Perubahan situasinya sungguh mendadak. Rencana yang sudah disiapkan matang-matang oleh Juna justru berantakan sebelum terlaksana. Alih-alih dia sempat menjauhkan keberadaan Nayla. Teguran sejoli pemilik perhelatan membuat posisinya diketahui mereka yang hendak dia hindari. Daniel menengok lekas akibat menemukan interaksi mencolok oleh sang calon pengantin terhadap tamu di salah satu meja VIP. Berujung dia mengajak Kirana, Jihan serta untuk menghampiri meja si direktur Janendra. "Kau datang bersama istrimu, kenapa diam saja? Harusnya kau bisa menyapa kami dan duduk bergabung di depan sana." Meja berisi dua kursi tadi ditata ulang menjadi tujuh kursi dengan dua meja berkat tangan gesit seorang pramusaji profesional. "Aku tidak melihat kalian di antara keramaian yang sibuk ini, Daniel. Syukurlah pandanganmu jeli, sehingga kita bisa berkumpul untuk bersulang. Kebetulan yang bagus, bukan? Apalagi calon pengantin kita turut di sini." "Kupikir wajib untuk menghabiskan waktu sebentar di
Tiada pembicaraan yang terjadi meskipun mereka berdua berada di mobil yang sama. Sunyi, hanya suara alunan lagu yang cukup lawas yang mendominasi suasana. Juna dan Nayla bagaikan kedua orang asing kendati masih terikat status pernikahan. "Ehm, bagaimana kabarmu?" untuk membuang sepi Nayla mencoba membuka pertanyaan basa-basi. "Sangat baik." Juna menjawab singkat. Jangankan balik bertanya, raut wajahnya pun tak berubah. "Ah, syukurlah." Senyum tipis terukir di bibir si wanita. Meski terkesan ketus, setidaknya sang suami masih mau berbincang dengannya. "Terima kasih karena kau masih mau mengantarku pulang, kukira kau tidak akan peduli lagi." "Aku bukanlah pria bajingan, mau tidak mau aku harus tetap mengantarmu pulang, 'kan?" "Kau memang pria yang baik, sedari awal." Nayla menatap sisi wajah Juna saat dirinya teringat momen di pesta. "Kau terlihat begitu akrab dengan kedua pria yang duduk semeja dengan kita. Siapa mereka?" "Mereka berdua rekanku, yang satunya juga pernah bertemu
"Akhirnya kau datang juga." Baru saja Jihan melangkah masuk ke dalam butik, Kirana sudah menyambutnya di sisi pintu. Wanita cantik nan energik itu tampak sangat bersemangat bertemu dengan si gadis manis. "Aku terlambat setengah jam, maaf. Teman-teman di kampus menahanku. Mereka tidak mengizinkanku pergi jika tanpa mereka. Padahal hari ini jadwal menyanyiku kosong. Perlu usaha agar bisa lolos dari jeratan dua makhluk jahil itu, terutama Si Alien." "Alien?!" "Ya, Dave mirip sekali dengan alien. Dia misterius juga sering kedapatan bertingkah aneh. Tetapi, dia malahan tertawa saat kubilang begitu." "Mereka begitu menyukaimu, hingga memaksa kau tinggal atau membawa serta mereka. Teman yang manis menurutku." Karina tersenyum setelah menggiring si gadis manis ke ruang pribadinya di lantai dua. "Kita tidak akan terburu-buru. Sebenarnya ini cuma semacam bincang-bincang antar teman akrab, kukira kau bersedia." "Tentu saja, apa maksud perkataan Kak Kirana? Seharusnya aku yang minder karena
Perjalanan pulang menjadi alternatif bersantai kecil bagi Juna Janendra. Seringnya dia sengaja mengurangi laju demi mengamati apa yang dapat tertangkap mata di setiap sisi jalan terjangkau. Kali ini seakan dia menemukan hal menarik pembangkit semangat dan kontan menginjak rem jangka posisi mobilnya sudah berdekatan dengan trotoar. Kaca mobil turun ke bawah, menyusul bunyi klakson ringan menyapa rungu si gadis manis. Dia mendongak, tidak bereaksi apa-apa sebelum Juna membuka pintu untuk menunjukkan dirinya. "Kau sedang menunggu bus?" Yang ditanya bergeming, selain menahan tatapan. "Busnya tidak akan ketemu kalau kau cuma menunduk. Bisa jadi satu dua bus sudah lewat begitu saja." "Ah, iya—" "Iya?! Iya untuk apa? Mau pulang tidak?" "Aku menunggu bus di sini." "Aku tahu, maka dari itu aku berhenti untuk memberimu tumpangan. Kelihatannya kau sedang banyak pikiran, konsentrasimu terganggu. Biar kuantar kau pulang, daripada nanti ada oknum-oknum yang berniat mengerjaimu." "Tapi ..."
