Tiada pembicaraan yang terjadi meskipun mereka berdua berada di mobil yang sama. Sunyi, hanya suara alunan lagu yang cukup lawas yang mendominasi suasana. Juna dan Nayla bagaikan kedua orang asing kendati masih terikat status pernikahan. "Ehm, bagaimana kabarmu?" untuk membuang sepi Nayla mencoba membuka pertanyaan basa-basi. "Sangat baik." Juna menjawab singkat. Jangankan balik bertanya, raut wajahnya pun tak berubah. "Ah, syukurlah." Senyum tipis terukir di bibir si wanita. Meski terkesan ketus, setidaknya sang suami masih mau berbincang dengannya. "Terima kasih karena kau masih mau mengantarku pulang, kukira kau tidak akan peduli lagi." "Aku bukanlah pria bajingan, mau tidak mau aku harus tetap mengantarmu pulang, 'kan?" "Kau memang pria yang baik, sedari awal." Nayla menatap sisi wajah Juna saat dirinya teringat momen di pesta. "Kau terlihat begitu akrab dengan kedua pria yang duduk semeja dengan kita. Siapa mereka?" "Mereka berdua rekanku, yang satunya juga pernah bertemu
"Akhirnya kau datang juga." Baru saja Jihan melangkah masuk ke dalam butik, Kirana sudah menyambutnya di sisi pintu. Wanita cantik nan energik itu tampak sangat bersemangat bertemu dengan si gadis manis. "Aku terlambat setengah jam, maaf. Teman-teman di kampus menahanku. Mereka tidak mengizinkanku pergi jika tanpa mereka. Padahal hari ini jadwal menyanyiku kosong. Perlu usaha agar bisa lolos dari jeratan dua makhluk jahil itu, terutama Si Alien." "Alien?!" "Ya, Dave mirip sekali dengan alien. Dia misterius juga sering kedapatan bertingkah aneh. Tetapi, dia malahan tertawa saat kubilang begitu." "Mereka begitu menyukaimu, hingga memaksa kau tinggal atau membawa serta mereka. Teman yang manis menurutku." Karina tersenyum setelah menggiring si gadis manis ke ruang pribadinya di lantai dua. "Kita tidak akan terburu-buru. Sebenarnya ini cuma semacam bincang-bincang antar teman akrab, kukira kau bersedia." "Tentu saja, apa maksud perkataan Kak Kirana? Seharusnya aku yang minder karena
Perjalanan pulang menjadi alternatif bersantai kecil bagi Juna Janendra. Seringnya dia sengaja mengurangi laju demi mengamati apa yang dapat tertangkap mata di setiap sisi jalan terjangkau. Kali ini seakan dia menemukan hal menarik pembangkit semangat dan kontan menginjak rem jangka posisi mobilnya sudah berdekatan dengan trotoar. Kaca mobil turun ke bawah, menyusul bunyi klakson ringan menyapa rungu si gadis manis. Dia mendongak, tidak bereaksi apa-apa sebelum Juna membuka pintu untuk menunjukkan dirinya. "Kau sedang menunggu bus?" Yang ditanya bergeming, selain menahan tatapan. "Busnya tidak akan ketemu kalau kau cuma menunduk. Bisa jadi satu dua bus sudah lewat begitu saja." "Ah, iya—" "Iya?! Iya untuk apa? Mau pulang tidak?" "Aku menunggu bus di sini." "Aku tahu, maka dari itu aku berhenti untuk memberimu tumpangan. Kelihatannya kau sedang banyak pikiran, konsentrasimu terganggu. Biar kuantar kau pulang, daripada nanti ada oknum-oknum yang berniat mengerjaimu." "Tapi ..."
