Bab 3
Hafiz menyerahkan ponsel kepada laki-laki tua itu setelah sebelumnya membuka password-nya. Lelaki tua itu mengutak-atik ponsel Hafiz sebentar, kemudian mengembalikan kepada pemiliknya.
"Ini adalah nomor kontak Naura, putri bungsu Abah. Silakan kalian berkenalan, ngobrol dan saling menyesuaikan satu sama lain. Kalau boleh, izinkan dia berteman dengan istrimu, Azizah. Sebagai sesama wanita, mungkin dia memerlukan teman bicara." Laki-laki tua itu menghela napas.
"Terima kasih ya, Bah. Mohon maaf, apakah Naura sudah tahu sebelumnya dengan apa yang Abah bicarakan hari ini dengan Hafiz?""Tentu saja, Nak. Sebelumnya Abah sudah bicara dengan Naura. Naura pun sudah tahu kalau dia akan dijodohkan denganmu dan dia menyetujui perjodohan ini."
***
Hafiz mengamati layar ponsel dengan perasaan tak menentu. Sebuah nama indah tertera. Naura Allysia Salsabila. Sangat cantik, tetapi entah seperti apa orangnya. Secara khusus, dia memang belum terlalu mengenal putri bungsu kiai Nawawi itu. Terakhir bertemu dengannya sepuluh tahun yang lalu di saat walimatul ursy kakak laki-lakinya yang tertua. Saat itu, usianya masih delapan tahun dan sudah mengenakan cadar. Jelas, dia tidak tahu seperti apa rupanya.Meskipun hatinya masih di liputi oleh keraguan, Hafiz tetap mengklik aplikasi hijau bergambar telepon itu.
[Assalamualaikum, Naura. Ini aku, Hafiz]
Hafiz menahan nafas saat centang pesannya berubah menjadi biru. Lalu terlihat Naura yang tengah mengetik.
[Wa alaikum salam. Benarkah ini Abang Muhammad Abidzar Al Hafiz?]
[Iya, Naura. Abah sudah cerita tentang Naura. Kalau boleh Abang tahu, apa alasan Naura bersedia menikah dengan Abang?]
[Bang, mendapatkan status bukan sebagai istri pertama, apakah itu aib?]
[Tidak. Apa maksudmu?]
[Apakah Adek harus punya alasan agar bisa di nikahi oleh Abang?]
[Abang hanya ingin tahu, Naura. Kamu itu cantik, muda, pintar, dan keturunan mulia pula. Tak sulit bagimu untuk mendapatkan suami yang sekufu. Kenapa malah memilih Abang yang jelas-jelas suami orang?]
[Abang terlalu berlebihan dalam menyanjung Adek. Ini tidak seperti yang Abang pikirkan]
Hafiz menata nafasnya saat membaca pesan Naura. Ah, berat rasanya melakoni ini. Sejenak dia menatap istrinya yang tengah tertidur lelap di ranjang.
"Azizah, maafkan Abang ya." Hafiz menarik tangan yang semula terulur ingin menyentuh wajah itu. Dia takut wanita itu terbangun.
[Apakah Abang ingin tahu kekurangan Adek?]
Hafiz tersentak kaget saat ponselnya kembali bergetar.
[Kenapa, Naura? Setiap manusia pasti memiliki banyak kekurangan]
[Kekurangan inilah yang membuat semua laki-laki mengurungkan niatnya untuk meminang Adek. Abang mau tahu apa kekurangan Adek? Adek ini cacat. Sepasang kaki Adek lumpuh, tidak bisa di ajak berjalan]
"Astagfirullah ... Jadi inikah alasan kiai Nawawi menjodohkan putri bungsunya denganku?" Hafiz mengusap kasar wajahnya.
***Naura Allysia Salsabila. Nama yang sangat cantik. Entah seperti apa rupanya. Benarkah ia cacat, menderita lumpuh? Ah, Hafiz menjadi semakin bingung.Hafiz mengakui dirinya sangat minim informasi mengenai gadis itu. Hafiz tidak dekat dengan keluarganya, meskipun Abah dan kiai Nawawi saling kenal baik. Selama ini dia lebih fokus mengurusi pesantren dan untuk urusan luar seperti silaturahmi antar pesantren masih di tangani Abah yang merupakan ulama sepuh.
Kecamuk rasa bingung membawanya kembali ke rumah orangtuanya.
"Ada apa, Nak?" tanya Abah.
"Apa benar yang di katakan oleh Naura, kalau dia menderita lumpuh, Abah?"
"Benar. Apakah Naura yang memberi tahu kamu?" Abah memandangnya serius.
"Iya, Abah." Hafiz mengangguk.
