"Kau senang?!" Walau yang terlihat bukanlah reaksi mencolok. Namun, Juna Janendra mendapati bibir gadis di sampingnya melengkung tipis. Baru sepuluh menit dia menyetir sejak mereka memutuskan pergi dari rumah sakit. Paman Beno tentu membutuhkan waktu istirahat lebih banyak agar bisa segera pulih. "Aku lega untuk Paman Beno. Tadinya aku pikir tidak akan secepat itu beliau sadar. Bibi juga sangat baik, bersedia merawat dan menemaninya seharian penuh." "Jika perkiraanku tidak meleset, Paman Beno bisa saja diperbolehkan pulang dalam dua atau tiga hari lagi." "Aku harap begitu. Aku rindu menyanyi di kafenya." "Aku pun sama, merindukan suaramu." Juna memperhatikan si gadis manis usai mengungkapkan perasaannya saat ini. "Kenapa kau hanya diam, Jihan? Apa kau tidak senang mendengar pengakuanku?" Senyumnya tertarik ringan, seakan memaklumi andai jawaban gadis itu tak seperti dugaan. "Kenapa aku harus marah padamu?!" Mereka berbalas senyuman sembari berpura-pura tidak menyadari bahwa getar
Situasi yang semula terasa damai serta menyenangkan mendadak kaku. Si gadis manis bimbang apakah patut mengutarakan rasa penasaran yang sudah tertahan di ujung lidahnya. Dia sekadar duduk diam di kursi di samping Amelia, menanti temannya ini memulai percakapan mereka. Sedang, Juna Janendra menyingkir sejenak seraya sibuk pula menyusun praduga di dalam pikirannya. Dia melihat gadis pemilik gummy smile itu ketika menyaksikan pertunjukan Jihan di kafe Tuan Beno bersama pemuda yang juga dia yakini berangsur-angsur berubah peran menjadi rivalnya untuk mendapatkan hati si gadis manis. "Aku dan Dave sudah putus," Amelia menengok ke sebelah, menemukan si gadis manis betah menundukkan wajahnya. "Kamu tidak terkejut 'kan, Jihan? Aku tahu kamu pasti memperkirakan hal ini akan terjadi." Kontan saja si gadis manis mendongak, mengerutkan kening tanda penolakannya terhadap penuturan barusan. "Tidak apa-apa. Bukan salahmu, ataupun dia. Sejak awal akulah yang memaksakan kehendakku, walau aku sadar pe
Dua bulan bagai dua tahun bagi Juna Janendra. Jika menyangkut perasaan dan cinta, maka seluruh normalisasi makna kata akan berubah menjadi kiasan majas. Tak tahu di mana letak kewarasan, asal kesadaran masih bertahan di dalam raga. Kepulangannya ke Ibu Kota menjadi momen paling menggembirakan baginya. Berada jauh dari sisi sang istri, membuat kebuncahan terus merengek meminta sang penawar. Satu-satunya rembulan indah penghuni singgasana nurani, Nayla Indira. "Dua belokan lagi, kita melintasi kedai kopi Paman Beno. Mau kutraktir? Anggap saja ini sebagai stimulan awal untuk mendongkrak energimu. Pekerjaan di sana membuat kepalamu sumpek 'kan?" "Lebih dari itu, hampir meledak. Kepalaku ini!" katanya sembari menunjuk-nunjuk ke pelipis. "Tapi wajar menurutku, baru satu tahun beroperasi. Kita patut mensyukuri kemampuan mereka dalam mengembangkannya secara konsisten. Kita memilih anggota yang tepat, usia muda tidak membatasi pengalaman." "Kenaikan gaji? Asuransi istimewa? Atau liburan mew
Nasi telah menjadi bubur. Dosa terlaksana dan kini Nayla siap menanggung hukuman. Tidak ada lagi bahasa kelembutan, senyum yang teduh, apalagi perhatian hangat seperti hari-hari di saat dia dan suaminya tengah bersama-sama. Ingin mendapat pembelaan dari siapa? Kenyataan itu datang karena ulahnya sendiri, dia yang tidak berhati-hati. Kendati Sammy merupakan keluarga, tapi dia tetaplah seorang pria. Pria kesepian gemar bermain dengan banyak wanita. Koper yang dipenuhi pakaian-pakaian miliknya dia geret perlahan menuruni anak tangga. Semua pelayan menunggu di bawah dengan ragam tatapan memprihatinkan; ada yang kecewa, ada pula yang terlihat geram. Tentu mereka semua turut merasakan kesedihan serupa atas pengkhianatan paling mengejutkan, bahkan tidak pula pernah diduga-duga. Mereka tahu betul seberapa idealnya Tuan dan Nyonya di rumah itu, indah dan serasi bagaikan siang dan malam. Matanya menelusuri penjuru ruang, mengulang kenangan di setiap sisi. Sejenak atensinya terpaut di sofa bes
