Berbaik hati mengantarkan perempuan tak dikenal, tahu-tahu Juna sedikit bingung. Seraya menyesap pelan kopi latte dari cup, benaknya berpikir ulang untuk apa dia mau merepotkan diri, membuang waktu demi orang asing? Dia bukanlah pribadi yang senang terlibat dengan masalah orang lain. Lalu, saat ini kebiasaan itu mendadak dilanggar tanpa dia tahu sebab kejelasannya.
Juna masih bersandar di kap mobil, menyilangkan kaki-kakinya dengan sebelah tangan dilipat ke dada. Sepasang matanya mengawasi orang-orang di sekitar, hingga tidak disengaja tatapannya menangkap sosok perempuan yang hinggap di pikirannya berdiri di luar kafe. Mukanya lesu, seperti menyimpan kepasrahan.Sejenak Juna bertahan dalam diam, mengikuti gerak-gerik perempuan itu dan napasnya ditiup kasar. Dia benci keadaan ini. Belum lama otaknya mencoba untuk memastikan awal keterlibatan dia, kini keinginan yang sama kembali muncul.Tubuhnya bergerak semaunya, walau dia berupaya meyakinkan diri untuk tidak ke mana-mana dan selanjutnya Juna berdiri di hadapan perempuan yang dia pikir sangat aneh ini. "Sudah siap manggungnya? Belum ada sepuluh menit di dalam, tapi kau sudah keluar. Cuma satu lagu, ya?""Tidak jadi, aku membatalkannya. Percuma tetap manggung, tidak ada bayaran. Mereka memintaku kembali minggu depan, tapi bukan untuk terlambat lagi." Jihan bercerita dengan kepala merunduk, sedangkan Juna bimbang hendak menjawab apa. "Kau tidak pulang?""Sedang menikmati kopi, aku pulang kalau isinya sudah habis." Sengaja dia mengangkat cup kopi tadi ke hadapan Jihan dan bertanya lagi. "Jadi, apa rencanamu?""Entahlah. Aku sangat membutuhkan uangnya, tidak mungkin segini setresnya tanpa alasan 'kan? Menjerit seperti pasien RSJ, menangis sampai riasan luntur, ujungnya gagal juga. Mereka menggantikanku dengan penyanyi cadangan, tapi aku bersyukur tidak masuk ke daftar hitam.""Kenapa tidak coba pekerjaan lain?""Aku masih kuliah. Tidak ada pekerjaan lain dengan bayaran tinggi untuk kondisi pendidikanku. Paruh waktu sih banyak, tapi upahnya belum cukup.""Dan kenapa harus bernyanyi? Aku yakin masih ada lagi pekerjaan yang cocok, hanya dibutuhkan sedikit usaha keras.""Menyanyi sudah menjadi hobiku sejak lama. Bagaimana ya mengatakannya—menyelam sambil minum air, siapa tahu karierku bisa berkembang di sini di samping hasil yang kudapatkan lebih dari cukup menutupi biaya kuliah.""Kau sangat membutuhkan uang itu?""Tentu saja. Lusa sudah waktunya untuk membayar uang semester.""Oh—aku bisa saja membantumu, tapi tidak gratis ya."Muka Jihan sepenuhnya kusut, tanpa tanggapan apa-apa."Jangan macam-macam, jual diri tidak ada dalam perencanaan masa depanku. Aku tidak mau!" dia berujar angkuh, menegakkan dada seraya mempertahankan kerut-kerut di wajahnya."Bisa-bisanya kau berpikir jelek terhadap orang yang sudah menolongmu. Pernah diajarkan sopan santun tidak?""Aku harus mewanti-wanti, kau itu orang asing dan mukamu juga mesum. Manusiawi jika aku curiga." "Mulutmu memang manis sekali. Kuberi tumpangan, kuantar sampai ke tujuan dan perilakumu terlalu menyebalkan." Kopi suam-suam kuku ditenggak tandas, Juna melempar cup kosong ke ember sampah yang menempel di sisi tembok. "Terserah, aku mau pulang.""Tunggu! Jangan pergi dulu."-----Pada akhirnya mereka berdua sampai di pelataran luas gedung kafe. Papan reklame persegi panjang dipaku di bagian depan, bertuliskan Black Coffee dengan lampu-lampu neon yang berkelap-kelip di sekeliling garis hurufnya. "Tunggu apa lagi? Ayo, masuk!"Sejenak Jihan tercengang, tidak awam terhadap kondisi sekitar. Pertama kali bagi dia berkunjung kemari dan akalnya bertanya-tanya kenapa tempat sebagus ini bisa terlewatkan?Begitu masuk melalui pintu dorong kaca, Jihan mengedar pandangnya ulang, meneliti desain interior serta mengagumi diam-diam. Perabotan kayu mendominasi seisi ruang, dibarengi cat dinding berwarna krem dan cokelat. Lampu gantung klasik menghiasi bagian tengah plavon berukir. Keasyikan demikian tanpa sadar mencuri habis fokusnya, dia tiada menangkap genggaman seiring tarikan di pergelangannya. Juna menggiring dia ke kamar di paling sudut. Satu dua tiga ketukan, dua pasang mata bersirobok menyorotkan sapa ramah."Juna?! Tumben kau kemari, ada keperluan apa? Aku bertanya karena kau mendatangiku ke ruangan."'Ehm, namamu Juna ternyata,' batin Jihan sembari memperhatikan bagian samping wajah si pria. 