Asmara menatap layar ponselnya yang menunjukkan sederet pesan yang telah ia kirimkan kepada Nanda sejak beberapa waktu lalu. Semuanya sudah terbaca, hanya saja satu balasan singkat yang mengatakan bahwa Nanda masih sibuk adalah satu-satunya yang ia terima.
Beberapa hari telah berlalu sejak Nanda memutuskan untuk pergi ke Singapura—dengan alasan untuk bekerja. Selama itu Ibu sudah mengabari hal ini kepada sang Nenek. Alhasil perempuan tua itu seketika mendatangi Asmara dan meminta maaf. Nenek sama sekali tidak menyangka jika Nanda akan berlaku sekejam itu padanya. Asmara hanya mampu berbohong kala itu. Mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Meski mereka mungkin menyadari betapa hancurnya ia kini. Pada hari kelima Asmara mendapat kabar jika Nanda sudah pulang. Namun karena beberapa urusan mendesak Nanda harus langsung pergi ke kantor. Nanda adalah seorang spesialis keamanan dibidang cyber pada salah satu perusahaan besar yang berkembang di bidang teknologi. Dan karena sebelumnya Asmara pernah berkunjung untuk mengantar makanan, dia bisa masuk dengan cukup mudah pasalnya karyawan di sana sudah cukup akrab dengan wajahnya. Tapi apa yang Asmara temui seketika menusuk relung hatinya. Ia melihat bagaimana Nanda memeluk Maira yang tengah menangis dengan begitu erat. Dengan nafas terengah sesak, Asmara mendorong pintu kantor Nanda membuat kedua orang yang ada di dalamnya seketika tersentak kaget. "Jadi ini yang kalian lakukan selama ini?" Tegur Asmara. Nanda segera melerai pelukannya bersama Maira lalu berjalan mendekati Asmara. "Sedang apa kamu di sini?" "Kenapa aku tidak bisa datang kesini? Apa kamu takut aku mengganggu waktumu dengan Mbak Maira?" Menyadari sorot mata Asmara yang memerah, Nanda seakan menyadari apa yang akan terjadi jikalau ia tak sengaja menyulut api. Ditambah posisi mereka yang masih berada di perusahaan—dengan banyaknya oramg yang belemungkinan melihat—Nanda tak mau membuat keributan. "Bisa kita bicarakan ini nanti? Setidaknya jangan disini," ujarnya, memohon. "Lalu dimana? Kita sudah menikah selama lebih dari seminggu, tapi selama itu, tidak sekalipun kamu pernah menemuiku. Kamu pikir aku tidak memiliki perasaan, Om? Aku juga terluka. Bagaimana suamiku yang baru aku nikahi tidak pernah menganggap keberadaanku." "Asmara kamu tahu sendiri bagaimana kalian menikah. Jika saja malam itu kamu tidak mabuk, semua ini tidak akan terjadi. Pernikahan kalian juga tidak akan pernah ada. Kamu seharusnya sedikit mengerti, Asmara. Nanda menikahi kamu, semua ini karena perintah Nenek. Kamu pikir Nanda juga tidak terluka ketika dia harus menikahi gadis yang tidak dia cintai? Apalagi Nanda seharusnya memiliki pernikahan yang layak, bukannya malah menikah dengan cara seperti itu." Asmara tertawa nanar mendengar tuturan Maira. "Jadi ini salahku?" Asmara menunjuk dirinya sendiri penuh kemarahan. "Jadi ini salahku karena membuat Om Nanda harus menikahi perempuan sepertiku?!" Menyadari betapa kerasnya suara Asmara, Nanda seketika mencekal lengannya. "Sudah cukup, Asmara. Orang-orang akan mendengarnya. Kita akan membicarakannya nanti, saat kamu sudah cukup tenang." "Kapan? Kapan kita akan