Perjalanan pulang menjadi alternatif bersantai kecil bagi Juna Janendra. Seringnya dia sengaja mengurangi laju demi mengamati apa yang dapat tertangkap mata di setiap sisi jalan terjangkau. Kali ini seakan dia menemukan hal menarik pembangkit semangat dan kontan menginjak rem jangka posisi mobilnya sudah berdekatan dengan trotoar. Kaca mobil turun ke bawah, menyusul bunyi klakson ringan menyapa rungu si gadis manis. Dia mendongak, tidak bereaksi apa-apa sebelum Juna membuka pintu untuk menunjukkan dirinya. "Kau sedang menunggu bus?" Yang ditanya bergeming, selain menahan tatapan. "Busnya tidak akan ketemu kalau kau cuma menunduk. Bisa jadi satu dua bus sudah lewat begitu saja." "Ah, iya—" "Iya?! Iya untuk apa? Mau pulang tidak?" "Aku menunggu bus di sini." "Aku tahu, maka dari itu aku berhenti untuk memberimu tumpangan. Kelihatannya kau sedang banyak pikiran, konsentrasimu terganggu. Biar kuantar kau pulang, daripada nanti ada oknum-oknum yang berniat mengerjaimu." "Tapi ..."
"Kakak, kau tidak bilang mau datang." Jihan langsung bertanya saat jaraknya dengan si pengacara tampan makin dekat. Daniel sedang duduk di bangku di depan rumah, menunggu kehadirannya dengan kedua lengan menyilang ke dada. "Peri kecil! Kenapa lama sekali? Di sini banyak serangga. Badanku bentol-bentol dibuatnya." "Siapa yang menyuruh Kakak duduk di tempat gelap begitu?! Jangan salahkan aku! Aku bahkan tidak tahu kalau Kakak akan datang ke sini." "Aku tidak bohong, tangan juga wajahku habis digigit nyamuk-nyamuk tak bermoral ini. Lima belas menit lalu mereka masih berterbangan di sekitarku." Dia mengadu sembari menunjukkan ruam-ruam di bagian tubuh yang dia perlihatkan. "Kau bawa apa?" "Masuklah dulu, nanti kau mengeluh lagi karena tidak dipersilakan ke dalam." "Peri kecil, hal-hal seperti itu mustahil terulang lagi sekarang. Aku pria dewasa dan kau seorang gadis dewasa. Buat apa kita memutar kembali kebiasaan di masa remaja?" "Buktinya Kakak masih memanggilku dengan sebutan Peri
Juna Janendra tersenyum tipis ketika kakinya diayun melewati ruangan sekretaris eksekutifnya, sekadar sapaan kecil kepada wanita itu. Ini masih pukul dua siang, dan dia berencana pulang. Keberhasilan penjualan untuk produk terbaru yang mereka luncurkan menjadi satu dari sekian alasan dia hendak sedikit berleha-leha. Setidaknya sampai dia disibukkan lagi oleh projek terkini juga berkas-berkas pengajuan lainnya. Bahkan Kenny pun tak berkata apa-apa saat dia mengajukan permohonan agar dapat keluar lebih awal dari ketentuan jam pulang kantor biasanya. Embusan napas si direktur mengudara tenang, mendadak sudut-sudut bibirnya tertarik perlahan saat akalnya secara ringan memutar setiap adegan kebersamaan dia dan si gadis manis. Dia begitu menyukai keberadaan Jihan di sekitarnya, terutama sejak pertama kali telinganya mendengar nyanyian merdu si tokoh utama dalam bayang-bayangnya. Usai melirik spion kanan dan kiri, roda setir pun diputar sebagai permulaan mobil sedannya meninggalkan halama
"Maaf, ya. Aku tidak pernah segini malu cuma gara-gara lapar. Bisa-bisanya perutku berbunyi di mobilmu. Aku benar-benar minta maaf, Jun. Malu sekali, ya ampun!" Sedang, yang dituju justru senyam-senyum sendirian di situ. Cukup terhibur oleh sikap terbuka si gadis manis, terlebih ketika dia menepuk main-main dahinya. "Aku tidak mempermasalahkannya. Apa yang bisa dilakukan ketika tubuh kita menunjukkan refleksnya sendiri? Itu 'kan respons alami." "Kesannya seperti aku sengaja memaksamu mentraktir makan." Seringai sumbang di rautnya mendorong si direktur untuk tertawa ringan, tawa yang Jihan sadari menjelaskan seberapa elok wajah si pria ini dipandang. Sejenak tertegun, sebelum kepalanya ditundukkan dini dia mendapatkan satu tatapan intim. "Tingkahmu sangat menghiburku, Jihan. Aku tidak pernah bertemu gadis selucu dirimu. Wajahmu, tidak bosan memandangnya, cantik dan manis. Ayo, dimakan! Jangan sampai perutmu mengamuk untuk yang ke dua kalinya." Pernyataan tersebut berhasil menarik
