Bab 2
Sejak pertengkaran itu, Azizah tampak lebih pendiam dari biasanya. Dia hanya sesekali mau di ajak bicara. Selebihnya hanya diam. Malah yang terlihat, ia lebih sering mengelus perut besarnya dan sesekali mengajak bicara bayi di dalam kandungannya.Ya, Azizah memang tengah hamil dan menurut dokter yang memeriksa kandungannya, kehamilannya sudah mencapai 34 minggu. Sebentar lagi mereka akan memiliki buah hati. Seharusnya mereka sangat berbahagia, kalau saja masalah klasik ini tidak datang dan menjadi badai di dalam rumah tangga mereka.
Ah, Hafiz sendiri juga bingung. Tiada angin dan hujan, tiba-tiba Kiai Nawawi yang terkenal itu datang kepada Abah dan bermaksud menjodohkan putri bungsunya dengan dirinya. Entah apa yang menjadi bahan pertimbangannya.
Hafiz hanyalah seorang lelaki yang sudah memiliki istri. Hanya kebetulan saja dia terlahir sebagai putra satu-satunya dari KH. Abdurrahman dan di amanahi untuk mengasuh sebuah pesantren yang bernama pesantren Al Istiqomah. Sementara ketiga kakaknya adalah perempuan.
"Abang berangkat ke pondok dulu ya, Sayang. Jaga dirimu baik-baik di rumah." Hafiz mengelus perut besar itu dan mengecupnya. Azizah balas merengkuh dan mencium tangan kokoh itu. Dia tak berucap sepatah kata pun kecuali hanya mengiringi langkah suaminya menuju depan rumah.
Hafiz mendaratkan kecupan di kening Azizah sekilas sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesin. Dari balik kaca dia bisa melihat sosok Azizah yang membalas lambaian tangannya, meskipun tanpa senyum yang biasanya terlukis dari bibirnya.
Sebenarnya Hafiz merasa iba, tetapi dia tidak bisa berbuat banyak.
"Apakah aku mengatakan semua ini pada saat yang tidak tepat?" Laki-laki itu mengeluh dalam hati.
Akan tetapi, kalau tidak dia tidak mengatakan saat ini juga, pasti Azizah akan lebih terluka. Bisa saja Hafiz menikahi putri bungsu kiai Nawawi secara rahasia, tanpa diketahui oleh Azizah. Akan tetapi bagaimana mungkin? Kiai Nawawi pasti tidak akan setuju putrinya dinikahi secara rahasia. Putrinya adalah wanita mulia yang tak pantas diperlakukan bagaikan istri simpanan!
Ah, tampaknya dia perlu menemui kiai Nawawi secara pribadi. Dia tidak mau ada terjadi kesalahpahaman. Dia harus tahu apa alasannya beliau menjodohkannya dengan putri bungsunya, sedangkan beliau jelas-jelas tahu bahwa Hafiz sudah memiliki seorang istri, yaitu Azizah. Bahkan dia pun juga memiliki riwayat pernah menikah dengan wanita yang lain, Yasmin yang sudah diceraikannya beberapa bulan yang lalu.
***
Azizah membalikkan badannya. Dia kembali melangkah menuju rumah dan menutup pintu depan.Dia kembali sendiri di rumah ini, hanya bersama dengan bayi yang tengah ada dalam kandungannya. Itulah pelipur laranya sekarang. Dia tak tahu lagi harus bicara kepada siapa. Percuma. Tak ada seorangpun yang mau mengerti dirinya, bahkan suaminya sekalipun. Azizah hanya seorang diri. Dia adalah seorang wanita sederhana yang menjadi yatim piatu sejak kecil.
"Ya Allah, mengapa harus terjadi lagi seperti ini? Belum kering lukaku saat suamiku menikahi Yasmin, kenapa akan terjadi lagi keadaan yang serupa? Ya Allah, takdir macam apa yang sedang aku jalani dan mengapa tak ada seorangpun yang bisa mengerti?" Azizah kembali mengelus perutnya
"Dulu aku diduakan dengan Yasmin dan sekarang, masih sanggupkah aku untuk kembali diduakan? Masih sanggupkah aku mempertahankan kewarasan sementara hatiku sakit?" ratap perempuan muda itu.
