Rencana Daniel untuk memboyong Jihan ke restoran Prancis terpaksa pupus. Gadis itu memaksakan pilihan dia sendiri dan rumah makan murah yang sangat terkenal di Jakarta adalah tempat tujuannya. RM Sari Rasa, rumah makan ini menyajikan menu masakan rumahan khas Jawa, seperti rawon leker, nasi kuning, nasi langgi, sampai bebek peking. Tersedia juga menu makanan lainnya seperti gado-gado, sayur asem, sayur lodeh, sambal cobek hingga bebek goreng yang enak.
"Ini yang kau mau? Puas sekarang?""Sangat puas, Kak. Kita boleh makan? Aku sudah tidak tahan." Perutnya diusap-usap seraya mengukir keriangan di parasnya yang cantik.Di lain sisi Daniel mendesah pasrah, tiada dapat memendam kelegaan serupa. "Makan yang banyak, mengerti? Kita akan berburu es krim setelah dari sini.""Siap, kapten! Aku tidak perlu sungkan di depan Kakak, selamat makan!" gembira sekali saat dia meneriakinya, menarik piring, menyendok nasi untuk lalu menambahkan lauk pauk yang tersedia. Kelopak matanya terpejam saat satu suapan mendarat dramatis di mulut. "Ya Tuhan, aku tidak pernah tidak merindukan makanan seperti ini, Kak. Rasanya mengingatkanku pada masa kecil ketika Ibu dan Ayah masih hidup. Aku tidak ingin kehilangan momen bersama mereka. Terus mencicipi masakan di sini, bisa mengobati kerinduanku terhadap mereka.""Jihan, kau percaya padaku?""Kau satu-satunya yang kumiliki. Mungkin aku cukup tidak tahu malu karena bergantung denganmu.""Teruslah bergantung denganku.""Tapi, Kak—apa kau keberatan? Bagaimana jika aku terus menempelimu? Setidaknya sebelum kau punya kekasih dan menikah.""Hei, makan yang benar. Seenak itukah rasanya? Butiran nasi lengket di wajahmu." Suasana yang pas, kala Daniel tak yakin dapat menjawab pernyataan si cantik. Sentuhan dadakan sekian bukanlah kejutan lagi bagi keduanya. Bukti bahwa hubungan di antara mereka telah terjalin sejak jauh-jauh waktu."Kak, kau tidak makan? Padahal benar-benar enak." Pipinya menggembung, mengunyah perlahan suapan demi suapan. "Kau masih membayangkan makanan Prancis? Aku bisa menemanimu bila mau.""Lalu siapa yang akan menghabiskan bagianku? Memangnya kau sanggup?""Ehm—tidak tahu, sih." Jihan cengar-cengir kuda, meski makanan di mulutnya menyembunyikan geliginya yang rapi. Dia suka terang-terangan di sekitar orang-orang terdekat, termasuk menampakkan sungguh semberononya dia saat makan."Cara makanmu ini bisa membuat laki-laki takut.""Aku tidak peduli.""Nanti tidak ada yang mau denganmu.""Ada Kakak yang mau menerimaku dalam kondisi terburuk sekali pun.""Kau tahu akan selalu begitu.""Makanya aku tenang-tenang saja." Seolah Jihan sengaja merayunya, sampai-sampai Daniel mengalihkan muka untuk menjauhkan raut sipu yang bisa jadi terbaca."Kapan lagi kau akan makan, Kak? Punyaku tersisa setengah porsi.""Kau hampir selesai, ya?""Jangan khawatir, aku bisa menunggu. Tolong nikmati saja makan siangmu dengan baik."Daniel mengangguk singkat. Air muka yang ditunjukkan, menegaskan seberapa saling memahaminya mereka. "Hari ini tidak ada jadwal menyanyi 'kan?""Aku libur, jadi bisa langsung tidur setibanya di rumah. Lumayan untuk menyuplai energi. Besok ada pertunjukan spesial di bar, mereka membayarku dua kali