Begitu perkuliahan usai, Jihan mengasingkan diri ke taman di samping kantor jurusan. Dengan sepasang earphone di telinga, dia memutar daftar lagu pada ipod miliknya sekalian melatih vokal untuk dia tampil malam nanti. Someone like you by Adele, itulah judul lagu lengkap nama penyanyi asli yang rencananya akan dia tampilkan di panggung. Jihan suka ketenangan di sela-sela berlatih, sehingga tak jarang dia menghilang secara tiba-tiba dari kelas begitu dosen yang mengajar sudah pergi lebih dahulu. Di sisi lain teman-teman terdekatnya akan kebingungan mencari keberadaan dia. Tidak untuk saat ini agaknya di mana dua orang mahasiswa tampak diam-diam menghampiri di belakang. Mereka bersekongkol agar tidak menimbulkan keributan sekecil apapun, biar mereka tahu Jihan mungkin juga tidak akan mendengarnya. "Dave, jauhkan tanganmu!" Si pemuda yang disebut bergeming, masih menempelkan telapaknya di kelopak mata Jihan. "Lepas, atau aku marah padamu!" ancam si gadis manis. "Tidak asyik! Aku ingi
"Ya ampun, Kak! Jangan salahkan aku karena sekarang benar-benar ketergantungan padamu. Aku mulai kesal dan merasa kerepotan sendiri jika tidak ada kau yang mengantarku. Bagaimana ini?! Tapi, kehadiranmu itu memang membuat hidupku jadi lebih mudah—semoga pekerjaanmu lancar. Kau selalu pintar menangani kasus-kasus itu 'kan? Mereka punya alasan kuat untuk memanggil Daniel Wilman si pengacara kondang." Itu hanya cara si gadis manis untuk mengusir kebosanannya di kursi penumpang. Beruntung kali ini dia tidak terlambat. Bekerja di kafe Tuan Beno, sedikit demi sedikit dapat mengubah kebiasaannya sebagai salah satu pemenang di pemilihan orang-orang yang sering telat dalam segala hal, andai ajang tersebut sungguhan ada. Sosok Daniel seakan telah melekat di sisi Jihan Pitaloka. Si jangkung nan rupawan kini absen dari kesibukannya sebagai sopir pribadi si gadis manis. Tentu dia tidak keberatan disebut demikian ketika pengajuan diri murni kehendaknya pribadi. Dia hanya akan puas bila dapat meli
"Aku benar-benar tidak berpikir bakal semudah ini menerima tawaranmu untuk mengantarku pulang." Suara lembut Jihan memecah keheningan di dalam mobil. Jalanan lengang pun turut menambah sepinya suasana malam. "Anggap saja sekalian perkenalan ulang. Awal pertemuan kita kurang baik kesannya. Dan di beberapa kesempatan lain, kita juga tidak bisa bicara dengan cara yang tepat." Juna menyahut santai sembari kedua tangannya tetap fokus pada roda setir. "Kau memang selalu berkunjung ke kedai Paman Beno, ya?" "Bisa dibilang begitu. Tetapi, aku juga cukup penasaran dengan pujian Paman Beno mengenai penampilanmu saat bernyanyi. Dan sejak kapan kalian jadi lebih akrab? Aku masih ingat bagaimana canggungnya dirimu memanggil dia, Tuan Beno." "Aku yang memintanya langsung. Karena kupikir Paman Beno mirip mendiang ayahku. Ayahku juga tampan, lembut setiap kali berbicara dan dia selalu mendukung apapun yang ingin kulakukan." "Dia beruntung memiliki putri sebaik dirimu." Pernyataan tersebut sonta
Ada yang berbeda dari ekspresi Juna di pagi ini. Dia tampak segar, begitupun wajahnya yang bersinar cerah. Senyuman tak henti-henti terpatri di bibirnya, selagi dia duduk memutar-mutar kursi sembari merenungkan entah apa. "Kau jadi 'kan membawa satu set Jeelc Smart TV S1013 untuk Paman Beno?!" "Iya, sore ini rencananya. Sudah disiapkan?!" "Tinggal kau angkut, aku menitipkannya di meja resepsionis." "Ya sudah, tolong ingatkan lagi ya sore nanti." "Omong-omong, mukamu lentur hari ini. Tidurmu sudah nyenyak?!" usai mengangguk, Kenny pun menodongnya dengan satu pertanyaan yang sedari dia masuk telah mengundang rasa penasaran. "Dianggap begitu juga tidak masalah kurasa. Aku senang, meski sulit mengutarakan alasannya padamu. Aku sendiri bingung apa yang membuatku jadi begini, tapi bersyukur saja karena sedikit kenangan buruk mulai terabaikan di pikiranku." "Kemarin kau ke kedai Paman Beno?!" "Iya." "Jihan di sana?" "Dia menyanyi sangat bagus. Suaranya sungguh membuatku bungkam, aku
