Niat hati hendak membicarakan sedikit dari hal penting menyangkut rencana Sammy Satyadharma kepada Direktur Janendra. Tetapi, rona gundah membingkai wajah pria itu hingga Kenny Nathanael terus memperhatikan sembari mempertimbangkan langkahnya. "Menurutmu, kira-kira ke mana ya dia?" "Maksudmu Jihan Pitaloka?" "Ya. Beberapa hari ini aku mencarinya ke kampus, tidak pernah ada. Mau menengok ke kafe Paman Beno, bukan jadwalnya. Aku juga sudah datang ke rumahnya dan kosong." Lalu, Kenny merasakan tarikan napasnya agak memberat. Bersusah payah dia menelaah permasalahan serius mengenai perceraian sahabat sekaligus pimpinannya ini, justru si empu mengarahkan atensi ke sosok lain. "Kurasa itu bukan masalah berat, Juna. Kapanpun kau masih bisa menghubungi dia. Dia tidak mungkin kabur dari kota ini, terkecuali namanya tercatat dalam daftar buronan paling dicari." "Apa yang kau bicarakan?!" Mudah sekali bagi Juna Janendra menangkap makna dari sepenggal sindiran aneh tadi. Kenny Nathanael ter
Agak melelahkan memang ketika terpaksa kucing-kucingan di rumah sendiri seperti yang dilakukan Juna Janendra untuk menghindari dua figur yang sangat tidak dia sukai kehadirannya. Siska Admaji dan putrinya Nayla Indira berhasil membayang-bayangi dia dalam kegelisahan. Dia memilih bangun lebih pagi agar bisa pergi diam-diam tanpa perlu melintasi keduanya. Namun, seringnya setiap perbuatan akan meninggalkan risiko. Terbukti dari situasi dia yang tampak rumit sekarang. Harus pergi ke mana dia sepagi ini kala waktu pun masih menunjukkan pukul enam lewat lima menit. Juna tak ingin mengulang tindakannya kemarin-kemarin. Datang ke kantor terlalu awal justru menyebabkan kepala bertambah pusing. Apalagi tanpa teman bicara juga adanya dampak kekesalan yang tidak diluapkan, hal ini sekadar mendorong emosinya naik ke puncak. Di balik roda setir Juna tampak sedang berpikir tenang, sesekali menengok ke gerbang besar yang membentengi kediamannya. Itu terletak di sebelah kanan dari posisi dia memark
Kendati bar ini layaknya tempat minum-minum kaki lima, nyatanya situasi di dalam masih tergolong tenang dan damai. Nihil pula percekcokan atau perkataan kotor yang terkadang terdengar dari mulut-mulut para peminum di sana. Musiknya masih sesuai dengan perkembangan selera masa kini, ditambah hidangan sampingan yang tidak sedikitpun tampak bernilai kelas rendahan. Dua lelaki berbeda generasi tersebut duduk di pojok ruang yang memang jauh dari pintu masuk. Sammy Satyadharma mengambil spot paling tertutup dari perhatian pengunjung supaya dia leluasa mengutarakan seluruh tujuannya. "Jadi, Kenny, apa kau juga tahu siapa pria ini?" tanya dia seraya menaruh selembar foto di atas meja. Itu sebuah potret di mana Nayla sedang berjalan bersisian dengan Reyhan, temannya. Namun, penuh harap Tuan Satyadharma menanti jawaban atas keingintahuan tersebut, Kenny Nathanael justru mengerutkan kening pertanda dia bingung. "Apa mungkin kekasih barunya?! Saya tidak kenal dia." "Aku yakin tidak. Tapi, sep
Situasinya tak lagi sama saat ini. Terlalu berat dan mengejutkan untuk menerima sebuah kenyataan pahit dari seseorang yang dianggap telah banyak berjasa. Kunjungan tersebut sekadar mereka isi dengan percakapan tunggal tanpa kehadiran Paman Beno. Pria baya itu masih betah menutup matanya hingga Jihan dan si Direktur Janendra memutuskan pergi. Bukannya langsung kembali ke mobil, Juna justru menggiring si gadis manis menuju taman yang ada di bagian belakang rumah sakit. Perlu sedikit waktu dalam mendamaikan perasaan kecewa dan kesedihan.Duduk di sebuah kursi besi bercat putih, semilir angin mengayun helai rambut si gadis manis. Ada samar-samar terasa kehangatan udara membelai wajahnya seiring tangis meluruh ke pipi. Dia tak bisa memendam itu, tiba-tiba rasanya sangat menyakitkan. "Jihan—""Aku tidak apa-apa," katanya seraya menyeka air matanya. "Hanya saja berita ini membuatku ingin menyangkal. Bagaimana aku bisa percaya, direktur? Paman Beno tidak pernah terlihat kesakitan. Atau seben