"Abah tidak memaksamu untuk menerima putri bungsu kiai Nawawi. Abah hanya menyuruhmu untuk berpikir," ralat Abah.
"Kalau Hafiz menikahi Naura, bagaimana dengan Azizah?" Kali ini Hafiz berusaha melunak di hadapan abahnya.
"Istrimu itu perempuan baik-baik. Dia pasti bisa menerima Naura. Lha dulu, dengan Yasmin yang sehat wal afiat saja dia bisa menerima madunya, apalagi Naura?"
"Hafiz masih bingung, Abah. Hafiz tidak mau menyakiti Azizah lagi."
"Kemarin kami sempat adu mulut, setelah tahu kalau kiai Nawawi menawarkan putrinya." Hafiz mulai menceritakan peristiwa kemarin.
"Itu wajar, Nak. Semua wanita juga begitu. Sabar ya."
"Abah memberi nama Hafiz kepadamu bukan tanpa alasan. Abah ingin kau bisa menjadi penjaga yang baik buat orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu, terutama keluargamu."
"Hafiz memerlukan istikharah dulu, Abah," ucapnya. Akhirnya Hafiz mengalah.
"Tentu. Istikharah itu perlu."
***
Meskipun dalam keadaan marah, Azizah masih setia melayaninya. Wanita itu tetap menyediakan keperluan makan, minum, pakaian, bahkan melayani di tempat tidur.Sejak peristiwa itu, Hafiz tidak berani lagi mengungkit-ungkit soal putri bungsu kiai Nawawi. Biarkanlah dia diam. Mungkin dia masih memerlukan waktu untuk sendiri. Bukannya dia tidak mengerti akan perasaan istrinya. Namun sepatutnya sebagai seorang manusia, kita tidak perlu seratus persen memperturutkan perasaan. Hidup ini memerlukan logika dan kita tidak boleh larut dalam rasa yang memperdaya.
Hafiz mengecup perut besar istrinya usai menuntaskan ibadah malam mereka.
"Terima kasih ya, Sayang," bisiknya.
Perempuan itu mengangguk. Dia masih menenggelamkan dirinya di dalam selimut.
"Bagaimana kalau besok kita jalan-jalan? Ke taman, mall, ke tempat yang Adek suka?" tawarnya kemudian setelah terjadi keheningan beberapa lama di antara mereka.
"Memangnya bisa? Biasanya Abang selalu sibuk dengan pekerjaan di pondok." Azizah menatap Hafiz dengan serius.
"Bisa, Sayang. Apa sih yang nggak bisa buat istriku yang tersayang?"
"Halah, gombal."
"Abang tidak pandai menggombal," bantahnya. Hafiz mencium pipi wanitanya dengan gemas.
"Abang sangat menyayangi Adek. Buat Abang, Adek adalah segalanya. Cinta Abang seratus persen untuk Adek."
Azizah terdiam. Dia tak lagi meladeni ucapan suaminya. Perempuan itu mulai memejamkan mata.
Hafiz menatap wajah cantik itu dengan rasa iba.
Ah, andai saja masalah seperti ini tidak mengguncang rumah tangga mereka.
Tak cukup sekali. Ini kali kedua dia menghantamkan palu ke dalam perasaan istrinya.
Tak ada sedikitpun di hati ini keinginan untuk menyakiti Azizah. Tak ada niat di hati untuk menduakan wanita pertamanya ini. Dia bahkan sempat berharap agar Azizah menjadi wanita pertama dan terakhirnya.
Entahlah, kenapa takdir seakan berpihak dan memberi peluang padanya untuk memiliki istri lebih dari satu? Dia benar-benar tak mengerti.
Hafiz tahu, ini tak adil buat Azizah. Namun, jangan di kira hatinya tak sakit. Dia pun sakit. Jauh lebih sakit melihat Azizah terluka, sementara dia sendiri tak berdaya untuk menolak permintaan orang-orang yang sangat dia hormati.
"Kita sama-sama sakit, Sayang. Kamu tidak sendiri. Ada Abang yang juga merasakan hal yang sama meski dari sudut pandang yang berbeda," gumam Hafiz sembari membelai rambut istrinya yang sudah tertidur lelap.
"Kita hadapi semua ini sama-sama ya."