'Hidungmu makin besar kalau dilihat dari sini.'"Kau kelihatan sibuk, Paman." Juna dan Jihan masih berdiri, kepalang canggung ketika menyaksikan sosok yang dituju tak sesantai dugaan."Kursi itu menunggu kau duduki." Kelakar canggung meramaikan suasana dengan seringai sepihak dan Jihan lah pelakonnya. "Aku datang bersama temanku. Barangkali Paman bisa menempatkan dia untuk mengisi kekosongan di pentas hiburan. Daripada terus-terusan memakai kaset rekaman?"Sekali tarikan napas terbuang oleh si lawan bicara Juna. "Aku sudah pikirkan soal itu, cuma tidak mudah juga mencari penyanyi yang pas.""Kebetulan aku ketemu dia, Paman. Dia bernyanyi di kafe-kafe juga tempat hiburan lain, hobi dari lama katanya.""Siapa namamu, Nona?""Jihan Pitaloka, Tuan.""Baik. Nona Jihan Pitaloka, aku tidak akan basa basi. Apa hari ini kau punya waktu? Jika memungkinkan, kau boleh segera mencoba pentasnya.""Tapi, Tuan. Aku dibayar tunai usai pertunjukan.""Tidak masalah, kita akan membicarakannya setelah kau memperlihatkan penampilanmu padaku.""Semudah itu?""Aku suka yang praktis. Kalau cocok, kau kuterima bergabung di kafe ini.""Anda pemiliknya?""Ya, aku mengelolanya langsung untuk menikmati masa tua.""Tapi Anda masih terlihat muda." Detik itu pula pria yang mengaku pemilik kafe tergelak heboh. Kontras dengan Juna di mana matanya menghunuskan wacana yang tak terbaca, lamat-lamat menatap Jihan sarat interogasi.-----"Hamil?! Saya hamil, Dokter? Dokter tidak salah?" Nayla terbelalak enggan percaya. Air mukanya menegaskan kecemasan mutlak, seakan dia baru saja mendengar sepenggal kabar buruk."Semua hasil laboratorium yang Saya laporkan sudah sesuai dengan standar pedoman pemeriksaan, Nyonya. Sampelnya berasal dari urin Anda sendiri.""Tidak, ini mustahil. Bukan seperti ini yang kuinginkan, ini tidak boleh terjadi."Barang tentu dokter di seberangnya menatap awas, amat terganggu akan kata-kata tersebut. Lagi pula, umumnya seorang wanita menikah pasti bahagia ketika mendengar berita kehamilannya."Kau tidak lelah berpura-pura bodoh?!" Siska Admaji gagal mengontrol emosi, meski semula bertekad menahan diri. "Seharusnya kau dapat menebak terjadinya hal ini. Ibu mengerti arti dari kegundahanmu, Sammy 'kan? Kau tidak akan ketakutan, Nay, andai janinmu itu adalah bayi Juna!""Bu, kita harus melakukan pengujian ulang. Aku meragukan hasilnya, Bu."Percakapan demikian menampung pantauan lebih oleh sang dokter. Dia mengerutkan keningnya, hendak sekali melerai perdebatan konyol di antara mereka."Berapa bulan usia kandungannya, Dokter?""Tiga minggu, Nyonya.""Kau dengar? Siapa lagi kalau bukan si brengsek itu ayahnya?! Atau kau tidak hanya tidur dengan dia!"Pengumuman sekian sungguh mengejutkan si dokter, sampai-sampai dia spontan mengusap-usap dadanya. Peristiwa paling gila sepanjang dia menghadapi para wanita berkepentingan serupa."Nyonya, sekarang giliran pasien lain. Anda berdua sudah diperbolehkan keluar."Siska melirik cepat, nyaris menentang pernyataan ini. Tapi dia memilih tetap waras, menarik paksa lengan sang putri untuk selanjutnya menyingkir dengan perasaan kesal......Sejak Juna mengusir Nayla dari kediamannya, dia memang sengaja tidak menggunakan kamar mereka untuk tempat beristirahat. Terkadang ruang kerja menjadi tempat cadangan, ketika dia