Beranda / Romansa / Cinta ke Dua Pak Direktur / Daniel; teruslah bergantung denganku, Jihan

Share

Daniel; teruslah bergantung denganku, Jihan

Rencana Daniel untuk memboyong Jihan ke restoran Prancis terpaksa pupus. Gadis itu memaksakan pilihan dia sendiri dan rumah makan murah yang sangat terkenal di Jakarta adalah tempat tujuannya. RM Sari Rasa, rumah makan ini menyajikan menu masakan rumahan khas Jawa, seperti rawon leker, nasi kuning, nasi langgi, sampai bebek peking. Tersedia juga menu makanan lainnya seperti gado-gado, sayur asem, sayur lodeh, sambal cobek hingga bebek goreng yang enak.

"Ini yang kau mau? Puas sekarang?"

"Sangat puas, Kak. Kita boleh makan? Aku sudah tidak tahan." Perutnya diusap-usap seraya mengukir keriangan di parasnya yang cantik.

Di lain sisi Daniel mendesah pasrah, tiada dapat memendam kelegaan serupa. "Makan yang banyak, mengerti? Kita akan berburu es krim setelah dari sini."

"Siap, kapten! Aku tidak perlu sungkan di depan Kakak, selamat makan!" gembira sekali saat dia meneriakinya, menarik piring, menyendok nasi untuk lalu menambahkan lauk pauk yang tersedia. Kelopak matanya terpejam saat satu suapan mendarat dramatis di mulut. "Ya Tuhan, aku tidak pernah tidak merindukan makanan seperti ini, Kak. Rasanya mengingatkanku pada masa kecil ketika Ibu dan Ayah masih hidup. Aku tidak ingin kehilangan momen bersama mereka. Terus mencicipi masakan di sini, bisa mengobati kerinduanku terhadap mereka."

"Jihan, kau percaya padaku?"

"Kau satu-satunya yang kumiliki. Mungkin aku cukup tidak tahu malu karena bergantung denganmu."

"Teruslah bergantung denganku."

"Tapi, Kak—apa kau keberatan? Bagaimana jika aku terus menempelimu? Setidaknya sebelum kau punya kekasih dan menikah."

"Hei, makan yang benar. Seenak itukah rasanya? Butiran nasi lengket di wajahmu." Suasana yang pas, kala Daniel tak yakin dapat menjawab pernyataan si cantik. Sentuhan dadakan sekian bukanlah kejutan lagi bagi keduanya. Bukti bahwa hubungan di antara mereka telah terjalin sejak jauh-jauh waktu.

"Kak, kau tidak makan? Padahal benar-benar enak." Pipinya menggembung, mengunyah perlahan suapan demi suapan. "Kau masih membayangkan makanan Prancis? Aku bisa menemanimu bila mau."

"Lalu siapa yang akan menghabiskan bagianku? Memangnya kau sanggup?"

"Ehm—tidak tahu, sih." Jihan cengar-cengir kuda, meski makanan di mulutnya menyembunyikan geliginya yang rapi. Dia suka terang-terangan di sekitar orang-orang terdekat, termasuk menampakkan sungguh semberononya dia saat makan.

"Cara makanmu ini bisa membuat laki-laki takut."

"Aku tidak peduli."

"Nanti tidak ada yang mau denganmu."

"Ada Kakak yang mau menerimaku dalam kondisi terburuk sekali pun."

"Kau tahu akan selalu begitu."

"Makanya aku tenang-tenang saja." Seolah Jihan sengaja merayunya, sampai-sampai Daniel mengalihkan muka untuk menjauhkan raut sipu yang bisa jadi terbaca.

"Kapan lagi kau akan makan, Kak? Punyaku tersisa setengah porsi."

"Kau hampir selesai, ya?"

"Jangan khawatir, aku bisa menunggu. Tolong nikmati saja makan siangmu dengan baik."

Daniel mengangguk singkat. Air muka yang ditunjukkan, menegaskan seberapa saling memahaminya mereka. "Hari ini tidak ada jadwal menyanyi 'kan?"

"Aku libur, jadi bisa langsung tidur setibanya di rumah. Lumayan untuk menyuplai energi. Besok ada pertunjukan spesial di bar, mereka membayarku dua kali lipat untuk durasi sejam penuh."

"Mau kuantar? Pukul berapa acaranya?"

"Takutnya Kakak sibuk. Klienmu dan masalah rumit mereka bisa datang tiba-tiba."

