"Nay, katakan apa yang terjadi padamu? Kenapa kau tiba-tiba pulang membawa koper? Suamimu mana?" Siska Admaji melipat kedua lengan di atas meja makan. Tatapan menuntut tak sekalipun beralih dari sosok putrinya di seberang dia.
"Bu, a-aku minta maaf. Aku mengacaukan semuanya.""Bicara yang jelas, Nayla!""Aku akan bicara, tapi ibu jangan marah padaku. Sungguh, aku tidak sengaja."Siska mengembus kasar napasnya, sejenak mata pun terpejam. "Katakan!" Itu adalah bentakan keras semacam peringatan, Nayla terperanjat di posisinya."Dia mengusirku ..."Seketika Siska terbelalak."Aku tidur dengan Paman Sam." Suaranya mengecil di ujung kalimat, memalingkan muka tanda tak siap menerima reaksi ibunya."BODOH! Apa kau memang sedungu itu, Nayla? Hah?!" tahu-tahu Siska bangkit, cepat sekali segalanya berlangsung di mana dia menarik kerah baju putrinya untuk mendaratkan satu tamparan kencang ke pipi. "Aku tidak masalah dengan kelakuan rendahmu. Harusnya kau berpikir dua kali sebelum menghancurkan hidupmu sendiri!""Hidup Ibu maksudnya?!" Nayla menyangkal, menangkup pipi kirinya yang kini perih."DIAM! Kau pikir siapa dirimu? Jika bukan karena aku, kau tidak bisa menikahi si kaya itu. Jangan macam-macam denganku, Nayla! Setelah upaya keras yang kuperjuangkan untuk membuatmu masuk ke dalam keluarga Janendra, inikah caramu berterimakasih pada Ibumu? Sialan sekali, astaga ...! Kepalaku benar-benar pusing." Mengempaskan diri ke kursi, Siska menekan masing-masing pelipisnya dengan mata tertutup. Menit selanjutnya ia mengerang kesal, mengusap wajahnya yang kentara menahan amarah di situ. "Aku lupa seberapa murahnya putriku. Terserah siapa yang menidurimu, tapi bisakah sedikit saja kau menahan diri?!""Bu, tolong jangan begitu. Aku ini anakmu.""Apa, kenapa?! Kata-kataku menyinggungmu? Sudahlah, Nay! Aku benci basa-basi. Pikirkan bagaimana caramu menyelesaikan masalah ini. Pakai otakmu yang pas-pasan itu."....."Kau yakin dengan semua ini?""Tidak usah mempertanyakan keputusanku, Ken. Aku tahu apa yang perlu kuperbuat. Nayla tetap akan menerima kompensasi dari keluarga Janendra. Segera, usai aku meluruskan kerusuhan yang dia lakukan. Dia tidak hanya menghina harga diriku, tapi nama baik keluarga besarku. Bibi Siti menyaksikan betapa memalukannya tingkah mereka." Lagi-lagi terbentur rasa pening. Perselingkuhan istrinya pasti menimbulkan efek terburuk tiada disangka."Lalu Paman Sammy?!""Entahlah. Aku masih bingung harus bertindak bagaimana terhadap dia. Selama ini dia tidak pernah menunjukkan kejanggalan apa-apa, dia mencintai perusahaan ini sama besarnya sepertiku. Aku ragu dan sulit menerka-nerka tujuannya."Kenny mengangguk, melipat bibir dengan kedua tangannya bertaut di bawah dagu. "Kau benar, kita tidak bisa gegabah dalam hal ini. Empat puluh persen saham perusahaan adalah miliknya dan dia adik kandung ibumu.""Argh! Kenapa aku bisa jatuh hati dengan wanita seperti itu?! Aku jadi membenci semua yang terjadi.""Tenangkan dirimu, untuk apa menyalahkan diri sendiri? Bahkan kau tidak dapat mengira-ngira peristiwa apa yang kelak terjadi.""Aku ingin, sangat mengharapkan ketenangan. Tapi apa yang kuterima?! Di sini! Di kepalaku ini, terus-menerus mengulang kebejatan itu! Di kamarku, Ken! Di kamarku dia mengerang-ngerang hilang kendali. Dia, dia wanita yang kunikahi, kuangkat martabatnya, kemudian melempar kotoran ke wajahku. Ini