Dua bulan bagai dua tahun bagi Juna Janendra. Jika menyangkut perasaan dan cinta, maka seluruh normalisasi makna kata akan berubah menjadi kiasan majas. Tak tahu di mana letak kewarasan, asal kesadaran masih bertahan di dalam raga. Kepulangannya ke Ibu Kota menjadi momen paling menggembirakan baginya. Berada jauh dari sisi sang istri, membuat kebuncahan terus merengek meminta sang penawar. Satu-satunya rembulan indah penghuni singgasana nurani, Nayla Indira.
"Dua belokan lagi, kita melintasi kedai kopi Paman Beno. Mau kutraktir? Anggap saja ini sebagai stimulan awal untuk mendongkrak energimu. Pekerjaan di sana membuat kepalamu sumpek 'kan?""Lebih dari itu, hampir meledak. Kepalaku ini!" katanya sembari menunjuk-nunjuk ke pelipis. "Tapi wajar menurutku, baru satu tahun beroperasi. Kita patut mensyukuri kemampuan mereka dalam mengembangkannya secara konsisten. Kita memilih anggota yang tepat, usia muda tidak membatasi pengalaman.""Kenaikan gaji? Asuransi istimewa? Atau liburan mewah?""Hahaha. Kau ingin perusahaan kita di sana gulung tikar sejak dini?""Omong-omong, aku serius ingin mengajakmu minum kopi. Bisa dibilang, aku agak sedikit memaksa. Ada yang perlu kusampaikan, tapi kurang layak mengatakannya di sini.""Nanti saja, besok kuluangkan waktu untukmu." Sebelah kelopak matanya berkedip, mempermainkan keseriusan Kenny Nathanael yang diam-diam menyimpan sesuatu di benaknya. "Aku merindukan Nayla, kau juga tahu rasanya saat berjauhan dari istri." Lalu, penjelasan sekian datang setelah dia menemukan Kenny terdiam."Aku diprogram untuk melaksanakan perintah 'kan? Kalau begitu aku tidak usah repot-repot menolakmu." Kalimat sekian laksana kelakar yang menggelitik di balik tawa keduanya....Kerinduan kentara memancar dari tatapannya yang tajam, memburu langkah membawa senyum kegembiraan. Sekali melirik kantung kertas di tangan kirinya, berisi oleh-oleh teruntuk istri tercinta."Sayang, aku pulang." Juna berteriak rendah saat tak menemukan keberadaan istrinya sejauh pandangan. Setiap ruang ditelusuri, namun tiada jua dia dapatkan sosok tersebut. Kakinya hendak naik ke anak tangga, melenggang riang menuju kamar guna mengejutkan istri yang dia duga ada di sana.Baru satu anak tangga dijangkau, atensinya menangkap presensi kepala asisten rumah tangga. Si wanita baya tengah mengawasi pelayan muda yang tengah mengelap pigura di dinding di samping tangga, pigura berukuran besar yang membingkai foto pernikahan Juna Janendra. Tungkainya refleks berayun mendekat, menyapa si kepala pelayan lewat keramahan santun."Bibi, apa kabar?""Ya ampun, Tuan muda sudah pulang?! Anda tampak baik, Saya senang bisa melihat Anda kembali." Seringainya begitu ringan ditampilkan kepada siapa saja yang ditemui, terutama orang-orang terdekat dan Juna terbiasa menerima pengakuan positif dari mereka."Saya baru saja tiba, Bi. Di mana Nayla?""Nyonya muda ada di kamarnya, Tuan. Barangkali tertidur." Bibi Siti menuturkan, membalas tak kalah bersahaja. "Selamat datang, Tuan," imbuhnya lagi serupa sambutan, disusul anggukan sepintas oleh si Tuan muda. Jangka Juna menuntun geraknya ke tujuan semula, Bibi Siti turut mengamati ulang kinerja si pelayan muda.Bibir pria itu betah memperlihatkan bahagia, hanya sedikit lagi dan dia dapat mengobati kegundahan batinnya. "Nay, kau di dalam?" gagang pintu ditarik ke bawah, diiringi labium tipisnya mengembang. "Sayang, aku kecewa kau tidak menyambut—NAYLA!"Mendadak hawa berganti senyap menegangkan. Air muka berang menguasai ketegasan di parasnya, Juna murka, amarah mengambil alih akal sehatnya. Tak seorangpun mampu tenang ketika menyaksikan istrinya menungging, mengerang cabul merelakan diri menampung mani pria lain. Wanita itu, istri yang dia rindukan setengah mati kini dalam keadaan telanjang dipenuhi peluh, sangat siap dan damai menerima sentuhan birahi si pria familiar.Buku-buku