"Kakak, kau tidak bilang mau datang." Jihan langsung bertanya saat jaraknya dengan si pengacara tampan makin dekat. Daniel sedang duduk di bangku di depan rumah, menunggu kehadirannya dengan kedua lengan menyilang ke dada. "Peri kecil! Kenapa lama sekali? Di sini banyak serangga. Badanku bentol-bentol dibuatnya." "Siapa yang menyuruh Kakak duduk di tempat gelap begitu?! Jangan salahkan aku! Aku bahkan tidak tahu kalau Kakak akan datang ke sini." "Aku tidak bohong, tangan juga wajahku habis digigit nyamuk-nyamuk tak bermoral ini. Lima belas menit lalu mereka masih berterbangan di sekitarku." Dia mengadu sembari menunjukkan ruam-ruam di bagian tubuh yang dia perlihatkan. "Kau bawa apa?" "Masuklah dulu, nanti kau mengeluh lagi karena tidak dipersilakan ke dalam." "Peri kecil, hal-hal seperti itu mustahil terulang lagi sekarang. Aku pria dewasa dan kau seorang gadis dewasa. Buat apa kita memutar kembali kebiasaan di masa remaja?" "Buktinya Kakak masih memanggilku dengan sebutan Peri
Juna Janendra tersenyum tipis ketika kakinya diayun melewati ruangan sekretaris eksekutifnya, sekadar sapaan kecil kepada wanita itu. Ini masih pukul dua siang, dan dia berencana pulang. Keberhasilan penjualan untuk produk terbaru yang mereka luncurkan menjadi satu dari sekian alasan dia hendak sedikit berleha-leha. Setidaknya sampai dia disibukkan lagi oleh projek terkini juga berkas-berkas pengajuan lainnya. Bahkan Kenny pun tak berkata apa-apa saat dia mengajukan permohonan agar dapat keluar lebih awal dari ketentuan jam pulang kantor biasanya. Embusan napas si direktur mengudara tenang, mendadak sudut-sudut bibirnya tertarik perlahan saat akalnya secara ringan memutar setiap adegan kebersamaan dia dan si gadis manis. Dia begitu menyukai keberadaan Jihan di sekitarnya, terutama sejak pertama kali telinganya mendengar nyanyian merdu si tokoh utama dalam bayang-bayangnya. Usai melirik spion kanan dan kiri, roda setir pun diputar sebagai permulaan mobil sedannya meninggalkan halama
"Maaf, ya. Aku tidak pernah segini malu cuma gara-gara lapar. Bisa-bisanya perutku berbunyi di mobilmu. Aku benar-benar minta maaf, Jun. Malu sekali, ya ampun!" Sedang, yang dituju justru senyam-senyum sendirian di situ. Cukup terhibur oleh sikap terbuka si gadis manis, terlebih ketika dia menepuk main-main dahinya. "Aku tidak mempermasalahkannya. Apa yang bisa dilakukan ketika tubuh kita menunjukkan refleksnya sendiri? Itu 'kan respons alami." "Kesannya seperti aku sengaja memaksamu mentraktir makan." Seringai sumbang di rautnya mendorong si direktur untuk tertawa ringan, tawa yang Jihan sadari menjelaskan seberapa elok wajah si pria ini dipandang. Sejenak tertegun, sebelum kepalanya ditundukkan dini dia mendapatkan satu tatapan intim. "Tingkahmu sangat menghiburku, Jihan. Aku tidak pernah bertemu gadis selucu dirimu. Wajahmu, tidak bosan memandangnya, cantik dan manis. Ayo, dimakan! Jangan sampai perutmu mengamuk untuk yang ke dua kalinya." Pernyataan tersebut berhasil menarik