lebih dari pengkhianatan! Ini merusak mentalku. Aku ingin sekali menyumpahi dia, membencinya setengah mati, aku—aku jijik.""Manusiawi, kau pantas bersikap begini. Biarkan, kehidupan tidak berporos pada dia saja.""Aku akan menceraikan dia, secepatnya! Tolong bantu aku, hubungi Daniel!""Kau yakin tidak berubah pikiran lagi? Maaf, bukan mau mendiktemu. Hanya mengingatkan bahwa dulu kau sangat mencintai—""Cukup! Satu-satunya yang paling kuinginkan adalah menyingkirkan dia dari hadapanku.""Baiklah." Penegasan datang, Kenny pun beranjak keluar seraya meraih telepon genggamnya dari saku celana.-----"Kak Dan—""Hai, Jihan."Yang disapa membagi senyum tercantik miliknya, Jihan Pitaloka."Kau tidak bertanya kenapa aku ke sini?" Daniel Wilman bertanya."Haruskah, Kak?! Kau mau mengajakku ke mana?""Blak-blakan sekali, tidak ada basa-basi manis untukku? Bagaimana kabarku hari ini, aku makan dengan baik atau tidak dan—""Aku tahu kau tidak suka hal-hal seperti itu.""Dasar!" Daniel hanya bisa tersenyum lebar, menarik pintu mobil seraya mempersilakan Jihan untuk masuk. Seringai gembira si pria berparas teduh itu tak lekang dari wajahnya, mengiringi geraknya ke kursi kemudi."Dari mana Kakak tahu aku pulang jam segini?""Sejujurnya aku tidak tahu, biasanya juga hampir sore 'kan?""Ya, ada dosen yang tidak datang hari ini. Mata kuliahnya di jam terakhir. Karena malas berlama-lama di kelas, aku memilih pulang.""Aku juga sedang malas di kantor. Mumpung lenggang, aku kepikiran dirimu dan langsung tancap gas ke sini.""Kemari cuma untuk mengajakku duduk-duduk di mobil?!""Ah, kenapa mesinnya belum dinyalakan? Ya ampun—itu karena keasyikan mengobrol denganmu, aku jadi lupa segalanya." Nyaris Daniel salah tingkah. Dia menarik tuas persneling tergesa-gesa, mengabaikan Jihan yang sekarang cekikikan di sebelahnya. "Kita makan dulu, ya? Perutku keroncongan.""Pasti karena belum sarapan.""Aku tidak sempat memasak.""Kakak 'kan bisa pesan lewat daring.""Ehm—enaknya kita makan apa kira-kira?""Kak, jangan mengalihkan topik! Kalau lambungmu kambuh bagaimana? Sarapan pagi itu penting, Kak." Sejemang sunyi melintas semasih Jihan mengamati ekspresi tenang di muka Daniel Wilman. "Memangnya ucapanku lucu? Kakak malah cengengesan. Kau paham tidak, penyakitmu itu berbahaya?! Tapi kau selalu menyepelekannya.""Aku hanya terlalu senang. Senang sekali saat kau begitu perhatian padaku, mencemaskan aku.""Ck!" Jihan berdecak. Membuang pandangnya ke depan, bersandar ke punggung jok sambil bersedekap."Iya, iya, aku minta maaf. Cuma karena itu mukamu langsung masam." Daniel berkata seraya menyapu-nyapu puncak kepala Jihan. "Aku janji, besok-besok tidak kuulangi lagi.""Aku bisa sangat marah bila kau berbohong. Jika kau sakit, tidak akan ada yang memperhatikan aku. Kakak satu-satunya yang peduli."'Tapi itu tidak cukup buatku, Jihan. Tidak pernah cukup. Aku membutuhkanmu lebih dari yang kau pikir.' Daniel hanya mampu berucap dalam hati."Marah-marahlah sepuas hatimu andai benar aku berbohong. Aku siap menerimanya, bisakah pernyataanku ini meyakinkanmu, Nona Jihan?!"Continue...Rencana Daniel untuk memboyong Jihan ke restoran Prancis terpaksa pupus. Gadis itu memaksakan pilihan dia sendiri dan rumah makan murah yang sangat terkenal di Jakarta adalah tempat tujuannya. RM Sari Rasa, rumah makan ini menyajikan menu masakan rumahan khas Jawa, seperti