Azizah terduduk di tepi ranjang. Air matanya mengalir deras. Dia bahkan merasa dadanya sesak. Dia benar-benar merasa sendiri. Hanya Allah yang tahu bagaimana perasaannya saat ini. Dia hanya seorang wanita biasa, lahir dan di besarkan oleh paman dan bibinya. Ibunya sudah meninggal saat dia masih kecil, sedangkan ayahnya tidak di ketahui keberadaannya, dan kemungkinan juga sudah meninggal dunia.
Sungguh, Azizah bukan putri pengusaha seperti Yasmin, atau Naura, putri kiai seperti putri bungsunya kiai Nawawi yang terkenal itu.
"Adakah yang lebih menyedihkan dari perputaran nasib yang tengah kualami sekarang ini?" isak Azizah.
"Seorang wanita hamil yang akan segera melahirkan, sementara suaminya akan segera menikah dengan seorang perempuan lain? Seorang perempuan dari trah tertinggi pesantren, menantu ideal dari seorang kiai terkenal seperti KH. Abdurrahman?"
Azizah tidak berani menduga-duga, tapi firasatnya mengatakan bahwa setelah ini posisinya sebagai istri ustadz Hafiz akan semakin terpinggirkan. Mungkin akan lebih tersisih lagi ketimbang dulu, saat Hafiz dan Yasmin masih bersama.
Ah, akankah sepi ini harus datang lagi? Sepi yang pernah dia rasakan tatkala sang suami pergi meninggalkannya untuk menemui Yasmin. Dia sendiri berteman rindu, sementara sang suami tengah bercumbu dengan istri lainnya di luar sana. Akankah fisik dan hatinya kuat kalau semua kepahitan ini harus terjadi lagi?
"Mana janjimu, Abang? Mana janjimu yang ingin menjadikanku sebagai Khadijahmu? Akankah janji itu hanya sekedar janji, yang untuk kesekian kalinya kau ingkari?" jerit Azizah dalam hati.
Azizah memejamkan mata. Dengan menggunakan ujung jilbabnya, ia menyeka air mata yang terus saja berjatuhan membasahi pipinya. Perempuan itu kembali mengelus perutnya. Ada tendangan kecil di sana. Perempuan itu berusaha untuk tetap tersenyum untuk sebuah kehidupan yang ada di dalam rahimnya sekarang.
***
Sementara Hafiz yang baru saja keluar dari mobil, seketika mengurungkan langkahnya ketika matanya menangkap pemandangan sebuah mobil lain yang juga terparkir di sana. Dia sangat mengenali mobil itu. Mobil itu adalah mobil yang seringkali digunakan oleh kiai Nawawi saat ada kegiatan di luar pesantrennya.
"Astagfirullah ... mengapa secepat ini aku harus berurusan dengan beliau?" keluhnya dalam hati. Hafiz lantas meneruskan langkahnya menuju pintu utama kantor dewan guru.
"Ustadz Hafiz," panggil seorang laki-laki yang juga mengenakan pakaian yang sama sepertinya. Atasan baju koko dan sarung bermotif kotak-kotak sebagai bawahan, serta kopiah putih dan sorban yang melingkar di leher.
"Ustadz Maliki," sahutnya. Laki-laki itu menatap Hafiz dengan sangat serius.
"Ada kiai Nawawi di dalam, Ustadz. Mohon maaf, tadi beliau bilang ada yang ingin disampaikan kepada Ustadz Hafiz. Beliau sudah lama menunggu di sini."
Hafiz melirik arloji di pergelangan tangan. Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Sepagi ini beliau sudah ada di kantor dewan guru pondok pesantren Al Istiqomah?