Bab 4"Wah, ini cantik sekali, Sayang. Coba deh kamu pakai." Hafiz menunjuk sebuah gelang cantik di etalase. Seorang pelayan toko mengambilkan gelang yang di maksudnya. Hafiz memasangkan gelang itu ke lengan kiri Azizah. "Cantik, Sayang. Pas sekali dengan ukuran tangan Adek. Sepertinya memang jodoh." Hafiz mengecup punggung tangan Azizah tanpa peduli dengan tatapan aneh pelayan toko yang berdiri di hadapan mereka."Cantik juga harganya, Bang," bisik Azizah."Lebih cantik wanita yang memakainya. Adek jangan khawatir. Abang masih sanggup bayar." Laki-laki itu mengambil dompet dan mengeluarkan kartu saktinya yang lantas diberikannya kepada pelayan toko."Mau langsung dipakai atau disimpan dulu, Dek?" tawarnya."Langsung di pakai saja, Bang. Adek suka," sahutnya dengan mata yang terlihat berbinar.Hafiz kembali menggandeng tangan itu setelah menerima kembali kartu saktinya dan transaksi pembayaran selesai.Hari ini dia sengaja menghabiskan waktu untuk Azizah. Semua pekerjaan di pondok d
Bab 5Tarik ulur. Itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan yang tengah ia jalani dengan Naura saat ini. Di satu sisi dia harus menjaga perasaan Azizah, tapi di sisi lain dia juga tidak bisa menolak Naura serta-merta mengingat kedudukan gadis itu.Hafiz tahu, satu-satunya jalan untuk menggagalkan perjodohan itu adalah membujuk Naura agar ia berubah pikiran. Akan tetapi, meluluhkan hati gadis keras kepala itu tidaklah mudah.Di sisi hatinya yang lain, sebenarnya Hafiz merasa iba dengan gadis itu. Seorang gadis yang katanya cacat di kakinya dan menjadi alasan mundurnya beberapa laki-laki yang pernah ingin mengkhitbahnya.Ah, kenapa harus ada laki-laki seperti itu? Padahal kalau di nilai, betapa banyak kelebihan yang di miliki gadis itu, terutama dari sisi agamanya. Sebagai putri dari pengasuh pondok pesantren yang cukup besar, bahkan lebih besar dari pesantren Al Istiqomah, pastinya sejak kecil Naura mendapat pendidikan agama yang sangat ketat dari abahnya, kiai Nawawi.
Bab 6Waktu berjalan terasa begitu lambat. Menit demi menit. Hafiz menunggu di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat, di mana Azizah tengah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan buah hati mereka. Hafiz melihat dari kejauhan sesosok perempuan setengah baya tergopoh-gopoh berjalan menghampirinya."Bagaimana kondisi Azizah, Hafiz?" Perempuan tua itu bertanya dengan nafasnya yang masih tersengal.Hafiz mengenalinya sebagai bibi Sarah, orang yang selama ini berjasa merawat Azizah sejak kecil."Masih ditangani di ruangan, Bi," sahutnya seraya menunjuk ke depan pintu. Bibi Sarah mengikuti arah tangan Hafiz, lalu menghela nafas. "Semoga anak itu baik-baik saja," harapnya."Hannah waladat Maryam, Maryam waladat Isa, ukhruj ayyuhal mauluud, bibarkati malikil ma'buud." Perempuan setengah tua itu berkali-kali mengucapkan kalimat itu. Hafiz mengiringi dengan bibir gemetar."Dia akan baik-baik saja." Ucapan bibi Sarah menyadarkan Hafiz dari segenap kecemasan yang melingkupi perasaannya
Bab 7Suara Azizah terdengar serak saat mengucapkan kata-kata itu. Ada titik bening jatuh dari sudut matanya. Hafiz mengusapnya dengan lembut. Dadanya bergemuruh menahan rasa yang serasa ingin meledak. Ucapan Azizah menohok hatinya."Maafkan Abang, Sayang. Abang minta maaf kalau sikap Abang selama ini tidak menyenangkan Adek. Abang berjanji akan memperjuangkan peran dan arti kehadiranmu dalam keluarga besar Abang," sesalnya. Dia tak menyangka Azizah sampai berpikiran sejauh itu."Adek tidak minta apa-apa, Bang. Adek sudah cukup puas dengan kehadiran Ibrahim di tengah hubungan kita. Adek pun sudah lega karena sudah menyampaikan ini kepada Abang.""Sekarang Adek akan membebaskan Abang untuk mengambil keputusan." Perempuan itu menghela nafas dengan di sertai sebuah rintihan. Dia tahu, tak ada yang bisa di lakukan untuk merubah keputusan sang suami untuk menikahi perempuan lain.Hafiz mengusap pipi istrinya dengan penuh sayang. "Adek terlalu banyak berbicara. Sebaiknya Adek istirahat dulu