rawon leker, nasi kuning, nasi langgi, sampai bebek peking. Tersedia juga menu makanan lainnya seperti gado-gado, sayur asem, sayur lodeh, sambal cobek hingga bebek goreng yang enak. "Ini yang kau mau? Puas sekarang?" "Sangat puas, Kak. Kita boleh makan? Aku sudah tidak tahan." Perutnya diusap-usap seraya mengukir keriangan di parasnya yang cantik. Di lain sisi Daniel mendesah pasrah, tiada dapat memendam kelegaan serupa. "Makan yang banyak, mengerti? Kita akan berburu es krim setelah dari sini." "Siap, kapten! Aku tidak perlu sungkan di depan Kakak, selamat makan!" gembira sekali saat dia meneriakinya, menarik piring, menyendok nasi untuk lalu menambahkan lauk pauk yang tersedia. Kelopak matanya terpejam saat s
"Tolong, cepatlah sedikit. Aku sudah telat. Mereka tidak akan membayarku karena ini." "Tenanglah, Nona. Anda mengganggu konsentrasi menyetir Saya. Mobilnya tidak bisa lebih cepat lagi, ini batasnya. Duduk yang benar dan diam, agar saya bisa segera mengantar Anda sampai ke tujuan." "Batas kau bilang? Oh, ya ampun! Apa kau tidak mengerti kata-kataku, Pak? Jika mobilmu selambat ini, maka habislah pencarianku. Kenapa orang-orang sangat susah memahami situasi orang lain? Pak ... ayolah! Waktuku cuma setengah jam lagi." Perempuan itu terus mendesak si sopir, menggoncang-goncang bahunya hingga kian mengacaukan fokus sang sopir. Ban berdecit keras bergesekan dengan aspal, saat si sopir menginjak rem secara tiba-tiba. Spontan tubuh perempuan tadi tersentak ke depan, kepalanya membentur punggung jok penumpang dan dia mengaduh bising. "Bapak bisa menyetir apa tidak? Aduh kepalaku ..." "Turun!" "Apa?!" "Cepatlah turun, Nona!" "Tujuanku masih jauh, untuk apa aku turun di sini? Jalan lagi,
Berbaik hati mengantarkan perempuan tak dikenal, tahu-tahu Juna sedikit bingung. Seraya menyesap pelan kopi latte dari cup, benaknya berpikir ulang untuk apa dia mau merepotkan diri, membuang waktu demi orang asing? Dia bukanlah pribadi yang senang terlibat dengan masalah orang lain. Lalu, saat ini kebiasaan itu mendadak dilanggar tanpa dia tahu sebab kejelasannya. Juna masih bersandar di kap mobil, menyilangkan kaki-kakinya dengan sebelah tangan dilipat ke dada. Sepasang matanya mengawasi orang-orang di sekitar, hingga tidak disengaja tatapannya menangkap sosok perempuan yang hinggap di pikirannya berdiri di luar kafe. Mukanya lesu, seperti menyimpan kepasrahan. Sejenak Juna bertahan dalam diam, mengikuti gerak-gerik perempuan itu dan napasnya ditiup kasar. Dia benci keadaan ini. Belum lama otaknya mencoba untuk memastikan awal keterlibatan dia, kini keinginan yang sama kembali muncul. Tubuhnya bergerak semaunya, walau dia berupaya meyakinkan diri untuk tidak ke mana-mana dan sela
Sejak Juna mengusir Nayla dari kediamannya, dia memang sengaja tidak menggunakan kamar mereka untuk tempat beristirahat. Terkadang ruang kerja menjadi tempat cadangan, ketika dia terpaksa melanjutkan pekerjaannya di rumah hingga lupa waktu dan berakhir tertidur di situ. Tentu momen di kamar pribadinya menjadi trauma berkepanjangan. Dia terus dihantui potongan adegan kala sang istri menikmati seks panas bersama pria yang tak lain adalah pamannya. Tetap saja mengelak tak selalu bisa menyelesaikan masalah dengan rapi tanpa dampak apa-apa. Malah seluruh tali saraf-sarafnya memberontak hendak berhenti dari kecamuk siksa pengkhianatan. Dia merasa kecil, begitu tersudut akibat kecurangan demikian. Apakah dia tak cukup baik selama ini atau mungkin dedikasinya selaku suami belum memenuhi gelar yang pantas? Kebimbangan masih mengikuti, walau kali ini dia sudah meyakinkan diri bahwa adegan mengerikan itu tidak akan menghantui kewarasan. Juna mempersiapkan diri untuk kembali menempati biliknya,
