain, Asmara hanya mampu mengorbankan dirinya sendiri dari pada melukai perasaan orang lain. "Dia sudah datang?" Tanya Layina sembari menjinjing sebuah tas kecil berwarna putih dari salah satu lemari yang terisi penuh oleh berbagai tas bermerk miliknya, lalu menyampirkannya di bahu Asmara. Gadis itu memperhatikan penampilan Asmara sembari berdecih jijik. "Padahal lebih baik kamu
"Kamu ada dimana?" Asmara memijat pelipisnya karena sensasi pusing yang mendera kepalanya kini. Segalanya tampak berputar. Tubuhnya terasa mengambang meski Asmara tahu bila ia tengah menapak di atas lantai. Suara-suara yang semula terdengar lantang juga kini secara perlahan terdengar bagai nada terputus-putus. Memberi petunjuk bahwa kini Asmara tak lagi mampu menanggung akibat dari minuman yang ia teguk beberapa waktu lalu."Asmara." Suara di seberang telepon kembali menarik sedikit kesadarannya. Asmara memaksakan tangannya yang berat untuk menempelkan ponselnya ke telinga, lalu menjawab dengan gumamam singkat."Bar.""Bar yang mana?""Music Bar sunshine.""Tunggu di sana, jangan kemana-mana!""Hei!"Asmara berseru keras ketika panggilan terputus begitu saja. Kedua matanya mengerjap cepat memperhatikan layar ponsel, meski begitu penglihatannya yang kabur ditambah sinar yang terlalu silau membuatn
Bagai rembulan yang kehilangan sumber sinarnya, Asmara telah kehilangan ketenangannya selama beberapa hari belakangan. Sejak malam dimana ia menghabiskan makan malam bersama Nanda dan teman-temannya, isi pikiran Asmara telah dipenuhi oleh beragam kebimbangan. Terutama jika ia mengingat percakapannya dengan Nanda waktu itu. "Apa gunanya mencari orang lain jika sejak awal aku tahu bukan dia orangnya?" Air muka Nanda tampak berubah tepat setelah Asmara melontarkan kalimat itu. Seolah sesuatu yang tak kasat mata telah memasuki relung jiwanya. Nanda terdiam sejenak, pandangannya jatuh ke atas langit dan Asmara dapat merasakan kegelisahaan pada setiap kedipan matanya. "Bagaimana kamu bisa tahu bahwa orang yang kita cari bukan orang yang tepat?" Lalu apa yang Nanda katakan di lantai dasar gedung apartemennya sekali lagi membuat detak waktu seakan terhenti. Sesak hingga tak tercegah. Asmara terpaku, memperhatikan Nanda
Asmara terkadang heran dengan perjalanan takdir. Di saat ia begitu mengingini sesuatu, takdir malah menjauhkan hal itu darinya. Jangankan membiarkannya menggenggam harapan barang sedetikpun, Asmara bahkan tak diperbolehkan untuk menyentuhnya. Seakan semesta tak sudi membiarkan manusia rendahan sepertinya mendapat segalanya dengan mudah. Dan bahkan jika ia telah melalui beragam kesakitan, belum tentu takdir akan bersimpati padanya.Tapi kini, ketika Asmara tak lagi bertekad memilikinya dan cenderung menjauhkan diri, tangan-tangan takdir justru mendorong hal itu ke depan matanya. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali mempermainkannya dengan kekuatannya yang maha kuat.Lalu ketika ia kembali tergoda, akankah takdir kembali menarik harapannya?Asmara merasakan suatu kehampaan yang mengganjal di dadanya, membuatnya hanya mampu tersenyum nanar memikirkan hidupnya. Dengan perasaan tergulung sendu, Asmara menatap seseorang yang kini duduk tepat di sa
"Asmara, boleh aku tanya sesuatu?"Asmara yang baru saja akan melangkah memasuki pintu kaca sebuah restoran, seketika menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang dan memasang raut penuh tanya kepada sang penanya, Sari. Tidak hanya dirinya, gerakan Sari juga turut menarik perhatian ketiga orang lainnya, Gania, Farhan serta Anton yang sudah lebih dulu membuka pintu. Masing-masing dari mereka memandang Sari penuh ingin tahu."Ada apa, Ri?" Tanya Gania penasaran. Sari segera memasang senyum kikuk, berusaha menegaskan bahwa tidak ada hal penting yang terjadi. Gadis itu menarik pergelangan tangan Asmara, seolah takut seseorang akan menghalanginya untuk berbicara. "Mbak sama yang lainnya bisa masuk ke dalam duluan saja, aku mau ngobrol sebentar sama Asmara.""Memangnya ada apa, Ri? Tidak biasanya kamu main rahasia-rahasiaan.""Bukan apa-apa kok, Mbak. Boleh ya, Mbak? Kalau mau kalian bisa makan duluan saja.""Ya sudah, janga