"Kau tampil semalam ini, jam berapa lagi baru bisa pulang?" "Biasanya pukul sebelas, tapi pernah juga hampir lewat dini hari. Tergantung manajer bar sebenarnya. Aku akan pergi setelah dia membayarku." "Itukah alasanmu berusaha sangat keras, walau harus menggadaikan keamanan diri? Sebab mereka memberi upah di hari yang sama, begitu?" "Jumlahnya juga lumayan, malah sebagian besar biaya kuliahku berasal dari situ." Detik berikutnya Juna mengerang panjang, bingung untuk apa yang cocok dia katakan sebagai respons. "Ya, ada dampak dari setiap nilai tinggi. Kau gadis pemberani, nekad menentang kemungkinan ancaman yang datang. Gadis muda berkeliaran seorang diri, dengan pakaian bagus dan wajah menarik—kuharap kau selalu dalam situasi aman, Jihan." "Terima kasih." Senyumnya terbaca cantik di pandangan Juna, sampai dia sendiri pun turut melengkungkan bibir tipisnya. "Berapa lama kau menyanyi?!" "Seperti biasa, tiga lagu untuk setiap kehadiranku. Tetapi, bisa sampai satu jam lebih setela
Hingga tengah hari Juna seakan kehilangan konsentrasinya. Yang dia lakukan hanyalah menggulir layar tablet di permukaan meja, memantau produk-produk elektronik keluaran terbaru di pasaran, terutama barang produksi perusahaan rivalnya. Sulit untuk berkonsentrasi dengan perubahan suasana hati juga isi pikiran yang bercabang ketika akalnya dipenuhi keping-keping memori di antara dia dan si gadis manis. Sudah berhari-hari belakangan hal demikian menjadi hobinya. Juna mendesah panjang berulang kali, kendati fisiknya tidak segitu hebatnya merasakan lelah. Dorongan hati mendesak dirinya untuk selalu berdekatan dengan si gadis manis. Tetapi, dia masih memiliki kendali terhadap kewarasan yang hendak melenceng. Keberadaan Nayla dan pernikahan mereka ialah pencegah tindakan tergesa-gesa. Dia cukup bijak menyesuaikan keinginan pribadi terhadap fakta dan situasi, menjauhkan diri dari kesulitan lain sampai permasalahan rumah tangganya bisa terselesaikan sesuai rencana. "Kehamilan Nayla berdampak
Jihan kedapatan meremas-remas tangannya yang mulai terasa dingin setelah ia mengintip ke ballroom dari ruangan tempat dirinya tengah mempersiapkan diri. Gaun indah rancangan Kirana sudah membalut raganya dengan pas, seakan gaun itu memang tercipta khusus untuknya. Dia tampak cantik, sungguh memukau dilengkapi riasan natural di wajahnya. Meski penampilannya nyaris sempurna, entah kenapa rasa waswas tetap menghantui pikiran. Dia kontan mendesah panjang bertepatan pandang menangkap presensi Kirana menghampiri. "Kak Kirana, aku belum pernah segini gugupnya. Kau lihat 'kan tamu-tamu di sana?! Mereka semua dari kalangan atas, elegan serta memakai pakaian mewah. Aku cuma gadis biasa, apa jadinya andai mereka tahu siapa yang tampil di hadapan mereka nanti?! Aduh, Kak ... aku harus bagaimana?" sampai dia sedikit berjingkrak-jingkrak, merengek memegangi lengan wanita di sebelahnya. "Jihan Pitaloka yang kukenal adalah gadis luar biasa, benar 'kan?! Kau selalu bisa menaklukkan ketakutan terhad
Juna membiarkan Nayla berada di belakangnya di saat dia sendiri memelankan langkah seraya mengikuti ke mana arah pantauan berpasang-pasang mata para undangan tertuju. Objek memukau sukses merebut sebagian perhatian orang-orang di sana. Gemulainya Jihan berjalan diiringi senyum cantik terpancar di paras manisnya. Tak urung Juna refleks jua terperangah akan sosoknya yang indah. Dia laksana putri memikat hati, terus menunduk di sepanjang tungkai menapaki lantai marmer menuju panggung. Sesekali melirik ke kiri di mana dua raga seumpama pengawal siap mengantarnya hingga selamat ke tujuan. Sekurangnya dia aman dan bisa menurunkan sedikit demam panggung yang mengusik konsentrasi. Penampilan si gadis manis kali ini berbeda dari hari-hari rutin dia bernyanyi. Gaun sifon berlapis kain tule berkilau menjadikan pesonanya kian bersinar. "Aku tersanjung. Tiba-tiba aku merasa seperti berdampingan dengan bintang baru yang sedang naik daun. Mereka melihatmu, pandangan itu menjelaskan seberapa takj