Siska Admaji melangkah pasti menuju gedung perusahaan yang di pimpin menantunya, Juna Janendra. Sebuah gedung berlantai lima dengan pondasi melebar ke samping, dikelilingi area yang memang luas. Situasi di dalam gedung tentu ramai di jam-jam segini, kendati masih tampak teratur di pandang mata. Para staf hilir mudik, ada pula yang siaga di posisi dan zonanya masing-masing. Bukan acara beramah tamah, Siska tiada menanggapi sapa santun oleh siapa pun. Tujuan dia sangat jelas, menemui si pemilik bangunan guna mengumumkan rencana personal di balik urusan kekeluargaan. Dia akan coba membujuk sang menantu agar mau berdamai terhadap prahara yang diciptakan putrinya. Ini hanya masalah taktik cantik, bukan mengenai turunnya nilai harga diri. Cara apa saja siap dikerahkan demi terwujudnya angan-angan. Siska menghampiri meja sekretaris di depan ruang direktur, "Selamat siang, Nyonya." "Aku ingin bertemu Direktur Utama." "Sebentar, Nyonya," kata si wanita berambut pendek sembari mengangkat ga
"Wah, aku benar-benar tidak menyangka Kakak akan menjemputku." Nada halus suara Jihan memecah keheningan di dalam sedan milik Daniel Wilman. Jalanan malam ini sedikit lengang, apalagi putaran jam nyaris mencapai waktu tengah malam. "Kau masih marah padaku?" Namun, Jihan enggan menanggapi, selain menoleh ke jendela yang tertutup dan sama sekali tiada menarik dipandang. "Jihan, tolong maafkan aku. Semuanya begitu mendadak, aku hanya tidak tahu kasus yang kutangani itu bisa demikian rumit." "Tapi, Kakak pergi sangat lama!" Dia menengok demi menghardik pria di sebelahnya. "Kau sedang marah atau ngambek? Aku tidak bisa membedakannya, dua-duanya tetap menggemaskan di mataku. Bagaimana, ya?!" "Kak! Jangan menyesal jika kemarahanku sungguhan datang!" "Hei, mana boleh begitu. Aku sudah seminggu tidak melihatmu, tahu tidak seberapa besar rasa rinduku?" "Tidak, aku bukan anak kecil lagi. Aku tidak semudah itu untuk termakan rayuan Kakak." "Jihan ..." "Tidak!" "Peri manis ..." "Aku t
Penghujung minggu ini, dilewati Juna untuk mengawasi pemindahan semua perabotan yang ada di kamarnya. Minggu lalu rencana memang sudah ada, demi melenyapkan saksi mati serta sisa-sisa peristiwa memalukan yang sempat berlangsung. Berat sekali jika harus menerima dampak buruknya secara terus-menerus. Tak jarang dia dihantui mimpi-mimpi serupa, mengusik kenyamanan di waktu tidur. Lalu, ketika kelopak mata terjaga, maka yang dia temui hanya goresan dalam terhadap harga dirinya oleh tajam pengkhianatan. Harga diri, Juna Janendra tidak akan pernah terima kejatuhan terendah demikian. "Tuan, barang-barang ini mau ditaruh di mana?" "Saya serahkan pada, Bibi. Mau dibuang, dibakar atau diberikan ke orang lain, Saya tidak keberatan, asalkan disingkirkan dari pandangan Saya. Kita harus mensucikan kamar ini, Bi. Tidak boleh ada keburukan tertinggal, agar cahaya yang menaunginya pun tidak hilang." "Tuan pasti bisa melaluinya, tetaplah yakin. Orang baik selalu menemukan kebahagiaan di mana pun."
