Ada yang berbeda dari ekspresi Juna di pagi ini. Dia tampak segar, begitupun wajahnya yang bersinar cerah. Senyuman tak henti-henti terpatri di bibirnya, selagi dia duduk memutar-mutar kursi sembari merenungkan entah apa. "Kau jadi 'kan membawa satu set Jeelc Smart TV S1013 untuk Paman Beno?!" "Iya, sore ini rencananya. Sudah disiapkan?!" "Tinggal kau angkut, aku menitipkannya di meja resepsionis." "Ya sudah, tolong ingatkan lagi ya sore nanti." "Omong-omong, mukamu lentur hari ini. Tidurmu sudah nyenyak?!" usai mengangguk, Kenny pun menodongnya dengan satu pertanyaan yang sedari dia masuk telah mengundang rasa penasaran. "Dianggap begitu juga tidak masalah kurasa. Aku senang, meski sulit mengutarakan alasannya padamu. Aku sendiri bingung apa yang membuatku jadi begini, tapi bersyukur saja karena sedikit kenangan buruk mulai terabaikan di pikiranku." "Kemarin kau ke kedai Paman Beno?!" "Iya." "Jihan di sana?" "Dia menyanyi sangat bagus. Suaranya sungguh membuatku bungkam, aku
"Kau tampil semalam ini, jam berapa lagi baru bisa pulang?" "Biasanya pukul sebelas, tapi pernah juga hampir lewat dini hari. Tergantung manajer bar sebenarnya. Aku akan pergi setelah dia membayarku." "Itukah alasanmu berusaha sangat keras, walau harus menggadaikan keamanan diri? Sebab mereka memberi upah di hari yang sama, begitu?" "Jumlahnya juga lumayan, malah sebagian besar biaya kuliahku berasal dari situ." Detik berikutnya Juna mengerang panjang, bingung untuk apa yang cocok dia katakan sebagai respons. "Ya, ada dampak dari setiap nilai tinggi. Kau gadis pemberani, nekad menentang kemungkinan ancaman yang datang. Gadis muda berkeliaran seorang diri, dengan pakaian bagus dan wajah menarik—kuharap kau selalu dalam situasi aman, Jihan." "Terima kasih." Senyumnya terbaca cantik di pandangan Juna, sampai dia sendiri pun turut melengkungkan bibir tipisnya. "Berapa lama kau menyanyi?!" "Seperti biasa, tiga lagu untuk setiap kehadiranku. Tetapi, bisa sampai satu jam lebih setela
Hingga tengah hari Juna seakan kehilangan konsentrasinya. Yang dia lakukan hanyalah menggulir layar tablet di permukaan meja, memantau produk-produk elektronik keluaran terbaru di pasaran, terutama barang produksi perusahaan rivalnya. Sulit untuk berkonsentrasi dengan perubahan suasana hati juga isi pikiran yang bercabang ketika akalnya dipenuhi keping-keping memori di antara dia dan si gadis manis. Sudah berhari-hari belakangan hal demikian menjadi hobinya. Juna mendesah panjang berulang kali, kendati fisiknya tidak segitu hebatnya merasakan lelah. Dorongan hati mendesak dirinya untuk selalu berdekatan dengan si gadis manis. Tetapi, dia masih memiliki kendali terhadap kewarasan yang hendak melenceng. Keberadaan Nayla dan pernikahan mereka ialah pencegah tindakan tergesa-gesa. Dia cukup bijak menyesuaikan keinginan pribadi terhadap fakta dan situasi, menjauhkan diri dari kesulitan lain sampai permasalahan rumah tangganya bisa terselesaikan sesuai rencana. "Kehamilan Nayla berdampak
Jihan kedapatan meremas-remas tangannya yang mulai terasa dingin setelah ia mengintip ke ballroom dari ruangan tempat dirinya tengah mempersiapkan diri. Gaun indah rancangan Kirana sudah membalut raganya dengan pas, seakan gaun itu memang tercipta khusus untuknya. Dia tampak cantik, sungguh memukau dilengkapi riasan natural di wajahnya. Meski penampilannya nyaris sempurna, entah kenapa rasa waswas tetap menghantui pikiran. Dia kontan mendesah panjang bertepatan pandang menangkap presensi Kirana menghampiri. "Kak Kirana, aku belum pernah segini gugupnya. Kau lihat 'kan tamu-tamu di sana?! Mereka semua dari kalangan atas, elegan serta memakai pakaian mewah. Aku cuma gadis biasa, apa jadinya andai mereka tahu siapa yang tampil di hadapan mereka nanti?! Aduh, Kak ... aku harus bagaimana?" sampai dia sedikit berjingkrak-jingkrak, merengek memegangi lengan wanita di sebelahnya. "Jihan Pitaloka yang kukenal adalah gadis luar biasa, benar 'kan?! Kau selalu bisa menaklukkan ketakutan terhad