membicarakannya saat kamu bahkan tidak pernah datang!! Bisakah sedikit saja kamu mengerti perasaanku, Om? Ini bukan sepenuhnya salahku, kamu juga mabuk saat itu." Maira mendorong Asmara menjauhi Nanda. "Sudah, Asmara. Kamu membuat Nanda malu." "Orang yang tidak tahu malu adalah Mbak. Mbak tahu kalau Om Nanda sekarang adalah suami aku dan Mbak masih dengan tidak tahu malunya melakukan hal ini?!" "Apa salahnya jika aku menemui Nanda saat aku sedih? Aku dan Nanda, kami telah bersahabat sejak lama. Wajar saja jika hubungan kami sangat dekat." "Sudah, Maira. Jangan memperkeruh semuanya," tegur Nanda. "Nda, sekarang adalah waktunya kamu mengatakan yang sebenarnya kalau kamu membenci Asmara. Kamu tidak pernah bersedia menikahi Asmara. Ayo katakan, Nda. Katakan." Asmara mengepalkan tangannya mendengar penuturan yang keluar dari mulut Maira. Nanda tidak mau menikahinya. Mengapa? Kenapa Nanda tidak mau menikahinya? Bukankah Nanda adalah jodohnya? Ia dan Nanda terikat oleh jalinan benang merah, takdir mereka telah ditetapkan sejak lama. Nanda seharusnya bersama dengannya. Lalu kenapa Nanda justru menganggapnya sebagai seseorang yang tidak bisa dicintai. Mengapa?! "Asmara, kamu harus berpikir dewasa! Jangan hanya memikirkan satu sudut pandang saja, cobalah mengerti dari sisi orang lain. Nanda tidak menyukai kamu, kamu tidak seharusnya memaksa Nanda seperti ini." “Lalu apakah Mbak sudah mencoba untuk melihat dari sudut pandangku? Bagaimana perasaan, apa itu tidak penting?" Nanda menarik Asmara yang mulai kehilangan kendali. "Asmara, sudah berhenti," tekannya. Asmara menyentak genggaman Nanda kemudian menatap lelaki itu dengan penuh luka. “Tidak peduli apa yang aku lakukan, aku akan selalu menjadi pihak yang salah bukan? Apa sesempurna itu Mbak Maira sampai Om tidak bisa menyadari kalau ada orang lain selain dia? “Setiap kali dia sedih, Om selalu ada untuk dia. Menawarkan bahu sandaran tanpa pamrih. Om mencoba mencintai dia, mencurahkan segala hal yang Om miliki. Tapi saat Om berada di titik rendah, apakah dia ada? Apakah Mbak Maira yang merawat Om saat Om sakit? Atau saat kamu terluka, apakah dia yang mengobati lukanya? "Aku mungkin kekanakan dan apa yang ku lakukan tidak cukup untuk membuat Om menyadari perasaanku. Tapi bisakah, sedikit saja ... sedikit saja Om melihat ke arahku?” "Maaf ... " Asmara terdiam kelu mendengar permintaan maaf itu. Bukan kata itu yang Asmara inginkan. Dia tidak membutuhkan permintaan maaf, dia hanya ingin supaya Nanda sedikit saja melihat kearahnya, menyadari ketulusannya. Akan tetapi lelaki itu malah mengucapkan maaf, seolah Asmara tak lebih dari sebuah kesalahan. Satu kesadaran muncul di kepalanya. Selama ini Nanda bukannya tidak mengetahui perasaannya, tapi Nanda hanya memilih untuk berpura-pura tidak mengetahuinya. “Aku ingin memperingati Om satu hal, saat ini Om mungkin masih memiliki kesabaran yang luas, akan tetapi suatu saat nanti ketika Mbak Maira dan Mas Gilang menikah, apa yang akan Om lakukan? Om tidak mungkin akam terus di perbudak olehnya ‘kan? Atau Om bahkan rela merawat anak laki-laki lain seperti anak Om sendiri?” PLAK! Maira menampar Asmara dengan sangat