Suasana di sini terasa damai, menyenangkan bagi pikiran yang sedang berkecamuk. Walau Nayla tidak memperlihatkan kekacauan pada gelagatnya, dari pengakuan dia sudah sangat jelas terbebani oleh permasalahan dalam pernikahannya. Juga di mana sang ibu begitu ulet ingin mencampuri, kian memperumit posisi dia. "Anak ini pasti menceritakan semua tentang masa laluku." Mendadak Reyhan tegang, mengalihkan wajahnya ke sembarang arah sambil dia bersiul-siul persis seseorang yang tertangkap basah melakukan kesalahan. Sedang, Bibi Asri benar-benar melengkungkan bibir tipisnya. Justru dia merasa terhibur oleh sisi polos Reyhan, tidak pula keberatan setelah pemuda itu membocorkan kehidupannya terdahulu. "Aku tidak marah, Nak. Wajar kalau kau menceritakannya, sekurangnya temanmu bisa sedikit tahu seluk beluk wanita tua ini. Tapi, kenapa kau tetap mau diajaknya kemari? Pasti kau sudah dengar soal panti 'kan? Tempat bagi kami yang pernah terjerumus ke dunia malam." "Aku tidak tertarik pada masa lal
Dave Hardinata memarkirkan motor sport miliknya di halaman pet shop. Dia menaruh helmnya di atas spion, sempat pula membantu si gadis manis yang tampak kepayahan membuka pengait helmnya. "Helm ini minta diganti. Aku sudah bilang dari kapan hari, setiap kali mau dibuka pasti susah." Begitu helm dilepas yang terdengar adalah gerutuan Jihan lengkap bibir mencebik. "Aku bukannya tidak mau beli baru. Masalahnya helm ini cuma macet kalau dipakai olehmu, sama Amel aman-aman saja." "Mana aku tahu kenapa begitu. Mending aku tidak usah pakai helm, daripada begini terus. Kesannya kayak aku ini manja karena tidak bisa buka helm, Dave." Pernyataan si pemuda tadi ternyata menimbulkan kekesalan di benak si gadis manis. Dia tersinggung, kendati insiden kepayahan membuka helm bukanlah akal-akalan dia semata. "Ya ampun, segitu marahnya. Aku pribadi tidak pernah menganggap dirimu demikian. Maksud perkataanku itu, helm ini seperti yang masih layak guna sekali. Soal tiba-tiba pengaitnya rusak, pada he
Presensi Jihan Pitaloka jelas merupakan keistimewaan bagi si Hardinata. Dia yang tiada jemu merenggangkan sudut-sudut bibirnya menjadi bukti valid untuk disimak. Hari-harinya seakan hanya diisi kegembiraan dan kobaran semangat. Seperti saat ini di mana dia sedang tersenyum lebar usai mengajak si gadis manis ke taman bermain di Ibu Kota. "Kita punya satu jam dua puluh menit untuk melepaskan beban pikiran, Ji. Aku janji setelahnya kita makan enak dan pulang. Lalu, menunggumu bersiap-siap untuk pergi ke kafe. Bagaimana? Rencanaku bagus 'kan?""Astaga, Dave! Kita sudah hampir seharian ini bersama-sama. Apa kau tidak kepikiran Amel sedikitpun? Dia pasti mencarimu." Namun, si Hardinata justru tersenyum tenang sebelum dia menaiki motornya. "Kau lupa dia tidak ada di sini? Amel pulang ke kampung halaman untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit." Dan Jihan tak dapat menyangkal kebenaran tersebut, dia sungguhan lupa. "Mau naik tidak? Pergunakan waktu singkat ini sebaik-baiknya, Jihan. Setidakn
Bibi Asri mengantar mereka sampai ke depan, sempat melambai-lambaikan tangannya saat Reyhan sengaja membuka kaca jendela dan wanita baya ini bertukar senyuman dengan Nayla. Di sorot mata bibi Asri memancarkan sebuah harapan di mana dia dapat menemukan ulang kehangatan yang dahulu hilang dari keluarganya. "Bibi Asri sangat menyukai dirimu, Nay. Dia meminta langsung padaku agar sering-sering mengajakmu ke panti ini." Mobil Reyhan barusan saja meninggalkan panti jompo. Dia menyetir masih dengan laju santai guna kenyamanan mereka berdua, terlebih bagi Nayla Indira yang sekarang dalam kondisi hamil. "Aku tidak berjanji untuk selalu datang seperti keinginan bibi. Tapi, beritahu aku setiap kali kau akan berkunjung. Barangkali pada saat itu aku bisa ikut bersamamu." Pernyataan tersebut sudah berdasarkan pertimbangan dia. Dugaan terkecil dari banyak alasan yang boleh saja muncul dari sang ibu untuk menghalangi/mengawasi pergerakannya. "Terima kasih. Aku tidak mengira kau bakal menanggapinya