lipat untuk durasi sejam penuh.""Mau kuantar? Pukul berapa acaranya?""Takutnya Kakak sibuk. Klienmu dan masalah rumit mereka bisa datang tiba-tiba.""Ah, benar juga. Begini saja, aku akan menghubungimu kalau jadwalku masih kosong. Setuju?!""Tentu.""Tapi janji dulu—bisa mengantarmu atau tidak, kau wajib kabari aku situasinya. Aku ingin pastikan kau aman, di mana pun!""Kakak, kau mirip ayahku.""Astaga, gadis ini. Aku belum setua itu—""Kau persis seperti ayah ketika sedang cemas. Apa aku segitu berharganya bagimu, Kak?"Daniel terpaku, memperhatikan Jihan serta setiap inci gerakannya. Meski tidak jelas kenapa Jihan yang sedang minum bisa kian memikat di mata Daniel Wilman......"Sudah kuhubungi berulang-ulang dan belum diangkat.""Ke mana dia?!" Juna mengerang frustrasi, mengempaskan punggung ke kursi."Tunggu sebentar, akan kucoba lagi.""Ken, biar aku saja." Ponsel sudah di tangan. Dia siap menekan tombol hijau berbentuk gagang telepon, andai sekretarisnya itu tidak menyela aksinya."Ini dia, Jun," kata Kenny sembari menempelkan permukaan layar gawai ke rungunya. "Daniel, kau bisa ke kantor? Juna ingin bicara.""Aku masih di jalan. Berikan teleponnya pada Juna agar dia menyampaikan langsung.""Bukan seperti dugaanmu—masalahnya serius.""Begitu, ya?" sejenak hening di sela-sela percakapan jalur wireless tersebut. Jelas dapat disimak kala Kenny telah mengubah obrolan ke mode pengeras suara. "Butuh waktu lebih banyak untuk sampai di sana, aku harus mengantar temanku pulang.""Apa?! Kau tidak bisa membuatku—""Ok, kami akan menunggu kedatanganmu. Sampai nanti!" sambungan dialog diputus tergesa-gesa, berbarengan pula napasnya mengerang lapang. "Jun, kau membutuhkan dia saat ini. Kendalikan emosimu bila mau semuanya berjalan sesuai rencana."Fakta yang berlangsung tak segampang rancangan. Kenny dan Juna sama jemunya. Mereka bukan tipikal lelaki dengan tingkat permisif tinggi dalam menunggu. Tiga puluh menit berlalu, mereka hanyut oleh berkas-berkas hangat yang tiba untuk diteliti.Tiga perempat jam bertahan, dua cangkir kopi tandas terlampau singkat. Dahaga berpadu penat, serasi selaku penguras keping-keping kesabaran. Juna mulai gelisah. Mondar mandir di sisi jendela, tidak sekeras Kenny yang masih memaksakan diri di balik ekspresi tenangnya."Cukup, Ken! Aku selesai.""Apanya yang selesai?!""Oh, hai, Daniel?! Kukira kau akan datang lusa."Kontan si empu mengernyit heran."Kami nyaris mati gara-gara menunggumu." Sayangnya bukan Juna, pernyataan sarkas ini adalah buah lidah Kenny."Wajah kalian menjelaskan seluruhnya, segawat itu?!""Kau ingin tetap berdiri di sana, Daniel?" alih-alih merespons pertanyaan tadi, Juna betah membalas rasa jenuhnya semula melalui kata-kata menohok.Sekali tarikan napas berembus berat, Daniel mengayun langkahnya menuju kursi kosong di samping Kenny. "Jadi, apa masalahnya? Siapa pelakunya? Berapa banyak dana yang digelapkan?""Bukan penggelapan uang, tidak ada kerugian apa-apa. Aku hanya butuh surat gugatan cerai, segera!""Cerai? Kau memintaku kemari untuk menangani kasus perceraian? Kau mabuk, Jun? Kau mau aku membahas tentang hilangnya biaya operasional perusahaan yang kemudian menjadi penyebab goyahnya