Jihan Pitaloka tertegun. Cukup lama sudah dia duduk merenung di permukaan karpetnya, mengulang deretan masalah yang belakangan hari beruntun datang kepadanya. Tumpukan tugas-tugas kuliah, Paman Beno di rawat di rumah sakit. Lalu, perubahan sikap Dave Hardinata perlahan-lahan membawa si gadis manis ke dalam memori mereka di masa SMA. Adalah hari-hari di mana dia menjadi pengagum terberat si pemuda, bahkan rela membuntuti diam-diam demi bisa mengetahui keseharian pemuda itu. Kemarahan Dave tadi benar-benar mengingatkan si gadis manis pada sosoknya yang sulit didekati serta dicap sebagai playboy sekolahan. Tahu-tahu dia menyeka kesedihan di pipinya, menyesal pula sebab telah menyakiti hati yang jelas sekali begitu tulus kepadanya. Jihan mungkin sudah terbiasa dengan Dave yang berisik, tidak terkejut terhadap senyuman kelewat ramahnya dipancarkan setiap hari, terbiasa oleh kejahilannya, lelucon garing, serta perhatian yang terkadang sepintas tampak seperti sebentuk paksaan. Walau, si gad
Life must go on, moto hidup mereka. Artinya, apa pun yang terjadi haruslah berakhir di hari itu juga. Seperti saat ini, Dave Hardinata dan dua sahabatnya sudah melupakan perkelahian kemarin. Rasa sakit yang masih tertinggal diabaikan. Kalau bisa luka-lukanya sekalian lenyap dalam semalam. "Dave, kau lebih keren dari biasanya." Penuturan Radit sukses mencuri perhatian sang empunya. Dave mendongak, menampilkan wajahnya yang tidak terkata-kata. Entah mau prihatin atau kagum, membuat orang-orang yang melihat justru melongo. Pelipis sama sudut bibir masih biru. Rambut acak-acakan, mulutnya anteng mengisap lolipop. "Makin ganteng, Dave. Cuma hidungmu yang perlu satu tinjuan, biar mirip badut." "Bodoh!" Makian Dave sejenis hiburan, khusus bagi dua pemuda yang absurdnya bikin geleng-geleng kepala. Untung tidak sering kumat, bandalnya tetap lebih mendominasi. Ganteng? wajib! Urakan? Keren! Playboy? Takdirnya orang tampan! Semboyan mereka bertiga, dicetuskan oleh si jabrik Radit. Ujung-ujun
Jalanan tampak lenggang sejauh pengawasan mata. Traffic cone berjejer menandakan pangkal kawasan yang mereka jadikan sebagai tempat berkumpul penonton, juga beberapa meter di depan merupakan garis start. Di sana sudah siaga tiga unit motor sport bermacam modifikasi dan warna. Berita bagusnya, milik Dave Hardinata tiada henti menuai decak kagum dari mereka si penikmat laga jalanan ini. Body motor yang besar menjadikan si kuda besi kian gagah dinaiki si penunggang. Kombinasi hitam dominan dengan gradasi oranye dari stiker-stiker mengkilap. Akibatnya, pemuda-pemuda pemburu balapan liar menancapkan minat mereka ke motor itu. Dave bukanlah target lagi, ketika fokus berpindah kepada Tata. Demikian si pemuda memberi julukan istimewa khusus untuk motor kesayangannya. "Sebentar! Sebelum kita mulai, aku mau mengumumkan perubahan perjanjian." "Apa maksudmu?!" Interupsi dari salah seorang rivalnya menyulut emosi tak menyenangkan pada diri Dave, dia memperhatikan lewat tatapan permusuhan nan ken
Gara-gara debu yang berterbangan di sekitar, Salma jadi terbatuk-batuk. Hal itu karena ulah kemoceng yang dipakai Jihan remaja untuk membersihkan rak buku di perpustakaan. "Maaf, Salma. Aku sudah bilang agar kamu menyingkir dulu." "Tidak apa-apa Ji, aku ..." Dia batuk lagi. "Aku mau membantumu." "Aku tidak melarangmu. Tapi, debu ini tidak baik buat pernapasan. Mending kau minggir sebentar. Di situ, berdirilah di dekat jendela. Sekalian tolong bukakan jendelanya, ya." "Ok." Salma beringsut ke kiri, menggeser jendelanya. "Omong-omong, Ji. Sudah tahu 'kan berita terbaru di sekolah kita?" "Aku tidak tahu, ada berita apa? Penting memangnya?" "Buat aku pribadi sih tidak. Kalau kau bisa saja iya." "Kok begitu? Apa bedanya aku atau kau? Kita sama-sama mahasiswa di kampus ini dan kita teman sekelas." "Ya karena tidak ada hubungannya sama aku." "Maksudmu apa? Kata-katamu kurang jelas, Salma." "Salah satu siswi di sekolah ini menghilang. Tempo hari orang tuanya datang menemui Kepala Se