"Jihan?!" "Kak—" "Aish, kenapa baru sekarang kau datang? Tidak melihatmu selama dua minggu, aku jadi merindukan ocehanmu." Pernyataan itu memancing rasa geli Daniel, dia membuang muka cuma untuk menutupi tawanya. Lain hal terhadap Jihan yang kini mencebik cemberut. "Jangan katakan itu di depan Daniel, Kak! Dia suka sekali mengejekku." Tapi, mukanya yang merengut itu sungguh manis. Bukannya berhenti, Daniel kini justru terang-terangan menertawainya. "Itu karena kau sangat lucu, siapa yang tidak akan senang hanya dengan memandang perubahan ekspresimu? Menggemaskan!" Daniel pun mengangguk, mustahil menyangkal fakta yang memang menjadi perihal paling disukai olehnya. "Ayo, kalian duduklah dulu. Aku ambilkan minum di belakang," kata Kirana sembari menarik pelan pergelangan Jihan, menuntun si gadis manis ke meja tunggu di sudut ruangan. Usai mengunjungi kedai es krim favorit mereka, Daniel pun langsung mengantar Jihan ke butik yang menjadi persinggahannya semenjak dua tahun menekun
"Dia tidak bersedia datang, sebab masalahmu belum dapat ditangani. Percuma memaksakan sidang dengan kondisi istrimu yang sedang hamil. Justru kau bakal dicap buruk oleh pihak pengadilan." "Apa sulitnya mengadakan pertemuan? Aku hanya ingin membicarakan masalah ini secara khusus dengan pengacara terkait. Jalan atau tidak prosesnya, aku siap mengikuti prosedur. Kau datang ke sini tanpa jawaban yang kumau." "Pengacara Tommy tidak dapat memenuhi panggilanmu di tengah kasus yang dia tangani. Membutuhkan konsentrasi penuh, jika dia hendak memenangkan kliennya kali ini. Tidak semua mau menampung kasus penganiayaan dalam rumah tangga berujung perpisahan, apalagi wanitalah korbannya. Dia mengatakan fakta tersebut padaku. Jadi, secara tak langsung dia memintamu menunggu. Tetapi, kau boleh mencari pengacara lain andai merasa perlu terburu-buru." "Alternatif lain?!" "Ada. Hanya saja, aku merekomendasikan Pengacara Tommy. Dia tidak melibatkan orang ke tiga untuk merusak analisanya. Kau tahu se
Remot TV berulang kali ditekan, terus mengganti channel yang sebenarnya sama sekali tidak dia minati. Juna berpangku dagu, menatap datar pergeseran tayangan di depan dia. Tujuannya hendak menguji unit terbaru yang mereka luncurkan. Tetapi, justru beginilah kondisinya, acuh tak acuh terhadap tanggung jawab. "Dua kali pertemuan. Pertama, aku berpikir dia gadis serampangan dan suka mengumpat. Dia jelek, berantakan, berisik, sangat bukan seleraku. Tapi, aku mengagumi sisi percaya dirinya. Dia bahkan tidak malu, meski wajahnya cemong karena riasannya luntur." Juna Janendra mulai mengada-ada. Pernyataan tadi lepas dari kualifikasi daftar yang perlu diteliti. Di permukaan meja, ada selembar poin-poin spesifikasi dari jenis Jeelc Smart TV S1013 Ultra Slim, selaku tipe teranyar dari produk yang siap diumumkan tadi. Dan dia justru mengoceh untuk perkara tak bersangkutan. "Aspek teknis dan non teknis meliputi kinerja perangkat dan sistem penyiaran multipleks—kemarin Jihan begitu berbeda. Dia
Begitu perkuliahan usai, Jihan mengasingkan diri ke taman di samping kantor jurusan. Dengan sepasang earphone di telinga, dia memutar daftar lagu pada ipod miliknya sekalian melatih vokal untuk dia tampil malam nanti. Someone like you by Adele, itulah judul lagu lengkap nama penyanyi asli yang rencananya akan dia tampilkan di panggung. Jihan suka ketenangan di sela-sela berlatih, sehingga tak jarang dia menghilang secara tiba-tiba dari kelas begitu dosen yang mengajar sudah pergi lebih dahulu. Di sisi lain teman-teman terdekatnya akan kebingungan mencari keberadaan dia. Tidak untuk saat ini agaknya di mana dua orang mahasiswa tampak diam-diam menghampiri di belakang. Mereka bersekongkol agar tidak menimbulkan keributan sekecil apapun, biar mereka tahu Jihan mungkin juga tidak akan mendengarnya. "Dave, jauhkan tanganmu!" Si pemuda yang disebut bergeming, masih menempelkan telapaknya di kelopak mata Jihan. "Lepas, atau aku marah padamu!" ancam si gadis manis. "Tidak asyik! Aku ingi
