Hingga tengah hari Juna seakan kehilangan konsentrasinya. Yang dia lakukan hanyalah menggulir layar tablet di permukaan meja, memantau produk-produk elektronik keluaran terbaru di pasaran, terutama barang produksi perusahaan rivalnya. Sulit untuk berkonsentrasi dengan perubahan suasana hati juga isi pikiran yang bercabang ketika akalnya dipenuhi keping-keping memori di antara dia dan si gadis manis. Sudah berhari-hari belakangan hal demikian menjadi hobinya. Juna mendesah panjang berulang kali, kendati fisiknya tidak segitu hebatnya merasakan lelah. Dorongan hati mendesak dirinya untuk selalu berdekatan dengan si gadis manis. Tetapi, dia masih memiliki kendali terhadap kewarasan yang hendak melenceng. Keberadaan Nayla dan pernikahan mereka ialah pencegah tindakan tergesa-gesa. Dia cukup bijak menyesuaikan keinginan pribadi terhadap fakta dan situasi, menjauhkan diri dari kesulitan lain sampai permasalahan rumah tangganya bisa terselesaikan sesuai rencana. "Kehamilan Nayla berdampak
Jihan kedapatan meremas-remas tangannya yang mulai terasa dingin setelah ia mengintip ke ballroom dari ruangan tempat dirinya tengah mempersiapkan diri. Gaun indah rancangan Kirana sudah membalut raganya dengan pas, seakan gaun itu memang tercipta khusus untuknya. Dia tampak cantik, sungguh memukau dilengkapi riasan natural di wajahnya. Meski penampilannya nyaris sempurna, entah kenapa rasa waswas tetap menghantui pikiran. Dia kontan mendesah panjang bertepatan pandang menangkap presensi Kirana menghampiri. "Kak Kirana, aku belum pernah segini gugupnya. Kau lihat 'kan tamu-tamu di sana?! Mereka semua dari kalangan atas, elegan serta memakai pakaian mewah. Aku cuma gadis biasa, apa jadinya andai mereka tahu siapa yang tampil di hadapan mereka nanti?! Aduh, Kak ... aku harus bagaimana?" sampai dia sedikit berjingkrak-jingkrak, merengek memegangi lengan wanita di sebelahnya. "Jihan Pitaloka yang kukenal adalah gadis luar biasa, benar 'kan?! Kau selalu bisa menaklukkan ketakutan terhad
Juna membiarkan Nayla berada di belakangnya di saat dia sendiri memelankan langkah seraya mengikuti ke mana arah pantauan berpasang-pasang mata para undangan tertuju. Objek memukau sukses merebut sebagian perhatian orang-orang di sana. Gemulainya Jihan berjalan diiringi senyum cantik terpancar di paras manisnya. Tak urung Juna refleks jua terperangah akan sosoknya yang indah. Dia laksana putri memikat hati, terus menunduk di sepanjang tungkai menapaki lantai marmer menuju panggung. Sesekali melirik ke kiri di mana dua raga seumpama pengawal siap mengantarnya hingga selamat ke tujuan. Sekurangnya dia aman dan bisa menurunkan sedikit demam panggung yang mengusik konsentrasi. Penampilan si gadis manis kali ini berbeda dari hari-hari rutin dia bernyanyi. Gaun sifon berlapis kain tule berkilau menjadikan pesonanya kian bersinar. "Aku tersanjung. Tiba-tiba aku merasa seperti berdampingan dengan bintang baru yang sedang naik daun. Mereka melihatmu, pandangan itu menjelaskan seberapa takj
Perubahan situasinya sungguh mendadak. Rencana yang sudah disiapkan matang-matang oleh Juna justru berantakan sebelum terlaksana. Alih-alih dia sempat menjauhkan keberadaan Nayla. Teguran sejoli pemilik perhelatan membuat posisinya diketahui mereka yang hendak dia hindari. Daniel menengok lekas akibat menemukan interaksi mencolok oleh sang calon pengantin terhadap tamu di salah satu meja VIP. Berujung dia mengajak Kirana, Jihan serta untuk menghampiri meja si direktur Janendra. "Kau datang bersama istrimu, kenapa diam saja? Harusnya kau bisa menyapa kami dan duduk bergabung di depan sana." Meja berisi dua kursi tadi ditata ulang menjadi tujuh kursi dengan dua meja berkat tangan gesit seorang pramusaji profesional. "Aku tidak melihat kalian di antara keramaian yang sibuk ini, Daniel. Syukurlah pandanganmu jeli, sehingga kita bisa berkumpul untuk bersulang. Kebetulan yang bagus, bukan? Apalagi calon pengantin kita turut di sini." "Kupikir wajib untuk menghabiskan waktu sebentar di
