Home / Romansa / Cinta sang Asmara / Chapter 7. Gambaran yang Familiar

Share

Chapter 7. Gambaran yang Familiar

Hal pertama yang Asmara lihat sejak membuka matanya adalah langit-langit luas dengan ornamen bunga berwarna putih. Pencahayaan yang sedikit temaram membuat Asmara harus beberapa kali menajamkan penglihatannya. Akan tetapi, rasa ngilu di sekujur tubuh jauh lebih menarik atensinya.

Asmara mengerang tertahan, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dia tengah berbaring di atas ranjang, berselimut kain putih polos yang kusut. Di sekelilingnya, Asmara bisa melihat beragam perabotan sederhana yang ditata amat rapi.

Tapi mengapa Asmara merasa familiar dengan tempat ini?

Tempat ini sama persis dengan kamar hotel yang Asmara tempati saat dia menghabiskan waktu bersama Nanda malam itu.

Tunggu!

Asmara memaksa dirinya untuk bangkit. Kenapa Asmara tiba-tiba bisa berada di kamar hotel ini? Bukankah Asmara baru saja bertengkar hebat dalam ruangan kantor Nanda sebelum akhirnya berlari pergi dan mengalami kecelakaan tunggal? Asmara bahkan masih bisa mengingat dengan sangat jelas tatkala mobil yang ia kendarai menghantam pembatas jalan dan jatuh terperosok ke dalam jurang.

Lalu mengapa dia tiba-tiba terbangun di sini?

Apa Asmara selamat?

Namun jika dia memang selamat kenapa Asmara berakhir di kamar hotel bukannya berada di ranjang rumah sakit?

Asmara kemudian menatap tubuhnya yang telanjang. Jelas semakin membuatnya bertanya-tanya. Tapi tidak hanya sampai disana, Asmara turut menemukan gaun yang seingatnya ia pakai di pesta kelulusannya. Bahkan tas dan semua barang yang sama juga tergeletak di atas lantai.

Apa yang terjadi?

Saat Asmara masih termenung dalam kemelut di kepalanya, suara pintu terbuka mengagetkannya. Di buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuh bagian atasnya dan alangkah terkejutnya ia ketika melihat Nanda memasuki ruangan. Nanda memakai kemeja putih agak kusut yang dimasukkan ke dalam celana kerja berwarna hitam. Di tangannya terdapat kantung plastik berwarna putih.

“Kamu sudah bangun?” Laki-laki itu bertanya, meletakkan kantung plastik yang ia bawa ke atas meja kecil di samping ranjang. Baru setelahnya dia memilih untuk duduk di sofa yang terletak di dekat jendela.

Asmara kaget, kenapa Nanda bisa ada disini?

“Asmara,” panggil Nanda dengan intonasi lelah yang tidak ditutup-tutupi. Sepanjang langkahnya di dalam sana, laki-laki itu tidak sekalipun menaruh pandangannya pada Asmara. Seolah dia secara terang-terangan menghindar. “Kita tahu apa yang terjadi semalam adalah sebuah kesalahan. Kita sama-sama dipengaruhi oleh alkohol, mabuk dan tidak dapat berpikir jernih. Karena itu, aku minta maaf. Aku seharusnya tidak melakukan itu. Terutama padamu.”

Asmara bergeming, masih termenung dalam pikirannya sendiri. Kenapa dia merasa pernah mendengar perkataan Nanda? Itu adalah kalimat yang persis sama dengan yang Nanda katakan dulu, saat ia baru saja terbangun setelah mereka menghabiskan malam bersama.

Belum selesai, Asmara semakin dibuat terkejut karena Nanda kembali mengatakan hal yang sama dengan apa yang ada di ingatannya.

“Asmara, aku minta maaf. Bisakah kita melupakan apa yang terjadi dan menganggap semuanya tidak pernah ada?”

Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Asmara mengalami hal yang sama dua kali?

