Bab 4
"Wah, ini cantik sekali, Sayang. Coba deh kamu pakai." Hafiz menunjuk sebuah gelang cantik di etalase. Seorang pelayan toko mengambilkan gelang yang di maksudnya. Hafiz memasangkan gelang itu ke lengan kiri Azizah."Cantik, Sayang. Pas sekali dengan ukuran tangan Adek. Sepertinya memang jodoh." Hafiz mengecup punggung tangan Azizah tanpa peduli dengan tatapan aneh pelayan toko yang berdiri di hadapan mereka.
"Cantik juga harganya, Bang," bisik Azizah.
"Lebih cantik wanita yang memakainya. Adek jangan khawatir. Abang masih sanggup bayar." Laki-laki itu mengambil dompet dan mengeluarkan kartu saktinya yang lantas diberikannya kepada pelayan toko.
"Mau langsung dipakai atau disimpan dulu, Dek?" tawarnya.
"Langsung di pakai saja, Bang. Adek suka," sahutnya dengan mata yang terlihat berbinar.
Hafiz kembali menggandeng tangan itu setelah menerima kembali kartu saktinya dan transaksi pembayaran selesai.
Hari ini dia sengaja menghabiskan waktu untuk Azizah. Semua pekerjaan di pondok dilimpahkan kepada ustadz lain, demikian juga dengan jadwal mengajar dan pengajian. Hafiz menikmati waktu seharian dengan menemani wanita yang akan segera melahirkan buah hatinya ini.
Setelah berbelanja keperluan bayi, makan siang serta shalat zuhur, Hafiz membawa Azizah duduk di taman kota. Sepanjang mata memandang hanyalah pokok-pokok bunga dan gerombolan tanaman kecil yang tertata rapi. Hafiz menghela napas panjang. Memandang keindahan dan hijau tanaman sedikitnya membuat otaknya kembali fresh.
Mereka duduk bersisian, begitu intim. Azizah menyandarkan kepalanya di bahu sang suami dengan mata yang masih tertuju kepada lengan kirinya. Bibirnya terlukis senyum saat melihat gelang cantik yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Adek menyukainya?" cicit Hafiz. Tangannya bergerak membelai kepala sang istri.
"Suka sekali, Abang. Makasih ya." Azizah masih terus mengembangkan senyumnya.
"Terima kasih untuk waktu Abang. Adek tahu, Abang sudah mengcancel semua kegiatan Abang hari ini hanya demi menemani Adek." Ucapannya terdengar begitu tulus.
"Tidak apa-apa, Sayang. Semuanya masih aman terkendali. Buat Abang, yang penting hari ini bidadari Abang yang cantik ini senang."
"Bidadari?"
"Adek adalah bidadari Abang di dunia dan akhirat." Hafiz mendaratkan kecupan singkat di keningnya. Azizah tersipu.
"Bukannya Azizah adalah bidadari yang tersisih?"
Hafiz tersentak kaget.
"Siapa bilang? Abang tidak pernah menyisihkan Adek." Hafiz membantah keras, sontak menatap sang istri dengan serius.
"Kalau ada putrinya kiai Nawawi, pasti Adek akan tersisih." Azizah menenggelamkan wajahnya semakin dalam di dada laki-laki itu. Hafiz memeluk Azizah erat-erat.
"Tak ada yang bisa menyisihkan kamu dari hati Abang. Meskipun ada perempuan lain yang hadir, nyatanya Azizah sudah memenjara hati Abang dengan sejuta pesona dan kesederhanaanmu. Adek tidak usah khawatir."
"Bagaimana dengan putri bungsu kiai Nawawi itu?" Azizah tak melanjutkan ucapannya.
"Namanya Naura, Sayang," sergah Hafiz.
"Iya, Naura. Dia adalah menantu idaman keluarga besar Abang."
"Azizah juga menantu idaman keluarga Abang. Insya Allah, pada saatnya."
Hanya itu yang bisa dia katakan untuk menghibur sang istri. Getir sekali. Ya, mengingat semua perlakuan keluarganya selama ini yang tidak menganggap keberadaan Azizah sebagai istri pilihannya.
Hal yang wajar memang kalau Azizah merasa cemas. Dia pasti tidak mau kalau kembali menjadi bahan perbandingan oleh keluarga besar suaminya, seperti yang pernah di alaminya saat Hafiz masih terikat pernikahan dengan Yasmin.
"Adek itu wanita salehah, cantik, cerdas, penghafal Al-Qur'an dan penuh kasih sayang."
"Adek ingat nggak sebuah hadist, yang isinya menerangkan keutamaan orang yang menghafal Al-Qur'an?"