Bab 8"Ini cucu Abah, kan? Selamat ya, Nak." Tangan tua itu mengelus ubun-ubun bayi itu dengan hati-hati seraya merapal doa."Iya, Abah. Azizah memberinya nama Ibrahim," sahut Azizah. Terlihat jelas ia terharu dengan perlakuan ayah mertuanya."Nama yang bagus. Semoga menjadi kekasihNya sebagaimana nabi Ibrahim As." Laki-laki tua itu tersenyum."Bolehkah Abah menambahkan namanya?""Boleh, Abah." Azizah menganggukan kepala. Ia kembali mengusap kepala putra kecilnya."Muhammad Ibrahim Al Fazari," kata laki-laki tua itu.Hafiz memandang ayahnya dengan perasaan takjub."Muhammad Ibrahim Al Fazari? Bukankah itu nama seorang filsuf, ahli matematika dan astronomi di jaman kekhalifahan Abbasiyah?" tanya Hafiz."Iya. Semoga cucuku menjadi cendikiawan muslim di generasi selanjutnya," jawabnya. Mata tua itu terlihat berbinar."Amin.." Hafiz, Azizah dan bibi Sarah serentak mengaminkan."Mohon bimbingan Abah agar Hafiz bisa mendidiknya menjadi orang yang kita harapkan," sahutnya."Kita akan mengasu
Bab 9"Adek baru saja melahirkan, Bang." lirih suara Azizah. "Abang tahu dan Abang akan menunggu sampai kamu siap dan kondisimu pulih kembali. Percayalah, Abang tak akan membuatmu kekurangan perhatian. Abang akan berusaha sekuatnya untuk terus mencurahkan kasih sayang Abang kepadamu dan Ibrahim," ucapnya. Hafiz membiarkan kepala sang istri bersandar di bahunya."Sebelumnya Abang pernah berjanji untuk tidak mengambil istri lagi setelah Abang menceraikan Yasmin," gugat Azizah."Maafkan Abang ya. Abang tidak bisa menepati janji," sahut Hafiz."Apapun yang terjadi, Abang akan selalu mencintaimu. Jangan khawatir, Dek. Adek adalah cinta pertama Abang sampai kapanpun."Tangannya bergerak meraih wajah cantik itu. Mendekatkan wajah nan sendu itu dengan wajahnya. Mereka saling menatap. Mencoba menyelami isi hati masing-masing. Hafiz mulai menyusuri wajah Azizah dengan jemarinya. Menyeka tetes bening yang jatuh di pipi mulus Azizah. "Tunggu Adek pulih ya, Bang. Jangan nikah dulu." Azizah teris
Bab 10Hafiz merebahkan tubuh Azizah di pembaringan. Dengan penuh kelembutan, dia menelusuri setiap senti di wajah Azizah dengan bibirnya. Azizah harus tahu, seorang Hafiz begitu mencintainya dan tidak pernah bermaksud untuk menjadikan pernikahan ketiganya ini sebuah kesempatan buat dirinya sebagai seorang laki-laki untuk melampiaskan hasrat dan nafsu kelelakiannya. Baginya cukuplah Azizah yang menjadi bidadari halalnya.Hafiz semakin memperdalam ciumannya. Azizah mendesah ketika mulut Hafiz menyusuri lehernya dan memberikan gigitan-gigitan kecil sebagai tanda kepemilikan."Abang," desah Azizah."Mendesahlah, Sayang, sebut nama Abang. Abang menyukainya," suara seraknya penuh dengan kabut gairah. Hafiz mengambil sehelai kain dan menyelimuti tubuh mereka.Seakan berpacu dengan waktu, Hafiz menari diatas tubuh istrinya yang indah. Sesekali suara erangan erotis Azizah seperti instrumen yang membuatnya semakin terbakar oleh gairah. Gairah seorang lelaki muda yang haus dengan manisnya madu
Bab 11"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha linafsi bi mahril madzkur haalan, ala manhaji Kitabillah wa sunnati Rasulillah. Aku terima nikah dan kawin dia (Naura Allysia Salsabila binti KH. Ahmad Nawawi) untuk diriku dengan mahar yang telah disebut tadi tunai, di atas manhaj kitab Allah dan sunnah Rasulullah.""Sah!" "Barokalllah." Suara-suara terdengar bersahutan dengan nada penuh kegembiraan.Hafiz melepaskan genggaman tangan kiai Nawawi yang sekarang sudah resmi menjadi ayah mertuanya. Dadanya bergetar hebat. Serasa berton-ton beban ditimpakan kepadanya. Resmi sudah dia memegang tampuk kepemimpinan atas diri Naura, seorang gadis yang bahkan belum pernah sekalipun dia lihat bagaimana rupanya.Arrijaalu qawwamuna alan nisa.... Laki-laki itu menjadi pemimpin bagi kaum wanita. Setiap laki-laki yang memutuskan untuk memiliki istri lebih dari satu, hendaknya bisa memahami semua ini.Memiliki istri lebih dari satu seharusnya yang dipikirkan bukan cuma enaknya, tetapi juga tanggung jawabnya. S