Asmara kemudian menatap kantung plastik yang Nanda bawa, ada sebungkus pil obat di dalamnya. Jika Asmara tidak salah ingat itu adalah obat pencegah kehamilan. Di masa lalu Asmara menolak habis-habisan ketika Nanda memintanya untuk meminum obat, dan itulah yang menjadi awal mula pertengkaran hebat di antara mereka.

Mengingat apa yang terjadi di masa lalu, Asmara memandang sekitarnya dengan ngeri, mencoba mencari detail yang ia lewatkan. Jangan bilang kalau Asmara telah mengulang kembali waktu? Ataukah semua yang ia alami adalah mimpi belaka? Tapi kenapa Asmara bisa mengingat semuanya dengan sangat jelas?

“Asmara, aku tahu kalau aku mungkin terdengar egois tapi ini jalan yang lebih baik kita lalui. Kita tahu kalau tadi malam hanyalah kesalahan, kita sama-sama tidak sadar dan menurutku alangkah lebih baik jika kita tidak melibatkan keberadaan yang lainnya.”

“A‐aku mau pulang!” Seru Asmara panik.

Nanda mengernyitkan kening, merasa terkejut dengan sikap Asmara yang nampak panik. “Asmara ... ”

“Aku mau pulang! A-aku tidak mau disini. A-aku ... ”

Menyadari kalau ada yang salah dengan perilaku Asmara, Nanda segera bangkit dari duduknya. Laki-laki itu berjalan mendekati Asmara namun, saat menyadari keadaan tubuh Asmara yang semakin gemetar setiap kali ia mendekatinya Nanda segera mengurungkan niat. Kembali mengambil langkah mundur.

“Asmara, ada apa?”

Asmara menutup wajahnya dengan kasar. Ada sedikit tangisan dalam suaranya. “Aku mau pergi ... ”

Nanda memperhatikan kelainan Asmara dengan ekspresi berat. Selama beberapa saat keduanya terdiam dalam kebuntuan sampai Nanda yang mengambil langkah lebih dulu. Meraih gaun yang teronggok di lantai dan meletakkannya di atas ranjang, Nanda kemudian berkata dengan intonasi lebih lembut dari sebelumnya. “Aku akan tunggu kamu di luar kamar, setelah kamu cukup tenang kita akan pulang.”

Sepeninggal Nanda, tangisan Asmara tak lagi bisa dia bendung. Perasaannya benar-benar kacau. Asmara tidak tahu apa yang terjadi padanya.

Mengapa dia bisa mengulang kembali kejadian yang telah ia lalui sebelumnya? Atau jika kejadian sebelumnya hanyalah mimpi belaka lalu kenapa rasa sakitnya benar-benar terasa nyata? Terutama ketika mobilnya terjatuh ke dalam jurang, Asmara masih dapat mengingat betapa sakit seluruh tubuhnya kala itu. Tulang-tulangnya terasa patah, mengalirkan darah yang membasuh seluruh tubuhnya.

Asmara bahkan berpikir kalau dia telah mati saat itu.

Kemudian dia tiba-tiba saja terbangun pada peristiwa yang sama persis dengan ingatan masalalunya.

Apa yang terjadi sebenarnya?

Semuanya benar-benar membingungkan. Selama beberapa saat Asmara meringkuk dalam kebingungan, sampai setelah dirasa cukup tenang Asmara mulai menghapus air matanya. Setidaknya dia harus pergi dari kamar ini terlebih dahulu untuk menemukan jawaban atas kebingungannya.

Mengambil nafas dalam-dalam, Asmara membangkitkan dirinya. Mengambil satu pil dari dalam kantung plastik dan menelannya. Baru setelahnya dia berjalan meninggalkan ranjang dan memasuki kamar mandi.

Asmara menatap penampilannya di cermin. Rambut ikal panjangnya terurai berantakan, riasan wajahnya luntur dan beberapa jejak kemerahan tersebar di kulit kuning langsatnya.

