Bab 5
Tarik ulur. Itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan yang tengah ia jalani dengan Naura saat ini. Di satu sisi dia harus menjaga perasaan Azizah, tapi di sisi lain dia juga tidak bisa menolak Naura serta-merta mengingat kedudukan gadis itu.Hafiz tahu, satu-satunya jalan untuk menggagalkan perjodohan itu adalah membujuk Naura agar ia berubah pikiran. Akan tetapi, meluluhkan hati gadis keras kepala itu tidaklah mudah.
Di sisi hatinya yang lain, sebenarnya Hafiz merasa iba dengan gadis itu. Seorang gadis yang katanya cacat di kakinya dan menjadi alasan mundurnya beberapa laki-laki yang pernah ingin mengkhitbahnya.
Ah, kenapa harus ada laki-laki seperti itu? Padahal kalau di nilai, betapa banyak kelebihan yang di miliki gadis itu, terutama dari sisi agamanya. Sebagai putri dari pengasuh pondok pesantren yang cukup besar, bahkan lebih besar dari pesantren Al Istiqomah, pastinya sejak kecil Naura mendapat pendidikan agama yang sangat ketat dari abahnya, kiai Nawawi.
Sudah kodratnya laki-laki menyukai perempuan cantik secara fisik. Namun, hanya laki-laki beriman yang mau memandang perempuan dengan hatinya. Hanya hati laki-laki yang tulus yang bisa mengenali hakekat kecantikan seorang wanita.
"Ah, ada apa denganku? Kenapa sejak tadi aku terus memikirkan gadis itu?" keluh Hafiz seraya mengucap istighfar berkali-kali.
Hafiz bangkit dari tempat duduk dan bergegas menuju kamar mandi. Dia melihat sekilas wajah istrinya yang tertidur lelap sebelum memutuskan menutup pintunya.
Sekembalinya dari kamar mandi, wajahnya terasa lebih segar. Hafiz mengganti pakaian dengan baju koko dengan sarung sebagai bawahannya. Tak lupa memasangkan kopiah di kepala.
Hafiz menggelar sajadah dengan hati yang masih berkecamuk.
Di tengah kegalauannya, ia memutuskan untuk melaksanakan shalat istikharah. Shalat yang biasa ia kerjakan jika sedang dilema, di hadapkan oleh berbagai pilihan yang sama-sama berat.
"Amin ...." Hafiz mengusap kedua telapak tangan ke wajahnya usai berdoa.
"Alhamdulillah, semoga apapun yang terjadi adalah yang terbaik untukku dan juga seluruh keluarga besarku," gumam Hafiz.
Hafiz merasa sedikit lebih tenang. Dia kembali memandangi istrinya yang masih saja tertidur lelap. Wajah cantik itu tampak begitu layu. Hafiz tahu, belakangan ini Azizah terlalu banyak pikiran diakibatkan dengan persoalan tawaran dari kiai Nawawi.
Hafiz melipat sajadah dan meletakkan kembali di tempatnya. Dia melepas kopiah dan baju koko serta sarung yang tadi digunakan untuk shalat istikharah. Dia menggantinya dengan baju kaos lengan pendek dengan celana selutut.
Dengan langkah lebar, laki-laki itu mendekati pembaringan tempat istrinya yang tengah tertidur. Sejenak dia mengamati wajah teduh itu. Ada perasaan iba yang tiba-tiba menyeruak.
Ya Allah, kenapa mereka harus mengalami masa sulit ini?
Ini benar-benar sulit. Rasanya, keputusan apapun yang ia pilih, pasti akan ada pihak yang tersakiti.
Hafiz merebahkan dirinya di sisi Azizah dengan merentangkan kedua tangan untuk memeluknya. Sebuah kecupan lembut mendarat di kening mulus ini. Sampai saat ini, perasaannya masih saja diliputi oleh kebimbangan.
Terkadang Hafiz merasa lelah dengan kehidupannya. Akan tetapi, sebuah kepercayaan senantiasa menjadi kekuatan yang membuatnya bisa bertahan. Setiap manusia memiliki kapasitas yang berbeda, sehingga cobaan yang datang pun sudah sesuai dengan batas penerimaan kita.
"Kuat ya, Sayang. Kita pasti akan bisa melewati semua ini."
Laki-laki itu menghela nafas. Betapa sekarang dia merasakan sosok Azizah sangat berarti bagi hidupnya.
***
Allahu Akbar....