"Jihan?!" "Kak—" "Aish, kenapa baru sekarang kau datang? Tidak melihatmu selama dua minggu, aku jadi merindukan ocehanmu." Pernyataan itu memancing rasa geli Daniel, dia membuang muka cuma untuk menutupi tawanya. Lain hal terhadap Jihan yang kini mencebik cemberut. "Jangan katakan itu di depan Daniel, Kak! Dia suka sekali mengejekku." Tapi, mukanya yang merengut itu sungguh manis. Bukannya berhenti, Daniel kini justru terang-terangan menertawainya. "Itu karena kau sangat lucu, siapa yang tidak akan senang hanya dengan memandang perubahan ekspresimu? Menggemaskan!" Daniel pun mengangguk, mustahil menyangkal fakta yang memang menjadi perihal paling disukai olehnya. "Ayo, kalian duduklah dulu. Aku ambilkan minum di belakang," kata Kirana sembari menarik pelan pergelangan Jihan, menuntun si gadis manis ke meja tunggu di sudut ruangan. Usai mengunjungi kedai es krim favorit mereka, Daniel pun langsung mengantar Jihan ke butik yang menjadi persinggahannya semenjak dua tahun menekun
Situasi yang semula terasa damai serta menyenangkan mendadak kaku. Si gadis manis bimbang apakah patut mengutarakan rasa penasaran yang sudah tertahan di ujung lidahnya. Dia sekadar duduk diam di kursi di samping Amelia, menanti temannya ini memulai percakapan mereka. Sedang, Juna Janendra menyingkir sejenak seraya sibuk pula menyusun praduga di dalam pikirannya. Dia melihat gadis pemilik gummy smile itu ketika menyaksikan pertunjukan Jihan di kafe Tuan Beno bersama pemuda yang juga dia yakini berangsur-angsur berubah peran menjadi rivalnya untuk mendapatkan hati si gadis manis. "Aku dan Dave sudah putus," Amelia menengok ke sebelah, menemukan si gadis manis betah menundukkan wajahnya. "Kamu tidak terkejut 'kan, Jihan? Aku tahu kamu pasti memperkirakan hal ini akan terjadi." Kontan saja si gadis manis mendongak, mengerutkan kening tanda penolakannya terhadap penuturan barusan. "Tidak apa-apa. Bukan salahmu, ataupun dia. Sejak awal akulah yang memaksakan kehendakku, walau aku sadar pe
"Kau senang?!" Walau yang terlihat bukanlah reaksi mencolok. Namun, Juna Janendra mendapati bibir gadis di sampingnya melengkung tipis. Baru sepuluh menit dia menyetir sejak mereka memutuskan pergi dari rumah sakit. Paman Beno tentu membutuhkan waktu istirahat lebih banyak agar bisa segera pulih. "Aku lega untuk Paman Beno. Tadinya aku pikir tidak akan secepat itu beliau sadar. Bibi juga sangat baik, bersedia merawat dan menemaninya seharian penuh." "Jika perkiraanku tidak meleset, Paman Beno bisa saja diperbolehkan pulang dalam dua atau tiga hari lagi." "Aku harap begitu. Aku rindu menyanyi di kafenya." "Aku pun sama, merindukan suaramu." Juna memperhatikan si gadis manis usai mengungkapkan perasaannya saat ini. "Kenapa kau hanya diam, Jihan? Apa kau tidak senang mendengar pengakuanku?" Senyumnya tertarik ringan, seakan memaklumi andai jawaban gadis itu tak seperti dugaan. "Kenapa aku harus marah padamu?!" Mereka berbalas senyuman sembari berpura-pura tidak menyadari bahwa getar
