Riangnya kontan memudar dari garis-garis wajah yang kini berganti kusut. Juna kelu seolah-olah benda asing tengah mengganjal tenggorokannya. Urat-urat pipi mengeras secara halus seirama kepala dibuang ke samping, tiada berselera lagi bahkan untuk cuma memandang figur wanita di depan dia. Nayla berdiri di situ dengan raut murung nan pasrah, jelas tampak segan juga saat mendapati kepulangan suaminya. "Jelaskan! Aku malas berbasa-basi, kau pasti mengerti bagaimana sekarang perasaanku terhadapmu. Tidak akan pernah sama lagi, Nay." "Maaf, aku terpaksa melakukannya. Aku tahu tidak ada kesempatan untuk berharap padamu. Tapi, aku bersumpah bahwa semua ini bukanlah keinginanku. Ibu—" "Menantu—" tiba-tiba Nyonya Siska menginterupsi, meski sebetulnya dia pun tak dapat memastikan perkataan di antara si direktur dan putrinya. "Sudah pulang rupanya. Kenapa masih di situ? Ayo, masuk! Aku sudah minta pelayan untuk memasak makan malam untuk kita." "Ibu duluan saja, tadi aku makan di luar." "Juna
Juna sungguh tidak menginginkan situasi seperti ini. Berada di satu ruang dengan istrinya lagi bagaikan menarik semua trauma buruk yang diberikan wanita itu setelah dia berupaya keras untuk menyingkirkan bekasnya. Bangun pagi di ruang kerja, sialnya dia mendapati persendian nyeri di beberapa bagian. Dia tidak akan sudi menempati kamar manapun agar terhindar dari kelicikan ibu mertuanya yang selalu menemukan berbagai cara demi mendekatkan putrinya dengan dia. Satu-satunya akses teraman adalah ruang kerja, di mana di ruangan ini tidak tersedia kasur maupun sarana untuk leluasa berbaring. Apalagi kondisi ruang tampak persis kantor sungguhan, didominasi rak buku dan peralatan kerja lainnya. "Astaga, hari ini pasti sangat melelahkan," monolog pagi diiringi decak kekesalan. Juna menepuk-nepuk bahunya sampai ke lengan atas. Bukannya tidur berkualitas, dia justru menerima kenyataan yang lebih pahit dari sepenggal mimpi buruk. "Masuk saja, Bibi!" seruan rendah, bahkan suaranya masih terdengar
Betapa kaget Jihan Pitaloka saat Dave Hardinata mencegat langkahnya di tengah jalan. Pemuda ini tersenyum lima jari di hadapan si gadis manis, menaik-naikkan sepasang alisnya setelah berkata, "Selamat pagi, Jihan cantik. Apa dirimu bersemangat di hari ini?" "Dave! Hentikan kelakuanmu! Aku tidak suka kau mengejutkan aku seperti itu. Jangan ulangi lagi!" "Baiklah. Jika kau meminta, aku tidak mungkin menolaknya." Masih dengan seringai tadi, dia membuntuti pergerakan gadis di sisinya, kentara memperlambat ayunan langkah demi menyeimbangkan posisi mereka. "Amelia ke mana? Kenapa kau suka sekali meninggalkan dia?" "Dia tidak ke kampus." "Loh?! Alasannya?" "Ayahnya sakit. Jadi, dia memilih cuti seminggu untuk pulang ke kampung halaman dan membantu ibunya di sana. Setidaknya sampai kondisi ayahnya mendingan kata dia." "Aku kok tidak diberitahu, ya?!" "Mungkin dia lupa. Namanya juga sedang panik 'kan?" "Iya, sih. Nanti biar aku deh yang menghubungi dia." Si pemuda mengangguk-angguk.