Asmara terbangun ketika suara percakapan samar disertai lantunan musik klasik terdengar di telinganya. Gadis itu mengerang pelan, memaksakan dirinya untuk membuka kedua mata dan mengerjap ketika cahaya silau dari jendela yang terbuka terasa menusuk penglihatannya.Kedua alisnya menukik tajam ketika Asmara menemukan dimana ia kini. Seingatnya Asmara masih berada di ruang kerja Kakeknya sampai ia tak sengaja terlelap ketika dini hari tiba. Tapi sekarang, ia malah terbangun di atas ranjang dengan sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya rapat-rapat. Tidak hanya itu, jepit rambutnya yang semula masih menggantung di rambut ikalnya kini telah teronggok di atas nakas. Tertata rapi bersama ponselnya.Aneh, pikirnya.Namun Asmara tidak mempunyai banyak waktu untuk memikirkan bagaimana caranya ia sampai ke kamar tidur, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, hampir mendekati waktu kerjanya. Buru-buru Asmara melompat ke kamar mandi guna membersihkan diri dan ber
Asmara menyesap sebatang tembakau sembari menatap kekejauhan. Lebih tepatnya pada keberadaan sang Nenek yang tengah begitu sibuk berkebun. Tubuh ringkih itu begitu gesit memindahkan setiap tanaman yang telah penuh sesak di dalam pot kecil ke pot yang jauh lebih besar. Nenek juga sangat lincah bergerak kesana-kemari untuk menata setiap tanaman miliknya. Sedangkan Asmara, dia sudah kelelahan hanya dengan menyeret dua karung tanah dari dalam gudang. Hari ini adalah hari libur dan seperti kebiasaannya Asmara memilih untuk menghabiskan waktunya bersama sang Nenek. Meski kegiatannya tak lebih dari sekedar memperhatikan kegiatan Nenek sejak pagi sampai malam hari."Kamu masih merokok?" Nenek menatap Asmara dari posisinya kini dengan wajah berkerut. Habis pikir dengan kelakuan cucunya yang nampak begitu nyaman menyesap nikotin."Sudah kebiasaan, Nek.""Kan, Nenek sudah mewanti-wanti sejak dulu jangan pernah coba-coba, Asmara. Rokok itu berbahaya. Ada san
"Asmara, bangun!" Asmara mengerang jengkel ketika Layina mendobrak pintu kamarnya lalu berteriak-teriak keras. Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi, jelas masih terlalu awal bagi Asmara untuk memulai hari. Tapi sepertinya Layina sedang tidak mau meninggalkannya dengan tenang, Layina malah menaiki ranjang dan melompat-lompat, membuat tubuh Asmara terpental-pental kecil. "Asmara, aku bilang bangun!!" "Berisik!" Seru Asmara, terganggu. "Ayo bangun, Asmara. Laki-laki itu ada disini.” Asmara yang masih setia menutup matanya, mengerutkan kening tak mengerti. "Siapa?” “Belahan jiwamu." "Belahan jiwaku?" Beo Asmara. "Iya, belahan jiwamu yang bajingan itu." Siapa? Asmara mengerang dalam hati. Asmara sama sekali tidak mengenal seseorang dengan gelar 'bajingan' seperti itu. Asmara kemudian memaksakan diri untuk bangkit karena Layina tak kunjung
“Mbak, aku boleh titip ini buat Mas Farhan.” Asmara menyodorkan paperbag berisi gelang pemberian Farhan kepada Gania, berhati-hati agar suaranya tidak terdengar orang lain. Asmara juga sengaja untuk datang ke tempat les lebih awal agar tidak ada banyak orang yang akan melihatnya. Gania yang semula tengah merapikan lembar tes di mejanya sontak menoleh heran. “Loh, kenapa enggak kasih langsung saja, Ra?” Asmara menggeleng. “Kan ada Mbak.” "Memangnya ini apa, Ra?" Asmara sedikit mencondongkan tubuhnya beberapa derajat, menoleh ke setiap sisi sebelum berkata dengan suara pelan. “Tapi Mbak jangan kasih tahu yang lain ya, Mbak. Terutama pada Sari. Kemarin waktu antar aku pulang, Mas Farhan kasih aku hadiah. Tapi karena hadiahnya terlalu mahal, jadi aku mau kembalikan saja lewat Mbak. Boleh, kan Mbak?" “Loh, kok gitu? Kenapa enggak kamu terima saja, Ra?" “Enggak bisa, Mbak. Aku akan merasa tidak enak
“Asmara, ayo pulang bareng.”Asmara sontak menoleh ketika Gania tiba-tiba saja memasuki ruang kelas dan mengajaknya untuk pulang bersama. Hari sudah beranjak malam dan waktu ajarnya pun telah selesai, semula Asmara memang berniat segera pulang setelah membereskan barang-barangnya. Asmara hendak menyetujui tawaran Gania saat seseorang ikut melangkah masuk, membuat Asmara langsung menelan setiap kata yang hendak ia keluarkan. Sebaliknya Asmara mengurungkan niat dan menolak Gania.“Enggak usah deh, Mbak. Aku udah pesen ojek online nih, enggak tega kalau di-cancel.”Farhan yang sepertinya sudah dapat menebak penolakan Asmara segera mendekat. Laki-laki yang masih mengenakan jas kantornya itu meraih buku yang telah Asmara susun di atas meja. “Udah, ikut saja ya, Asmara. Untuk ojeknya enggak papa biar Mas yang bayar tapi kamu tetap ikut sama kita.”Di belakang Farhan, Gania mangut-mangut.“Kalau gitu aku jadinya ngerepotin Mas. Apalagi apartemen