Bab 105Hafiz sangat menikmati kebersamaannya dengan Ibrahim. Berkali-kali lelaki itu memeluk dan menciumi putranya, putra yang selama tujuh tahun tidak pernah ditemuinya. Hafiz tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menjenguk putranya, meskipun dipihak Azizah dan Emir tidak pernah melarangnya untuk menjumpai putranya kapanpun ia mau. Disamping itu, jarak yang memisahkan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat Hafiz akhirnya hanya bisa menahan rindu. Kondisi keuangan keluarganya saat ini tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Martapura-Mekkah. Terlebih, dia ingin memberikan kesempatan kepada Azizah untuk menenangkan diri dan dia pun sebenarnya juga melakukan hal yang sama.Setiap keputusan pasti memiliki konsekuensi. Tak ada perceraian yang mudah. Semua pasti akan ada dampaknya, terutama buat buah hatinya. Itulah yang harus mereka hadapi sekarang.Akan tetapi, apapun itu, nyatanya Hafiz dan Azizah sudah memiliki kehidupan masing-masing. Hafiz dengan kedua istrinya dan A
Bab 106Emir melangkah gontai menuju kamar tempat dia menginap. Tubuhnya benar-benar lelah, pikirannya pun terkuras. Hari ini dia menghadiri beberapa pertemuan, salah satunya adalah peresmian beroperasinya Almeera hotel di Sydney. Seharusnya di acara itu ia didampingi oleh Azizah. Namun sayang, wanita itu tengah berada di pesantren Al-Istiqomah, di tengah keluarga mantan suaminya.Mengingat itu membuat hati Emir berdenyut. Dia percaya seratus persen dengan cinta istrinya, tapi sedikit banyaknya pasti akan terjadi romansa masa lalu mereka. Bagaimanapun, Azizah dan Hafiz berpisah secara baik-baik, bukan karena pertengkaran, tetapi hanya sekedar perbedaan cara pandang terhadap sebuah rumah tangga. Kenangan indah itu akan senantiasa tersimpan di hati."Tuan, agenda besok siang adalah pertemuan dengan para investor di Bali," ujar Alex, asisten pribadinya mengingatkan."Ya, aku tahu itu, Alex. Terima kasih sudah mengingatkan," ujarnya. Akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar."Silahkan,
Bab 107"Ibrahim bisa bermain kembali dengan adik-adikmu lain kali, Nak. Untuk saat ini, kamu nurut ya, sama Abi. Insya Allah, kalau ada waktu dan kesempatan kita bisa kembali ke mari berkunjung ke rumah kakek dan nenekmu ini," bujuk Azizah."Apa memang tidak bisa diundur lagi, Nak?" tanya kiai Rahman. Bukan cuma Ibrahim, dia pun juga serasa tak rela jika harus berpisah kembali secepat ini dengan cucu kesayangannya."Maafkan kami, Abah, tetapi jadwal kegiatan Azizah memang hanya satu hari. Silaturahmi di pesantren Al-Istiqomah dan di rumah Abah." Perempuan itu berusaha memberi pengertian kepada mantan ayah mertuanya."Abah hanya masih kangen dengan Ibrahim. Tidak ada maksud lain," ralat lelaki tua itu."Insya Allah kami akan berkunjung kembali kesini lain kali, Abah," jawab Azizah seraya memijat kepalanya. "Bukannya sok sibuk, tetapi bagaimanapun sebagai seorang istri, harus menuruti apa kata suami. Pagi ini pesawat akan terbang dari Sydney, singgah sebentar di bandara Syamsudin Noor
Bab 108 (ekstra part 1)Azizah menatap sendu dari balik kaca jendela pesawat. Kota Banjarbaru yang semakin mengecil akhirnya menghilang dari pandangan saat posisi pesawat kian meninggi. Kini mereka tengah berada di atas awan."Sayang...." Sepasang tangan kokoh melingkari pinggang rampingnya.Perempuan itu berdehem. "Iya, Kak." Azizah memutar tubuhnya menghadap sang suami. Sepasang kakinya berjinjit dengan tangan yang terulur memeluk leher itu."Aku merindukanmu," bisik Emir parau."Terlebih lagi diriku, Sayang." "Yang bener? Jangan-jangan sekarang ini malah merindukan ayahnya Ibrahim?" Sepasang mata kelamnya menatap wajah sang istri. Pipi yang merah merona itu membuatnya tak sabar mendaratkan sebuah kecupan hangat."Aku sudah tidak lagi mencintainya, tetapi juga tidak membencinya. Bagiku sekarang ayahnya Ibrahim hanya sekedar sahabat. Jikalau pun kami masih berhubungan baik, itu semua demi Ibrahim....""Percaya kok," sela Emir. Sebenarnya ia hanya ingin memancing, tapi Azizah menyika