Hafiz masuk ke ruangan guru dengan perasaan tak menentu. Benar, di dalam sudah menunggu kiai Nawawi. Laki-laki tua itu duduk dengan santai di sofa sembari membaca sebuah kitab. Hafiz sendiri tak jelas melihat kitab apa yang tengah beliau baca. Laki-laki muda itu bergegas menghampiri, lalu mengucapkan salam.
"Apa kabar, Nak Hafiz?
"Alhamdulillah, kabar baik, Kiai. Bagaimana kabarnya dengan Kiai?" sahutnya berbasa-basi
"Panggil Abah, Nak. Anggap saja aku sebagai abahmu."
"Iya, Abah." Hariz tertunduk.
"Hafiz mohon maaf karena membuat Abah lama menunggu di sini. Adakah gerangan yang bisa Hafiz bantu?" tawarnya.
"Abah minta tolong kepada Nak Hafiz untuk menerima Naura, putri bungsu Abah. Abah sudah dengar cerita dari Abahmu, kiai Rahman dan Abah tidak masalah kalau Naura harus menjadi istrimu yang ketiga," paparnya.
"Apa alasannya, Bah? Naura, putri bungsu Abah adalah wanita mulia yang tidak mungkin tidak diingini oleh kaum laki-laki. Kenapa Abah malah memilih menantu seperti Hafiz, seorang laki-laki yang sudah beristri dan sekarang tinggal menunggu kelahiran anak pertama kami? tanyanya penasaran.
"Tentunya ada alasannya, Nak, walaupun Abah belum bisa menjawabnya sekarang. Akan tetapi, apakah tidak lebih baik kalau kamu mencoba berkenalan dengan Naura? Siapa tahu kalian ada kesesuaian. Abah pikir kamu tidak perlu terburu-buru menerima Naura. Waktu masih panjang dan biarkanlah Naura di beri kesempatan untuk mengenalmu dan juga Azizah, istrimu. Siapa tahu Naura bisa menjadi teman yang baik untuk Azizah."
Ini adalah pilihan yang sulit. Dia tidak mungkin menolak pendekatan yang dilakukan oleh kiai Nawawi kepadanya. Laki-laki itu cukup bijaksana. Lagi pula, tak ada salahnya untuk mencoba, kan? Laki-laki itu mencoba untuk realistis.
Setidaknya ini akan mengulur waktu dan memberikan kesempatan untuk menjelaskan kepada gadis itu bagaimana kondisi rumah tangga mereka yang sebenarnya.
"Baiklah, Abah. Hafiz akan menerima saran Abah. Namun, untuk hasil akhirnya Allah jualah yang berkehendak. Karena jodoh ada dalam kuasaNya. Abah mengerti, bukan?"
"Abah lebih darimu dalam memahami persoalan jodoh, Nak," ucap laki-laki tua itu. "Coba, Abah pinjam ponselmu."