Azizah menganggukkan kepala. "Azizah tahu, Bang. Orang-orang yang ahli Qur'an adalah Ahlullah," jawabnya.
"Tu, Adek tahu," kata Hafiz sembari mencubit hidung Azizah yang terhalang kain tipis.
"Allah mengakui orang-orang yang ahli Qur'an sebagai ahli-Nya, keluarga-Nya. Kenapa Adek harus takut tidak di anggap oleh keluarga Abang, sementara Allah sudah menganggap Adek sebagai keluarga-Nya?" Bibirnya mengurai senyuman.
Azizah menepuk jidatnya.
"Abang benar. Terima kasih sudah mengingatkan Adek." Dia meraih tangan kokoh itu dan menciumnya. Hafiz menghela nafas lega.
Sebenarnya tidak susah menghadapi Azizah. Hanya saja memang perlu waktu dan kepekaan rasa. Wanita itu memiliki perasaan yang sangat halus. Hafiz sendiri tidak bisa berlaku keras terhadapnya. Sekali saja berlaku keras, maka Azizah akan merajuk hingga berhari-hari.
Hafiz memilih memberi dukungan dan motivasi agar perempuan yang sebenarnya rapuh itu bisa kuat dalam menghadapi badai di dalam rumah tangga mereka.
***
Malam sudah semakin larut. Dengan gerakan perlahan, Hafiz melepaskan diri dari pelukan Azizah dan mengganti tubuhnya dengan boneka beruang kesayangan istrinya itu.
Laki-laki itu bergerak menjauh dari ranjang setelah memastikan tak ada sesuatu pun yang membuat wanita itu terbangun dari tidurnya. Sejenak dia terpaku, menatap wanita yang tengah tertidur pulas itu.
"Azizah," gumamnya. Hafiz membuka pintu kamar dengan hati-hati.
Tujuannya sekarang adalah teras depan yang hanya di hiasi oleh cahaya lampu dengan kekuatan beberapa watt. Suasana begitu temaram. Bahkan pepohonan yang tumbuh di halaman rumah membentuk bayangan hitam yang sepintas terlihat mengerikan. Hafiz duduk begitu saja di lantai setelah sebelumnya mengambil ponsel dari saku celananya.
[Naura, ini Abang]
Perlu waktu beberapa menit sampai gadis itu membalas pesannya. Hafiz memperhatikan di layar, dia tengah mengetik pesan balasan.
[Iya, Bang. Ada apa?]
[Dek, jangan terlalu berharap dengan Abang ya. Abang tidak bisa janji untuk menikahi kamu]
[Apa kendalanya, Bang? Kalau soal istri Abang, katakan kepadanya, Naura hanyalah gadis cacat yang tak mungkin bisa menggeser perhatian dan cinta Abang kepadanya]
[Abang tahu itu, Dek. Hanya saja, Abang belum siap untuk mengatakan apapun kepada Azizah. Abang tak mau menyakiti hatinya. Persepsi di antara wanita dalam menyikapi soal poligami boleh jadi akan berbeda. Azizah itu tidak punya siapa-siapa kecuali Abang]
[Kehadiranmu bertepatan pada situasi yang tak tepat. Saat ini Azizah sedang menunggu waktu untuk melahirkan dan butuh perhatian lebih dari Abang. Abang tak bisa memberi jawaban apapun. Kamu yang sabar ya]
[Adek bisa mengerti, Abang. Bolehkah Adek berteman dengan kak Azizah?]
Hafiz memijit kepalanya. Ya, Allah, gadis ini benar-benar keras kepala.
[Nanti akan Abang kasih kabar kalau Azizah bersedia berteman dengan Adek]
Hafiz menatap nanar layar ponsel. Tak ada balasan lagi dari Naura. Entah apa yang ada di dalam hatinya saat ini.
Naura Allysia Salsabila. Hafiz mengeja nama itu dalam hati. Meresapi keindahan yang terpancar dari sana, tanpa tahu bagaimana sosok seorang gadis yang tengah menawarkan dirinya itu.
"Apa yang kamu dan orangtuamu cari dari diriku? Aku cuma laki-laki biasa yang sudah punya istri...."