"Ya ampun, Kak! Jangan salahkan aku karena sekarang benar-benar ketergantungan padamu. Aku mulai kesal dan merasa kerepotan sendiri jika tidak ada kau yang mengantarku. Bagaimana ini?! Tapi, kehadiranmu itu memang membuat hidupku jadi lebih mudah—semoga pekerjaanmu lancar. Kau selalu pintar menangani kasus-kasus itu 'kan? Mereka punya alasan kuat untuk memanggil Daniel Wilman si pengacara kondang." Itu hanya cara si gadis manis untuk mengusir kebosanannya di kursi penumpang. Beruntung kali ini dia tidak terlambat. Bekerja di kafe Tuan Beno, sedikit demi sedikit dapat mengubah kebiasaannya sebagai salah satu pemenang di pemilihan orang-orang yang sering telat dalam segala hal, andai ajang tersebut sungguhan ada. Sosok Daniel seakan telah melekat di sisi Jihan Pitaloka. Si jangkung nan rupawan kini absen dari kesibukannya sebagai sopir pribadi si gadis manis. Tentu dia tidak keberatan disebut demikian ketika pengajuan diri murni kehendaknya pribadi. Dia hanya akan puas bila dapat meli
"Aku benar-benar tidak berpikir bakal semudah ini menerima tawaranmu untuk mengantarku pulang." Suara lembut Jihan memecah keheningan di dalam mobil. Jalanan lengang pun turut menambah sepinya suasana malam. "Anggap saja sekalian perkenalan ulang. Awal pertemuan kita kurang baik kesannya. Dan di beberapa kesempatan lain, kita juga tidak bisa bicara dengan cara yang tepat." Juna menyahut santai sembari kedua tangannya tetap fokus pada roda setir. "Kau memang selalu berkunjung ke kedai Paman Beno, ya?" "Bisa dibilang begitu. Tetapi, aku juga cukup penasaran dengan pujian Paman Beno mengenai penampilanmu saat bernyanyi. Dan sejak kapan kalian jadi lebih akrab? Aku masih ingat bagaimana canggungnya dirimu memanggil dia, Tuan Beno." "Aku yang memintanya langsung. Karena kupikir Paman Beno mirip mendiang ayahku. Ayahku juga tampan, lembut setiap kali berbicara dan dia selalu mendukung apapun yang ingin kulakukan." "Dia beruntung memiliki putri sebaik dirimu." Pernyataan tersebut sonta
Ada yang berbeda dari ekspresi Juna di pagi ini. Dia tampak segar, begitupun wajahnya yang bersinar cerah. Senyuman tak henti-henti terpatri di bibirnya, selagi dia duduk memutar-mutar kursi sembari merenungkan entah apa. "Kau jadi 'kan membawa satu set Jeelc Smart TV S1013 untuk Paman Beno?!" "Iya, sore ini rencananya. Sudah disiapkan?!" "Tinggal kau angkut, aku menitipkannya di meja resepsionis." "Ya sudah, tolong ingatkan lagi ya sore nanti." "Omong-omong, mukamu lentur hari ini. Tidurmu sudah nyenyak?!" usai mengangguk, Kenny pun menodongnya dengan satu pertanyaan yang sedari dia masuk telah mengundang rasa penasaran. "Dianggap begitu juga tidak masalah kurasa. Aku senang, meski sulit mengutarakan alasannya padamu. Aku sendiri bingung apa yang membuatku jadi begini, tapi bersyukur saja karena sedikit kenangan buruk mulai terabaikan di pikiranku." "Kemarin kau ke kedai Paman Beno?!" "Iya." "Jihan di sana?" "Dia menyanyi sangat bagus. Suaranya sungguh membuatku bungkam, aku
"Kau tampil semalam ini, jam berapa lagi baru bisa pulang?" "Biasanya pukul sebelas, tapi pernah juga hampir lewat dini hari. Tergantung manajer bar sebenarnya. Aku akan pergi setelah dia membayarku." "Itukah alasanmu berusaha sangat keras, walau harus menggadaikan keamanan diri? Sebab mereka memberi upah di hari yang sama, begitu?" "Jumlahnya juga lumayan, malah sebagian besar biaya kuliahku berasal dari situ." Detik berikutnya Juna mengerang panjang, bingung untuk apa yang cocok dia katakan sebagai respons. "Ya, ada dampak dari setiap nilai tinggi. Kau gadis pemberani, nekad menentang kemungkinan ancaman yang datang. Gadis muda berkeliaran seorang diri, dengan pakaian bagus dan wajah menarik—kuharap kau selalu dalam situasi aman, Jihan." "Terima kasih." Senyumnya terbaca cantik di pandangan Juna, sampai dia sendiri pun turut melengkungkan bibir tipisnya. "Berapa lama kau menyanyi?!" "Seperti biasa, tiga lagu untuk setiap kehadiranku. Tetapi, bisa sampai satu jam lebih setela