Bab 3Hafiz menyerahkan ponsel kepada laki-laki tua itu setelah sebelumnya membuka password-nya. Lelaki tua itu mengutak-atik ponsel Hafiz sebentar, kemudian mengembalikan kepada pemiliknya."Ini adalah nomor kontak Naura, putri bungsu Abah. Silakan kalian berkenalan, ngobrol dan saling menyesuaikan satu sama lain. Kalau boleh, izinkan dia berteman dengan istrimu, Azizah. Sebagai sesama wanita, mungkin dia memerlukan teman bicara." Laki-laki tua itu menghela napas."Terima kasih ya, Bah. Mohon maaf, apakah Naura sudah tahu sebelumnya dengan apa yang Abah bicarakan hari ini dengan Hafiz?""Tentu saja, Nak. Sebelumnya Abah sudah bicara dengan Naura. Naura pun sudah tahu kalau dia akan dijodohkan denganmu dan dia menyetujui perjodohan ini."***Hafiz mengamati layar ponsel dengan perasaan tak menentu. Sebuah nama indah tertera. Naura Allysia Salsabila. Sangat cantik, tetapi entah seperti apa orangnya. Secara khusus, dia memang belum terlalu mengenal putri bungsu kiai Nawawi itu. Terakhir
Bab 4"Wah, ini cantik sekali, Sayang. Coba deh kamu pakai." Hafiz menunjuk sebuah gelang cantik di etalase. Seorang pelayan toko mengambilkan gelang yang di maksudnya. Hafiz memasangkan gelang itu ke lengan kiri Azizah. "Cantik, Sayang. Pas sekali dengan ukuran tangan Adek. Sepertinya memang jodoh." Hafiz mengecup punggung tangan Azizah tanpa peduli dengan tatapan aneh pelayan toko yang berdiri di hadapan mereka."Cantik juga harganya, Bang," bisik Azizah."Lebih cantik wanita yang memakainya. Adek jangan khawatir. Abang masih sanggup bayar." Laki-laki itu mengambil dompet dan mengeluarkan kartu saktinya yang lantas diberikannya kepada pelayan toko."Mau langsung dipakai atau disimpan dulu, Dek?" tawarnya."Langsung di pakai saja, Bang. Adek suka," sahutnya dengan mata yang terlihat berbinar.Hafiz kembali menggandeng tangan itu setelah menerima kembali kartu saktinya dan transaksi pembayaran selesai.Hari ini dia sengaja menghabiskan waktu untuk Azizah. Semua pekerjaan di pondok d
Bab 5Tarik ulur. Itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan yang tengah ia jalani dengan Naura saat ini. Di satu sisi dia harus menjaga perasaan Azizah, tapi di sisi lain dia juga tidak bisa menolak Naura serta-merta mengingat kedudukan gadis itu.Hafiz tahu, satu-satunya jalan untuk menggagalkan perjodohan itu adalah membujuk Naura agar ia berubah pikiran. Akan tetapi, meluluhkan hati gadis keras kepala itu tidaklah mudah.Di sisi hatinya yang lain, sebenarnya Hafiz merasa iba dengan gadis itu. Seorang gadis yang katanya cacat di kakinya dan menjadi alasan mundurnya beberapa laki-laki yang pernah ingin mengkhitbahnya.Ah, kenapa harus ada laki-laki seperti itu? Padahal kalau di nilai, betapa banyak kelebihan yang di miliki gadis itu, terutama dari sisi agamanya. Sebagai putri dari pengasuh pondok pesantren yang cukup besar, bahkan lebih besar dari pesantren Al Istiqomah, pastinya sejak kecil Naura mendapat pendidikan agama yang sangat ketat dari abahnya, kiai Nawawi.