Allahu Akbar....Kesadarannya mulai terkumpul ketika dia rasakan sebuah benda kenyal nan basah menyentuh bibirnya. Ketika Hafiz membuka mata, dia melihat wajah mereka kini tak lagi memiliki jarak.
"Sayang," suaranya serak. Azizah mengalungkan kedua tangannya di lehernya.
"Kangen," bisiknya manja.
"Oh, ya? Kangen apa?" Hatiz mengerlingkan matanya penuh arti.
"Kangen Abang." Wajahnya memerah malu-malu.
"Abang selalu ada di sini setiap hari. Masa Adek kangen sih?" Hafiz pura-pura tidak mengerti makna ucapan istrinya.
"Bukan itu, Abang. Adek kangen ..." Azizah tak melanjutkan ucapannya. Dia melepaskan tangannya dari leher sang suami.
"Nggak jadi kangen, ah. Abang nggak peka," keluhnya. Dia pun melepaskan diri dari pelukan Hafiz.
"Kita shalat subuh dulu ya, Sayang. Sesudah itu, baru kita lanjut temu kangennya," goda Hafiz sembari menatap nakal wanita hamil itu.
Brakk..
Hafiz menggelengkan kepala melihat tingkah Azizah yang mirip anak kecil yang merajuk lantaran tidak di beri permen lollipop.
Laki-laki bangkit dari tempat tidur setelah melihat istrinya keluar dari kamar mandi. Terlihat jelas dia melangkah agak kesusahan karena perut besarnya. Cara dia berjalan membuat Hafiz tersenyum. Tubuhnya yang mungil kontras sekali dengan perutnya.
Entah kenapa, dimata Hafiz, gerak gerik Azizah terasa begitu menggemaskan. Dia sangat menyukainya. Dengan perut besarnya, Azizah tampak begitu seksi.
Azizah mulai memasang mukenanya, sementara Hafiz masuk ke dalam kamar mandi.
***
"Aduuh," erang Azizah ketika di rasakan perutnya mulai terasa sakit lagi.
Ini entah keberapa kali ia mengalaminya. Setelah selesai shalat subuh tadi, ia merasakan ada yang berbeda. Kontraksi semakin sering ia alami dengan di barengi rasa mules yang nyaris tiada tertahankan.
Alhasil, acara temu kangen yang di janjikan Hafiz pun gagal total.
"Tahan ya, Sayang. Kita ke rumah sakit sekarang," ujar Hafiz. Lelaki itu berusaha untuk tidak panik, meski tak ayal perasaannya tak karuan.
Hafiz segera mengambil tas besar berisi perlengkapan bayi dan ibunya yang memang sudah di persiapkan oleh Azizah beberapa hari sebelumnya.
Hafiz memapah Azizah yang tertatih berjalan menuju mobil. Di rumah ini memang tak ada siapa-siapa yang bisa mereka mintai tolong. Tak ada asisten rumah tangga, pembantu, khadimah, atau apapun sebutannya. Bahkan rumah ini agak jauh dari pemukiman warga.
Hafiz berusaha untuk tetap tenang dalam mengemudikan mobil. Sesekali dia melirik Azizah yang terus meringis kesakitan.
"Tahan sedikit ya, Sayang. Sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit." Dia mengusap kepala Azizah dengan tangan kirinya.
"Sambil membaca zikir, Sayang. Kamu pasti kuat!" Hafiz semakin menambah kecepatan laju mobil. Tak sampai hati rasanya mendengar rintihan yang terus menerus keluar dari mulut istrinya.
"Allahu ... Allahu ... Allahu ...."