"Kak Kirana, aku gugup sekali. Bagaimana ini?!" Si gadis manis mondar-mandir seraya meremas jemari yang saling bertautan. "Aku merasa akan berada di ruang eksekusi sebentar lagi." "Jangan cemas begitu! Kita semua sudah geladi kemarin. Kau kelihatan mampu menguasai teknik berjalan dan pengolahan ekspresi." Sedikitnya Kirana turut menuai ketegangan, meski tak sama besar. Lalu, pernyataannya gagal menenangkan kegelisahan yang dialami si gadis manis. "Oh, Tuhan! Apakah begini akhir riwayatku?" Di situ Kirana menghampirinya lebih dekat, menyapu punggungnya bertepatan dia menghentikan langkah. "Aku takut mempermalukanmu, Kak. Segalanya terlalu mepet, untuk memperkuat kepercayaan diri pun aku tak sempat." "Jihan ..." panggilan ini bernada serius, sampai si gadis manis refleks membagi atensinya. "Dengan kesediaan dirimu pun sudah membuatku sangat bersyukur. Coba bayangkan andai kau tidak menyanggupi permintaanku ini? Mungkin pikiranku jauh berkecamuk darimu. Aku memutuskan berdasarkan pe
Situasi yang semula terasa damai serta menyenangkan mendadak kaku. Si gadis manis bimbang apakah patut mengutarakan rasa penasaran yang sudah tertahan di ujung lidahnya. Dia sekadar duduk diam di kursi di samping Amelia, menanti temannya ini memulai percakapan mereka. Sedang, Juna Janendra menyingkir sejenak seraya sibuk pula menyusun praduga di dalam pikirannya. Dia melihat gadis pemilik gummy smile itu ketika menyaksikan pertunjukan Jihan di kafe Tuan Beno bersama pemuda yang juga dia yakini berangsur-angsur berubah peran menjadi rivalnya untuk mendapatkan hati si gadis manis. "Aku dan Dave sudah putus," Amelia menengok ke sebelah, menemukan si gadis manis betah menundukkan wajahnya. "Kamu tidak terkejut 'kan, Jihan? Aku tahu kamu pasti memperkirakan hal ini akan terjadi." Kontan saja si gadis manis mendongak, mengerutkan kening tanda penolakannya terhadap penuturan barusan. "Tidak apa-apa. Bukan salahmu, ataupun dia. Sejak awal akulah yang memaksakan kehendakku, walau aku sadar pe
"Kau senang?!" Walau yang terlihat bukanlah reaksi mencolok. Namun, Juna Janendra mendapati bibir gadis di sampingnya melengkung tipis. Baru sepuluh menit dia menyetir sejak mereka memutuskan pergi dari rumah sakit. Paman Beno tentu membutuhkan waktu istirahat lebih banyak agar bisa segera pulih. "Aku lega untuk Paman Beno. Tadinya aku pikir tidak akan secepat itu beliau sadar. Bibi juga sangat baik, bersedia merawat dan menemaninya seharian penuh." "Jika perkiraanku tidak meleset, Paman Beno bisa saja diperbolehkan pulang dalam dua atau tiga hari lagi." "Aku harap begitu. Aku rindu menyanyi di kafenya." "Aku pun sama, merindukan suaramu." Juna memperhatikan si gadis manis usai mengungkapkan perasaannya saat ini. "Kenapa kau hanya diam, Jihan? Apa kau tidak senang mendengar pengakuanku?" Senyumnya tertarik ringan, seakan memaklumi andai jawaban gadis itu tak seperti dugaan. "Kenapa aku harus marah padamu?!" Mereka berbalas senyuman sembari berpura-pura tidak menyadari bahwa getar
Semua kenangan itu seakan baru terjadi kemarin sore. Jihan Pitaloka kembali menyadari perasaan mendalam terhadap Dave Hardinata pernah ada di beberapa tahun silam dan dia benar-benar menikmatinya sebagai sesuatu ketertarikan emosional untuk lawan jenis. Bermula ketika dia baru menduduki bangku SMA. Jihan yang sekadar gadis yatim piatu masih memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di salah satu sekolah elit di Ibu Kota. Kendati dalam keterbatasan keadaannya, dia tetap mampu