Bab 6Waktu berjalan terasa begitu lambat. Menit demi menit. Hafiz menunggu di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat, di mana Azizah tengah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan buah hati mereka. Hafiz melihat dari kejauhan sesosok perempuan setengah baya tergopoh-gopoh berjalan menghampirinya."Bagaimana kondisi Azizah, Hafiz?" Perempuan tua itu bertanya dengan nafasnya yang masih tersengal.Hafiz mengenalinya sebagai bibi Sarah, orang yang selama ini berjasa merawat Azizah sejak kecil."Masih ditangani di ruangan, Bi," sahutnya seraya menunjuk ke depan pintu. Bibi Sarah mengikuti arah tangan Hafiz, lalu menghela nafas. "Semoga anak itu baik-baik saja," harapnya."Hannah waladat Maryam, Maryam waladat Isa, ukhruj ayyuhal mauluud, bibarkati malikil ma'buud." Perempuan setengah tua itu berkali-kali mengucapkan kalimat itu. Hafiz mengiringi dengan bibir gemetar."Dia akan baik-baik saja." Ucapan bibi Sarah menyadarkan Hafiz dari segenap kecemasan yang melingkupi perasaannya
Bab 7Suara Azizah terdengar serak saat mengucapkan kata-kata itu. Ada titik bening jatuh dari sudut matanya. Hafiz mengusapnya dengan lembut. Dadanya bergemuruh menahan rasa yang serasa ingin meledak. Ucapan Azizah menohok hatinya."Maafkan Abang, Sayang. Abang minta maaf kalau sikap Abang selama ini tidak menyenangkan Adek. Abang berjanji akan memperjuangkan peran dan arti kehadiranmu dalam keluarga besar Abang," sesalnya. Dia tak menyangka Azizah sampai berpikiran sejauh itu."Adek tidak minta apa-apa, Bang. Adek sudah cukup puas dengan kehadiran Ibrahim di tengah hubungan kita. Adek pun sudah lega karena sudah menyampaikan ini kepada Abang.""Sekarang Adek akan membebaskan Abang untuk mengambil keputusan." Perempuan itu menghela nafas dengan di sertai sebuah rintihan. Dia tahu, tak ada yang bisa di lakukan untuk merubah keputusan sang suami untuk menikahi perempuan lain.Hafiz mengusap pipi istrinya dengan penuh sayang. "Adek terlalu banyak berbicara. Sebaiknya Adek istirahat dulu
Bab 8"Ini cucu Abah, kan? Selamat ya, Nak." Tangan tua itu mengelus ubun-ubun bayi itu dengan hati-hati seraya merapal doa."Iya, Abah. Azizah memberinya nama Ibrahim," sahut Azizah. Terlihat jelas ia terharu dengan perlakuan ayah mertuanya."Nama yang bagus. Semoga menjadi kekasihNya sebagaimana nabi Ibrahim As." Laki-laki tua itu tersenyum."Bolehkah Abah menambahkan namanya?""Boleh, Abah." Azizah menganggukan kepala. Ia kembali mengusap kepala putra kecilnya."Muhammad Ibrahim Al Fazari," kata laki-laki tua itu.Hafiz memandang ayahnya dengan perasaan takjub."Muhammad Ibrahim Al Fazari? Bukankah itu nama seorang filsuf, ahli matematika dan astronomi di jaman kekhalifahan Abbasiyah?" tanya Hafiz."Iya. Semoga cucuku menjadi cendikiawan muslim di generasi selanjutnya," jawabnya. Mata tua itu terlihat berbinar."Amin.." Hafiz, Azizah dan bibi Sarah serentak mengaminkan."Mohon bimbingan Abah agar Hafiz bisa mendidiknya menjadi orang yang kita harapkan," sahutnya."Kita akan mengasu
Bab 9"Adek baru saja melahirkan, Bang." lirih suara Azizah. "Abang tahu dan Abang akan menunggu sampai kamu siap dan kondisimu pulih kembali. Percayalah, Abang tak akan membuatmu kekurangan perhatian. Abang akan berusaha sekuatnya untuk terus mencurahkan kasih sayang Abang kepadamu dan Ibrahim," ucapnya. Hafiz membiarkan kepala sang istri bersandar di bahunya."Sebelumnya Abang pernah berjanji untuk tidak mengambil istri lagi setelah Abang menceraikan Yasmin," gugat Azizah."Maafkan Abang ya. Abang tidak bisa menepati janji," sahut Hafiz."Apapun yang terjadi, Abang akan selalu mencintaimu. Jangan khawatir, Dek. Adek adalah cinta pertama Abang sampai kapanpun."Tangannya bergerak meraih wajah cantik itu. Mendekatkan wajah nan sendu itu dengan wajahnya. Mereka saling menatap. Mencoba menyelami isi hati masing-masing. Hafiz mulai menyusuri wajah Azizah dengan jemarinya. Menyeka tetes bening yang jatuh di pipi mulus Azizah. "Tunggu Adek pulih ya, Bang. Jangan nikah dulu." Azizah teris