Setelah membersihkan diri dan kembali mengenakan gaun merahnya semalam, Asmara berjalan meninggalkan kamar hotel. Nanda masih menunggunya untuk pulang bersama.

Mengandalkan benang merah di jarinya Asmara mencari keberadaan Nanda. Ini juga yang membuatnya semakin merasa ironis. Dia akan selalu mampu menemukan Nanda tidak peduli sejauh mana laki-laki itu pergi. Asmara hanya perlu mengangkat tangan kirinya dan mengikuti kemana benang merahnya membentang.

Hanya dalam waktu singkat Asmara sudah bisa melihat sosok Nanda yang berdiri di dekat pintu elevator. Tampak tengah berbicara melalui ponselnya. Wajah Nanda masih sekeruh tadi dan beberapa kali menyuarakan kalimat seperti 'kita bicarakan nanti' dan 'tunggu aku'. Namun begitu sudut matanya melihat kedatangan Asmara, dia langsung menutup ponselnya. Seolah dia tidak mau Asmara mendengar pembicaraannya.

“Kamu baik-baik saja?”

Asmara mengangguk lesu. Meski tubuhnya masih terasa sedikit kaku dan ngilu, setidaknya Asmara masih bisa memaksakan diri untuk melangkah. Lagipula di masa lalu, ketika Nanda meninggalkannya sendiri di kamar hotel Asmara juga pulang sendiri dengan tertatih-tatih.

“Kalau begitu ayo kita pergi.”

Asmara mengikuti langkah Nanda dalam diam. Bahkan disaat mereka duduk bersisian di dalam mobil, keduanya tak sekalipun mengambil suara. Asmara hanya menyibukkan dirinya dengan menatap keluar jendela. Memperhatikan pemandangan luar yang bergerak maju. Sampai 40 menit kemudian mobil berhenti di depan sebuah gedung apartemen besar. Seperti biasa Asmara langsung melangkah memasuki elevator, menekan lantai 5—menuju apartemennya.

“Asmara,” panggil Nanda saat Asmara akan menempelkan sidik jarinya untuk membuka pintu otomatis. Namun belum sempat Nanda melanjutkan maksudnya Asmara sudah lebih dulu memotong.

“Aku tahu, aku akan melupakan semuanya. Om Nanda tidak perlu merasa bertanggungjawab. Kita anggap malam itu hanya sebuah kesalahan. Lagipula zaman telah berubah. Kesucian seorang wanita bukan lagi hal yang tabu.”

Nanda tampak sedikit terguncang dengan perkataan Asmara.

“Asmara, bukan seperti itu.”

Tanpa menunggu perkataan Nanda lebih lanjut, Asmara memilih langsung masuk ke dalam apartemennya. Jelas karena Asmara tahu kemana pembicaraan itu akan mengarah. Jika dia bersedia menunggu sedikit lebih lama lagi untuk mendengarkan perkataan Nanda, dia akan terluka. Karena akhirnya akan sama. Nanda pasti akan memintanya untuk mundur, menjauhi kehidupan laki-laki itu dan seperti sebelumnya Asmara akan berakhir menderita sendirian.

Dengan lunglai Asmara kemudian melangkah memasuki apartemennya. Tapi entah mengapa saat Asmara baru saja menapakkan kakinya di atas karpet, pandangannya tiba-tiba saja mengabur. Tenaganya juga terasa terkikis begitu cepat.

Ibu yang semula tengah duduk di sofa tiba-tiba berdiri dan menghampiri Asmara dengan panik.

“Asmara, ada apa?”

Suara Ibu terdengar berdengung di telinganya. Pandangannya semakin memberat dan begitu pula dengan tubuhnya. Asmara tidak lagi bisa merasakan berat tubuhnya sendiri. Semuanya terasa mengambang. Bahkan setelah sosok lain datang merengkuh tubuhnya Asmara tidak menyadarinya. Dengan nafas terengah Asmara terjatuh tak sadarkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status