"Kak Kirana, aku gugup sekali. Bagaimana ini?!" Si gadis manis mondar-mandir seraya meremas jemari yang saling bertautan. "Aku merasa akan berada di ruang eksekusi sebentar lagi." "Jangan cemas begitu! Kita semua sudah geladi kemarin. Kau kelihatan mampu menguasai teknik berjalan dan pengolahan ekspresi." Sedikitnya Kirana turut menuai ketegangan, meski tak sama besar. Lalu, pernyataannya gagal menenangkan kegelisahan yang dialami si gadis manis. "Oh, Tuhan! Apakah begini akhir riwayatku?" Di situ Kirana menghampirinya lebih dekat, menyapu punggungnya bertepatan dia menghentikan langkah. "Aku takut mempermalukanmu, Kak. Segalanya terlalu mepet, untuk memperkuat kepercayaan diri pun aku tak sempat." "Jihan ..." panggilan ini bernada serius, sampai si gadis manis refleks membagi atensinya. "Dengan kesediaan dirimu pun sudah membuatku sangat bersyukur. Coba bayangkan andai kau tidak menyanggupi permintaanku ini? Mungkin pikiranku jauh berkecamuk darimu. Aku memutuskan berdasarkan pe
Begitu hebat dampak keberadaan Jihan Pitaloka bagi seorang Juna Janendra. Ketika sepanjang usianya tiada pernah menginjakkan kaki ke pagelaran busana demikian, kali pertama dia lakukan demi si gadis manis. Duduk di barisan VIP, dia akan dapat menyaksikan langsung lenggak-lenggok para model di atas cat walk. Sikap tenangnya berlawanan dengan kegugupan yang coba dia tutupi. Memangku sebelah kaki dan berpura-pura sibuk pada gawai di genggaman, tegasnya suara MC yang dilantangkan mikrofon sedikit memukul ke gendang telinga. Juna mengernyit sesaat hanya untuk membiasakan pendengarannya di tengah keramaian sekitar. Di samping kanan dan kiri ditemui tamu-tamu yang berasal dari golongan elit. Juna tidak buta untuk menebak berapa angka yang mewakili penampilan mereka, mengenai branded di kalangan kelas atas semacam dia adalah pemahaman umum. Dia tidak akan terpengaruh dengan berubah heran atau terkagum-kagum terhadap mereka. Namun, memperhatikan satu-persatu sekelilingnya cukup baik membuat d
Juna Janendra tidak tanggung-tanggung untuk menggiring si gadis manis ke satu tempat dari beberapa pilihan resto mewah di Ibu Kota. Beragam kuliner dari negeri seberang tersedia di sana, seperti spaghetti Italia maupun Kare India. Tempat ini seumpama dapur Universal akibat banyaknya menu-menu bercitarasa berbeda disajikan. Nilai plus bagi dekorasi ruang yang kental artistik bertemakan klasik kontemporer di mana warna-warna alami mendominasi di dalamnya, hitam, putih serta abu-abu. Pembagian warna-warna demikian menyebabkan ruang tersebut pun tampak begitu luas. Jihan takjub terhadap sekeliling yang praktis menciptakan suasana damai dan nyaman, dia menyukai tempat ini. "Ini pasti restoran mahal, iya 'kan!" "Tidak juga." "Bagimu ya tentu tidak, aku?!" "Aku yang mengajakmu ke sini, Jihan. Kau tidak perlu memikirkan hal-hal yang mengganggumu. Apa salahnya kita merayakan keberhasilan dirimu di pagelaran tadi? Semua orang bertepuk tangan untuk Jihan Pitaloka si model pengganti. Fotograf
Riangnya kontan memudar dari garis-garis wajah yang kini berganti kusut. Juna kelu seolah-olah benda asing tengah mengganjal tenggorokannya. Urat-urat pipi mengeras secara halus seirama kepala dibuang ke samping, tiada berselera lagi bahkan untuk cuma memandang figur wanita di depan dia. Nayla berdiri di situ dengan raut murung nan pasrah, jelas tampak segan juga saat mendapati kepulangan suaminya. "Jelaskan! Aku malas berbasa-basi, kau pasti mengerti bagaimana sekarang perasaanku terhadapmu. Tidak akan pernah sama lagi, Nay." "Maaf, aku terpaksa melakukannya. Aku tahu tidak ada kesempatan untuk berharap padamu. Tapi, aku bersumpah bahwa semua ini bukanlah keinginanku. Ibu—" "Menantu—" tiba-tiba Nyonya Siska menginterupsi, meski sebetulnya dia pun tak dapat memastikan perkataan di antara si direktur dan putrinya. "Sudah pulang rupanya. Kenapa masih di situ? Ayo, masuk! Aku sudah minta pelayan untuk memasak makan malam untuk kita." "Ibu duluan saja, tadi aku makan di luar." "Juna