pernikahanmu?""Buatkan aku surat pengajuan perceraian, jangan berputar-putar.""Demi Tuhan, Juna. Kau aneh!" Daniel terserang jengkel. Melaju di atas angka rata-rata supaya lekas sampai ke perusahaan dan malar-malar dia menyaksikan kenyataan kontradiktif. "Ken, apa kau berpura-pura tidak memahaminya? Ayolah, sobat ... aku pengacara bisnis, kalian lupa?!"continue ..."Tolong, cepatlah sedikit. Aku sudah telat. Mereka tidak akan membayarku karena ini." "Tenanglah, Nona. Anda mengganggu konsentrasi menyetir Saya. Mobilnya tidak bisa lebih cepat lagi, ini batasnya. Duduk yang benar dan diam, agar saya bisa segera mengantar Anda sampai ke tujuan." "Batas kau bilang? Oh, ya ampun! Apa kau tidak mengerti kata-kataku, Pak? Jika mobilmu selambat ini, maka habislah pencarianku. Kenapa orang-orang sangat susah memahami situasi orang lain? Pak ... ayolah! Waktuku cuma setengah jam lagi." Perempuan itu terus mendesak si sopir, menggoncang-goncang bahunya hingga kian mengacaukan fokus sang sopir. Ban berdecit keras bergesekan dengan aspal, saat si sopir menginjak rem secara tiba-tiba. Spontan tubuh perempuan tadi tersentak ke depan, kepalanya membentur punggung jok penumpang dan dia mengaduh bising. "Bapak bisa menyetir apa tidak? Aduh kepalaku ..." "Turun!" "Apa?!" "Cepatlah turun, Nona!" "Tujuanku masih jauh, untuk apa aku turun di sini? Jalan lagi,
Berbaik hati mengantarkan perempuan tak dikenal, tahu-tahu Juna sedikit bingung. Seraya menyesap pelan kopi latte dari cup, benaknya berpikir ulang untuk apa dia mau merepotkan diri, membuang waktu demi orang asing? Dia bukanlah pribadi yang senang terlibat dengan masalah orang lain. Lalu, saat ini kebiasaan itu mendadak dilanggar tanpa dia tahu sebab kejelasannya. Juna masih bersandar di kap mobil, menyilangkan kaki-kakinya dengan sebelah tangan dilipat ke dada. Sepasang matanya mengawasi orang-orang di sekitar, hingga tidak disengaja tatapannya menangkap sosok perempuan yang hinggap di pikirannya berdiri di luar kafe. Mukanya lesu, seperti menyimpan kepasrahan. Sejenak Juna bertahan dalam diam, mengikuti gerak-gerik perempuan itu dan napasnya ditiup kasar. Dia benci keadaan ini. Belum lama otaknya mencoba untuk memastikan awal keterlibatan dia, kini keinginan yang sama kembali muncul. Tubuhnya bergerak semaunya, walau dia berupaya meyakinkan diri untuk tidak ke mana-mana dan sela
Sejak Juna mengusir Nayla dari kediamannya, dia memang sengaja tidak menggunakan kamar mereka untuk tempat beristirahat. Terkadang ruang kerja menjadi tempat cadangan, ketika dia terpaksa melanjutkan pekerjaannya di rumah hingga lupa waktu dan berakhir tertidur di situ. Tentu momen di kamar pribadinya menjadi trauma berkepanjangan. Dia terus dihantui potongan adegan kala sang istri menikmati seks panas bersama pria yang tak lain adalah pamannya. Tetap saja mengelak tak selalu bisa menyelesaikan masalah dengan rapi tanpa dampak apa-apa. Malah seluruh tali saraf-sarafnya memberontak hendak berhenti dari kecamuk siksa pengkhianatan. Dia merasa kecil, begitu tersudut akibat kecurangan demikian. Apakah dia tak cukup baik selama ini atau mungkin dedikasinya selaku suami belum memenuhi gelar yang pantas? Kebimbangan masih mengikuti, walau kali ini dia sudah meyakinkan diri bahwa adegan mengerikan itu tidak akan menghantui kewarasan. Juna mempersiapkan diri untuk kembali menempati biliknya,