"Nay, katakan apa yang terjadi padamu? Kenapa kau tiba-tiba pulang membawa koper? Suamimu mana?" Siska Admaji melipat kedua lengan di atas meja makan. Tatapan menuntut tak sekalipun beralih dari sosok putrinya di seberang dia. "Bu, a-aku minta maaf. Aku mengacaukan semuanya." "Bicara yang jelas, Nayla!" "Aku akan bicara, tapi ibu jangan marah padaku. Sungguh, aku tidak sengaja." Siska mengembus kasar napasnya, sejenak mata pun terpejam. "Katakan!" Itu adalah bentakan keras semacam peringatan, Nayla terperanjat di posisinya. "Dia mengusirku ..." Seketika Siska terbelalak. "Aku tidur dengan Paman Sam." Suaranya mengecil di ujung kalimat, memalingkan muka tanda tak siap menerima reaksi ibunya. "BODOH! Apa kau memang sedungu itu, Nayla? Hah?!" tahu-tahu Siska bangkit, cepat sekali segalanya berlangsung di mana dia menarik kerah baju putrinya untuk mendaratkan satu tamparan kencang ke pipi. "Aku tidak masalah dengan kelakuan rendahmu. Harusnya kau berpikir dua kali sebelum menghanc
Rencana Daniel untuk memboyong Jihan ke restoran Prancis terpaksa pupus. Gadis itu memaksakan pilihan dia sendiri dan rumah makan murah yang sangat terkenal di Jakarta adalah tempat tujuannya. RM Sari Rasa, rumah makan ini menyajikan menu masakan rumahan khas Jawa, seperti rawon leker, nasi kuning, nasi langgi, sampai bebek peking. Tersedia juga menu makanan lainnya seperti gado-gado, sayur asem, sayur lodeh, sambal cobek hingga bebek goreng yang enak. "Ini yang kau mau? Puas sekarang?" "Sangat puas, Kak. Kita boleh makan? Aku sudah tidak tahan." Perutnya diusap-usap seraya mengukir keriangan di parasnya yang cantik. Di lain sisi Daniel mendesah pasrah, tiada dapat memendam kelegaan serupa. "Makan yang banyak, mengerti? Kita akan berburu es krim setelah dari sini." "Siap, kapten! Aku tidak perlu sungkan di depan Kakak, selamat makan!" gembira sekali saat dia meneriakinya, menarik piring, menyendok nasi untuk lalu menambahkan lauk pauk yang tersedia. Kelopak matanya terpejam saat s
"Tolong, cepatlah sedikit. Aku sudah telat. Mereka tidak akan membayarku karena ini." "Tenanglah, Nona. Anda mengganggu konsentrasi menyetir Saya. Mobilnya tidak bisa lebih cepat lagi, ini batasnya. Duduk yang benar dan diam, agar saya bisa segera mengantar Anda sampai ke tujuan." "Batas kau bilang? Oh, ya ampun! Apa kau tidak mengerti kata-kataku, Pak? Jika mobilmu selambat ini, maka habislah pencarianku. Kenapa orang-orang sangat susah memahami situasi orang lain? Pak ... ayolah! Waktuku cuma setengah jam lagi." Perempuan itu terus mendesak si sopir, menggoncang-goncang bahunya hingga kian mengacaukan fokus sang sopir. Ban berdecit keras bergesekan dengan aspal, saat si sopir menginjak rem secara tiba-tiba. Spontan tubuh perempuan tadi tersentak ke depan, kepalanya membentur punggung jok penumpang dan dia mengaduh bising. "Bapak bisa menyetir apa tidak? Aduh kepalaku ..." "Turun!" "Apa?!" "Cepatlah turun, Nona!" "Tujuanku masih jauh, untuk apa aku turun di sini? Jalan lagi,
Berbaik hati mengantarkan perempuan tak dikenal, tahu-tahu Juna sedikit bingung. Seraya menyesap pelan kopi latte dari cup, benaknya berpikir ulang untuk apa dia mau merepotkan diri, membuang waktu demi orang asing? Dia bukanlah pribadi yang senang terlibat dengan masalah orang lain. Lalu, saat ini kebiasaan itu mendadak dilanggar tanpa dia tahu sebab kejelasannya. Juna masih bersandar di kap mobil, menyilangkan kaki-kakinya dengan sebelah tangan dilipat ke dada. Sepasang matanya mengawasi orang-orang di sekitar, hingga tidak disengaja tatapannya menangkap sosok perempuan yang hinggap di pikirannya berdiri di luar kafe. Mukanya lesu, seperti menyimpan kepasrahan. Sejenak Juna bertahan dalam diam, mengikuti gerak-gerik perempuan itu dan napasnya ditiup kasar. Dia benci keadaan ini. Belum lama otaknya mencoba untuk memastikan awal keterlibatan dia, kini keinginan yang sama kembali muncul. Tubuhnya bergerak semaunya, walau dia berupaya meyakinkan diri untuk tidak ke mana-mana dan sela