Bab 6
Waktu berjalan terasa begitu lambat. Menit demi menit. Hafiz menunggu di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat, di mana Azizah tengah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan buah hati mereka. Hafiz melihat dari kejauhan sesosok perempuan setengah baya tergopoh-gopoh berjalan menghampirinya."Bagaimana kondisi Azizah, Hafiz?" Perempuan tua itu bertanya dengan nafasnya yang masih tersengal.
Hafiz mengenalinya sebagai bibi Sarah, orang yang selama ini berjasa merawat Azizah sejak kecil.
"Masih ditangani di ruangan, Bi," sahutnya seraya menunjuk ke depan pintu. Bibi Sarah mengikuti arah tangan Hafiz, lalu menghela nafas.
"Semoga anak itu baik-baik saja," harapnya.
"Hannah waladat Maryam, Maryam waladat Isa, ukhruj ayyuhal mauluud, bibarkati malikil ma'buud." Perempuan setengah tua itu berkali-kali mengucapkan kalimat itu. Hafiz mengiringi dengan bibir gemetar.
"Dia akan baik-baik saja." Ucapan bibi Sarah menyadarkan Hafiz dari segenap kecemasan yang melingkupi perasaannya.
Hafiz masih terpaku di tempatnya berdiri. Dia melihat dokter Raisya keluar dari ruangan.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" Hafiz melangkah maju mendekati sang dokter.
"Ustadz Hafiz," panggilnya.
"Ya, Dok. Ada apa?" Dia harap-harap cemas.
"Bisa kita bicara sebentar?" pintanya.
"Bisa, Dok," ucapnya. Laki-laki muda itu mengiringi dokter Raisya ke sebuah ruangan dengan diiringi oleh bibi Sarah.
"Kondisi Ibu Azizah sekarang mentok di pembukaan dua. Tidak ada lagi kemajuan setelah beberapa jam. Sementara menurut hasil USG, tali pusar si bayi melilit tubuhnya. Hal ini sangat berbahaya pada bayinya di dalam," ucap dokter Raisya dengan wajah agak muram.
"Lakukan apa saja yang terbaik untuk istri dan anak saya. Soal biaya, tidak ada masalah. Insya Allah saya sanggup," ucap Hafiz mantap.
"Bukan sanggup atau tidak sanggup, Ustadz, tapi Ibu Azizah ngotot ingin melahirkan secara normal."
"Lakukan saja yang terbaik, Dok. Saya akan mencoba untuk membujuk Azizah agar dia mau melahirkan secara caesar. Saya akan mendatangani surat pernyataan izin tindakan." Akhirnya Hafiz memutuskan dengan dibarengi anggukan dari bibi Sarah.
"Terima kasih, Ustadz. Sekarang silahkan ditandatangani dulu." Seorang asisten dokter memberikan sebuah selembar kertas yang harus dia tandatangani
***
"Maafkan Adek, Bang. Adek belum bisa menjadi Ibu yang seutuhnya." Azizah meneteskan air mata saat mengetahui kalau dirinya harus menjalani operasi caesar."Adek adalah ibu yang seutuhnya buat buah hati kita, terlepas bagaimanapun cara Adek melahirkan. Ini hanya soal cara kamu melahirkan, Sayang."
"Adek adalah ibu yang sempurna. Insya Allah. Seorang ibu adalah madrasah pertama buat anak-anaknya. Jangan hiraukan apa kata orang." Hafiz mengusap air mata yang menetes di pipi Azizah dengan lembut.
Hafiz masih mencuri ciuman di kening dan mengecup punggung tangan istrinya sebelum akhirnya merelakan Azizah dibawa oleh petugas medis ke ruangan operasi.
"Kita banyak berdoa saja, Hafiz. Tenanglah. Azizah akan baik-baik saja." ucap bibi Sarah. Wanita itu terlihat tegar dan bisa mengendalikan diri. Hafiz mendudukkan tubuhnya di kursi panjang berdampingan dengan bibi Sarah.
"Hannah waladat Maryam, Maryam waladat Isa, ukhruj ayyuhal mauluud, bibarkati malikil ma'buud." Kalimat itu berkali-kali dia ucapkan, demikian juga dengan bibi Sarah.
Menit demi menit terasa begitu berharga, berjalan dengan begitu lambat di dalam penantiannya akan sebuah kabar baik tentang kelahiran anaknya.
Drttt drttt ...
Hafiz mengambil ponsel dari saku bajunya.
Keningnya berkerut. Naura?
[Assalamu alaikum, Abang lagi apa?]