tangannya memutih, seakan kuku-kukunya ingin mengoyak kulit di telapak. Rahangnya bergetar, selaras air mata menggenang. Juna kalap, kediaman istri dan pria di atas ranjangnya menyulut kobaran api. Kantung-kantung kertas jatuh ke lantai. Juna menerjang ke depan."SAMMY! Kau akan mati!" lantang sekali seruannya di telinga, mengejutkan kesadaran dua tersangka pelaku asusila.Wajahnya memerah padam, menampung timbunan sumpah serapah di sanubari. Nayla kehilangan kendali, wanita ini hanya bisa mematung di tempat, mengabaikan kondisinya yang masih bugil, sedangkan kegaduhan di depan mata pun tak dapat mengundang reaksinya. Dia tercengang."J-juna!" Cicitnya ragu-ragu dengan mata dan mulut menganga. Rasa takut yang kuat terbaca di mimiknya, "Paman—" bisiknya lagi, kali ini menarik selimut demi menutupi badannya yang polos."Kau sudah gila, KEPARAT?! Dia keponakanmu, SAM! DI MANA OTAKMU?!" setiap satu kalimat, turun pula pukulan keras menghantam pria yang nahas adalah paman kandungnya.Nayla tiba-tiba menangis tanpa isakan, kecemasan merayap sampai ke nadinya, lantas dia menggigil terancam. Tinjuan membabi buta melayang ke muka Sammy. Kandas sudah adab kesopanan, yang ingin dilakukan Juna hanyalah segera memusnahkan Sang paman. Penghinaan sekaligus pengkhianatan terlampau berat untuk dituai dalam satu masa."Aku bersumpah akan membunuhmu di sini!" Akhirnya kekecewaan itu terlepas, pertahanannya luruh. Asa yang telah disusun hancur oleh perselingkuhan. Meski tidak mengurangi daya meluapkan dendam. Hitungan singkat, rasa kasih menjelma menjadi benci."Tuan, apa yang ter—" belum pertanyaan itu terbilang, Bibi Siti spontan membekap mulutnya. Dia melongo, harus puas menonton pemandangan tak senonoh pula mengerikan. Lalu, pekikan tertahan muncul dari belakangnya, si pelayan muda ikut tergemap dengan respons semacam."Ani, panggil sekuriti, cepat!"Bergegas gadis itu berlari keluar, menjemput petugas keamanan guna menangani keributan."Hentikan, Tuan muda! Anda bisa membunuhnya." Bibi Siti coba meraih pundak Juna, berupaya mencuri kesadarannya.Agaknya usaha demikian tak menimbulkan pengaruh berarti, melainkan sekarang Juna sekeras tenaga mencekik leher pamannya. "Brengsek, sialan!""Ha-hahaha! Kau seperti kesetanan, Juna." Cengkeraman melonggar, dimanfaatkan Sammy untuk mencibir, memanas-manasi keponakannya. "Kau suka permainanku, Nak? Bagaimana? Kau tahu, istrimu itu selalu lupa diri setiap kali kutiduri. Tapi, dia tidak lebih nikmat dari wanita di tempat pelacuran. Aku heran kenapa kau bisa mencintai dia? Sungguh kasihan. Kau dungu, keponakan!"Tahu-tahu pipi Sammy menyentak ke kanan, kokohnya kepalan tangan Juna jelas menimbulkan kebas di tulang pipinya. Sammy tersengal-sengal, pasrah tiada energi bisa melawan."Nay, kau masih punya harga diri untuk berbicara denganku? Kalian berdua sial, benar-benar sial! Aku terus mengingatmu saat kusangka kau setia menanti kepulanganku. Kau seperti JALANG! Bodohnya aku pernah mendambakan malam-malam bercinta bersamamu, menjijikkan!" Juna menyingkir, meninggalkan sisa amukan yang sempat terkendali. Sementara sebelum menyusul, Bibi Siti menatap sinis pada kedua tersangka asusila."Juna—" Nayla meracau halus, gulana pun enggan menyingkir dari rautnya."Jangan pura-pura, Perempuan! Itu tidak akan mengubah situasi. Akui saja kau memujaku, Nayla. Tidak usah munafik, kau persis kucing liar di musim kawin." Ya, Nayla sungguh mati kutu setelah menerima serangan kata-kata kasar dari dua pria sekaligus. Dia sampai tidak bisa memikirkan jawaban apa yang pantas dia ucapkan.Continue ....Nasi telah menjadi bubur. Dosa terlaksana dan kini Nayla siap menanggung hukuman. Tidak ada lagi bahasa kelembutan, senyum yang teduh, apalagi perhatian hangat seperti hari-hari di saat dia dan suaminya tengah bersama-sama. Ingin mendapat pembelaan dari siapa? Kenyataan itu datang