Bab 10Hafiz merebahkan tubuh Azizah di pembaringan. Dengan penuh kelembutan, dia menelusuri setiap senti di wajah Azizah dengan bibirnya. Azizah harus tahu, seorang Hafiz begitu mencintainya dan tidak pernah bermaksud untuk menjadikan pernikahan ketiganya ini sebuah kesempatan buat dirinya sebagai seorang laki-laki untuk melampiaskan hasrat dan nafsu kelelakiannya. Baginya cukuplah Azizah yang menjadi bidadari halalnya.Hafiz semakin memperdalam ciumannya. Azizah mendesah ketika mulut Hafiz menyusuri lehernya dan memberikan gigitan-gigitan kecil sebagai tanda kepemilikan."Abang," desah Azizah."Mendesahlah, Sayang, sebut nama Abang. Abang menyukainya," suara seraknya penuh dengan kabut gairah. Hafiz mengambil sehelai kain dan menyelimuti tubuh mereka.Seakan berpacu dengan waktu, Hafiz menari diatas tubuh istrinya yang indah. Sesekali suara erangan erotis Azizah seperti instrumen yang membuatnya semakin terbakar oleh gairah. Gairah seorang lelaki muda yang haus dengan manisnya madu
Bab 109 (ekstra part 2)"Serius pakai ini?" tunjuk Azizah pada sebuah motor gede yang terparkir di halaman hotel. Entah darimana orang-orang mereka mendapatkan kendaraan itu."Serius dong! Memangnya kamu nggak mau naik motor?" Matanya lurus menatap istrinya."Mau dong, apalagi sama Kakak!" Perempuan itu tertawa kecil."Pintar!" sahutnya. Emir menaiki motor, kemudian di susul dengan Azizah.Sebenarnya Azizah merasa ragu. Sudah lama ia tidak mengendarai motor, karena selama di Saudi, pergi kemanapun selalu di antar sopir pribadi, di iringi oleh asisten dan para pengawal. Ruang geraknya terbatas. Apalagi motor khas laki-laki ini. Dia tidak pernah mengendarainya.Perempuan itu memeluk erat pinggang suaminya, menempelkan wajahnya di pundak lelaki itu. Azizah merasakan hatinya seperti penuh dengan wangi bunga.Mereka menyusuri jalan-jalan di sekitar hotel. Di kiri dan kanan bahu jalan, penuh dengan toko dan lapak souvenir khas Bali. Bali memang primadona. Alamnya yang indah, budaya yang kha
Bab 108 (ekstra part 1)Azizah menatap sendu dari balik kaca jendela pesawat. Kota Banjarbaru yang semakin mengecil akhirnya menghilang dari pandangan saat posisi pesawat kian meninggi. Kini mereka tengah berada di atas awan."Sayang...." Sepasang tangan kokoh melingkari pinggang rampingnya.Perempuan itu berdehem. "Iya, Kak." Azizah memutar tubuhnya menghadap sang suami. Sepasang kakinya berjinjit dengan tangan yang terulur memeluk leher itu."Aku merindukanmu," bisik Emir parau."Terlebih lagi diriku, Sayang." "Yang bener? Jangan-jangan sekarang ini malah merindukan ayahnya Ibrahim?" Sepasang mata kelamnya menatap wajah sang istri. Pipi yang merah merona itu membuatnya tak sabar mendaratkan sebuah kecupan hangat."Aku sudah tidak lagi mencintainya, tetapi juga tidak membencinya. Bagiku sekarang ayahnya Ibrahim hanya sekedar sahabat. Jikalau pun kami masih berhubungan baik, itu semua demi Ibrahim....""Percaya kok," sela Emir. Sebenarnya ia hanya ingin memancing, tapi Azizah menyika
