Bab 8
"Ini cucu Abah, kan? Selamat ya, Nak." Tangan tua itu mengelus ubun-ubun bayi itu dengan hati-hati seraya merapal doa.
"Iya, Abah. Azizah memberinya nama Ibrahim," sahut Azizah. Terlihat jelas ia terharu dengan perlakuan ayah mertuanya.
"Nama yang bagus. Semoga menjadi kekasihNya sebagaimana nabi Ibrahim As." Laki-laki tua itu tersenyum.
"Bolehkah Abah menambahkan namanya?"
"Boleh, Abah." Azizah menganggukan kepala. Ia kembali mengusap kepala putra kecilnya.
"Muhammad Ibrahim Al Fazari," kata laki-laki tua itu.
Hafiz memandang ayahnya dengan perasaan takjub.
"Muhammad Ibrahim Al Fazari? Bukankah itu nama seorang filsuf, ahli matematika dan astronomi di jaman kekhalifahan Abbasiyah?" tanya Hafiz.
"Iya. Semoga cucuku menjadi cendikiawan muslim di generasi selanjutnya," jawabnya. Mata tua itu terlihat berbinar.
"Amin.." Hafiz, Azizah dan bibi Sarah serentak mengaminkan.
"Mohon bimbingan Abah agar Hafiz bisa mendidiknya menjadi orang yang kita harapkan," sahutnya.
"Kita akan mengasuhnya bersama-sama, Nak. Abah sangat bahagia dengan kelahiran cucu Abah."
"Abah datang di saat yang tepat. Sebentar lagi Azizah pulang ke rumah. Kami hanya tinggal menunggu visit dari dokter Raisya dan dokter spesialis anak."
"Alhamdulillah.. Maaf ya, mama kamu belum sempat datang. Mungkin beliau akan datang saat Azizah sudah di rumah."
"Tidak apa-apa, Abah. Kehadiran Abah sudah lebih dari cukup."
Hafiz cukup sadar diri dengan kondisi hubungannya dengan Azizah yang hanya mendapat restu dari Abah. Dia tak bisa berharap banyak dengan keluarga besarnya untuk mengapresiasi kelahiran putranya.
Laki-laki tua itu mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dari saku bajunya. Dia menyerahkannya kepada Azizah.
"Ini hadiah dari Kakek untuk Ibrahim. Mohon di terima ya. Kakek tidak pandai memilih hadiah yang cocok buat kamu. Jadi Kakek beri yang mentahnya saja ya," kelakarnya. Laki-laki tua itu mengusap kepala bayi mungil itu.
Tampak sepasang mata Azizah yang berkaca-kaca.
"Terima kasih, Abah. Abah begitu baik dengan kami," lirihnya. Suaranya parau.
***
Thola'al Badru 'alainaa, min tsania til wadaa'i
Wajaba syukru 'alainaa, ma da'a lillahi daa'i ...Telah terbit purnama di atas kita dari lembah wadaa.
Wajib lah kita bersyukur atasnya ketika seorang penyuluh mengajak kepada Allah.Wahai yang diutus kepada kami. Engkau datang dengan perintah yang ditaati.
Engkau lah pelindung kami wahai yang indah budi.Jadilah engkau sebagai pemberi syafaat duhai kekasihku, pada hari berhimpun dan berkumpulnya seluruh makhluk...
Hafiz melangkah dengan bangga dengan si kecil Ibrahim di dalam gendongannya, menyeruak masuk ke tengah acara yang sedang berlangsung saat ini. Betapa membuncah rasa hati. Kebanggaan sebagai seorang laki-laki yang baru saja memiliki seorang anak yang merupakan penerus generasi.
Bayi mungil itu nampak lelap di balik selimut. Dia tidak rewel meskipun berada di tengah suasana yang riuh dengan pembacaan sholawat thola'al badru alaina yang diiringi oleh suara alat musik tarbang khas Kalimantan Selatan. Seolah dia terbius dengan alunan merdu sholawat yang menggambarkan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Setelah selesai pembacaan shalawat thola'al badru alaina, hadirin pun duduk. Kemudian diperdengarkan ayat-ayat suci Al-Qur'an surah Ali Imran ayat 33 sampai dengan 37 yang dibacakan oleh Ustadz Zaki, suami dari Kak Marwiah.