terpaksa melanjutkan pekerjaannya di rumah hingga lupa waktu dan berakhir tertidur di situ. Tentu momen di kamar pribadinya menjadi trauma berkepanjangan. Dia terus dihantui potongan adegan kala sang istri menikmati seks panas bersama pria yang tak lain adalah pamannya. Tetap saja mengelak tak selalu bisa menyelesaikan masalah dengan rapi tanpa dampak apa-apa. Malah seluruh tali saraf-sarafnya memberontak hendak berhenti dari kecamuk siksa pengkhianatan. Dia merasa kecil, begitu tersudut akibat kecurangan demikian. Apakah dia tak cukup baik selama ini atau mungkin dedikasinya selaku suami belum memenuhi gelar yang pantas? Kebimbangan masih mengikuti, walau kali ini dia sudah meyakinkan diri bahwa adegan mengerikan itu tidak akan menghantui kewarasan. Juna mempersiapkan diri untuk kembali menempati biliknya,
Siska Admaji melangkah pasti menuju gedung perusahaan yang di pimpin menantunya, Juna Janendra. Sebuah gedung berlantai lima dengan pondasi melebar ke samping, dikelilingi area yang memang luas. Situasi di dalam gedung tentu ramai di jam-jam segini, kendati masih tampak teratur di pandang mata. Para staf hilir mudik, ada pula yang siaga di posisi dan zonanya masing-masing. Bukan acara beramah tamah, Siska tiada menanggapi sapa santun oleh siapa pun. Tujuan dia sangat jelas, menemui si pemilik bangunan guna mengumumkan rencana personal di balik urusan kekeluargaan. Dia akan coba membujuk sang menantu agar mau berdamai terhadap prahara yang diciptakan putrinya. Ini hanya masalah taktik cantik, bukan mengenai turunnya nilai harga diri. Cara apa saja siap dikerahkan demi terwujudnya angan-angan. Siska menghampiri meja sekretaris di depan ruang direktur, "Selamat siang, Nyonya." "Aku ingin bertemu Direktur Utama." "Sebentar, Nyonya," kata si wanita berambut pendek sembari mengangkat ga
"Wah, aku benar-benar tidak menyangka Kakak akan menjemputku." Nada halus suara Jihan memecah keheningan di dalam sedan milik Daniel Wilman. Jalanan malam ini sedikit lengang, apalagi putaran jam nyaris mencapai waktu tengah malam. "Kau masih marah padaku?" Namun, Jihan enggan menanggapi, selain menoleh ke jendela yang tertutup dan sama sekali tiada menarik dipandang. "Jihan, tolong maafkan aku. Semuanya begitu mendadak, aku hanya tidak tahu kasus yang kutangani itu bisa demikian rumit." "Tapi, Kakak pergi sangat lama!" Dia menengok demi menghardik pria di sebelahnya. "Kau sedang marah atau ngambek? Aku tidak bisa membedakannya, dua-duanya tetap menggemaskan di mataku. Bagaimana, ya?!" "Kak! Jangan menyesal jika kemarahanku sungguhan datang!" "Hei, mana boleh begitu. Aku sudah seminggu tidak melihatmu, tahu tidak seberapa besar rasa rinduku?" "Tidak, aku bukan anak kecil lagi. Aku tidak semudah itu untuk termakan rayuan Kakak." "Jihan ..." "Tidak!" "Peri manis ..." "Aku t
Penghujung minggu ini, dilewati Juna untuk mengawasi pemindahan semua perabotan yang ada di kamarnya. Minggu lalu rencana memang sudah ada, demi melenyapkan saksi mati serta sisa-sisa peristiwa memalukan yang sempat berlangsung. Berat sekali jika harus menerima dampak buruknya secara terus-menerus. Tak jarang dia dihantui mimpi-mimpi serupa, mengusik kenyamanan di waktu tidur. Lalu, ketika kelopak mata terjaga, maka yang dia temui hanya goresan dalam terhadap harga dirinya oleh tajam pengkhianatan. Harga diri, Juna Janendra tidak akan pernah terima kejatuhan terendah demikian. "Tuan, barang-barang ini mau ditaruh di mana?" "Saya serahkan pada, Bibi. Mau dibuang, dibakar atau diberikan ke orang lain, Saya tidak keberatan, asalkan disingkirkan dari pandangan Saya. Kita harus mensucikan kamar ini, Bi. Tidak boleh ada keburukan tertinggal, agar cahaya yang menaunginya pun tidak hilang." "Tuan pasti bisa melaluinya, tetaplah yakin. Orang baik selalu menemukan kebahagiaan di mana pun."