Bab 107"Ibrahim bisa bermain kembali dengan adik-adikmu lain kali, Nak. Untuk saat ini, kamu nurut ya, sama Abi. Insya Allah, kalau ada waktu dan kesempatan kita bisa kembali ke mari berkunjung ke rumah kakek dan nenekmu ini," bujuk Azizah."Apa memang tidak bisa diundur lagi, Nak?" tanya kiai Rahman. Bukan cuma Ibrahim, dia pun juga serasa tak rela jika harus berpisah kembali secepat ini dengan cucu kesayangannya."Maafkan kami, Abah, tetapi jadwal kegiatan Azizah memang hanya satu hari. Silaturahmi di pesantren Al-Istiqomah dan di rumah Abah." Perempuan itu berusaha memberi pengertian kepada mantan ayah mertuanya."Abah hanya masih kangen dengan Ibrahim. Tidak ada maksud lain," ralat lelaki tua itu."Insya Allah kami akan berkunjung kembali kesini lain kali, Abah," jawab Azizah seraya memijat kepalanya. "Bukannya sok sibuk, tetapi bagaimanapun sebagai seorang istri, harus menuruti apa kata suami. Pagi ini pesawat akan terbang dari Sydney, singgah sebentar di bandara Syamsudin Noor
Bab 106Emir melangkah gontai menuju kamar tempat dia menginap. Tubuhnya benar-benar lelah, pikirannya pun terkuras. Hari ini dia menghadiri beberapa pertemuan, salah satunya adalah peresmian beroperasinya Almeera hotel di Sydney. Seharusnya di acara itu ia didampingi oleh Azizah. Namun sayang, wanita itu tengah berada di pesantren Al-Istiqomah, di tengah keluarga mantan suaminya.Mengingat itu membuat hati Emir berdenyut. Dia percaya seratus persen dengan cinta istrinya, tapi sedikit banyaknya pasti akan terjadi romansa masa lalu mereka. Bagaimanapun, Azizah dan Hafiz berpisah secara baik-baik, bukan karena pertengkaran, tetapi hanya sekedar perbedaan cara pandang terhadap sebuah rumah tangga. Kenangan indah itu akan senantiasa tersimpan di hati."Tuan, agenda besok siang adalah pertemuan dengan para investor di Bali," ujar Alex, asisten pribadinya mengingatkan."Ya, aku tahu itu, Alex. Terima kasih sudah mengingatkan," ujarnya. Akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar."Silahkan,
Bab 105Hafiz sangat menikmati kebersamaannya dengan Ibrahim. Berkali-kali lelaki itu memeluk dan menciumi putranya, putra yang selama tujuh tahun tidak pernah ditemuinya. Hafiz tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menjenguk putranya, meskipun dipihak Azizah dan Emir tidak pernah melarangnya untuk menjumpai putranya kapanpun ia mau. Disamping itu, jarak yang memisahkan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat Hafiz akhirnya hanya bisa menahan rindu. Kondisi keuangan keluarganya saat ini tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Martapura-Mekkah. Terlebih, dia ingin memberikan kesempatan kepada Azizah untuk menenangkan diri dan dia pun sebenarnya juga melakukan hal yang sama.Setiap keputusan pasti memiliki konsekuensi. Tak ada perceraian yang mudah. Semua pasti akan ada dampaknya, terutama buat buah hatinya. Itulah yang harus mereka hadapi sekarang.Akan tetapi, apapun itu, nyatanya Hafiz dan Azizah sudah memiliki kehidupan masing-masing. Hafiz dengan kedua istrinya dan A
Bab 104Sepasang netranya menangkap sosok beberapa perempuan yang berlari kecil ke arahnya saat ia baru saja keluar dari mobil. "Azizah!"Telinganya sangat mengenali suara dari balik cadar itu. Marwiah, mantan kakak iparnya. "Kak Marwiah?" ujarnya. Kedua perempuan itu berpelukan. "Apa kabar, Kak?""Baik, Dek. Ayo masuk. Mama dan Abah sudah menunggumu sedari tadi."Kedua perempuan itu berjalan sembari tangan saling merangkul. Sementara yang lainnya mengikuti dari belakang. Rumah ini tidak banyak berubah. Ruang tamu yang luas dengan sofa yang telah disingkirkan membuat ruangan ini kian bertambah luas. Hanya ada karpet yang dihamparkan melapisi lantai seisi ruangan.Seorang laki-laki tua tampak duduk bersandar di salah satu bidang dinding. Azizah mempercepat langkahnya menghampiri laki-laki itu. Ada rasa rindu yang menyesak di hati saat mereka berdekatan. Bagaimanapun, Azizah sudah menganggap lelaki itu seperti orang tuanya sendiri. "Abah," ujar Azizah. Dia merendahkan tubuhnya sembar