Juna membiarkan Nayla berada di belakangnya di saat dia sendiri memelankan langkah seraya mengikuti ke mana arah pantauan berpasang-pasang mata para undangan tertuju. Objek memukau sukses merebut sebagian perhatian orang-orang di sana. Gemulainya Jihan berjalan diiringi senyum cantik terpancar di paras manisnya. Tak urung Juna refleks jua terperangah akan sosoknya yang indah. Dia laksana putri memikat hati, terus menunduk di sepanjang tungkai menapaki lantai marmer menuju panggung. Sesekali melirik ke kiri di mana dua raga seumpama pengawal siap mengantarnya hingga selamat ke tujuan. Sekurangnya dia aman dan bisa menurunkan sedikit demam panggung yang mengusik konsentrasi. Penampilan si gadis manis kali ini berbeda dari hari-hari rutin dia bernyanyi. Gaun sifon berlapis kain tule berkilau menjadikan pesonanya kian bersinar. "Aku tersanjung. Tiba-tiba aku merasa seperti berdampingan dengan bintang baru yang sedang naik daun. Mereka melihatmu, pandangan itu menjelaskan seberapa takj
Perubahan situasinya sungguh mendadak. Rencana yang sudah disiapkan matang-matang oleh Juna justru berantakan sebelum terlaksana. Alih-alih dia sempat menjauhkan keberadaan Nayla. Teguran sejoli pemilik perhelatan membuat posisinya diketahui mereka yang hendak dia hindari. Daniel menengok lekas akibat menemukan interaksi mencolok oleh sang calon pengantin terhadap tamu di salah satu meja VIP. Berujung dia mengajak Kirana, Jihan serta untuk menghampiri meja si direktur Janendra. "Kau datang bersama istrimu, kenapa diam saja? Harusnya kau bisa menyapa kami dan duduk bergabung di depan sana." Meja berisi dua kursi tadi ditata ulang menjadi tujuh kursi dengan dua meja berkat tangan gesit seorang pramusaji profesional. "Aku tidak melihat kalian di antara keramaian yang sibuk ini, Daniel. Syukurlah pandanganmu jeli, sehingga kita bisa berkumpul untuk bersulang. Kebetulan yang bagus, bukan? Apalagi calon pengantin kita turut di sini." "Kupikir wajib untuk menghabiskan waktu sebentar di
Tiada pembicaraan yang terjadi meskipun mereka berdua berada di mobil yang sama. Sunyi, hanya suara alunan lagu yang cukup lawas yang mendominasi suasana. Juna dan Nayla bagaikan kedua orang asing kendati masih terikat status pernikahan. "Ehm, bagaimana kabarmu?" untuk membuang sepi Nayla mencoba membuka pertanyaan basa-basi. "Sangat baik." Juna menjawab singkat. Jangankan balik bertanya, raut wajahnya pun tak berubah. "Ah, syukurlah." Senyum tipis terukir di bibir si wanita. Meski terkesan ketus, setidaknya sang suami masih mau berbincang dengannya. "Terima kasih karena kau masih mau mengantarku pulang, kukira kau tidak akan peduli lagi." "Aku bukanlah pria bajingan, mau tidak mau aku harus tetap mengantarmu pulang, 'kan?" "Kau memang pria yang baik, sedari awal." Nayla menatap sisi wajah Juna saat dirinya teringat momen di pesta. "Kau terlihat begitu akrab dengan kedua pria yang duduk semeja dengan kita. Siapa mereka?" "Mereka berdua rekanku, yang satunya juga pernah bertemu
"Akhirnya kau datang juga." Baru saja Jihan melangkah masuk ke dalam butik, Kirana sudah menyambutnya di sisi pintu. Wanita cantik nan energik itu tampak sangat bersemangat bertemu dengan si gadis manis. "Aku terlambat setengah jam, maaf. Teman-teman di kampus menahanku. Mereka tidak mengizinkanku pergi jika tanpa mereka. Padahal hari ini jadwal menyanyiku kosong. Perlu usaha agar bisa lolos dari jeratan dua makhluk jahil itu, terutama Si Alien." "Alien?!" "Ya, Dave mirip sekali dengan alien. Dia misterius juga sering kedapatan bertingkah aneh. Tetapi, dia malahan tertawa saat kubilang begitu." "Mereka begitu menyukaimu, hingga memaksa kau tinggal atau membawa serta mereka. Teman yang manis menurutku." Karina tersenyum setelah menggiring si gadis manis ke ruang pribadinya di lantai dua. "Kita tidak akan terburu-buru. Sebenarnya ini cuma semacam bincang-bincang antar teman akrab, kukira kau bersedia." "Tentu saja, apa maksud perkataan Kak Kirana? Seharusnya aku yang minder karena