Semua kenangan itu seakan baru terjadi kemarin sore. Jihan Pitaloka kembali menyadari perasaan mendalam terhadap Dave Hardinata pernah ada di beberapa tahun silam dan dia benar-benar menikmatinya sebagai sesuatu ketertarikan emosional untuk lawan jenis. Bermula ketika dia baru menduduki bangku SMA. Jihan yang sekadar gadis yatim piatu masih memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di salah satu sekolah elit di Ibu Kota. Kendati dalam keterbatasan keadaannya, dia tetap mampu mempersiapkan diri agar terlihat pantas berada di gedung mewah bersama sekumpulan remaja kaya. Dia yang seorang pendatang memutuskan untuk memperjuangkan masa depan di antara keras dan sulitnya persaingan hidup. Bersama Daniel Wilman, si gadis manis mengira keberanian dan kekuatannya meningkat. Dia berpikir siap menapaki upaya demi upaya untuk meraih impiannya. Selain cerdas, Daniel dikenalnya sebagai sosok tumpuan pengganti kedua orang tuanya yang telah lama tiada. Persis kebanyakan para remaja pada umumn
Radit kehilangan suara ketika dihadapkan dengan masalah pelik tak disangka-sangka seperti ini. Yang dapat dia lakukan hanya terdiam sambil logikanya menganalisa di dalam dugaan. Gerak kaki lebih terburu-buru daripada jalan santai yang kerap dia lakukan. Bersisian dengan Bastian yang betah pula mengoceh sejak mereka mendatangi ruang konseling sepuluh menit lalu. "Kenapa dia di-skors? Kita tahu apa yang dia lakukan—24 jam penuh aku bisa menjelaskannya. Ayo, kita harus mencoba cara ini." Cukup berat hawa napasnya berbunyi. Namun, tak ada sepatah kata yang Radit ucapkan. "Kau dengar aku 'kan? Kubilang kita perlu menerangkan apa yang kita tahu, terserah apa saja. Asalkan si Dave selamat dari hukuman itu." Tetap juga belum ada tanggapan sampai-sampai Bastian merasakan jemu menahan diri. "Kalau kau tidak mau, aku bisa sendiri!" "Bastian!!" Keduanya spontan berhenti usai kerasnya seruan Radit menyentak mereka bersamaan. "Maafkan aku." "Aku mengerti." Muncul penyesalan di raut Radit —buka
Sekotak es kubus baru saja diambil dari dalam freezer, Dave Hardinata memasukkannya ke wadah berisi air bersih. Dia melenggang ke ruang TV di mana Bastian dan Radit sudah duduk di sana, menyantap ayam goreng krispi yang mereka pesan lewat daring. "Si pengecut itu, aku jadi menyesal kita menerima tantangan dia." "Kita tidak bisa menghindari pertandingan itu. Dia sengaja memanas-manasiku sebelum balapan dimulai. Konon lagi jika kita menolaknya, mungkin baku hantam langsung kejadian di tempat." "Perkiraanku juga begitu, Dave." Radit menyambung jangka dia mengunyah paha ayam goreng pedas manis kesukaannya. "Tapi, dia memang tidak bisa juga dijadikan rival. Kemampuan standar, kesadaran diri kurang." "Cocok 'kan aku sebut dia pengecut?!" tekan Bastian lagi, mengulang perkataan dia sebelumnya. "Omong-omong, Dave—bukannya kau yang dikeroyok, justru mereka semua menyerah?" "Kecuali si rambut hijau. Aku tidak tahu dia memikirkan apa. Aku buru-buru kabur sebelum mereka semua bangun dan mal
Perlengkapan menulis, botol minuman, ramen cup, handuk kecil, kaus pendek, legging, semua benda-benda ini dimasukkan Jihan remaja ke dalam ransel. Bertepatan dia hendak menyandang tasnya, teriakan lembut oleh Daniel Wilman terdengar. "Iya, Kak. Aku segera turun." "Kasihan temanmu, Peri kecil. Dia sudah menunggu sejak tadi." "Tidak apa-apa, Kak. Salma memang sengaja datang lebih awal." "Pulang jam berapa?" "Sepertinya lumayan sore. Tapi aku usahakan sampai di rumah sebelum malam." "Kakak siapkan bekal, ya?" "Aku bawa ramyun." Daniel refleks menghela napas. "Ramyun saja tidak cukup. Tugas-tugasmu banyak 'kan? Otak perlu dikasih makanan bergizi supaya lancar buat berpikir. Jangan pergi dulu, Kakak tambah porsinya untuk dibagi ke temanmu." "Ya sudah, aku tunggu di depan, ya." Jihan remaja bergegas menjumpai Salma selagi Daniel mengemasi bekal di dapur. "Pergi sekarang?" "Tunggu, Kakak ingin menambahkan bekal yang aku bawa." "Ini ke mana dulu? Jadi ke perpustakaan sekolah?" "