[Wa alaikum salam. Aku sedang di rumah sakit, Dek. Azizah mau melahirkan]
Hafiz menghela nafas panjang.
[Semoga lancar semuanya ya, Bang. Adek akan berdoa dari sini]
[Iya, terima kasih, Dek]
Tanpa menunggu balasan dari Naura, Hafiz langsung mematikan data internet dan menaruh ponsel kembali ke saku bajunya.
Hafiz menoleh kepada bibi Sarah. Perempuan setengah tua itu nampak memejamkan mata sembari mulutnya berkomat-kamit.
Ah.. kenapa waktu berjalan terasa begitu lambat?
***
Kalimat demi kalimat adzan terlontar lirih dari mulut Hafiz masuk ke indera pendengaran bagian kanan putra kecilnya. Allahu Akbar!
Hafiz menggendong putranya dengan gemetar seraya kembali mendekatkan mulut ke telinga mungil bagian kiri itu untuk melantunkan bacaan iqamat.
Hafiz memandang wajah suci itu dengan perasaan takjub. Garis wajahnya begitu mirip dengannya. Mata, hidung, bibir, ah semuanya. Hatinya membuncah dalam haru.
"Selamat datang putraku, Sayang." Hafiz berbicara dalam hati.
"Bagaimana keadaan ibunya, Dok?" tanyanya.
"Ibunya baik-baik saja. Sebentar lagi proses operasi selesai," jawab dokter Raisya. "Selamat ya, Ustadz."
"Terima kasih, Dokter." Hafiz membalas. Dia menyerahkan bayi mungil itu ke dalam gendongan bibi Sarah.
"Tampan sekali cucu Nenek," ucap bibi Sarah. Dia begitu antusias memandangi bayi mungil itu.
"Mau di beri nama apa, Hafiz?" tanya bibi Sarah sembari mengembangkan senyumnya.
"Belum tahu, Bibi. Nanti saja. Siapa tahu Azizah sudah menyiapkan nama yang bagus." Hafiz mengusap ubun-ubun putra kecilnya. Dia begitu tenang dalam dekapan bibi Sarah.
***
"Selamat ya, Dek. Hari ini sudah sempurna dirimu menjadi seorang ibu." Hafiz mengecup kening istrinya penuh haru."Terima kasih, Abang. Abang sekarang sudah menjadi seorang ayah." Dia tersenyum manis.
"Abang yang seharusnya berterima kasih karena Adek sudah melahirkan seorang anak buat Abang."
"Itu sudah menjadi tugas Adek."
"Abang tahu. Abang hanya merasa sangat bahagia." Hafiz menggenggam tangan istrinya mesra.
Dia memandangi wajah cantik itu. Sosok tubuh yang tengah terbaring tak berdaya di ranjang sempit. Ada rasa haru yang kembali menyeruak mengingat pengorbanannya dalam memberikan seorang keturunan. Tubuh kurus yang kini di hiasi oleh jahitan dari luka bekas sayatan yang masih basah.
"Terima kasih, sayangku. Aku mencintaimu," bisik Hafiz. "Adek mau hadiah apa?"
Azizah menggelang lemah.
"Adek tidak meminta apa-apa. Kasih sayang Abang sudah cukup buat Adek." Matanya menatap laki-laki itu dalam-dalam.
"Abang ingin memberikan kamu hadiah untuk menandai kelahiran anak kita," ucapnya. "Sebutkan saja, Sayang. Asal Abang sanggup pasti Abang kabulkan."
"Sungguhkah Abang?" Dia mengulas senyum manis sembari tetap menggenggam tanganku. "Yakin Abang sanggup?"
"Abang bersungguh-sungguh, Sayang. Adek mau minta apa?"
"Kalau boleh, jadikan Adek sebagai Khadijah-nya Abang ..."
Ya Allah, betapa sulitnya mewujudkan permintaan itu!
Hafiz tak tahu apa gerangan yang ada di kepala Azizah. Memang wajar dia meminta seperti itu, tetapi di dalam keadaan sekarang, rasanya permintaan itu tidak bisa dia kabulkan.
"Abang tidak bisa berjanji, Dek, tapi Abang akan berusaha untuk mengabulkan permintaanmu," ucapnya sembari membelai pipi istrinya.
"Adek tahu Abang akan berusaha sekuat mungkin, tapi pada kenyataannya Abang tak bisa, kan?" Senyuman Azizah berubah menjadi kecut.
"Maafkan Abang ya, Abang tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah perjodohan itu."
