Kendati bar ini layaknya tempat minum-minum kaki lima, nyatanya situasi di dalam masih tergolong tenang dan damai. Nihil pula percekcokan atau perkataan kotor yang terkadang terdengar dari mulut-mulut para peminum di sana. Musiknya masih sesuai dengan perkembangan selera masa kini, ditambah hidangan sampingan yang tidak sedikitpun tampak bernilai kelas rendahan. Dua lelaki berbeda generasi tersebut duduk di pojok ruang yang memang jauh dari pintu masuk. Sammy Satyadharma mengambil spot paling tertutup dari perhatian pengunjung supaya dia leluasa mengutarakan seluruh tujuannya. "Jadi, Kenny, apa kau juga tahu siapa pria ini?" tanya dia seraya menaruh selembar foto di atas meja. Itu sebuah potret di mana Nayla sedang berjalan bersisian dengan Reyhan, temannya. Namun, penuh harap Tuan Satyadharma menanti jawaban atas keingintahuan tersebut, Kenny Nathanael justru mengerutkan kening pertanda dia bingung. "Apa mungkin kekasih barunya?! Saya tidak kenal dia." "Aku yakin tidak. Tapi, sep
Situasinya tak lagi sama saat ini. Terlalu berat dan mengejutkan untuk menerima sebuah kenyataan pahit dari seseorang yang dianggap telah banyak berjasa. Kunjungan tersebut sekadar mereka isi dengan percakapan tunggal tanpa kehadiran Paman Beno. Pria baya itu masih betah menutup matanya hingga Jihan dan si Direktur Janendra memutuskan pergi. Bukannya langsung kembali ke mobil, Juna justru menggiring si gadis manis menuju taman yang ada di bagian belakang rumah sakit. Perlu sedikit waktu dalam mendamaikan perasaan kecewa dan kesedihan.Duduk di sebuah kursi besi bercat putih, semilir angin mengayun helai rambut si gadis manis. Ada samar-samar terasa kehangatan udara membelai wajahnya seiring tangis meluruh ke pipi. Dia tak bisa memendam itu, tiba-tiba rasanya sangat menyakitkan. "Jihan—""Aku tidak apa-apa," katanya seraya menyeka air matanya. "Hanya saja berita ini membuatku ingin menyangkal. Bagaimana aku bisa percaya, direktur? Paman Beno tidak pernah terlihat kesakitan. Atau seben
Jihan Pitaloka tertegun. Cukup lama sudah dia duduk merenung di permukaan karpetnya, mengulang deretan masalah yang belakangan hari beruntun datang kepadanya. Tumpukan tugas-tugas kuliah, Paman Beno di rawat di rumah sakit. Lalu, perubahan sikap Dave Hardinata perlahan-lahan membawa si gadis manis ke dalam memori mereka di masa SMA. Adalah hari-hari di mana dia menjadi pengagum terberat si pemuda, bahkan rela membuntuti diam-diam demi bisa mengetahui keseharian pemuda itu. Kemarahan Dave tadi benar-benar mengingatkan si gadis manis pada sosoknya yang sulit didekati serta dicap sebagai playboy sekolahan. Tahu-tahu dia menyeka kesedihan di pipinya, menyesal pula sebab telah menyakiti hati yang jelas sekali begitu tulus kepadanya. Jihan mungkin sudah terbiasa dengan Dave yang berisik, tidak terkejut terhadap senyuman kelewat ramahnya dipancarkan setiap hari, terbiasa oleh kejahilannya, lelucon garing, serta perhatian yang terkadang sepintas tampak seperti sebentuk paksaan. Walau, si gad
Life must go on, moto hidup mereka. Artinya, apa pun yang terjadi haruslah berakhir di hari itu juga. Seperti saat ini, Dave Hardinata dan dua sahabatnya sudah melupakan perkelahian kemarin. Rasa sakit yang masih tertinggal diabaikan. Kalau bisa luka-lukanya sekalian lenyap dalam semalam. "Dave, kau lebih keren dari biasanya." Penuturan Radit sukses mencuri perhatian sang empunya. Dave mendongak, menampilkan wajahnya yang tidak terkata-kata. Entah mau prihatin atau kagum, membuat orang-orang yang melihat justru melongo. Pelipis sama sudut bibir masih biru. Rambut acak-acakan, mulutnya anteng mengisap lolipop. "Makin ganteng, Dave. Cuma hidungmu yang perlu satu tinjuan, biar mirip badut." "Bodoh!" Makian Dave sejenis hiburan, khusus bagi dua pemuda yang absurdnya bikin geleng-geleng kepala. Untung tidak sering kumat, bandalnya tetap lebih mendominasi. Ganteng? wajib! Urakan? Keren! Playboy? Takdirnya orang tampan! Semboyan mereka bertiga, dicetuskan oleh si jabrik Radit. Ujung-ujun