Bab 6Waktu berjalan terasa begitu lambat. Menit demi menit. Hafiz menunggu di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat, di mana Azizah tengah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan buah hati mereka. Hafiz melihat dari kejauhan sesosok perempuan setengah baya tergopoh-gopoh berjalan menghampirinya."Bagaimana kondisi Azizah, Hafiz?" Perempuan tua itu bertanya dengan nafasnya yang masih tersengal.Hafiz mengenalinya sebagai bibi Sarah, orang yang selama ini berjasa merawat Azizah sejak kecil."Masih ditangani di ruangan, Bi," sahutnya seraya menunjuk ke depan pintu. Bibi Sarah mengikuti arah tangan Hafiz, lalu menghela nafas. "Semoga anak itu baik-baik saja," harapnya."Hannah waladat Maryam, Maryam waladat Isa, ukhruj ayyuhal mauluud, bibarkati malikil ma'buud." Perempuan setengah tua itu berkali-kali mengucapkan kalimat itu. Hafiz mengiringi dengan bibir gemetar."Dia akan baik-baik saja." Ucapan bibi Sarah menyadarkan Hafiz dari segenap kecemasan yang melingkupi perasaannya
Bab 7Suara Azizah terdengar serak saat mengucapkan kata-kata itu. Ada titik bening jatuh dari sudut matanya. Hafiz mengusapnya dengan lembut. Dadanya bergemuruh menahan rasa yang serasa ingin meledak. Ucapan Azizah menohok hatinya."Maafkan Abang, Sayang. Abang minta maaf kalau sikap Abang selama ini tidak menyenangkan Adek. Abang berjanji akan memperjuangkan peran dan arti kehadiranmu dalam keluarga besar Abang," sesalnya. Dia tak menyangka Azizah sampai berpikiran sejauh itu."Adek tidak minta apa-apa, Bang. Adek sudah cukup puas dengan kehadiran Ibrahim di tengah hubungan kita. Adek pun sudah lega karena sudah menyampaikan ini kepada Abang.""Sekarang Adek akan membebaskan Abang untuk mengambil keputusan." Perempuan itu menghela nafas dengan di sertai sebuah rintihan. Dia tahu, tak ada yang bisa di lakukan untuk merubah keputusan sang suami untuk menikahi perempuan lain.Hafiz mengusap pipi istrinya dengan penuh sayang. "Adek terlalu banyak berbicara. Sebaiknya Adek istirahat dulu
Bab 8"Ini cucu Abah, kan? Selamat ya, Nak." Tangan tua itu mengelus ubun-ubun bayi itu dengan hati-hati seraya merapal doa."Iya, Abah. Azizah memberinya nama Ibrahim," sahut Azizah. Terlihat jelas ia terharu dengan perlakuan ayah mertuanya."Nama yang bagus. Semoga menjadi kekasihNya sebagaimana nabi Ibrahim As." Laki-laki tua itu tersenyum."Bolehkah Abah menambahkan namanya?""Boleh, Abah." Azizah menganggukan kepala. Ia kembali mengusap kepala putra kecilnya."Muhammad Ibrahim Al Fazari," kata laki-laki tua itu.Hafiz memandang ayahnya dengan perasaan takjub."Muhammad Ibrahim Al Fazari? Bukankah itu nama seorang filsuf, ahli matematika dan astronomi di jaman kekhalifahan Abbasiyah?" tanya Hafiz."Iya. Semoga cucuku menjadi cendikiawan muslim di generasi selanjutnya," jawabnya. Mata tua itu terlihat berbinar."Amin.." Hafiz, Azizah dan bibi Sarah serentak mengaminkan."Mohon bimbingan Abah agar Hafiz bisa mendidiknya menjadi orang yang kita harapkan," sahutnya."Kita akan mengasu
Bab 9"Adek baru saja melahirkan, Bang." lirih suara Azizah. "Abang tahu dan Abang akan menunggu sampai kamu siap dan kondisimu pulih kembali. Percayalah, Abang tak akan membuatmu kekurangan perhatian. Abang akan berusaha sekuatnya untuk terus mencurahkan kasih sayang Abang kepadamu dan Ibrahim," ucapnya. Hafiz membiarkan kepala sang istri bersandar di bahunya."Sebelumnya Abang pernah berjanji untuk tidak mengambil istri lagi setelah Abang menceraikan Yasmin," gugat Azizah."Maafkan Abang ya. Abang tidak bisa menepati janji," sahut Hafiz."Apapun yang terjadi, Abang akan selalu mencintaimu. Jangan khawatir, Dek. Adek adalah cinta pertama Abang sampai kapanpun."Tangannya bergerak meraih wajah cantik itu. Mendekatkan wajah nan sendu itu dengan wajahnya. Mereka saling menatap. Mencoba menyelami isi hati masing-masing. Hafiz mulai menyusuri wajah Azizah dengan jemarinya. Menyeka tetes bening yang jatuh di pipi mulus Azizah. "Tunggu Adek pulih ya, Bang. Jangan nikah dulu." Azizah teris