Siska Admaji melangkah pasti menuju gedung perusahaan yang di pimpin menantunya, Juna Janendra. Sebuah gedung berlantai lima dengan pondasi melebar ke samping, dikelilingi area yang memang luas. Situasi di dalam gedung tentu ramai di jam-jam segini, kendati masih tampak teratur di pandang mata. Para staf hilir mudik, ada pula yang siaga di posisi dan zonanya masing-masing. Bukan acara beramah tamah, Siska tiada menanggapi sapa santun oleh siapa pun. Tujuan dia sangat jelas, menemui si pemilik bangunan guna mengumumkan rencana personal di balik urusan kekeluargaan. Dia akan coba membujuk sang menantu agar mau berdamai terhadap prahara yang diciptakan putrinya. Ini hanya masalah taktik cantik, bukan mengenai turunnya nilai harga diri. Cara apa saja siap dikerahkan demi terwujudnya angan-angan. Siska menghampiri meja sekretaris di depan ruang direktur, "Selamat siang, Nyonya." "Aku ingin bertemu Direktur Utama." "Sebentar, Nyonya," kata si wanita berambut pendek sembari mengangkat ga
"Wah, aku benar-benar tidak menyangka Kakak akan menjemputku." Nada halus suara Jihan memecah keheningan di dalam sedan milik Daniel Wilman. Jalanan malam ini sedikit lengang, apalagi putaran jam nyaris mencapai waktu tengah malam. "Kau masih marah padaku?" Namun, Jihan enggan menanggapi, selain menoleh ke jendela yang tertutup dan sama sekali tiada menarik dipandang. "Jihan, tolong maafkan aku. Semuanya begitu mendadak, aku hanya tidak tahu kasus yang kutangani itu bisa demikian rumit." "Tapi, Kakak pergi sangat lama!" Dia menengok demi menghardik pria di sebelahnya. "Kau sedang marah atau ngambek? Aku tidak bisa membedakannya, dua-duanya tetap menggemaskan di mataku. Bagaimana, ya?!" "Kak! Jangan menyesal jika kemarahanku sungguhan datang!" "Hei, mana boleh begitu. Aku sudah seminggu tidak melihatmu, tahu tidak seberapa besar rasa rinduku?" "Tidak, aku bukan anak kecil lagi. Aku tidak semudah itu untuk termakan rayuan Kakak." "Jihan ..." "Tidak!" "Peri manis ..." "Aku t
Penghujung minggu ini, dilewati Juna untuk mengawasi pemindahan semua perabotan yang ada di kamarnya. Minggu lalu rencana memang sudah ada, demi melenyapkan saksi mati serta sisa-sisa peristiwa memalukan yang sempat berlangsung. Berat sekali jika harus menerima dampak buruknya secara terus-menerus. Tak jarang dia dihantui mimpi-mimpi serupa, mengusik kenyamanan di waktu tidur. Lalu, ketika kelopak mata terjaga, maka yang dia temui hanya goresan dalam terhadap harga dirinya oleh tajam pengkhianatan. Harga diri, Juna Janendra tidak akan pernah terima kejatuhan terendah demikian. "Tuan, barang-barang ini mau ditaruh di mana?" "Saya serahkan pada, Bibi. Mau dibuang, dibakar atau diberikan ke orang lain, Saya tidak keberatan, asalkan disingkirkan dari pandangan Saya. Kita harus mensucikan kamar ini, Bi. Tidak boleh ada keburukan tertinggal, agar cahaya yang menaunginya pun tidak hilang." "Tuan pasti bisa melaluinya, tetaplah yakin. Orang baik selalu menemukan kebahagiaan di mana pun."