Bab 5Tarik ulur. Itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan yang tengah ia jalani dengan Naura saat ini. Di satu sisi dia harus menjaga perasaan Azizah, tapi di sisi lain dia juga tidak bisa menolak Naura serta-merta mengingat kedudukan gadis itu.Hafiz tahu, satu-satunya jalan untuk menggagalkan perjodohan itu adalah membujuk Naura agar ia berubah pikiran. Akan tetapi, meluluhkan hati gadis keras kepala itu tidaklah mudah.Di sisi hatinya yang lain, sebenarnya Hafiz merasa iba dengan gadis itu. Seorang gadis yang katanya cacat di kakinya dan menjadi alasan mundurnya beberapa laki-laki yang pernah ingin mengkhitbahnya.Ah, kenapa harus ada laki-laki seperti itu? Padahal kalau di nilai, betapa banyak kelebihan yang di miliki gadis itu, terutama dari sisi agamanya. Sebagai putri dari pengasuh pondok pesantren yang cukup besar, bahkan lebih besar dari pesantren Al Istiqomah, pastinya sejak kecil Naura mendapat pendidikan agama yang sangat ketat dari abahnya, kiai Nawawi.
Bab 6Waktu berjalan terasa begitu lambat. Menit demi menit. Hafiz menunggu di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat, di mana Azizah tengah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan buah hati mereka. Hafiz melihat dari kejauhan sesosok perempuan setengah baya tergopoh-gopoh berjalan menghampirinya."Bagaimana kondisi Azizah, Hafiz?" Perempuan tua itu bertanya dengan nafasnya yang masih tersengal.Hafiz mengenalinya sebagai bibi Sarah, orang yang selama ini berjasa merawat Azizah sejak kecil."Masih ditangani di ruangan, Bi," sahutnya seraya menunjuk ke depan pintu. Bibi Sarah mengikuti arah tangan Hafiz, lalu menghela nafas. "Semoga anak itu baik-baik saja," harapnya."Hannah waladat Maryam, Maryam waladat Isa, ukhruj ayyuhal mauluud, bibarkati malikil ma'buud." Perempuan setengah tua itu berkali-kali mengucapkan kalimat itu. Hafiz mengiringi dengan bibir gemetar."Dia akan baik-baik saja." Ucapan bibi Sarah menyadarkan Hafiz dari segenap kecemasan yang melingkupi perasaannya
Bab 7Suara Azizah terdengar serak saat mengucapkan kata-kata itu. Ada titik bening jatuh dari sudut matanya. Hafiz mengusapnya dengan lembut. Dadanya bergemuruh menahan rasa yang serasa ingin meledak. Ucapan Azizah menohok hatinya."Maafkan Abang, Sayang. Abang minta maaf kalau sikap Abang selama ini tidak menyenangkan Adek. Abang berjanji akan memperjuangkan peran dan arti kehadiranmu dalam keluarga besar Abang," sesalnya. Dia tak menyangka Azizah sampai berpikiran sejauh itu."Adek tidak minta apa-apa, Bang. Adek sudah cukup puas dengan kehadiran Ibrahim di tengah hubungan kita. Adek pun sudah lega karena sudah menyampaikan ini kepada Abang.""Sekarang Adek akan membebaskan Abang untuk mengambil keputusan." Perempuan itu menghela nafas dengan di sertai sebuah rintihan. Dia tahu, tak ada yang bisa di lakukan untuk merubah keputusan sang suami untuk menikahi perempuan lain.Hafiz mengusap pipi istrinya dengan penuh sayang. "Adek terlalu banyak berbicara. Sebaiknya Adek istirahat dulu
Bab 8"Ini cucu Abah, kan? Selamat ya, Nak." Tangan tua itu mengelus ubun-ubun bayi itu dengan hati-hati seraya merapal doa."Iya, Abah. Azizah memberinya nama Ibrahim," sahut Azizah. Terlihat jelas ia terharu dengan perlakuan ayah mertuanya."Nama yang bagus. Semoga menjadi kekasihNya sebagaimana nabi Ibrahim As." Laki-laki tua itu tersenyum."Bolehkah Abah menambahkan namanya?""Boleh, Abah." Azizah menganggukan kepala. Ia kembali mengusap kepala putra kecilnya."Muhammad Ibrahim Al Fazari," kata laki-laki tua itu.Hafiz memandang ayahnya dengan perasaan takjub."Muhammad Ibrahim Al Fazari? Bukankah itu nama seorang filsuf, ahli matematika dan astronomi di jaman kekhalifahan Abbasiyah?" tanya Hafiz."Iya. Semoga cucuku menjadi cendikiawan muslim di generasi selanjutnya," jawabnya. Mata tua itu terlihat berbinar."Amin.." Hafiz, Azizah dan bibi Sarah serentak mengaminkan."Mohon bimbingan Abah agar Hafiz bisa mendidiknya menjadi orang yang kita harapkan," sahutnya."Kita akan mengasu