Bab 10Hafiz merebahkan tubuh Azizah di pembaringan. Dengan penuh kelembutan, dia menelusuri setiap senti di wajah Azizah dengan bibirnya. Azizah harus tahu, seorang Hafiz begitu mencintainya dan tidak pernah bermaksud untuk menjadikan pernikahan ketiganya ini sebuah kesempatan buat dirinya sebagai seorang laki-laki untuk melampiaskan hasrat dan nafsu kelelakiannya. Baginya cukuplah Azizah yang menjadi bidadari halalnya.Hafiz semakin memperdalam ciumannya. Azizah mendesah ketika mulut Hafiz menyusuri lehernya dan memberikan gigitan-gigitan kecil sebagai tanda kepemilikan."Abang," desah Azizah."Mendesahlah, Sayang, sebut nama Abang. Abang menyukainya," suara seraknya penuh dengan kabut gairah. Hafiz mengambil sehelai kain dan menyelimuti tubuh mereka.Seakan berpacu dengan waktu, Hafiz menari diatas tubuh istrinya yang indah. Sesekali suara erangan erotis Azizah seperti instrumen yang membuatnya semakin terbakar oleh gairah. Gairah seorang lelaki muda yang haus dengan manisnya madu
Bab 11"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha linafsi bi mahril madzkur haalan, ala manhaji Kitabillah wa sunnati Rasulillah. Aku terima nikah dan kawin dia (Naura Allysia Salsabila binti KH. Ahmad Nawawi) untuk diriku dengan mahar yang telah disebut tadi tunai, di atas manhaj kitab Allah dan sunnah Rasulullah.""Sah!" "Barokalllah." Suara-suara terdengar bersahutan dengan nada penuh kegembiraan.Hafiz melepaskan genggaman tangan kiai Nawawi yang sekarang sudah resmi menjadi ayah mertuanya. Dadanya bergetar hebat. Serasa berton-ton beban ditimpakan kepadanya. Resmi sudah dia memegang tampuk kepemimpinan atas diri Naura, seorang gadis yang bahkan belum pernah sekalipun dia lihat bagaimana rupanya.Arrijaalu qawwamuna alan nisa.... Laki-laki itu menjadi pemimpin bagi kaum wanita. Setiap laki-laki yang memutuskan untuk memiliki istri lebih dari satu, hendaknya bisa memahami semua ini.Memiliki istri lebih dari satu seharusnya yang dipikirkan bukan cuma enaknya, tetapi juga tanggung jawabnya. S
Bab 12"Adek," bisiknya.Tangannya terulur menyusuri tiap jengkal dari wajah mulus milik Naura. Hatinya gemetar. Ingatannya melayang kembali mengingat peristiwa sebelas tahun yang lalu. Ketika dia singgah di sebuah masjid dan melihat sebuah tas yang teronggok di salah satu sudut ruangan. Tak ada seorangpun yang dia temui di mesjid itu mengaku sebagai pemiliknya.Hafiz memberanikan diri membuka tas, sekedar mencari tahu siapa pemiliknya. Barangkali ada identitas diri yang tersimpan di dalam tas. Tak sengaja dia menemukan seuntai kalung emas dengan liontin sederhana berbentuk hati dengan sebuah permata di tengahnya."Abang ingat sekarang," ucap Hafiz sembari menepuk jidat. "Abang menemukan identitas Abah di dalam tas. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Darul Falah. Abang pun pergi ke sana dan menyerahkan tas itu."Naura menganggukkan kepala"Abah berulangkali menceritakan kebaikan pemuda itu kepada Adek. Beliau sangat salut dengan pemuda itu yang ternyata sangat jujur dan amanah.
Bab 13"Bukan soal menolak atau tidak, Abah, tetapi Hafiz merasa dibohongi. Naura memberikan gambaran tentang dirinya yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya.""Istrimu sama sekali tidak berbohong, Nak," sahut laki-laki tua itu. Beliau menepuk pundak Hafiz."Maksud Abah?" kejar Hafiz."Dia tidak berbohong, Nak. Dia memang lumpuh. Dia tidak bisa berjalan. Kakinya tidak bisa berjalan ke tempat-tempat yang dimurkai oleh Allah. Dia tidak bisa melangkahkan kakinya ke tempat-tempat maksiat. Itulah maksud tersembunyi dari ucapan Naura," jelas kiai Nawawi."Subhanallah...." Hafiz berseru dan setelah itu mengucap takbir."Hafiz tidak menyangka, masih ada wanita seperti itu di zaman sekarang." Laki-laki itu berdecak kagum."Itulah kenyataannya, Nak. Sebagian besar waktu Naura dihabiskan dengan menghafal Al-Qur'an sejak kecil. Dia berhasil menghafal 15 juz saat usianya baru 7 tahun dan berhasil menghatamkan Alquran di umur 10 tahun. Alhamdulillah," ucap laki-laki itu. Pandangan matanya me