"Jihan?!" "Kak—" "Aish, kenapa baru sekarang kau datang? Tidak melihatmu selama dua minggu, aku jadi merindukan ocehanmu." Pernyataan itu memancing rasa geli Daniel, dia membuang muka cuma untuk menutupi tawanya. Lain hal terhadap Jihan yang kini mencebik cemberut. "Jangan katakan itu di depan Daniel, Kak! Dia suka sekali mengejekku." Tapi, mukanya yang merengut itu sungguh manis. Bukannya berhenti, Daniel kini justru terang-terangan menertawainya. "Itu karena kau sangat lucu, siapa yang tidak akan senang hanya dengan memandang perubahan ekspresimu? Menggemaskan!" Daniel pun mengangguk, mustahil menyangkal fakta yang memang menjadi perihal paling disukai olehnya. "Ayo, kalian duduklah dulu. Aku ambilkan minum di belakang," kata Kirana sembari menarik pelan pergelangan Jihan, menuntun si gadis manis ke meja tunggu di sudut ruangan. Usai mengunjungi kedai es krim favorit mereka, Daniel pun langsung mengantar Jihan ke butik yang menjadi persinggahannya semenjak dua tahun menekun
"Dia tidak bersedia datang, sebab masalahmu belum dapat ditangani. Percuma memaksakan sidang dengan kondisi istrimu yang sedang hamil. Justru kau bakal dicap buruk oleh pihak pengadilan." "Apa sulitnya mengadakan pertemuan? Aku hanya ingin membicarakan masalah ini secara khusus dengan pengacara terkait. Jalan atau tidak prosesnya, aku siap mengikuti prosedur. Kau datang ke sini tanpa jawaban yang kumau." "Pengacara Tommy tidak dapat memenuhi panggilanmu di tengah kasus yang dia tangani. Membutuhkan konsentrasi penuh, jika dia hendak memenangkan kliennya kali ini. Tidak semua mau menampung kasus penganiayaan dalam rumah tangga berujung perpisahan, apalagi wanitalah korbannya. Dia mengatakan fakta tersebut padaku. Jadi, secara tak langsung dia memintamu menunggu. Tetapi, kau boleh mencari pengacara lain andai merasa perlu terburu-buru." "Alternatif lain?!" "Ada. Hanya saja, aku merekomendasikan Pengacara Tommy. Dia tidak melibatkan orang ke tiga untuk merusak analisanya. Kau tahu se
Remot TV berulang kali ditekan, terus mengganti channel yang sebenarnya sama sekali tidak dia minati. Juna berpangku dagu, menatap datar pergeseran tayangan di depan dia. Tujuannya hendak menguji unit terbaru yang mereka luncurkan. Tetapi, justru beginilah kondisinya, acuh tak acuh terhadap tanggung jawab. "Dua kali pertemuan. Pertama, aku berpikir dia gadis serampangan dan suka mengumpat. Dia jelek, berantakan, berisik, sangat bukan seleraku. Tapi, aku mengagumi sisi percaya dirinya. Dia bahkan tidak malu, meski wajahnya cemong karena riasannya luntur." Juna Janendra mulai mengada-ada. Pernyataan tadi lepas dari kualifikasi daftar yang perlu diteliti. Di permukaan meja, ada selembar poin-poin spesifikasi dari jenis Jeelc Smart TV S1013 Ultra Slim, selaku tipe teranyar dari produk yang siap diumumkan tadi. Dan dia justru mengoceh untuk perkara tak bersangkutan. "Aspek teknis dan non teknis meliputi kinerja perangkat dan sistem penyiaran multipleks—kemarin Jihan begitu berbeda. Dia
Begitu perkuliahan usai, Jihan mengasingkan diri ke taman di samping kantor jurusan. Dengan sepasang earphone di telinga, dia memutar daftar lagu pada ipod miliknya sekalian melatih vokal untuk dia tampil malam nanti. Someone like you by Adele, itulah judul lagu lengkap nama penyanyi asli yang rencananya akan dia tampilkan di panggung. Jihan suka ketenangan di sela-sela berlatih, sehingga tak jarang dia menghilang secara tiba-tiba dari kelas begitu dosen yang mengajar sudah pergi lebih dahulu. Di sisi lain teman-teman terdekatnya akan kebingungan mencari keberadaan dia. Tidak untuk saat ini agaknya di mana dua orang mahasiswa tampak diam-diam menghampiri di belakang. Mereka bersekongkol agar tidak menimbulkan keributan sekecil apapun, biar mereka tahu Jihan mungkin juga tidak akan mendengarnya. "Dave, jauhkan tanganmu!" Si pemuda yang disebut bergeming, masih menempelkan telapaknya di kelopak mata Jihan. "Lepas, atau aku marah padamu!" ancam si gadis manis. "Tidak asyik! Aku ingi