Niat hati hendak membicarakan sedikit dari hal penting menyangkut rencana Sammy Satyadharma kepada Direktur Janendra. Tetapi, rona gundah membingkai wajah pria itu hingga Kenny Nathanael terus memperhatikan sembari mempertimbangkan langkahnya. "Menurutmu, kira-kira ke mana ya dia?" "Maksudmu Jihan Pitaloka?" "Ya. Beberapa hari ini aku mencarinya ke kampus, tidak pernah ada. Mau menengok ke kafe Paman Beno, bukan jadwalnya. Aku juga sudah datang ke rumahnya dan kosong." Lalu, Kenny merasakan tarikan napasnya agak memberat. Bersusah payah dia menelaah permasalahan serius mengenai perceraian sahabat sekaligus pimpinannya ini, justru si empu mengarahkan atensi ke sosok lain. "Kurasa itu bukan masalah berat, Juna. Kapanpun kau masih bisa menghubungi dia. Dia tidak mungkin kabur dari kota ini, terkecuali namanya tercatat dalam daftar buronan paling dicari." "Apa yang kau bicarakan?!" Mudah sekali bagi Juna Janendra menangkap makna dari sepenggal sindiran aneh tadi. Kenny Nathanael ter
Agak melelahkan memang ketika terpaksa kucing-kucingan di rumah sendiri seperti yang dilakukan Juna Janendra untuk menghindari dua figur yang sangat tidak dia sukai kehadirannya. Siska Admaji dan putrinya Nayla Indira berhasil membayang-bayangi dia dalam kegelisahan. Dia memilih bangun lebih pagi agar bisa pergi diam-diam tanpa perlu melintasi keduanya. Namun, seringnya setiap perbuatan akan meninggalkan risiko. Terbukti dari situasi dia yang tampak rumit sekarang. Harus pergi ke mana dia sepagi ini kala waktu pun masih menunjukkan pukul enam lewat lima menit. Juna tak ingin mengulang tindakannya kemarin-kemarin. Datang ke kantor terlalu awal justru menyebabkan kepala bertambah pusing. Apalagi tanpa teman bicara juga adanya dampak kekesalan yang tidak diluapkan, hal ini sekadar mendorong emosinya naik ke puncak. Di balik roda setir Juna tampak sedang berpikir tenang, sesekali menengok ke gerbang besar yang membentengi kediamannya. Itu terletak di sebelah kanan dari posisi dia memark
Kendati bar ini layaknya tempat minum-minum kaki lima, nyatanya situasi di dalam masih tergolong tenang dan damai. Nihil pula percekcokan atau perkataan kotor yang terkadang terdengar dari mulut-mulut para peminum di sana. Musiknya masih sesuai dengan perkembangan selera masa kini, ditambah hidangan sampingan yang tidak sedikitpun tampak bernilai kelas rendahan. Dua lelaki berbeda generasi tersebut duduk di pojok ruang yang memang jauh dari pintu masuk. Sammy Satyadharma mengambil spot paling tertutup dari perhatian pengunjung supaya dia leluasa mengutarakan seluruh tujuannya. "Jadi, Kenny, apa kau juga tahu siapa pria ini?" tanya dia seraya menaruh selembar foto di atas meja. Itu sebuah potret di mana Nayla sedang berjalan bersisian dengan Reyhan, temannya. Namun, penuh harap Tuan Satyadharma menanti jawaban atas keingintahuan tersebut, Kenny Nathanael justru mengerutkan kening pertanda dia bingung. "Apa mungkin kekasih barunya?! Saya tidak kenal dia." "Aku yakin tidak. Tapi, sep
Situasinya tak lagi sama saat ini. Terlalu berat dan mengejutkan untuk menerima sebuah kenyataan pahit dari seseorang yang dianggap telah banyak berjasa. Kunjungan tersebut sekadar mereka isi dengan percakapan tunggal tanpa kehadiran Paman Beno. Pria baya itu masih betah menutup matanya hingga Jihan dan si Direktur Janendra memutuskan pergi. Bukannya langsung kembali ke mobil, Juna justru menggiring si gadis manis menuju taman yang ada di bagian belakang rumah sakit. Perlu sedikit waktu dalam mendamaikan perasaan kecewa dan kesedihan.Duduk di sebuah kursi besi bercat putih, semilir angin mengayun helai rambut si gadis manis. Ada samar-samar terasa kehangatan udara membelai wajahnya seiring tangis meluruh ke pipi. Dia tak bisa memendam itu, tiba-tiba rasanya sangat menyakitkan. "Jihan—""Aku tidak apa-apa," katanya seraya menyeka air matanya. "Hanya saja berita ini membuatku ingin menyangkal. Bagaimana aku bisa percaya, direktur? Paman Beno tidak pernah terlihat kesakitan. Atau seben