Share

Cinta ke Dua Pak Direktur
Cinta ke Dua Pak Direktur
Penulis: Ceeri

Kemurkaan Juna

Dua bulan bagai dua tahun bagi Juna Janendra. Jika menyangkut perasaan dan cinta, maka seluruh normalisasi makna kata akan berubah menjadi kiasan majas. Tak tahu di mana letak kewarasan, asal kesadaran masih bertahan di dalam raga. Kepulangannya ke Ibu Kota menjadi momen paling menggembirakan baginya. Berada jauh dari sisi sang istri, membuat kebuncahan terus merengek meminta sang penawar. Satu-satunya rembulan indah penghuni singgasana nurani, Nayla Indira.

"Dua belokan lagi, kita melintasi kedai kopi Paman Beno. Mau kutraktir? Anggap saja ini sebagai stimulan awal untuk mendongkrak energimu. Pekerjaan di sana membuat kepalamu sumpek 'kan?"

"Lebih dari itu, hampir meledak. Kepalaku ini!" katanya sembari menunjuk-nunjuk ke pelipis. "Tapi wajar menurutku, baru satu tahun beroperasi. Kita patut mensyukuri kemampuan mereka dalam mengembangkannya secara konsisten. Kita memilih anggota yang tepat, usia muda tidak membatasi pengalaman."

"Kenaikan gaji? Asuransi istimewa? Atau liburan mewah?"

"Hahaha. Kau ingin perusahaan kita di sana gulung tikar sejak dini?"

"Omong-omong, aku serius ingin mengajakmu minum kopi. Bisa dibilang, aku agak sedikit memaksa. Ada yang perlu kusampaikan, tapi kurang layak mengatakannya di sini."

"Nanti saja, besok kuluangkan waktu untukmu." Sebelah kelopak matanya berkedip, mempermainkan keseriusan Kenny Nathanael yang diam-diam menyimpan sesuatu di benaknya. "Aku merindukan Nayla, kau juga tahu rasanya saat berjauhan dari istri." Lalu, penjelasan sekian datang setelah dia menemukan Kenny terdiam.

"Aku diprogram untuk melaksanakan perintah 'kan? Kalau begitu aku tidak usah repot-repot menolakmu." Kalimat sekian laksana kelakar yang menggelitik di balik tawa keduanya.

...

Kerinduan kentara memancar dari tatapannya yang tajam, memburu langkah membawa senyum kegembiraan. Sekali melirik kantung kertas di tangan kirinya, berisi oleh-oleh teruntuk istri tercinta.

"Sayang, aku pulang." Juna berteriak rendah saat tak menemukan keberadaan istrinya sejauh pandangan. Setiap ruang ditelusuri, namun tiada jua dia dapatkan sosok tersebut. Kakinya hendak naik ke anak tangga, melenggang riang menuju kamar guna mengejutkan istri yang dia duga ada di sana.

Baru satu anak tangga dijangkau, atensinya menangkap presensi kepala asisten rumah tangga. Si wanita baya tengah mengawasi pelayan muda yang tengah mengelap pigura di dinding di samping tangga, pigura berukuran besar yang membingkai foto pernikahan Juna Janendra. Tungkainya refleks berayun mendekat, menyapa si kepala pelayan lewat keramahan santun.

"Bibi, apa kabar?"

"Ya ampun, Tuan muda sudah pulang?! Anda tampak baik, Saya senang bisa melihat Anda kembali." Seringainya begitu ringan ditampilkan kepada siapa saja yang ditemui, terutama orang-orang terdekat dan Juna terbiasa menerima pengakuan positif dari mereka.

"Saya baru saja tiba, Bi. Di mana Nayla?"

"Nyonya muda ada di kamarnya, Tuan. Barangkali tertidur." Bibi Siti menuturkan, membalas tak kalah bersahaja. "Selamat datang, Tuan," imbuhnya lagi serupa sambutan, disusul anggukan sepintas oleh si Tuan muda. Jangka Juna menuntun geraknya ke tujuan semula, Bibi Siti turut mengamati ulang kinerja si pelayan muda.

Bibir pria itu betah memperlihatkan bahagia, hanya sedikit lagi dan dia dapat mengobati kegundahan batinnya. "Nay, kau di dalam?" gagang pintu ditarik ke bawah, diiringi labium tipisnya mengembang. "Sayang, aku kecewa kau tidak menyambut—NAYLA!"

Mendadak hawa berganti senyap menegangkan. Air muka berang menguasai ketegasan di parasnya, Juna murka, amarah mengambil alih akal sehatnya. Tak seorangpun mampu tenang ketika menyaksikan istrinya menungging, mengerang cabul merelakan diri menampung mani pria lain. Wanita itu, istri yang dia rindukan setengah mati kini dalam keadaan telanjang dipenuhi peluh, sangat siap dan damai menerima sentuhan birahi si pria familiar.