mempersiapkan diri agar terlihat pantas berada di gedung mewah bersama sekumpulan remaja kaya. Dia yang seorang pendatang memutuskan untuk memperjuangkan masa depan di antara keras dan sulitnya persaingan hidup. Bersama Daniel Wilman, si gadis manis mengira keberanian dan kekuatannya meningkat. Dia berpikir siap menapaki upaya demi upaya untuk meraih impiannya. Selain cerdas, Daniel dikenalnya sebagai sosok tumpuan pengganti kedua orang tuanya yang telah lama tiada. Persis kebanyakan para remaja pada umumn
Radit kehilangan suara ketika dihadapkan dengan masalah pelik tak disangka-sangka seperti ini. Yang dapat dia lakukan hanya terdiam sambil logikanya menganalisa di dalam dugaan. Gerak kaki lebih terburu-buru daripada jalan santai yang kerap dia lakukan. Bersisian dengan Bastian yang betah pula mengoceh sejak mereka mendatangi ruang konseling sepuluh menit lalu. "Kenapa dia di-skors? Kita tahu apa yang dia lakukan—24 jam penuh aku bisa menjelaskannya. Ayo, kita harus mencoba cara ini." Cukup berat hawa napasnya berbunyi. Namun, tak ada sepatah kata yang Radit ucapkan. "Kau dengar aku 'kan? Kubilang kita perlu menerangkan apa yang kita tahu, terserah apa saja. Asalkan si Dave selamat dari hukuman itu." Tetap juga belum ada tanggapan sampai-sampai Bastian merasakan jemu menahan diri. "Kalau kau tidak mau, aku bisa sendiri!" "Bastian!!" Keduanya spontan berhenti usai kerasnya seruan Radit menyentak mereka bersamaan. "Maafkan aku." "Aku mengerti." Muncul penyesalan di raut Radit —buka
Sekotak es kubus baru saja diambil dari dalam freezer, Dave Hardinata memasukkannya ke wadah berisi air bersih. Dia melenggang ke ruang TV di mana Bastian dan Radit sudah duduk di sana, menyantap ayam goreng krispi yang mereka pesan lewat daring. "Si pengecut itu, aku jadi menyesal kita menerima tantangan dia." "Kita tidak bisa menghindari pertandingan itu. Dia sengaja memanas-manasiku sebelum balapan dimulai. Konon lagi jika kita menolaknya, mungkin baku hantam langsung kejadian di tempat." "Perkiraanku juga begitu, Dave." Radit menyambung jangka dia mengunyah paha ayam goreng pedas manis kesukaannya. "Tapi, dia memang tidak bisa juga dijadikan rival. Kemampuan standar, kesadaran diri kurang." "Cocok 'kan aku sebut dia pengecut?!" tekan Bastian lagi, mengulang perkataan dia sebelumnya. "Omong-omong, Dave—bukannya kau yang dikeroyok, justru mereka semua menyerah?" "Kecuali si rambut hijau. Aku tidak tahu dia memikirkan apa. Aku buru-buru kabur sebelum mereka semua bangun dan mal
Perlengkapan menulis, botol minuman, ramen cup, handuk kecil, kaus pendek, legging, semua benda-benda ini dimasukkan Jihan remaja ke dalam ransel. Bertepatan dia hendak menyandang tasnya, teriakan lembut oleh Daniel Wilman terdengar. "Iya, Kak. Aku segera turun." "Kasihan temanmu, Peri kecil. Dia sudah menunggu sejak tadi." "Tidak apa-apa, Kak. Salma memang sengaja datang lebih awal." "Pulang jam berapa?" "Sepertinya lumayan sore. Tapi aku usahakan sampai di rumah sebelum malam." "Kakak siapkan bekal, ya?" "Aku bawa ramyun." Daniel refleks menghela napas. "Ramyun saja tidak cukup. Tugas-tugasmu banyak 'kan? Otak perlu dikasih makanan bergizi supaya lancar buat berpikir. Jangan pergi dulu, Kakak tambah porsinya untuk dibagi ke temanmu." "Ya sudah, aku tunggu di depan, ya." Jihan remaja bergegas menjumpai Salma selagi Daniel mengemasi bekal di dapur. "Pergi sekarang?" "Tunggu, Kakak ingin menambahkan bekal yang aku bawa." "Ini ke mana dulu? Jadi ke perpustakaan sekolah?" "