keras. Dia sudah tak kuasa lagi mendengar perkataan Asmara yang terkesan menyudutkannya. Dengan nyalang Maira memelototi Asmara. “Cukup Asmara, aku tidak bisa mentolerir penghinaan kamu lagi?” “Mbak tidak akan semarah ini jika tidak merasa itu benar bukan?” Tantang Asmara. Dia sudah tidak lagi peduli dengan apapun, tidak peduli dimana ia berada atau jika Maira berusia lebih tua darinya. Sudah cukup Asmara menahan kemarahannya selama ini. Maira akan kembali menampar Asmara tatkala Nanda sudah lebih dulu menghentikannya. "Cukup, Maira!" "Nda, Asmara menghinaku. Kamu tahu aku tidak seperti itu." Nanda menghela nafas lelah. Pertikaian di antara kedua perempuan itu membuat kepalanya berdenyut nyeri. "Ini masih ruang kantorku, apapun yang terjadi sebaiknya kita bicarakan saja nanti. Dan kamu juga, Asmara. Aku benar-benar minta, tapi aku masih perlu waktu untuk memahami apa yang terjadi. Oleh karena itu, aku mohon, tolong beri aku kelonggaran." "Sampai kapan, Om? Seminggu? Sebulan? Satu tahun? Kamu bahkan tidak pernah sekalipun menemuiku selama ini, bagaimana aku akan percaya kalau kamu akan kembali suatu saat nanti? Dan—" Asmara menatap wajah Maira. Ingatan saat Nanda memeluk Maira dengan begitu eratnya membuat hatinya seketika terasa amat nyeri. "Bagaimana aku bisa percaya kalau tidak akan terjadi apa-apa dengan kalian setelah apa yang aku lihat barusan?" "Asmara—" "Berjanjilah padaku kalau kamu tidak akan menemui dia lagi!!" "Asmara!" Nanda memperingati. "Berjanjilah, Om. Berjanjilah kalau kamu akan membuang perempuan ini!!" "Asmara, apa yang kamu lakukan sudah terlalu jauh. Sebaiknya kamu segera pergi dan pikirkan semua kesalahanmu.” Kesalahan? Jadi semua ini hanya kesalahannya? Bagaimana dengan Nanda atau Maira? Kenapa hanya Asmara yang menjadi tempat melampiaskan kesalahan saja? Asmara merasa hatinya kembali teriris nyeri. Sekali lagi dia mengalami patah hati. Dia kemudian menatap benang merah yang mengikat dirinya dengan Nanda. Semua ini karena benang merah ini. Jika Asmara tidak memiliki kemampuan ini Asmara tidak akan menjatuhkan dirinya pada Nanda. Dia tidak akan dengan bodohnya percaya kalau cinta sejati itu ada. Asmara juga tidak akan dengan lugunya memperjuangkan Nanda dan mengalami luka bertubi-tubi seperti ini. Asmara mencoba menggali apa yang sebenarnya bersembunyi di balik sepasang manik Nanda. Tapi hal itu malah membuatnya semakin sedih. Karena tidak peduli apa yang terjadi Asmara tidak pernah menjadi bagian dari penglihatan Nanda, hanya ada sosok Maira disana. Hanya Maira lah yang menjadi satu-satunya orang yang selalu Nanda kasihi. Ketika Asmara mati-matian menahan air mata yang siap meluruh, Nanda justru mendekap Maira, membisikkan beragam kalimat penenang yang seharusnya ia dapatkan. Apa memang takdir tidak pernah berpihak padanya? "Kamu memang tidak pernah mencintaiku 'kan?" Asmara melepas cincin di jari manisnya. "Kalau begitu untuk apa mempertahankan semua ini." Tak lagi mau menghadapi sumber rasa sakitnya Asmara memilih pergi. Sudah cukup! Asmara tidak mau sudi lagi terus-menerus terluka. Meninggalkan area perkantoran yang ramai, Asmara memanuver mobilnya dengan sangat cepat. Seolah