"Ah, benar juga. Begini saja, aku akan menghubungimu kalau jadwalku masih kosong. Setuju?!"

"Tentu."

"Tapi janji dulu—bisa mengantarmu atau tidak, kau wajib kabari aku situasinya. Aku ingin pastikan kau aman, di mana pun!"

"Kakak, kau mirip ayahku."

"Astaga, gadis ini. Aku belum setua itu—"

"Kau persis seperti ayah ketika sedang cemas. Apa aku segitu berharganya bagimu, Kak?"

Daniel terpaku, memperhatikan Jihan serta setiap inci gerakannya. Meski tidak jelas kenapa Jihan yang sedang minum bisa kian memikat di mata Daniel Wilman.

.....

"Sudah kuhubungi berulang-ulang dan belum diangkat."

"Ke mana dia?!" Juna mengerang frustrasi, mengempaskan punggung ke kursi.

"Tunggu sebentar, akan kucoba lagi."

"Ken, biar aku saja." Ponsel sudah di tangan. Dia siap menekan tombol hijau berbentuk gagang telepon, andai sekretarisnya itu tidak menyela aksinya.

"Ini dia, Jun," kata Kenny sembari menempelkan permukaan layar gawai ke rungunya. "Daniel, kau bisa ke kantor? Juna ingin bicara."

"Aku masih di jalan. Berikan teleponnya pada Juna agar dia menyampaikan langsung."

"Bukan seperti dugaanmu—masalahnya serius."

"Begitu, ya?" sejenak hening di sela-sela percakapan jalur wireless tersebut. Jelas dapat disimak kala Kenny telah mengubah obrolan ke mode pengeras suara. "Butuh waktu lebih banyak untuk sampai di sana, aku harus mengantar temanku pulang."

"Apa?! Kau tidak bisa membuatku—"

"Ok, kami akan menunggu kedatanganmu. Sampai nanti!" sambungan dialog diputus tergesa-gesa, berbarengan pula napasnya mengerang lapang. "Jun, kau membutuhkan dia saat ini. Kendalikan emosimu bila mau semuanya berjalan sesuai rencana."

Fakta yang berlangsung tak segampang rancangan. Kenny dan Juna sama jemunya. Mereka bukan tipikal lelaki dengan tingkat permisif tinggi dalam menunggu. Tiga puluh menit berlalu, mereka hanyut oleh berkas-berkas hangat yang tiba untuk diteliti.

Tiga perempat jam bertahan, dua cangkir kopi tandas terlampau singkat. Dahaga berpadu penat, serasi selaku penguras keping-keping kesabaran. Juna mulai gelisah. Mondar mandir di sisi jendela, tidak sekeras Kenny yang masih memaksakan diri di balik ekspresi tenangnya.

"Cukup, Ken! Aku selesai."

"Apanya yang selesai?!"

"Oh, hai, Daniel?! Kukira kau akan datang lusa."

Kontan si empu mengernyit heran.

"Kami nyaris mati gara-gara menunggumu." Sayangnya bukan Juna, pernyataan sarkas ini adalah buah lidah Kenny.

"Wajah kalian menjelaskan seluruhnya, segawat itu?!"

"Kau ingin tetap berdiri di sana, Daniel?" alih-alih merespons pertanyaan tadi, Juna betah membalas rasa jenuhnya semula melalui kata-kata menohok.

Sekali tarikan napas berembus berat, Daniel mengayun langkahnya menuju kursi kosong di samping Kenny. "Jadi, apa masalahnya? Siapa pelakunya? Berapa banyak dana yang digelapkan?"

"Bukan penggelapan uang, tidak ada kerugian apa-apa. Aku hanya butuh surat gugatan cerai, segera!"

"Cerai? Kau memintaku kemari untuk menangani kasus perceraian? Kau mabuk, Jun? Kau mau aku membahas tentang hilangnya biaya operasional perusahaan yang kemudian menjadi penyebab goyahnya pernikahanmu?"

"Buatkan aku surat pengajuan perceraian, jangan berputar-putar."

"Demi Tuhan, Juna. Kau aneh!" Daniel terserang jengkel. Melaju di atas angka rata-rata supaya lekas sampai ke perusahaan dan malar-malar dia menyaksikan kenyataan kontradiktif. "Ken, apa kau berpura-pura tidak memahaminya? Ayolah, sobat ... aku pengacara bisnis, kalian lupa?!"

continue ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status