Bab 109 (ekstra part 2)"Serius pakai ini?" tunjuk Azizah pada sebuah motor gede yang terparkir di halaman hotel. Entah darimana orang-orang mereka mendapatkan kendaraan itu."Serius dong! Memangnya kamu nggak mau naik motor?" Matanya lurus menatap istrinya."Mau dong, apalagi sama Kakak!" Perempuan itu tertawa kecil."Pintar!" sahutnya. Emir menaiki motor, kemudian di susul dengan Azizah.Sebenarnya Azizah merasa ragu. Sudah lama ia tidak mengendarai motor, karena selama di Saudi, pergi kemanapun selalu di antar sopir pribadi, di iringi oleh asisten dan para pengawal. Ruang geraknya terbatas. Apalagi motor khas laki-laki ini. Dia tidak pernah mengendarainya.Perempuan itu memeluk erat pinggang suaminya, menempelkan wajahnya di pundak lelaki itu. Azizah merasakan hatinya seperti penuh dengan wangi bunga.Mereka menyusuri jalan-jalan di sekitar hotel. Di kiri dan kanan bahu jalan, penuh dengan toko dan lapak souvenir khas Bali. Bali memang primadona. Alamnya yang indah, budaya yang kha
Bab 1Sebuah janji yang pernah terlontar dari mulut seorang Muhammad Abidzar Al Hafiz kepada istri pertamanya, bahwa ia takkan mengambil istri lain lagi setelah menceraikan istri keduanya.Benarkah janji itu akan di tepati?Ataukah hanya sekedar janji manis yang untuk selanjutnya kembali ia ingkari?***Seandainya Hafiz bisa berlari, itu akan segera dia lakukan. Betapa inginnya menjauh dari tempat ini. Hal yang sangat dilematis tatkala harus berhadapan dengan orang tuanya, sosok tua nan berwibawa yang tengah melontarkan sebuah permintaan.Permintaan yang mungkin bagi seorang laki-laki mata keranjang, bahkan dianggap sebagai sebuah anugerah!"Kamu tahu, Nak, tidak mungkin bagi Abah menolak keinginan kiai Nawawi yang ingin menjodohkan putri bungsunya denganmu." Laki-laki tua itu menatap tajam padanya. Hafiz menghela nafas."Hafiz tidak mungkin menerimanya, Bah. Hafiz sudah punya istri, sudah punya Azizah." "Seorang laki-laki boleh memiliki istri lebih dari satu, Nak," sergah Abah. "Bu
Bab 2Sejak pertengkaran itu, Azizah tampak lebih pendiam dari biasanya. Dia hanya sesekali mau di ajak bicara. Selebihnya hanya diam. Malah yang terlihat, ia lebih sering mengelus perut besarnya dan sesekali mengajak bicara bayi di dalam kandungannya.Ya, Azizah memang tengah hamil dan menurut dokter yang memeriksa kandungannya, kehamilannya sudah mencapai 34 minggu. Sebentar lagi mereka akan memiliki buah hati. Seharusnya mereka sangat berbahagia, kalau saja masalah klasik ini tidak datang dan menjadi badai di dalam rumah tangga mereka.Ah, Hafiz sendiri juga bingung. Tiada angin dan hujan, tiba-tiba Kiai Nawawi yang terkenal itu datang kepada Abah dan bermaksud menjodohkan putri bungsunya dengan dirinya. Entah apa yang menjadi bahan pertimbangannya.Hafiz hanyalah seorang lelaki yang sudah memiliki istri. Hanya kebetulan saja dia terlahir sebagai putra satu-satunya dari KH. Abdurrahman dan di amanahi untuk mengasuh sebuah pesantren yang bernama pesantren Al Istiqomah. Sementara ket
Bab 3Hafiz menyerahkan ponsel kepada laki-laki tua itu setelah sebelumnya membuka password-nya. Lelaki tua itu mengutak-atik ponsel Hafiz sebentar, kemudian mengembalikan kepada pemiliknya."Ini adalah nomor kontak Naura, putri bungsu Abah. Silakan kalian berkenalan, ngobrol dan saling menyesuaikan satu sama lain. Kalau boleh, izinkan dia berteman dengan istrimu, Azizah. Sebagai sesama wanita, mungkin dia memerlukan teman bicara." Laki-laki tua itu menghela napas."Terima kasih ya, Bah. Mohon maaf, apakah Naura sudah tahu sebelumnya dengan apa yang Abah bicarakan hari ini dengan Hafiz?""Tentu saja, Nak. Sebelumnya Abah sudah bicara dengan Naura. Naura pun sudah tahu kalau dia akan dijodohkan denganmu dan dia menyetujui perjodohan ini."***Hafiz mengamati layar ponsel dengan perasaan tak menentu. Sebuah nama indah tertera. Naura Allysia Salsabila. Sangat cantik, tetapi entah seperti apa orangnya. Secara khusus, dia memang belum terlalu mengenal putri bungsu kiai Nawawi itu. Terakhir