Asmara ingin buru-buru meninggalkan kenangan buruk miliknya. Begitu Asmara sampai di jalanan yang lengang, air matanya tak lagi bisa ditahan. Asmara menangis, meneriakkan sesak di dadanya. Berkali-kali Asmara mencoba menyentuh benang merah di tangan kirinya. Mencoba melepaskan untaian kusut yang ia tahu takkan lagi bisa terurai. Namun tidak peduli bahkan jika kukunya telah menyebabkan tangannya berlumuran darah, Asmara masih tidak bisa memutuskannya. Benang merah itu masih terikat dengan sangat erat, tak tersentuh dan tidak dapat diputuskan. Membuat Asmara semakin tak kuasa menahan jeritnya. Benang merah itu seakan tengah menertawakan kebodohan Asmara. Bahwa jika Asmara memohon sekalipun untaian takdir memilukan tidak akan pernah meninggalkannya. Dan pada saat itulah, karena pandangannya yang kabur Asmara tidak menyadari kalau mobil yang ia kendarai melewati pembatas jalan sebelum akhirnya merosot jatuh ke bawah tebing yang curam. Tubuhnya terombang-ambing dengan sangat keras, menciptakan rasa sakit yang tertahankan. Asmara bisa mendengar derak patahan di sekujur tubuhnya yang disertai dengan aroma besi yang pekat. Mengapa takdir begitu kejam padanya. Hanya beberapa hari saja, Asmara harus merasakan sakit teramat sangat yang tidak pernah ia alami sepanjang usianya. Selama hari-hari yang singkat ini Asmara dipaksa untuk mencapai batasnya berkali-kali. Ia harus mengalami penderitaan karena cinta, kecemburuan dan ketidakadilan. Lalu sekarang Asmara juga harus merenggang nyawa sendirian. Seakan takdir tidak bisa lagi menaruh alur penuh duka lebih dari ini. Di ujung kesadarannya yang semakin menipis Asmara hanya memiliki satu permohonan. Dia ingin melupakan semua.Hal pertama yang Asmara lihat sejak membuka matanya adalah langit-langit luas dengan ornamen bunga berwarna putih. Pencahayaan yang sedikit temaram membuat Asmara harus beberapa kali menajamkan penglihatannya. Akan tetapi, rasa ngilu di sekujur tubuh jauh lebih menarik atensinya. Asmara mengerang tertahan, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dia tengah berbaring di atas ranjang, berselimut kain putih polos yang kusut. Di sekelilingnya, Asmara bisa melihat beragam perabotan sederhana yang ditata amat rapi. Tapi mengapa Asmara merasa familiar dengan tempat ini? Tempat ini sama persis dengan kamar hotel yang Asmara tempati saat dia menghabiskan waktu bersama Nanda malam itu. Tunggu! Asmara memaksa dirinya untuk bangkit. Kenapa Asmara tiba-tiba bisa berada di kamar hotel ini? Bukankah Asmara baru saja bertengkar hebat dalam ruangan kantor Nanda sebelum akhirnya berlari pergi dan mengalami kecelakaan tunggal? Asmara bahkan masih bisa mengingat dengan sangat jelas tatkala mo