karena ulahnya sendiri, dia yang tidak berhati-hati. Kendati Sammy merupakan keluarga, tapi dia tetaplah seorang pria. Pria kesepian gemar bermain dengan banyak wanita. Koper yang dipenuhi pakaian-pakaian miliknya dia geret perlahan menuruni anak tangga. Semua pelayan menunggu di bawah dengan ragam tatapan memprihatinkan; ada yang kecewa, ada pula yang terlihat geram. Tentu mereka semua turut merasakan kesedihan serupa atas pengkhianatan paling mengejutkan, bahkan tidak pula pernah diduga-duga. Mereka tahu betul seberapa idealnya Tuan dan Nyonya di rumah itu, indah dan serasi bagaikan siang dan malam. Matanya menelusuri penjuru ruang, mengulang kenangan di setiap sisi. Sejenak atensinya terpaut di sofa bes
"Nay, katakan apa yang terjadi padamu? Kenapa kau tiba-tiba pulang membawa koper? Suamimu mana?" Siska Admaji melipat kedua lengan di atas meja makan. Tatapan menuntut tak sekalipun beralih dari sosok putrinya di seberang dia. "Bu, a-aku minta maaf. Aku mengacaukan semuanya." "Bicara yang jelas, Nayla!" "Aku akan bicara, tapi ibu jangan marah padaku. Sungguh, aku tidak sengaja." Siska mengembus kasar napasnya, sejenak mata pun terpejam. "Katakan!" Itu adalah bentakan keras semacam peringatan, Nayla terperanjat di posisinya. "Dia mengusirku ..." Seketika Siska terbelalak. "Aku tidur dengan Paman Sam." Suaranya mengecil di ujung kalimat, memalingkan muka tanda tak siap menerima reaksi ibunya. "BODOH! Apa kau memang sedungu itu, Nayla? Hah?!" tahu-tahu Siska bangkit, cepat sekali segalanya berlangsung di mana dia menarik kerah baju putrinya untuk mendaratkan satu tamparan kencang ke pipi. "Aku tidak masalah dengan kelakuan rendahmu. Harusnya kau berpikir dua kali sebelum menghanc
Rencana Daniel untuk memboyong Jihan ke restoran Prancis terpaksa pupus. Gadis itu memaksakan pilihan dia sendiri dan rumah makan murah yang sangat terkenal di Jakarta adalah tempat tujuannya. RM Sari Rasa, rumah makan ini menyajikan menu masakan rumahan khas Jawa, seperti rawon leker, nasi kuning, nasi langgi, sampai bebek peking. Tersedia juga menu makanan lainnya seperti gado-gado, sayur asem, sayur lodeh, sambal cobek hingga bebek goreng yang enak. "Ini yang kau mau? Puas sekarang?" "Sangat puas, Kak. Kita boleh makan? Aku sudah tidak tahan." Perutnya diusap-usap seraya mengukir keriangan di parasnya yang cantik. Di lain sisi Daniel mendesah pasrah, tiada dapat memendam kelegaan serupa. "Makan yang banyak, mengerti? Kita akan berburu es krim setelah dari sini." "Siap, kapten! Aku tidak perlu sungkan di depan Kakak, selamat makan!" gembira sekali saat dia meneriakinya, menarik piring, menyendok nasi untuk lalu menambahkan lauk pauk yang tersedia. Kelopak matanya terpejam saat s
"Tolong, cepatlah sedikit. Aku sudah telat. Mereka tidak akan membayarku karena ini." "Tenanglah, Nona. Anda mengganggu konsentrasi menyetir Saya. Mobilnya tidak bisa lebih cepat lagi, ini batasnya. Duduk yang benar dan diam, agar saya bisa segera mengantar Anda sampai ke tujuan." "Batas kau bilang? Oh, ya ampun! Apa kau tidak mengerti kata-kataku, Pak? Jika mobilmu selambat ini, maka habislah pencarianku. Kenapa orang-orang sangat susah memahami situasi orang lain? Pak ... ayolah! Waktuku cuma setengah jam lagi." Perempuan itu terus mendesak si sopir, menggoncang-goncang bahunya hingga kian mengacaukan fokus sang sopir. Ban berdecit keras bergesekan dengan aspal, saat si sopir menginjak rem secara tiba-tiba. Spontan tubuh perempuan tadi tersentak ke depan, kepalanya membentur punggung jok penumpang dan dia mengaduh bising. "Bapak bisa menyetir apa tidak? Aduh kepalaku ..." "Turun!" "Apa?!" "Cepatlah turun, Nona!" "Tujuanku masih jauh, untuk apa aku turun di sini? Jalan lagi,