Jalanan tampak lenggang sejauh pengawasan mata. Traffic cone berjejer menandakan pangkal kawasan yang mereka jadikan sebagai tempat berkumpul penonton, juga beberapa meter di depan merupakan garis start. Di sana sudah siaga tiga unit motor sport bermacam modifikasi dan warna. Berita bagusnya, milik Dave Hardinata tiada henti menuai decak kagum dari mereka si penikmat laga jalanan ini. Body motor yang besar menjadikan si kuda besi kian gagah dinaiki si penunggang. Kombinasi hitam dominan dengan gradasi oranye dari stiker-stiker mengkilap. Akibatnya, pemuda-pemuda pemburu balapan liar menancapkan minat mereka ke motor itu. Dave bukanlah target lagi, ketika fokus berpindah kepada Tata. Demikian si pemuda memberi julukan istimewa khusus untuk motor kesayangannya. "Sebentar! Sebelum kita mulai, aku mau mengumumkan perubahan perjanjian." "Apa maksudmu?!" Interupsi dari salah seorang rivalnya menyulut emosi tak menyenangkan pada diri Dave, dia memperhatikan lewat tatapan permusuhan nan ken
Gara-gara debu yang berterbangan di sekitar, Salma jadi terbatuk-batuk. Hal itu karena ulah kemoceng yang dipakai Jihan remaja untuk membersihkan rak buku di perpustakaan. "Maaf, Salma. Aku sudah bilang agar kamu menyingkir dulu." "Tidak apa-apa Ji, aku ..." Dia batuk lagi. "Aku mau membantumu." "Aku tidak melarangmu. Tapi, debu ini tidak baik buat pernapasan. Mending kau minggir sebentar. Di situ, berdirilah di dekat jendela. Sekalian tolong bukakan jendelanya, ya." "Ok." Salma beringsut ke kiri, menggeser jendelanya. "Omong-omong, Ji. Sudah tahu 'kan berita terbaru di sekolah kita?" "Aku tidak tahu, ada berita apa? Penting memangnya?" "Buat aku pribadi sih tidak. Kalau kau bisa saja iya." "Kok begitu? Apa bedanya aku atau kau? Kita sama-sama mahasiswa di kampus ini dan kita teman sekelas." "Ya karena tidak ada hubungannya sama aku." "Maksudmu apa? Kata-katamu kurang jelas, Salma." "Salah satu siswi di sekolah ini menghilang. Tempo hari orang tuanya datang menemui Kepala Se
Perlengkapan menulis, botol minuman, ramen cup, handuk kecil, kaus pendek, legging, semua benda-benda ini dimasukkan Jihan remaja ke dalam ransel. Bertepatan dia hendak menyandang tasnya, teriakan lembut oleh Daniel Wilman terdengar. "Iya, Kak. Aku segera turun." "Kasihan temanmu, Peri kecil. Dia sudah menunggu sejak tadi." "Tidak apa-apa, Kak. Salma memang sengaja datang lebih awal." "Pulang jam berapa?" "Sepertinya lumayan sore. Tapi aku usahakan sampai di rumah sebelum malam." "Kakak siapkan bekal, ya?" "Aku bawa ramyun." Daniel refleks menghela napas. "Ramyun saja tidak cukup. Tugas-tugasmu banyak 'kan? Otak perlu dikasih makanan bergizi supaya lancar buat berpikir. Jangan pergi dulu, Kakak tambah porsinya untuk dibagi ke temanmu." "Ya sudah, aku tunggu di depan, ya." Jihan remaja bergegas menjumpai Salma selagi Daniel mengemasi bekal di dapur. "Pergi sekarang?" "Tunggu, Kakak ingin menambahkan bekal yang aku bawa." "Ini ke mana dulu? Jadi ke perpustakaan sekolah?" "
Sekotak es kubus baru saja diambil dari dalam freezer, Dave Hardinata memasukkannya ke wadah berisi air bersih. Dia melenggang ke ruang TV di mana Bastian dan Radit sudah duduk di sana, menyantap ayam goreng krispi yang mereka pesan lewat daring. "Si pengecut itu, aku jadi menyesal kita menerima tantangan dia." "Kita tidak bisa menghindari pertandingan itu. Dia sengaja memanas-manasiku sebelum balapan dimulai. Konon lagi jika kita menolaknya, mungkin baku hantam langsung kejadian di tempat." "Perkiraanku juga begitu, Dave." Radit menyambung jangka dia mengunyah paha ayam goreng pedas manis kesukaannya. "Tapi, dia memang tidak bisa juga dijadikan rival. Kemampuan standar, kesadaran diri kurang." "Cocok 'kan aku sebut dia pengecut?!" tekan Bastian lagi, mengulang perkataan dia sebelumnya. "Omong-omong, Dave—bukannya kau yang dikeroyok, justru mereka semua menyerah?" "Kecuali si rambut hijau. Aku tidak tahu dia memikirkan apa. Aku buru-buru kabur sebelum mereka semua bangun dan mal