Bab 9"Adek baru saja melahirkan, Bang." lirih suara Azizah. "Abang tahu dan Abang akan menunggu sampai kamu siap dan kondisimu pulih kembali. Percayalah, Abang tak akan membuatmu kekurangan perhatian. Abang akan berusaha sekuatnya untuk terus mencurahkan kasih sayang Abang kepadamu dan Ibrahim," ucapnya. Hafiz membiarkan kepala sang istri bersandar di bahunya."Sebelumnya Abang pernah berjanji untuk tidak mengambil istri lagi setelah Abang menceraikan Yasmin," gugat Azizah."Maafkan Abang ya. Abang tidak bisa menepati janji," sahut Hafiz."Apapun yang terjadi, Abang akan selalu mencintaimu. Jangan khawatir, Dek. Adek adalah cinta pertama Abang sampai kapanpun."Tangannya bergerak meraih wajah cantik itu. Mendekatkan wajah nan sendu itu dengan wajahnya. Mereka saling menatap. Mencoba menyelami isi hati masing-masing. Hafiz mulai menyusuri wajah Azizah dengan jemarinya. Menyeka tetes bening yang jatuh di pipi mulus Azizah. "Tunggu Adek pulih ya, Bang. Jangan nikah dulu." Azizah teris
Bab 10Hafiz merebahkan tubuh Azizah di pembaringan. Dengan penuh kelembutan, dia menelusuri setiap senti di wajah Azizah dengan bibirnya. Azizah harus tahu, seorang Hafiz begitu mencintainya dan tidak pernah bermaksud untuk menjadikan pernikahan ketiganya ini sebuah kesempatan buat dirinya sebagai seorang laki-laki untuk melampiaskan hasrat dan nafsu kelelakiannya. Baginya cukuplah Azizah yang menjadi bidadari halalnya.Hafiz semakin memperdalam ciumannya. Azizah mendesah ketika mulut Hafiz menyusuri lehernya dan memberikan gigitan-gigitan kecil sebagai tanda kepemilikan."Abang," desah Azizah."Mendesahlah, Sayang, sebut nama Abang. Abang menyukainya," suara seraknya penuh dengan kabut gairah. Hafiz mengambil sehelai kain dan menyelimuti tubuh mereka.Seakan berpacu dengan waktu, Hafiz menari diatas tubuh istrinya yang indah. Sesekali suara erangan erotis Azizah seperti instrumen yang membuatnya semakin terbakar oleh gairah. Gairah seorang lelaki muda yang haus dengan manisnya madu
Bab 11"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha linafsi bi mahril madzkur haalan, ala manhaji Kitabillah wa sunnati Rasulillah. Aku terima nikah dan kawin dia (Naura Allysia Salsabila binti KH. Ahmad Nawawi) untuk diriku dengan mahar yang telah disebut tadi tunai, di atas manhaj kitab Allah dan sunnah Rasulullah.""Sah!" "Barokalllah." Suara-suara terdengar bersahutan dengan nada penuh kegembiraan.Hafiz melepaskan genggaman tangan kiai Nawawi yang sekarang sudah resmi menjadi ayah mertuanya. Dadanya bergetar hebat. Serasa berton-ton beban ditimpakan kepadanya. Resmi sudah dia memegang tampuk kepemimpinan atas diri Naura, seorang gadis yang bahkan belum pernah sekalipun dia lihat bagaimana rupanya.Arrijaalu qawwamuna alan nisa.... Laki-laki itu menjadi pemimpin bagi kaum wanita. Setiap laki-laki yang memutuskan untuk memiliki istri lebih dari satu, hendaknya bisa memahami semua ini.Memiliki istri lebih dari satu seharusnya yang dipikirkan bukan cuma enaknya, tetapi juga tanggung jawabnya. S
Bab 12"Adek," bisiknya.Tangannya terulur menyusuri tiap jengkal dari wajah mulus milik Naura. Hatinya gemetar. Ingatannya melayang kembali mengingat peristiwa sebelas tahun yang lalu. Ketika dia singgah di sebuah masjid dan melihat sebuah tas yang teronggok di salah satu sudut ruangan. Tak ada seorangpun yang dia temui di mesjid itu mengaku sebagai pemiliknya.Hafiz memberanikan diri membuka tas, sekedar mencari tahu siapa pemiliknya. Barangkali ada identitas diri yang tersimpan di dalam tas. Tak sengaja dia menemukan seuntai kalung emas dengan liontin sederhana berbentuk hati dengan sebuah permata di tengahnya."Abang ingat sekarang," ucap Hafiz sembari menepuk jidat. "Abang menemukan identitas Abah di dalam tas. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Darul Falah. Abang pun pergi ke sana dan menyerahkan tas itu."Naura menganggukkan kepala"Abah berulangkali menceritakan kebaikan pemuda itu kepada Adek. Beliau sangat salut dengan pemuda itu yang ternyata sangat jujur dan amanah.