Buku-buku tangannya memutih, seakan kuku-kukunya ingin mengoyak kulit di telapak. Rahangnya bergetar, selaras air mata menggenang. Juna kalap, kediaman istri dan pria di atas ranjangnya menyulut kobaran api. Kantung-kantung kertas jatuh ke lantai. Juna menerjang ke depan.

"SAMMY! Kau akan mati!" lantang sekali seruannya di telinga, mengejutkan kesadaran dua tersangka pelaku asusila.

Wajahnya memerah padam, menampung timbunan sumpah serapah di sanubari. Nayla kehilangan kendali, wanita ini hanya bisa mematung di tempat, mengabaikan kondisinya yang masih bugil, sedangkan kegaduhan di depan mata pun tak dapat mengundang reaksinya. Dia tercengang.

"J-juna!" Cicitnya ragu-ragu dengan mata dan mulut menganga. Rasa takut yang kuat terbaca di mimiknya, "Paman—" bisiknya lagi, kali ini menarik selimut demi menutupi badannya yang polos.

"Kau sudah gila, KEPARAT?! Dia keponakanmu, SAM! DI MANA OTAKMU?!" setiap satu kalimat, turun pula pukulan keras menghantam pria yang nahas adalah paman kandungnya.

Nayla tiba-tiba menangis tanpa isakan, kecemasan merayap sampai ke nadinya, lantas dia menggigil terancam. Tinjuan membabi buta melayang ke muka Sammy. Kandas sudah adab kesopanan, yang ingin dilakukan Juna hanyalah segera memusnahkan Sang paman. Penghinaan sekaligus pengkhianatan terlampau berat untuk dituai dalam satu masa.

"Aku bersumpah akan membunuhmu di sini!" Akhirnya kekecewaan itu terlepas, pertahanannya luruh. Asa yang telah disusun hancur oleh perselingkuhan. Meski tidak mengurangi daya meluapkan dendam. Hitungan singkat, rasa kasih menjelma menjadi benci.

"Tuan, apa yang ter—" belum pertanyaan itu terbilang, Bibi Siti spontan membekap mulutnya. Dia melongo, harus puas menonton pemandangan tak senonoh pula mengerikan. Lalu, pekikan tertahan muncul dari belakangnya, si pelayan muda ikut tergemap dengan respons semacam.

"Ani, panggil sekuriti, cepat!"

Bergegas gadis itu berlari keluar, menjemput petugas keamanan guna menangani keributan.

"Hentikan, Tuan muda! Anda bisa membunuhnya." Bibi Siti coba meraih pundak Juna, berupaya mencuri kesadarannya.

Agaknya usaha demikian tak menimbulkan pengaruh berarti, melainkan sekarang Juna sekeras tenaga mencekik leher pamannya. "Brengsek, sialan!"

"Ha-hahaha! Kau seperti kesetanan, Juna." Cengkeraman melonggar, dimanfaatkan Sammy untuk mencibir, memanas-manasi keponakannya. "Kau suka permainanku, Nak? Bagaimana? Kau tahu, istrimu itu selalu lupa diri setiap kali kutiduri. Tapi, dia tidak lebih nikmat dari wanita di tempat pelacuran. Aku heran kenapa kau bisa mencintai dia? Sungguh kasihan. Kau dungu, keponakan!"

Tahu-tahu pipi Sammy menyentak ke kanan, kokohnya kepalan tangan Juna jelas menimbulkan kebas di tulang pipinya. Sammy tersengal-sengal, pasrah tiada energi bisa melawan.

"Nay, kau masih punya harga diri untuk berbicara denganku? Kalian berdua sial, benar-benar sial! Aku terus mengingatmu saat kusangka kau setia menanti kepulanganku. Kau seperti JALANG! Bodohnya aku pernah mendambakan malam-malam bercinta bersamamu, menjijikkan!" Juna menyingkir, meninggalkan sisa amukan yang sempat terkendali. Sementara sebelum menyusul, Bibi Siti menatap sinis pada kedua tersangka asusila.

"Juna—" Nayla meracau halus, gulana pun enggan menyingkir dari rautnya.

"Jangan pura-pura, Perempuan! Itu tidak akan mengubah situasi. Akui saja kau memujaku, Nayla. Tidak usah munafik, kau persis kucing liar di musim kawin." Ya, Nayla sungguh mati kutu setelah menerima serangan kata-kata kasar dari dua pria sekaligus. Dia sampai tidak bisa memikirkan jawaban apa yang pantas dia ucapkan.

Continue ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status