Tiada pembicaraan yang terjadi meskipun mereka berdua berada di mobil yang sama. Sunyi, hanya suara alunan lagu yang cukup lawas yang mendominasi suasana. Juna dan Nayla bagaikan kedua orang asing kendati masih terikat status pernikahan. "Ehm, bagaimana kabarmu?" untuk membuang sepi Nayla mencoba membuka pertanyaan basa-basi. "Sangat baik." Juna menjawab singkat. Jangankan balik bertanya, raut wajahnya pun tak berubah. "Ah, syukurlah." Senyum tipis terukir di bibir si wanita. Meski terkesan ketus, setidaknya sang suami masih mau berbincang dengannya. "Terima kasih karena kau masih mau mengantarku pulang, kukira kau tidak akan peduli lagi." "Aku bukanlah pria bajingan, mau tidak mau aku harus tetap mengantarmu pulang, 'kan?" "Kau memang pria yang baik, sedari awal." Nayla menatap sisi wajah Juna saat dirinya teringat momen di pesta. "Kau terlihat begitu akrab dengan kedua pria yang duduk semeja dengan kita. Siapa mereka?" "Mereka berdua rekanku, yang satunya juga pernah bertemu
"Akhirnya kau datang juga." Baru saja Jihan melangkah masuk ke dalam butik, Kirana sudah menyambutnya di sisi pintu. Wanita cantik nan energik itu tampak sangat bersemangat bertemu dengan si gadis manis. "Aku terlambat setengah jam, maaf. Teman-teman di kampus menahanku. Mereka tidak mengizinkanku pergi jika tanpa mereka. Padahal hari ini jadwal menyanyiku kosong. Perlu usaha agar bisa lolos dari jeratan dua makhluk jahil itu, terutama Si Alien." "Alien?!" "Ya, Dave mirip sekali dengan alien. Dia misterius juga sering kedapatan bertingkah aneh. Tetapi, dia malahan tertawa saat kubilang begitu." "Mereka begitu menyukaimu, hingga memaksa kau tinggal atau membawa serta mereka. Teman yang manis menurutku." Karina tersenyum setelah menggiring si gadis manis ke ruang pribadinya di lantai dua. "Kita tidak akan terburu-buru. Sebenarnya ini cuma semacam bincang-bincang antar teman akrab, kukira kau bersedia." "Tentu saja, apa maksud perkataan Kak Kirana? Seharusnya aku yang minder karena
Perjalanan pulang menjadi alternatif bersantai kecil bagi Juna Janendra. Seringnya dia sengaja mengurangi laju demi mengamati apa yang dapat tertangkap mata di setiap sisi jalan terjangkau. Kali ini seakan dia menemukan hal menarik pembangkit semangat dan kontan menginjak rem jangka posisi mobilnya sudah berdekatan dengan trotoar. Kaca mobil turun ke bawah, menyusul bunyi klakson ringan menyapa rungu si gadis manis. Dia mendongak, tidak bereaksi apa-apa sebelum Juna membuka pintu untuk menunjukkan dirinya. "Kau sedang menunggu bus?" Yang ditanya bergeming, selain menahan tatapan. "Busnya tidak akan ketemu kalau kau cuma menunduk. Bisa jadi satu dua bus sudah lewat begitu saja." "Ah, iya—" "Iya?! Iya untuk apa? Mau pulang tidak?" "Aku menunggu bus di sini." "Aku tahu, maka dari itu aku berhenti untuk memberimu tumpangan. Kelihatannya kau sedang banyak pikiran, konsentrasimu terganggu. Biar kuantar kau pulang, daripada nanti ada oknum-oknum yang berniat mengerjaimu." "Tapi ..."
"Kakak, kau tidak bilang mau datang." Jihan langsung bertanya saat jaraknya dengan si pengacara tampan makin dekat. Daniel sedang duduk di bangku di depan rumah, menunggu kehadirannya dengan kedua lengan menyilang ke dada. "Peri kecil! Kenapa lama sekali? Di sini banyak serangga. Badanku bentol-bentol dibuatnya." "Siapa yang menyuruh Kakak duduk di tempat gelap begitu?! Jangan salahkan aku! Aku bahkan tidak tahu kalau Kakak akan datang ke sini." "Aku tidak bohong, tangan juga wajahku habis digigit nyamuk-nyamuk tak bermoral ini. Lima belas menit lalu mereka masih berterbangan di sekitarku." Dia mengadu sembari menunjukkan ruam-ruam di bagian tubuh yang dia perlihatkan. "Kau bawa apa?" "Masuklah dulu, nanti kau mengeluh lagi karena tidak dipersilakan ke dalam." "Peri kecil, hal-hal seperti itu mustahil terulang lagi sekarang. Aku pria dewasa dan kau seorang gadis dewasa. Buat apa kita memutar kembali kebiasaan di masa remaja?" "Buktinya Kakak masih memanggilku dengan sebutan Peri