"Jihan?!" "Kak—" "Aish, kenapa baru sekarang kau datang? Tidak melihatmu selama dua minggu, aku jadi merindukan ocehanmu." Pernyataan itu memancing rasa geli Daniel, dia membuang muka cuma untuk menutupi tawanya. Lain hal terhadap Jihan yang kini mencebik cemberut. "Jangan katakan itu di depan Daniel, Kak! Dia suka sekali mengejekku." Tapi, mukanya yang merengut itu sungguh manis. Bukannya berhenti, Daniel kini justru terang-terangan menertawainya. "Itu karena kau sangat lucu, siapa yang tidak akan senang hanya dengan memandang perubahan ekspresimu? Menggemaskan!" Daniel pun mengangguk, mustahil menyangkal fakta yang memang menjadi perihal paling disukai olehnya. "Ayo, kalian duduklah dulu. Aku ambilkan minum di belakang," kata Kirana sembari menarik pelan pergelangan Jihan, menuntun si gadis manis ke meja tunggu di sudut ruangan. Usai mengunjungi kedai es krim favorit mereka, Daniel pun langsung mengantar Jihan ke butik yang menjadi persinggahannya semenjak dua tahun menekun
"Dia tidak bersedia datang, sebab masalahmu belum dapat ditangani. Percuma memaksakan sidang dengan kondisi istrimu yang sedang hamil. Justru kau bakal dicap buruk oleh pihak pengadilan." "Apa sulitnya mengadakan pertemuan? Aku hanya ingin membicarakan masalah ini secara khusus dengan pengacara terkait. Jalan atau tidak prosesnya, aku siap mengikuti prosedur. Kau datang ke sini tanpa jawaban yang kumau." "Pengacara Tommy tidak dapat memenuhi panggilanmu di tengah kasus yang dia tangani. Membutuhkan konsentrasi penuh, jika dia hendak memenangkan kliennya kali ini. Tidak semua mau menampung kasus penganiayaan dalam rumah tangga berujung perpisahan, apalagi wanitalah korbannya. Dia mengatakan fakta tersebut padaku. Jadi, secara tak langsung dia memintamu menunggu. Tetapi, kau boleh mencari pengacara lain andai merasa perlu terburu-buru." "Alternatif lain?!" "Ada. Hanya saja, aku merekomendasikan Pengacara Tommy. Dia tidak melibatkan orang ke tiga untuk merusak analisanya. Kau tahu se
Situasi yang semula terasa damai serta menyenangkan mendadak kaku. Si gadis manis bimbang apakah patut mengutarakan rasa penasaran yang sudah tertahan di ujung lidahnya. Dia sekadar duduk diam di kursi di samping Amelia, menanti temannya ini memulai percakapan mereka. Sedang, Juna Janendra menyingkir sejenak seraya sibuk pula menyusun praduga di dalam pikirannya. Dia melihat gadis pemilik gummy smile itu ketika menyaksikan pertunjukan Jihan di kafe Tuan Beno bersama pemuda yang juga dia yakini berangsur-angsur berubah peran menjadi rivalnya untuk mendapatkan hati si gadis manis. "Aku dan Dave sudah putus," Amelia menengok ke sebelah, menemukan si gadis manis betah menundukkan wajahnya. "Kamu tidak terkejut 'kan, Jihan? Aku tahu kamu pasti memperkirakan hal ini akan terjadi." Kontan saja si gadis manis mendongak, mengerutkan kening tanda penolakannya terhadap penuturan barusan. "Tidak apa-apa. Bukan salahmu, ataupun dia. Sejak awal akulah yang memaksakan kehendakku, walau aku sadar pe
"Kau senang?!" Walau yang terlihat bukanlah reaksi mencolok. Namun, Juna Janendra mendapati bibir gadis di sampingnya melengkung tipis. Baru sepuluh menit dia menyetir sejak mereka memutuskan pergi dari rumah sakit. Paman Beno tentu membutuhkan waktu istirahat lebih banyak agar bisa segera pulih. "Aku lega untuk Paman Beno. Tadinya aku pikir tidak akan secepat itu beliau sadar. Bibi juga sangat baik, bersedia merawat dan menemaninya seharian penuh." "Jika perkiraanku tidak meleset, Paman Beno bisa saja diperbolehkan pulang dalam dua atau tiga hari lagi." "Aku harap begitu. Aku rindu menyanyi di kafenya." "Aku pun sama, merindukan suaramu." Juna memperhatikan si gadis manis usai mengungkapkan perasaannya saat ini. "Kenapa kau hanya diam, Jihan? Apa kau tidak senang mendengar pengakuanku?" Senyumnya tertarik ringan, seakan memaklumi andai jawaban gadis itu tak seperti dugaan. "Kenapa aku harus marah padamu?!" Mereka berbalas senyuman sembari berpura-pura tidak menyadari bahwa getar