"Kakak, kau tidak bilang mau datang." Jihan langsung bertanya saat jaraknya dengan si pengacara tampan makin dekat. Daniel sedang duduk di bangku di depan rumah, menunggu kehadirannya dengan kedua lengan menyilang ke dada. "Peri kecil! Kenapa lama sekali? Di sini banyak serangga. Badanku bentol-bentol dibuatnya." "Siapa yang menyuruh Kakak duduk di tempat gelap begitu?! Jangan salahkan aku! Aku bahkan tidak tahu kalau Kakak akan datang ke sini." "Aku tidak bohong, tangan juga wajahku habis digigit nyamuk-nyamuk tak bermoral ini. Lima belas menit lalu mereka masih berterbangan di sekitarku." Dia mengadu sembari menunjukkan ruam-ruam di bagian tubuh yang dia perlihatkan. "Kau bawa apa?" "Masuklah dulu, nanti kau mengeluh lagi karena tidak dipersilakan ke dalam." "Peri kecil, hal-hal seperti itu mustahil terulang lagi sekarang. Aku pria dewasa dan kau seorang gadis dewasa. Buat apa kita memutar kembali kebiasaan di masa remaja?" "Buktinya Kakak masih memanggilku dengan sebutan Peri
Juna Janendra tersenyum tipis ketika kakinya diayun melewati ruangan sekretaris eksekutifnya, sekadar sapaan kecil kepada wanita itu. Ini masih pukul dua siang, dan dia berencana pulang. Keberhasilan penjualan untuk produk terbaru yang mereka luncurkan menjadi satu dari sekian alasan dia hendak sedikit berleha-leha. Setidaknya sampai dia disibukkan lagi oleh projek terkini juga berkas-berkas pengajuan lainnya. Bahkan Kenny pun tak berkata apa-apa saat dia mengajukan permohonan agar dapat keluar lebih awal dari ketentuan jam pulang kantor biasanya. Embusan napas si direktur mengudara tenang, mendadak sudut-sudut bibirnya tertarik perlahan saat akalnya secara ringan memutar setiap adegan kebersamaan dia dan si gadis manis. Dia begitu menyukai keberadaan Jihan di sekitarnya, terutama sejak pertama kali telinganya mendengar nyanyian merdu si tokoh utama dalam bayang-bayangnya. Usai melirik spion kanan dan kiri, roda setir pun diputar sebagai permulaan mobil sedannya meninggalkan halama
"Maaf, ya. Aku tidak pernah segini malu cuma gara-gara lapar. Bisa-bisanya perutku berbunyi di mobilmu. Aku benar-benar minta maaf, Jun. Malu sekali, ya ampun!" Sedang, yang dituju justru senyam-senyum sendirian di situ. Cukup terhibur oleh sikap terbuka si gadis manis, terlebih ketika dia menepuk main-main dahinya. "Aku tidak mempermasalahkannya. Apa yang bisa dilakukan ketika tubuh kita menunjukkan refleksnya sendiri? Itu 'kan respons alami." "Kesannya seperti aku sengaja memaksamu mentraktir makan." Seringai sumbang di rautnya mendorong si direktur untuk tertawa ringan, tawa yang Jihan sadari menjelaskan seberapa elok wajah si pria ini dipandang. Sejenak tertegun, sebelum kepalanya ditundukkan dini dia mendapatkan satu tatapan intim. "Tingkahmu sangat menghiburku, Jihan. Aku tidak pernah bertemu gadis selucu dirimu. Wajahmu, tidak bosan memandangnya, cantik dan manis. Ayo, dimakan! Jangan sampai perutmu mengamuk untuk yang ke dua kalinya." Pernyataan tersebut berhasil menarik
"Kak Kirana, aku gugup sekali. Bagaimana ini?!" Si gadis manis mondar-mandir seraya meremas jemari yang saling bertautan. "Aku merasa akan berada di ruang eksekusi sebentar lagi." "Jangan cemas begitu! Kita semua sudah geladi kemarin. Kau kelihatan mampu menguasai teknik berjalan dan pengolahan ekspresi." Sedikitnya Kirana turut menuai ketegangan, meski tak sama besar. Lalu, pernyataannya gagal menenangkan kegelisahan yang dialami si gadis manis. "Oh, Tuhan! Apakah begini akhir riwayatku?" Di situ Kirana menghampirinya lebih dekat, menyapu punggungnya bertepatan dia menghentikan langkah. "Aku takut mempermalukanmu, Kak. Segalanya terlalu mepet, untuk memperkuat kepercayaan diri pun aku tak sempat." "Jihan ..." panggilan ini bernada serius, sampai si gadis manis refleks membagi atensinya. "Dengan kesediaan dirimu pun sudah membuatku sangat bersyukur. Coba bayangkan andai kau tidak menyanggupi permintaanku ini? Mungkin pikiranku jauh berkecamuk darimu. Aku memutuskan berdasarkan pe
Begitu hebat dampak keberadaan Jihan Pitaloka bagi seorang Juna Janendra. Ketika sepanjang usianya tiada pernah menginjakkan kaki ke pagelaran busana demikian, kali pertama dia lakukan demi si gadis manis. Duduk di barisan VIP, dia akan dapat menyaksikan langsung lenggak-lenggok para model di atas cat walk. Sikap tenangnya berlawanan dengan kegugupan yang coba dia tutupi. Memangku sebelah kaki dan berpura-pura sibuk pada gawai di genggaman, tegasnya suara MC yang dilantangkan mikrofon sedikit memukul ke gendang telinga. Juna mengernyit sesaat hanya untuk membiasakan pendengarannya di tengah keramaian sekitar. Di samping kanan dan kiri ditemui tamu-tamu yang berasal dari golongan elit. Juna tidak buta untuk menebak berapa angka yang mewakili penampilan mereka, mengenai branded di kalangan kelas atas semacam dia adalah pemahaman umum. Dia tidak akan terpengaruh dengan berubah heran atau terkagum-kagum terhadap mereka. Namun, memperhatikan satu-persatu sekelilingnya cukup baik membuat d