Gara-gara debu yang berterbangan di sekitar, Salma jadi terbatuk-batuk. Hal itu karena ulah kemoceng yang dipakai Jihan remaja untuk membersihkan rak buku di perpustakaan. "Maaf, Salma. Aku sudah bilang agar kamu menyingkir dulu." "Tidak apa-apa Ji, aku ..." Dia batuk lagi. "Aku mau membantumu." "Aku tidak melarangmu. Tapi, debu ini tidak baik buat pernapasan. Mending kau minggir sebentar. Di situ, berdirilah di dekat jendela. Sekalian tolong bukakan jendelanya, ya." "Ok." Salma beringsut ke kiri, menggeser jendelanya. "Omong-omong, Ji. Sudah tahu 'kan berita terbaru di sekolah kita?" "Aku tidak tahu, ada berita apa? Penting memangnya?" "Buat aku pribadi sih tidak. Kalau kau bisa saja iya." "Kok begitu? Apa bedanya aku atau kau? Kita sama-sama mahasiswa di kampus ini dan kita teman sekelas." "Ya karena tidak ada hubungannya sama aku." "Maksudmu apa? Kata-katamu kurang jelas, Salma." "Salah satu siswi di sekolah ini menghilang. Tempo hari orang tuanya datang menemui Kepala Se
Jalanan tampak lenggang sejauh pengawasan mata. Traffic cone berjejer menandakan pangkal kawasan yang mereka jadikan sebagai tempat berkumpul penonton, juga beberapa meter di depan merupakan garis start. Di sana sudah siaga tiga unit motor sport bermacam modifikasi dan warna. Berita bagusnya, milik Dave Hardinata tiada henti menuai decak kagum dari mereka si penikmat laga jalanan ini. Body motor yang besar menjadikan si kuda besi kian gagah dinaiki si penunggang. Kombinasi hitam dominan dengan gradasi oranye dari stiker-stiker mengkilap. Akibatnya, pemuda-pemuda pemburu balapan liar menancapkan minat mereka ke motor itu. Dave bukanlah target lagi, ketika fokus berpindah kepada Tata. Demikian si pemuda memberi julukan istimewa khusus untuk motor kesayangannya. "Sebentar! Sebelum kita mulai, aku mau mengumumkan perubahan perjanjian." "Apa maksudmu?!" Interupsi dari salah seorang rivalnya menyulut emosi tak menyenangkan pada diri Dave, dia memperhatikan lewat tatapan permusuhan nan ken
Life must go on, moto hidup mereka. Artinya, apa pun yang terjadi haruslah berakhir di hari itu juga. Seperti saat ini, Dave Hardinata dan dua sahabatnya sudah melupakan perkelahian kemarin. Rasa sakit yang masih tertinggal diabaikan. Kalau bisa luka-lukanya sekalian lenyap dalam semalam. "Dave, kau lebih keren dari biasanya." Penuturan Radit sukses mencuri perhatian sang empunya. Dave mendongak, menampilkan wajahnya yang tidak terkata-kata. Entah mau prihatin atau kagum, membuat orang-orang yang melihat justru melongo. Pelipis sama sudut bibir masih biru. Rambut acak-acakan, mulutnya anteng mengisap lolipop. "Makin ganteng, Dave. Cuma hidungmu yang perlu satu tinjuan, biar mirip badut." "Bodoh!" Makian Dave sejenis hiburan, khusus bagi dua pemuda yang absurdnya bikin geleng-geleng kepala. Untung tidak sering kumat, bandalnya tetap lebih mendominasi. Ganteng? wajib! Urakan? Keren! Playboy? Takdirnya orang tampan! Semboyan mereka bertiga, dicetuskan oleh si jabrik Radit. Ujung-ujun