Asmara mengalami mimpi yang sangat panjang hari ini. Setiap kenangan menyakitkan yang ia alami sebelumnya terus saja berkelebat dalam waktu cepat. Bagaimana Asmara bertengkar dengan Nanda, kekacauan di hari ulangtahun Nenek, pernikahannya dengan Nanda dan rasa sakit yang ia alami dalam kecelakaan itu. Segalanya menyatu dalam tempo yang membuat Asmara menderita. Jantungnya serasa berdetak amat cepat. Napasnya terengah-tengah dan sekujur tubuhnya bergetar dalam peluh yang terus menetes tanpa henti. Asmara memohon agar kenangan buruk itu berhenti bermunculan. Akan tetapi, apa yang ia hadapi hanyalah kerunyaman yang semakin nyata. Di tengah kegelisahan, Asmara tiba-tiba saja merasakan sentuhan lembut di pucuk kepalanya. Asmara mendongak. Mencoba mencari tahu siapa sang pemilik telapak tangan lembut itu. “Tidurlah Asmara, aku disini.” Suara hangat itu mengaung di telinganya. Menghentikan segala derita yang Asmara rasakan kini. Secara ajaib rentetan kenangan buruk itu juga turut
Meski Asmara telah membulatkan tekadnya untuk tidak terkurung dalam kehidupan masa lalu dan menjadikan segalanya sebagai tolak ukur untuk melangkah maju, nyatanya Asmara masih tidak bisa melepaskan efek dari kejadian tersebut. Salah satunya adalah trauma yang ia alami setelah mengalami kecelakaan mobil itu. Sejenak setelah Asmara duduk di kursi kemudi dan menyalakan mesin, Asmara bisa merasakan gemetar hebat di sekujur tubuhnya. Peluh dingin mulai bercucuran, membasahi punggungnya. Asmara langsung terjatuh tepat setelah ia keluar dari dalam mobil. Dia memuntahkan isi perutnya di sisi pagar kediaman sang Nenek. “Asmara, ada apa?” Layina yang menyadari kedatangan Asmara seketika berlari mendekat. Asmara mengusap bibirnya menggunakan selembar tisu yang Layina berikan sebelum akhirnya duduk bersandar di tanah. Wajahnya pucat pasi. “Mabuk perjalanan," jawabnya. Layina mengernyitkan keningnya, jelas tak mempercayai ucapan Asmara. “Mabuk perjalanan? Kita bahkan pernah berkendara sela
Asmara merogoh tas selempangnya, mengeluarkan sebatang rokok yang ia sembunyikan di dalam dompet kecil sebelum akhirnya duduk di salah satu kursi yang diletakkan di depan teras. Kedua maniknya menyorot ke arah berbagai bunga yang tengah bermekaran sempurna. Asmara cukup tertarik dengan sekumpulan bunga melati yang harumnya paling tercium. Juga jenis bunga yang Nanda bilang paling dia sukai.Terkadang Asmara merasa cemburu dengan mereka. Terdengar aneh namun itulah kenyataannya. Jika Asmara terlahir sebagai bunga melati, Nanda mungkin saja akan memuji keindahannya dan menyukai keharumannya. Jika Asmara hanyalah setangkai melati, Nanda tidak perlu merasa terbebani oleh keberadaannya. Dan Asmara juga tidak perlu merasakan cinta mendalam yang menyakiti dirinya sendiri. Siklus hidupnya mungkin akan jauh lebih pendek, tapi setidaknya Asmara pernah dikagumi.Haha. Asmara tertawa nanar mendengar pikirannya sendiri. Tanpa bermaksud, Nanda masih saja munc
“Kak Asmara.”Asmara sedikit memutar tubuhnya saat Rizal, anak didiknya tiba-tiba datang menyusulnya. Padahal Asmara baru saja selesai mengajar beberapa waktu lalu. Akan tetapi dengan senyum hangat seperti biasa, Asmara menanggapi Rizal. “Rizal, ada apa?”“Rizal boleh minta waktu Kakak sebentar enggak?” Sebagai seseorang yang masih sangat muda Asmara lebih suka kalau semua anak didiknya memanggilnya dengan sebutan ‘Kakak’ bukan ‘Ibu’. Selain akan terkesan lebih akrab, Asmara juga tidak menginginkan suasana belajar yang kaku. Asmara lebih suka menciptakan lingkungan belajar yang nyaman namun masih memperhatikan norma yang berlaku. Dan terbukti, karena dengan metode pembelajaran seperti itu murid-muridnya jauh lebih mampu menyerap ilmu dengan cepat.“Kenapa? Ada pelajaran yang belum kamu pahami?”Rizal terlihat mengusap-usap ujung rambutnya dengan gugup. Siswa dengan seragam SMA itu lalu merogoh saku belakangnya, mengeluarkan sel