Bab 103Hari masih pagi. Tiga unit mobil mewah meluncur meninggalkan halaman sebuah hotel terkenal di kota Banjarmasin. Azizah merasakan dadanya sedikit berdebar. Ada rasa yang tak biasa, mengingat betapa lama dia tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya. Sembari tetap memangku Rihanna, dia menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Tujuh tahun telah berlalu dan begitu banyak hal yang berubah di daerahnya. Entah apalagi kejutan yang akan ditemui sesampainya dia di pesantren Al-Istiqomah.Sebenarnya bukan Azizah tak ingin pulang, apalagi tidak rindu dengan kampung halamannya. Namun, Azizah perlu waktu yang panjang untuk melupakan cintanya kepada ayah Ibrahim itu. Perlu waktu bertahun-tahun untuk memurnikan cintanya hanya untuk Emir saja.Rihanna duduk dengan manis. Sama seperti ibunya, balita cantik nan menggemaskan berumur dua tahun itu sepertinya juga sangat menikmati perjalanan mereka pagi ini.Jadwal Azizah pagi ini adalah kunjungan ke pondok pesantren Al-Istiqomah Putri
Bab 102Berkat bantuan beberapa orang pengawal, akhirnya Azizah berhasil menembus kerumunan orang-orang dan masuk ke dalam mobil mewahnya. Sebenarnya inilah yang paling dia takutkan. Dia tidak mau kedatangannya menarik perhatian banyak orang, apalagi sampai ke telinga pejabat daerah. Dia tidak mau kepulangannya menjadi bahan berita dan viral di media sosial, apalagi dia melihat banyak orang yang mengarahkan ponsel kepadanya. Azizah mengusap kepala mungil Rihanna demi menenangkan putri kecilnya. Rihanna sudah beberapa kali diajak melakukan perjalanan ke luar negeri, tetapi baru kali ini dia diajak pergi ke negara asal ibunya, Indonesia. "Kita istirahat dulu di hotel, Tuan Putri, setelah itu baru melakukan kunjungan ke pesantren Al-Istiqomah," beritahu Hanum tentang jadwal tuan putrinya."Iya," sahutnya singkat. Mobil terus meluncur dan Azizah tenggelam dalam pikirannya. Sesekali dia menepuk paha putrinya. Rihanna terlihat lelah dan mengantuk.Sepasang matanya fokus dengan pemandanga
Bab 101"Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah memberikan keturunan untukku," ujar Emir seraya mencium perut Azizah berulang kali. Rasa lelah dan capek sepulangnya dari Almeera Hotel lenyap tak berbekas saat menerima kado terindah berupa tespek yang memiliki garis dua dari istrinya."Aku bisa memberikan keturunan untuk Kakak, karena kakak sudah begitu kuat mempertahankan diriku. Terima kasih juga, karena Kakak selalu sabar menghadapi kecemburuanku yang terkadang berlebihan," sahut wanita itu. Dia melingkarkan tangan ke leher sang suami, balas mengecup pipi kanan dan kiri suaminya."Kecemburuanmu masih dalam taraf yang wajar, Sayang. Cemburu itu pertanda cinta. Bukankah Sayyidah Aisyah juga seorang wanita pencemburu?" Emir bangkit lantas merangkul pinggang istrinya dan dalam sekali gerakan ia menggendong tubuh istrinya menuju pembaringan."Mulai detik ini, jangan terlalu banyak bergerak ya, Sayang. Banyak istirahat. Biarkan semuanya diurus oleh para asisten kita," pinta Emir."Aku b