Semua kenangan itu seakan baru terjadi kemarin sore. Jihan Pitaloka kembali menyadari perasaan mendalam terhadap Dave Hardinata pernah ada di beberapa tahun silam dan dia benar-benar menikmatinya sebagai sesuatu ketertarikan emosional untuk lawan jenis. Bermula ketika dia baru menduduki bangku SMA. Jihan yang sekadar gadis yatim piatu masih memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di salah satu sekolah elit di Ibu Kota. Kendati dalam keterbatasan keadaannya, dia tetap mampu mempersiapkan diri agar terlihat pantas berada di gedung mewah bersama sekumpulan remaja kaya. Dia yang seorang pendatang memutuskan untuk memperjuangkan masa depan di antara keras dan sulitnya persaingan hidup. Bersama Daniel Wilman, si gadis manis mengira keberanian dan kekuatannya meningkat. Dia berpikir siap menapaki upaya demi upaya untuk meraih impiannya. Selain cerdas, Daniel dikenalnya sebagai sosok tumpuan pengganti kedua orang tuanya yang telah lama tiada. Persis kebanyakan para remaja pada umumn
Radit kehilangan suara ketika dihadapkan dengan masalah pelik tak disangka-sangka seperti ini. Yang dapat dia lakukan hanya terdiam sambil logikanya menganalisa di dalam dugaan. Gerak kaki lebih terburu-buru daripada jalan santai yang kerap dia lakukan. Bersisian dengan Bastian yang betah pula mengoceh sejak mereka mendatangi ruang konseling sepuluh menit lalu. "Kenapa dia di-skors? Kita tahu apa yang dia lakukan—24 jam penuh aku bisa menjelaskannya. Ayo, kita harus mencoba cara ini." Cukup berat hawa napasnya berbunyi. Namun, tak ada sepatah kata yang Radit ucapkan. "Kau dengar aku 'kan? Kubilang kita perlu menerangkan apa yang kita tahu, terserah apa saja. Asalkan si Dave selamat dari hukuman itu." Tetap juga belum ada tanggapan sampai-sampai Bastian merasakan jemu menahan diri. "Kalau kau tidak mau, aku bisa sendiri!" "Bastian!!" Keduanya spontan berhenti usai kerasnya seruan Radit menyentak mereka bersamaan. "Maafkan aku." "Aku mengerti." Muncul penyesalan di raut Radit —buka
Sekotak es kubus baru saja diambil dari dalam freezer, Dave Hardinata memasukkannya ke wadah berisi air bersih. Dia melenggang ke ruang TV di mana Bastian dan Radit sudah duduk di sana, menyantap ayam goreng krispi yang mereka pesan lewat daring. "Si pengecut itu, aku jadi menyesal kita menerima tantangan dia." "Kita tidak bisa menghindari pertandingan itu. Dia sengaja memanas-manasiku sebelum balapan dimulai. Konon lagi jika kita menolaknya, mungkin baku hantam langsung kejadian di tempat." "Perkiraanku juga begitu, Dave." Radit menyambung jangka dia mengunyah paha ayam goreng pedas manis kesukaannya. "Tapi, dia memang tidak bisa juga dijadikan rival. Kemampuan standar, kesadaran diri kurang." "Cocok 'kan aku sebut dia pengecut?!" tekan Bastian lagi, mengulang perkataan dia sebelumnya. "Omong-omong, Dave—bukannya kau yang dikeroyok, justru mereka semua menyerah?" "Kecuali si rambut hijau. Aku tidak tahu dia memikirkan apa. Aku buru-buru kabur sebelum mereka semua bangun dan mal