“Kenalin nih, ini sepupu Mbak namanya Farhan. Seperti yang Mbak bilang kemarin, Farhan ini kerja jadi manajer di perusahaan yang bergerak dibidang kosmetik. Gajinya lumayan. Yah ... lebih gede dari kita lah. Jauh malah.” Gania terbahak yang turut tertular kepada sosok lelaki yang duduk tepat di sampingnya.“Nah, sekarang kenalin rekan-rekan kerja Mbak. Ini Mas Anton, dia paling senior di tempat les. Kalau ini si bungsu Asmara sama Sari.”Asmara mengangguk saat Gania memperkenalkannya pada Farhan. Seperti perkataannya kemarin, Gania mengajak mereka semua untuk makan malam bersama sepupunya, Farhan. Awalnya Asmara masih enggan untuk datang, terutama dengan iming-iming kalau Farhan tengah mencari pendamping. Hanya saja berhubung Ibunya belum pulang dan tidak ada yang memasak untuknya, pada akhirnya Asmara memilih untuk ikut saja. “Mau pesan apa, Ra?” Tanya Anton sembari menunjukkan kertas menu padanya. “Samain aja deh sama Mas, tapi minumnya ice te
“Kenapa kamu tiba-tiba ingin tinggal bersama Layina?” Tanya Ibu sembari memasukkan helai demi helai pakaian ke dalam koper. Tadi malam Asmara tiba-tiba saja memberitahu kalau dia akan tinggal di apartemen Layina, sepupunya. Ibu tentu saja terkejut dan tidak menyetujuinya pada awalnya. Selain karena keputusan Asmara terlalu mendadak, Ibu juga tidak mengerti kenapa Asmara harus repot-repot pindah ke tempat yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari apartemen mereka. Sebaliknya jarak apartemen Layina justru lebih jauh dari tempat Asmara bekerja. Namun karena Asmara terus saja memohon, mau tak mau Ibu akhirnya menyetujuinya juga. “Kak Alan, kan sudah mau menikah, jadi Layina akan tinggal sendirian di apartemennya. Mungkin dia tidak berani dan minta Ara untuk menemaninya," ujar Asmara dengan sedikit bumbu dusta.“Ibu bukannya berpikir macam-macam, tapi kamu juga tahu Layina itu bagaimana. Jika kamu tinggal bersama Layina, takutnya kamu juga terbawa olehnya.”
Farhan : Asmara, apa kabar?Asmara menghembuskan nafas resah begitu sebuah pesan muncul di layar ponselnya. Ini bukan pertama kalinya Farhan menghubunginya. Sejak pertemuan mereka malam itu, Farhan kerap kali mengiriminya pesan dengan dalih ingin saling mengenal. Memang Farhan tidak secara gamblang mengatakan tujuan utamanya. Setiap pesan yang Farhan kirimkan juga tidak selalu menjurus pada hal seperti itu. Namun hanya dengan secuil tindakan itu sudah mampu membuat Asmara memahami jikalau Farhan memang mencoba mendekatinya.Malam itu, setiap kali melontar pertanyaan mata lelaki itu selalu terarah pada Asmara dan bahkan ketika Sari yang menjawab pun, Farhan cenderung tak acuh. Laki-laki itu akan kembali menanyakan hal yang sama sampai Asmara menjawabnya. Dan sekarang Farhan juga mengiriminya pesan saat laki-laki itu tak sekalipun meminta kontak Sari.Tapi, Farhan adalah jodoh Sari.Dengan kemampuan melihat ikatan benang merah jodoh m