"Seperti halnya ketika Abang menikahi Yasmin, mungkin akan sangat sulit bagi Abang untuk menolak menikahi Naura. Akan tetapi, Naura berpesan kepada Abang, bahwa Naura hanyalah seorang gadis cacat yang menginginkan seseorang untuk menjadi imamnya. Naura bukanlah sebanding dengan istri pertama Abang."
"Tetap saja dia adalah putri seorang kiai, Bang. Mana mungkin Azizah bisa menyaingi pengaruhnya di dalam keluarga Abang?"
"Serahkan semuanya kepada Allah, Dek. Kita hanya bisa berusaha, tetapi ada banyak hal yang membuat kita harus yakin bahwa sekeras apapun usaha kita tetap saja di dalam hati harus dibarengi dengan kepasrahan atas semua kehendakNya."
"Adek memahami itu, Bang, sebesar Adek memahami Abang. Adek tak pernah menentang Abang untuk menikahi siapapun, tapi sebagai seorang wanita Adek merasa sedih dan tak ingin untuk berbagi."
"Abang tahu itu, Dek, tapi sudahlah. Apa yang akan terjadi, nanti kita pikirkan. Sekarang Adek mau hadiah apa?" Hafiz berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.
"Adek tidak menginginkan apa-apa, Bang." Senyum kecut itu masih terasa manis di hadapan Hafiz, meski dia tahu bagaimana perasaan istrinya saat ini.
"Bang, bolehkah Adek memberikan nama untuk putra kita?" tanya Azizah.
"Boleh. Apa nama yang pantas buat anak kita?"
"Adek akan memberikan nama putra kita, Ibrahim, seperti nama yang diberikan oleh Rasulullah kepada putranya yang lahir dari rahim sayyidah Mariyah Al Qibtiyah, seorang wanita yang merupakan hadiah dari raja Mesir."
"Apa alasan Adek memberikan nama itu?" tanya Hafiz. Dia ingin menguji sejauh mana pengetahuan Azizah tentang sejarah Ummul mukminin.
"Sayyidah Mariyah Al Qibtiyah, beliau adalah wanita yang merupakan hadiah dari raja Mesir kepada Rasulullah. Beberapa riwayat bahkan menyatakan beliau tidak dinikahi oleh Rasulullah dan berstatus sebagai jariyah, sehingga beliau ditempatkan Rasulullah di luar kota Madinah, sebuah tempat bernama 'Alia."
"Hal itu boleh dikatakan sama dengan nasib yang menimpa Azizah. Azizah menempati rumah yang merupakan peninggalan dari orang tua Azizah. Azizah tidak tinggal di rumah yang disediakan oleh pihak pesantren."
"Sekarang Abang pikir, apa bedanya Azizah dengan Sayyidah Mariyah Al Qibtiyah? Sebagai seorang istri, Azizah hanya sekedar seorang istri, bukan pendamping buat Abang. Azizah hanya melayani Abang seperti halnya seorang jariyah melayani tuannya. Azizah tidak memiliki peran apapun di dalam kehidupan dan karir Abang di pesantren."
"Azizah rasa, kami berdua memiliki cinta yang sama. Cinta seorang jariyah kepada tuannya. Cinta yang tidak meminta apapun, bahkan status sekalipun. Azizah dinikahi hanya untuk menghalalkan pergaulan kita. Kalaupun Azizah melahirkan seorang anak buat Abang, status Azizah lebih mirip sebagai Ummul walad. Jadi apakah salah, kalau Azizah memberi nama putra kita dengan nama Ibrahim?"