Gara-gara debu yang berterbangan di sekitar, Salma jadi terbatuk-batuk. Hal itu karena ulah kemoceng yang dipakai Jihan remaja untuk membersihkan rak buku di perpustakaan. "Maaf, Salma. Aku sudah bilang agar kamu menyingkir dulu." "Tidak apa-apa Ji, aku ..." Dia batuk lagi. "Aku mau membantumu." "Aku tidak melarangmu. Tapi, debu ini tidak baik buat pernapasan. Mending kau minggir sebentar. Di situ, berdirilah di dekat jendela. Sekalian tolong bukakan jendelanya, ya." "Ok." Salma beringsut ke kiri, menggeser jendelanya. "Omong-omong, Ji. Sudah tahu 'kan berita terbaru di sekolah kita?" "Aku tidak tahu, ada berita apa? Penting memangnya?" "Buat aku pribadi sih tidak. Kalau kau bisa saja iya." "Kok begitu? Apa bedanya aku atau kau? Kita sama-sama mahasiswa di kampus ini dan kita teman sekelas." "Ya karena tidak ada hubungannya sama aku." "Maksudmu apa? Kata-katamu kurang jelas, Salma." "Salah satu siswi di sekolah ini menghilang. Tempo hari orang tuanya datang menemui Kepala Se
Jalanan tampak lenggang sejauh pengawasan mata. Traffic cone berjejer menandakan pangkal kawasan yang mereka jadikan sebagai tempat berkumpul penonton, juga beberapa meter di depan merupakan garis start. Di sana sudah siaga tiga unit motor sport bermacam modifikasi dan warna. Berita bagusnya, milik Dave Hardinata tiada henti menuai decak kagum dari mereka si penikmat laga jalanan ini. Body motor yang besar menjadikan si kuda besi kian gagah dinaiki si penunggang. Kombinasi hitam dominan dengan gradasi oranye dari stiker-stiker mengkilap. Akibatnya, pemuda-pemuda pemburu balapan liar menancapkan minat mereka ke motor itu. Dave bukanlah target lagi, ketika fokus berpindah kepada Tata. Demikian si pemuda memberi julukan istimewa khusus untuk motor kesayangannya. "Sebentar! Sebelum kita mulai, aku mau mengumumkan perubahan perjanjian." "Apa maksudmu?!" Interupsi dari salah seorang rivalnya menyulut emosi tak menyenangkan pada diri Dave, dia memperhatikan lewat tatapan permusuhan nan ken
Life must go on, moto hidup mereka. Artinya, apa pun yang terjadi haruslah berakhir di hari itu juga. Seperti saat ini, Dave Hardinata dan dua sahabatnya sudah melupakan perkelahian kemarin. Rasa sakit yang masih tertinggal diabaikan. Kalau bisa luka-lukanya sekalian lenyap dalam semalam. "Dave, kau lebih keren dari biasanya." Penuturan Radit sukses mencuri perhatian sang empunya. Dave mendongak, menampilkan wajahnya yang tidak terkata-kata. Entah mau prihatin atau kagum, membuat orang-orang yang melihat justru melongo. Pelipis sama sudut bibir masih biru. Rambut acak-acakan, mulutnya anteng mengisap lolipop. "Makin ganteng, Dave. Cuma hidungmu yang perlu satu tinjuan, biar mirip badut." "Bodoh!" Makian Dave sejenis hiburan, khusus bagi dua pemuda yang absurdnya bikin geleng-geleng kepala. Untung tidak sering kumat, bandalnya tetap lebih mendominasi. Ganteng? wajib! Urakan? Keren! Playboy? Takdirnya orang tampan! Semboyan mereka bertiga, dicetuskan oleh si jabrik Radit. Ujung-ujun