Perlengkapan menulis, botol minuman, ramen cup, handuk kecil, kaus pendek, legging, semua benda-benda ini dimasukkan Jihan remaja ke dalam ransel. Bertepatan dia hendak menyandang tasnya, teriakan lembut oleh Daniel Wilman terdengar. "Iya, Kak. Aku segera turun." "Kasihan temanmu, Peri kecil. Dia sudah menunggu sejak tadi." "Tidak apa-apa, Kak. Salma memang sengaja datang lebih awal." "Pulang jam berapa?" "Sepertinya lumayan sore. Tapi aku usahakan sampai di rumah sebelum malam." "Kakak siapkan bekal, ya?" "Aku bawa ramyun." Daniel refleks menghela napas. "Ramyun saja tidak cukup. Tugas-tugasmu banyak 'kan? Otak perlu dikasih makanan bergizi supaya lancar buat berpikir. Jangan pergi dulu, Kakak tambah porsinya untuk dibagi ke temanmu." "Ya sudah, aku tunggu di depan, ya." Jihan remaja bergegas menjumpai Salma selagi Daniel mengemasi bekal di dapur. "Pergi sekarang?" "Tunggu, Kakak ingin menambahkan bekal yang aku bawa." "Ini ke mana dulu? Jadi ke perpustakaan sekolah?" "
Gara-gara debu yang berterbangan di sekitar, Salma jadi terbatuk-batuk. Hal itu karena ulah kemoceng yang dipakai Jihan remaja untuk membersihkan rak buku di perpustakaan. "Maaf, Salma. Aku sudah bilang agar kamu menyingkir dulu." "Tidak apa-apa Ji, aku ..." Dia batuk lagi. "Aku mau membantumu." "Aku tidak melarangmu. Tapi, debu ini tidak baik buat pernapasan. Mending kau minggir sebentar. Di situ, berdirilah di dekat jendela. Sekalian tolong bukakan jendelanya, ya." "Ok." Salma beringsut ke kiri, menggeser jendelanya. "Omong-omong, Ji. Sudah tahu 'kan berita terbaru di sekolah kita?" "Aku tidak tahu, ada berita apa? Penting memangnya?" "Buat aku pribadi sih tidak. Kalau kau bisa saja iya." "Kok begitu? Apa bedanya aku atau kau? Kita sama-sama mahasiswa di kampus ini dan kita teman sekelas." "Ya karena tidak ada hubungannya sama aku." "Maksudmu apa? Kata-katamu kurang jelas, Salma." "Salah satu siswi di sekolah ini menghilang. Tempo hari orang tuanya datang menemui Kepala Se
Jalanan tampak lenggang sejauh pengawasan mata. Traffic cone berjejer menandakan pangkal kawasan yang mereka jadikan sebagai tempat berkumpul penonton, juga beberapa meter di depan merupakan garis start. Di sana sudah siaga tiga unit motor sport bermacam modifikasi dan warna. Berita bagusnya, milik Dave Hardinata tiada henti menuai decak kagum dari mereka si penikmat laga jalanan ini. Body motor yang besar menjadikan si kuda besi kian gagah dinaiki si penunggang. Kombinasi hitam dominan dengan gradasi oranye dari stiker-stiker mengkilap. Akibatnya, pemuda-pemuda pemburu balapan liar menancapkan minat mereka ke motor itu. Dave bukanlah target lagi, ketika fokus berpindah kepada Tata. Demikian si pemuda memberi julukan istimewa khusus untuk motor kesayangannya. "Sebentar! Sebelum kita mulai, aku mau mengumumkan perubahan perjanjian." "Apa maksudmu?!" Interupsi dari salah seorang rivalnya menyulut emosi tak menyenangkan pada diri Dave, dia memperhatikan lewat tatapan permusuhan nan ken
Life must go on, moto hidup mereka. Artinya, apa pun yang terjadi haruslah berakhir di hari itu juga. Seperti saat ini, Dave Hardinata dan dua sahabatnya sudah melupakan perkelahian kemarin. Rasa sakit yang masih tertinggal diabaikan. Kalau bisa luka-lukanya sekalian lenyap dalam semalam. "Dave, kau lebih keren dari biasanya." Penuturan Radit sukses mencuri perhatian sang empunya. Dave mendongak, menampilkan wajahnya yang tidak terkata-kata. Entah mau prihatin atau kagum, membuat orang-orang yang melihat justru melongo. Pelipis sama sudut bibir masih biru. Rambut acak-acakan, mulutnya anteng mengisap lolipop. "Makin ganteng, Dave. Cuma hidungmu yang perlu satu tinjuan, biar mirip badut." "Bodoh!" Makian Dave sejenis hiburan, khusus bagi dua pemuda yang absurdnya bikin geleng-geleng kepala. Untung tidak sering kumat, bandalnya tetap lebih mendominasi. Ganteng? wajib! Urakan? Keren! Playboy? Takdirnya orang tampan! Semboyan mereka bertiga, dicetuskan oleh si jabrik Radit. Ujung-ujun