Bab 7Suara Azizah terdengar serak saat mengucapkan kata-kata itu. Ada titik bening jatuh dari sudut matanya. Hafiz mengusapnya dengan lembut. Dadanya bergemuruh menahan rasa yang serasa ingin meledak. Ucapan Azizah menohok hatinya."Maafkan Abang, Sayang. Abang minta maaf kalau sikap Abang selama ini tidak menyenangkan Adek. Abang berjanji akan memperjuangkan peran dan arti kehadiranmu dalam keluarga besar Abang," sesalnya. Dia tak menyangka Azizah sampai berpikiran sejauh itu."Adek tidak minta apa-apa, Bang. Adek sudah cukup puas dengan kehadiran Ibrahim di tengah hubungan kita. Adek pun sudah lega karena sudah menyampaikan ini kepada Abang.""Sekarang Adek akan membebaskan Abang untuk mengambil keputusan." Perempuan itu menghela nafas dengan di sertai sebuah rintihan. Dia tahu, tak ada yang bisa di lakukan untuk merubah keputusan sang suami untuk menikahi perempuan lain.Hafiz mengusap pipi istrinya dengan penuh sayang. "Adek terlalu banyak berbicara. Sebaiknya Adek istirahat dulu
Bab 8"Ini cucu Abah, kan? Selamat ya, Nak." Tangan tua itu mengelus ubun-ubun bayi itu dengan hati-hati seraya merapal doa."Iya, Abah. Azizah memberinya nama Ibrahim," sahut Azizah. Terlihat jelas ia terharu dengan perlakuan ayah mertuanya."Nama yang bagus. Semoga menjadi kekasihNya sebagaimana nabi Ibrahim As." Laki-laki tua itu tersenyum."Bolehkah Abah menambahkan namanya?""Boleh, Abah." Azizah menganggukan kepala. Ia kembali mengusap kepala putra kecilnya."Muhammad Ibrahim Al Fazari," kata laki-laki tua itu.Hafiz memandang ayahnya dengan perasaan takjub."Muhammad Ibrahim Al Fazari? Bukankah itu nama seorang filsuf, ahli matematika dan astronomi di jaman kekhalifahan Abbasiyah?" tanya Hafiz."Iya. Semoga cucuku menjadi cendikiawan muslim di generasi selanjutnya," jawabnya. Mata tua itu terlihat berbinar."Amin.." Hafiz, Azizah dan bibi Sarah serentak mengaminkan."Mohon bimbingan Abah agar Hafiz bisa mendidiknya menjadi orang yang kita harapkan," sahutnya."Kita akan mengasu
Bab 9"Adek baru saja melahirkan, Bang." lirih suara Azizah. "Abang tahu dan Abang akan menunggu sampai kamu siap dan kondisimu pulih kembali. Percayalah, Abang tak akan membuatmu kekurangan perhatian. Abang akan berusaha sekuatnya untuk terus mencurahkan kasih sayang Abang kepadamu dan Ibrahim," ucapnya. Hafiz membiarkan kepala sang istri bersandar di bahunya."Sebelumnya Abang pernah berjanji untuk tidak mengambil istri lagi setelah Abang menceraikan Yasmin," gugat Azizah."Maafkan Abang ya. Abang tidak bisa menepati janji," sahut Hafiz."Apapun yang terjadi, Abang akan selalu mencintaimu. Jangan khawatir, Dek. Adek adalah cinta pertama Abang sampai kapanpun."Tangannya bergerak meraih wajah cantik itu. Mendekatkan wajah nan sendu itu dengan wajahnya. Mereka saling menatap. Mencoba menyelami isi hati masing-masing. Hafiz mulai menyusuri wajah Azizah dengan jemarinya. Menyeka tetes bening yang jatuh di pipi mulus Azizah. "Tunggu Adek pulih ya, Bang. Jangan nikah dulu." Azizah teris
Bab 10Hafiz merebahkan tubuh Azizah di pembaringan. Dengan penuh kelembutan, dia menelusuri setiap senti di wajah Azizah dengan bibirnya. Azizah harus tahu, seorang Hafiz begitu mencintainya dan tidak pernah bermaksud untuk menjadikan pernikahan ketiganya ini sebuah kesempatan buat dirinya sebagai seorang laki-laki untuk melampiaskan hasrat dan nafsu kelelakiannya. Baginya cukuplah Azizah yang menjadi bidadari halalnya.Hafiz semakin memperdalam ciumannya. Azizah mendesah ketika mulut Hafiz menyusuri lehernya dan memberikan gigitan-gigitan kecil sebagai tanda kepemilikan."Abang," desah Azizah."Mendesahlah, Sayang, sebut nama Abang. Abang menyukainya," suara seraknya penuh dengan kabut gairah. Hafiz mengambil sehelai kain dan menyelimuti tubuh mereka.Seakan berpacu dengan waktu, Hafiz menari diatas tubuh istrinya yang indah. Sesekali suara erangan erotis Azizah seperti instrumen yang membuatnya semakin terbakar oleh gairah. Gairah seorang lelaki muda yang haus dengan manisnya madu