Obrolan sambung menyambung, gelak dari bermacam lelucon di kalangan masyarakat umum terus diperdengarkan, tak pelak menyebabkan waktu terasa mengalir begitu saja di tengah kedua muda mudi ini. Sejam mereka habiskan hanya untuk makan dan berbincang ringan di kafetaria. Si gadis manis tiada menyangka bisa segini lapang menikmati suasana setelah dia lupa kapan terakhir kalinya meluangkan lenggang bersama temannya itu. Dave Hardinata seakan punya seribu satu cara dalam menyenangkan hatinya, meski dengan sepenggal humor mainstream. "Aku tidak keberatan andai kau ingin kita tetap di sini. Tapi, Jihan, apa kau tidak kasihan melihat mereka yang berdesak-desakan di sana? Kita bisa ke perpustakaan dan mendapatkan tempat yang lebih lapang. Kondisinya juga lebih aman untukmu mengerjakan tugas. Apa kau sanggup menyelesaikan semua tulisan ini dengan keributan mereka?!" Bagai sebuah teguran, pandangan di gadis manis kontan mengitari selingkung mereka. Dia mendesah rendah usai menyaksikan kerumunan
Reyhan tidak menyia-nyiakan kesempatan kali ini. Dengan sedikit paksaan dia berhasil membujuk Nayla Indira agar mau menemaninya pergi ke tempat rahasia. Usai makan siang dan berpamitan dengan staf di apotek, Reyhan kembali bersukacita menjadi sopir di perjalanan mereka. "Itu apotek tidak apa-apa ditinggal? Aku takut mereka melaporkan dirimu ke pemiliknya." Kekhawatiran yang betul-betul muncul dari nurani perempuan ini, sempat menengok ke belakang saking takutnya dia tiga staf tadi memperhatikan kepergian mereka sambil mencibir. "Rey ..." panggilnya bernada lembut, menemukan pria di sebelahnya cuma menyeringai tipis. "Tidak masalah, Nay. Aku tidak mungkin marah kepada diriku sendiri 'kan? Selama ini aku selalu stay di apotek, biarpun berkali-kali mereka meminta aku untuk liburan. Barangkali bosan karena aku terus yang dilihat, salah satunya malahan berani menawarkan kencan buta padaku. Supaya tidak jadi perjaka kesepian, katanya." Senyum yang semula seadanya, sejenak mengembang di de
Itu adalah sebuah bangunan bertingkat dan luas layaknya kebanyakan yayasan sosial. Panti Jompo yang mereka kunjungi merupakan tempat peristirahatan hari tua bagi para lansia kesepian di mana tak semua dari mereka menerima uluran tangan hangat dari keluarganya sendiri. Berujung mereka memilih untuk pergi ke panti jompo demi dapat meraih kesejahteraan hidup di sepanjang sisa usia. "Jangan terkejut jika kau sudah tahu keadaan di dalamnya. Satu clue dariku bahwa tempat ini dikhususkan bagi perempuan tuna susila." "Wah, benarkah?!" Nayla tercengang sembari dia mencoba melepas sabuk pengaman. Reyhan baru saja menggiring mobil sedannya ke lahan parkir. Syukurnya ini bukanlah weekend. Jadi, sedikit orang-orang yang mampir demi menyembuhkan rindu. "Kau bisa langsung berbicara dengan mereka nanti. Aku kenal salah satunya. Dia hampir seusia ibuku, hanya lebih tua dua atau tiga tahun, aku tidak begitu ingat. Namanya Asri Ambarsari. Biasa aku memanggilnya dengan sebutan Bibi Sri ... ayo, turun!"
Suasana di sini terasa damai, menyenangkan bagi pikiran yang sedang berkecamuk. Walau Nayla tidak memperlihatkan kekacauan pada gelagatnya, dari pengakuan dia sudah sangat jelas terbebani oleh permasalahan dalam pernikahannya. Juga di mana sang ibu begitu ulet ingin mencampuri, kian memperumit posisi dia. "Anak ini pasti menceritakan semua tentang masa laluku." Mendadak Reyhan tegang, mengalihkan wajahnya ke sembarang arah sambil dia bersiul-siul persis seseorang yang tertangkap basah melakukan kesalahan. Sedang, Bibi Asri benar-benar melengkungkan bibir tipisnya. Justru dia merasa terhibur oleh sisi polos Reyhan, tidak pula keberatan setelah pemuda itu membocorkan kehidupannya terdahulu. "Aku tidak marah, Nak. Wajar kalau kau menceritakannya, sekurangnya temanmu bisa sedikit tahu seluk beluk wanita tua ini. Tapi, kenapa kau tetap mau diajaknya kemari? Pasti kau sudah dengar soal panti 'kan? Tempat bagi kami yang pernah terjerumus ke dunia malam." "Aku tidak tertarik pada masa lal
Dave Hardinata memarkirkan motor sport miliknya di halaman pet shop. Dia menaruh helmnya di atas spion, sempat pula membantu si gadis manis yang tampak kepayahan membuka pengait helmnya. "Helm ini minta diganti. Aku sudah bilang dari kapan hari, setiap kali mau dibuka pasti susah." Begitu helm dilepas yang terdengar adalah gerutuan Jihan lengkap bibir mencebik. "Aku bukannya tidak mau beli baru. Masalahnya helm ini cuma macet kalau dipakai olehmu, sama Amel aman-aman saja." "Mana aku tahu kenapa begitu. Mending aku tidak usah pakai helm, daripada begini terus. Kesannya kayak aku ini manja karena tidak bisa buka helm, Dave." Pernyataan si pemuda tadi ternyata menimbulkan kekesalan di benak si gadis manis. Dia tersinggung, kendati insiden kepayahan membuka helm bukanlah akal-akalan dia semata. "Ya ampun, segitu marahnya. Aku pribadi tidak pernah menganggap dirimu demikian. Maksud perkataanku itu, helm ini seperti yang masih layak guna sekali. Soal tiba-tiba pengaitnya rusak, pada he