Berbaik hati mengantarkan perempuan tak dikenal, tahu-tahu Juna sedikit bingung. Seraya menyesap pelan kopi latte dari cup, benaknya berpikir ulang untuk apa dia mau merepotkan diri, membuang waktu demi orang asing? Dia bukanlah pribadi yang senang terlibat dengan masalah orang lain. Lalu, saat ini kebiasaan itu mendadak dilanggar tanpa dia tahu sebab kejelasannya. Juna masih bersandar di kap mobil, menyilangkan kaki-kakinya dengan sebelah tangan dilipat ke dada. Sepasang matanya mengawasi orang-orang di sekitar, hingga tidak disengaja tatapannya menangkap sosok perempuan yang hinggap di pikirannya berdiri di luar kafe. Mukanya lesu, seperti menyimpan kepasrahan. Sejenak Juna bertahan dalam diam, mengikuti gerak-gerik perempuan itu dan napasnya ditiup kasar. Dia benci keadaan ini. Belum lama otaknya mencoba untuk memastikan awal keterlibatan dia, kini keinginan yang sama kembali muncul. Tubuhnya bergerak semaunya, walau dia berupaya meyakinkan diri untuk tidak ke mana-mana dan sela
Sejak Juna mengusir Nayla dari kediamannya, dia memang sengaja tidak menggunakan kamar mereka untuk tempat beristirahat. Terkadang ruang kerja menjadi tempat cadangan, ketika dia terpaksa melanjutkan pekerjaannya di rumah hingga lupa waktu dan berakhir tertidur di situ. Tentu momen di kamar pribadinya menjadi trauma berkepanjangan. Dia terus dihantui potongan adegan kala sang istri menikmati seks panas bersama pria yang tak lain adalah pamannya. Tetap saja mengelak tak selalu bisa menyelesaikan masalah dengan rapi tanpa dampak apa-apa. Malah seluruh tali saraf-sarafnya memberontak hendak berhenti dari kecamuk siksa pengkhianatan. Dia merasa kecil, begitu tersudut akibat kecurangan demikian. Apakah dia tak cukup baik selama ini atau mungkin dedikasinya selaku suami belum memenuhi gelar yang pantas? Kebimbangan masih mengikuti, walau kali ini dia sudah meyakinkan diri bahwa adegan mengerikan itu tidak akan menghantui kewarasan. Juna mempersiapkan diri untuk kembali menempati biliknya,
Siska Admaji melangkah pasti menuju gedung perusahaan yang di pimpin menantunya, Juna Janendra. Sebuah gedung berlantai lima dengan pondasi melebar ke samping, dikelilingi area yang memang luas. Situasi di dalam gedung tentu ramai di jam-jam segini, kendati masih tampak teratur di pandang mata. Para staf hilir mudik, ada pula yang siaga di posisi dan zonanya masing-masing. Bukan acara beramah tamah, Siska tiada menanggapi sapa santun oleh siapa pun. Tujuan dia sangat jelas, menemui si pemilik bangunan guna mengumumkan rencana personal di balik urusan kekeluargaan. Dia akan coba membujuk sang menantu agar mau berdamai terhadap prahara yang diciptakan putrinya. Ini hanya masalah taktik cantik, bukan mengenai turunnya nilai harga diri. Cara apa saja siap dikerahkan demi terwujudnya angan-angan. Siska menghampiri meja sekretaris di depan ruang direktur, "Selamat siang, Nyonya." "Aku ingin bertemu Direktur Utama." "Sebentar, Nyonya," kata si wanita berambut pendek sembari mengangkat ga
"Wah, aku benar-benar tidak menyangka Kakak akan menjemputku." Nada halus suara Jihan memecah keheningan di dalam sedan milik Daniel Wilman. Jalanan malam ini sedikit lengang, apalagi putaran jam nyaris mencapai waktu tengah malam. "Kau masih marah padaku?" Namun, Jihan enggan menanggapi, selain menoleh ke jendela yang tertutup dan sama sekali tiada menarik dipandang. "Jihan, tolong maafkan aku. Semuanya begitu mendadak, aku hanya tidak tahu kasus yang kutangani itu bisa demikian rumit." "Tapi, Kakak pergi sangat lama!" Dia menengok demi menghardik pria di sebelahnya. "Kau sedang marah atau ngambek? Aku tidak bisa membedakannya, dua-duanya tetap menggemaskan di mataku. Bagaimana, ya?!" "Kak! Jangan menyesal jika kemarahanku sungguhan datang!" "Hei, mana boleh begitu. Aku sudah seminggu tidak melihatmu, tahu tidak seberapa besar rasa rinduku?" "Tidak, aku bukan anak kecil lagi. Aku tidak semudah itu untuk termakan rayuan Kakak." "Jihan ..." "Tidak!" "Peri manis ..." "Aku t