Bab 11"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha linafsi bi mahril madzkur haalan, ala manhaji Kitabillah wa sunnati Rasulillah. Aku terima nikah dan kawin dia (Naura Allysia Salsabila binti KH. Ahmad Nawawi) untuk diriku dengan mahar yang telah disebut tadi tunai, di atas manhaj kitab Allah dan sunnah Rasulullah.""Sah!" "Barokalllah." Suara-suara terdengar bersahutan dengan nada penuh kegembiraan.Hafiz melepaskan genggaman tangan kiai Nawawi yang sekarang sudah resmi menjadi ayah mertuanya. Dadanya bergetar hebat. Serasa berton-ton beban ditimpakan kepadanya. Resmi sudah dia memegang tampuk kepemimpinan atas diri Naura, seorang gadis yang bahkan belum pernah sekalipun dia lihat bagaimana rupanya.Arrijaalu qawwamuna alan nisa.... Laki-laki itu menjadi pemimpin bagi kaum wanita. Setiap laki-laki yang memutuskan untuk memiliki istri lebih dari satu, hendaknya bisa memahami semua ini.Memiliki istri lebih dari satu seharusnya yang dipikirkan bukan cuma enaknya, tetapi juga tanggung jawabnya. S
Bab 12"Adek," bisiknya.Tangannya terulur menyusuri tiap jengkal dari wajah mulus milik Naura. Hatinya gemetar. Ingatannya melayang kembali mengingat peristiwa sebelas tahun yang lalu. Ketika dia singgah di sebuah masjid dan melihat sebuah tas yang teronggok di salah satu sudut ruangan. Tak ada seorangpun yang dia temui di mesjid itu mengaku sebagai pemiliknya.Hafiz memberanikan diri membuka tas, sekedar mencari tahu siapa pemiliknya. Barangkali ada identitas diri yang tersimpan di dalam tas. Tak sengaja dia menemukan seuntai kalung emas dengan liontin sederhana berbentuk hati dengan sebuah permata di tengahnya."Abang ingat sekarang," ucap Hafiz sembari menepuk jidat. "Abang menemukan identitas Abah di dalam tas. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Darul Falah. Abang pun pergi ke sana dan menyerahkan tas itu."Naura menganggukkan kepala"Abah berulangkali menceritakan kebaikan pemuda itu kepada Adek. Beliau sangat salut dengan pemuda itu yang ternyata sangat jujur dan amanah.
Bab 13"Bukan soal menolak atau tidak, Abah, tetapi Hafiz merasa dibohongi. Naura memberikan gambaran tentang dirinya yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya.""Istrimu sama sekali tidak berbohong, Nak," sahut laki-laki tua itu. Beliau menepuk pundak Hafiz."Maksud Abah?" kejar Hafiz."Dia tidak berbohong, Nak. Dia memang lumpuh. Dia tidak bisa berjalan. Kakinya tidak bisa berjalan ke tempat-tempat yang dimurkai oleh Allah. Dia tidak bisa melangkahkan kakinya ke tempat-tempat maksiat. Itulah maksud tersembunyi dari ucapan Naura," jelas kiai Nawawi."Subhanallah...." Hafiz berseru dan setelah itu mengucap takbir."Hafiz tidak menyangka, masih ada wanita seperti itu di zaman sekarang." Laki-laki itu berdecak kagum."Itulah kenyataannya, Nak. Sebagian besar waktu Naura dihabiskan dengan menghafal Al-Qur'an sejak kecil. Dia berhasil menghafal 15 juz saat usianya baru 7 tahun dan berhasil menghatamkan Alquran di umur 10 tahun. Alhamdulillah," ucap laki-laki itu. Pandangan matanya me
Bab 14Lagi-lagi perempuan itu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya."Astaga.. malu lagi, istri Abang," godanya. Hafiz meraih tangan itu dan mengecupnya sekilas."Ketahuilah, sayangku, malu itu perhiasan setiap wanita, tetapi perhiasannya itu harus dia tanggalkan di saat berada di hadapan suaminya. Ketika dia sedang berhadapan dengan laki-laki lain, perhiasan itu harus dikenakannya kembali," ucap Hafiz."Itu adalah pengalaman pertama buat Adek," katanya lirih."Abang juga tahu kalau itu pengalaman pertama buat Adek." Hafiz mengacak rambut Naura. "Terima kasih ya, sudah mau menjaganya untuk Abang.""Maaf, Sayang, kalau kemarin malam rasanya agak sakit. Abang tidak bermaksud untuk menyakitimu." Hafiz kembali mendaratkan sebuah kecupan di kening Naura."Tak apa, Bang. Itu sudah hak Abang sebagai seorang suami dan kewajiban Adek untuk melayani Abang," sahutnya."Terima kasih ya, Sayang. Oh ya, besok kita akan segera pindah ke rumah yang baru. Rumah itu sebenarnya adalah rumah yang