Ustadz Zaki adalah satu-satunya orang dari keluarganya yang bersedia hadir di acara tasmiyah putra pertamanya di samping Abah, tentunya. Sementara ibu dan kaum kerabat yang lain memilih tidak hadir. Hafiz memang sengaja menyelenggarakan acara ini secara sederhana sesuai dengan permintaan Azizah yang tidak mau ada kemewahan dalam pemberian nama putra pertama mereka.
Hafiz dan KH. Ahmad Nawawi duduk berhadap-hadapan.
"Ya Ghulam, sammaituka bi maa samakallah Muhammad Ibrahim Al Fazari bin Muhammad Abidzar Al Hafiz. Barakallah."
"Barakallah.." serentak hadirin mengucapkan kata-kata itu. Dadanya kembali bergemuruh.
Sah sudah putranya memiliki nama. Sah sudah dirinya menjadi seorang ayah.
***
Meski dengan penuh kesederhanaan, acara berjalan dengan lancar. Setelah selesai acara makan-makan, para tamu undangan segera meninggalkan tempat ini. Ruangan mulai sepi. Hanya ada beberapa orang yang tengah membereskan sisa-sisa hidangan yang berserakan di dalam ruangan.
"Mohon menunggu sebentar lagi, Abah. Bibi Sarah ingin berbicara dengan Abah." Hafiz menahan Kiai Nawawi yang sudah berdiri dan akan pamit pulang.
"Bibi Sarah?" Laki-laki tua itu mengerutkan dahi.
"Bibi Sarah adalah bibinya Azizah," jelasnya.
"Ohh.. iya. Baiklah." Laki-laki itu kembali duduk.
Ekor mata Hafiz menangkap kehadiran Bibi Sarah yang masuk ke dalam ruangan. Langkah wanita itu terlihat bergegas menghampiri keduanya.
"Nah, ini Bibi Sarah," ucapnya. Bibi Sarah lantas duduk di samping Hafiz.
"Apa yang ingin Bibi bicarakan?" tanya kiai Nawawi kepada wanita setengah tua di hadapannya.
"Ini tentang Putri Kiai. Saya hanya agak kasihan dengan keponakan saya, Azizah. Kenapa Kiai begitu ingin menikahkan Putri Kiai dengan Hafiz? Apa sudah tidak ada laki-laki lain yang baik untuk menjadi imam Putri Kiai?" Ucapan bibi Sarah langsung ke inti permasalahan.
"Hafiz itu laki-laki baik dan saya yakin Hafiz bisa membawa Naura ke jalan kebaikan," jawab laki-laki tua itu.
"Begitu banyak laki-laki baik di dunia ini yang bisa menjadi jodoh untuk Putri Kiai. Putri kiai bukan wanita sembarangan dan dia pasti akan mudah mendapatkan jodohnya," ucap bibi Sarah bernada membujuk.
"Banyak laki-laki yang baik, tapi sepanjang penilaian saya, hanya Hafiz yang cocok menjadi imam untuk Putri saya," tandasnya.
"Apakah Kiai tidak merasa risih kalau putri kiai dijadikan sebagai istri ketiga?" cecar bibi Sarah.
"Apanya yang harus di risihkan? Kalau memang mereka berjodoh, tidak ada masalah." Laki-laki tua itu menggelengkan kepala. Kali ini ia merasa jengah dengan pernyataan-pernyataan yang bernada memojokkan. Namun kiai Nawawi berusaha untuk tetap tenang. Dia tidak pernah mengemukakan alasan kenapa ia memilih Hafiz sebagai suami bagi putrinya.
"Apakah Kiai tidak mempertimbangkan perasaan Azizah? Kasihan, akhir-akhir ini dia terlihat banyak pikiran."
"Kita tidak perlu memperturutkan perasaan. Seharusnya kita bisa berpikir dengan menggunakan logika, tidak selamanya harus mengikuti perasaan yang ujung-ujungnya akan membawa kehancuran buat kita sendiri."
"Saya yakin Azizah pasti akan bisa mengatasi perasaannya sendiri. Saya kenal Azizah sebagai wanita yang kuat dan sangat baik pada semua orang. Hafiz bukanlah kali pertama dia berpoligami. Sebelumnya dia pernah menikah dengan Yasmin, walaupun akhirnya bercerai. Seharusnya Azizah sudah siap untuk menghadapi kemungkinan suaminya akan menikah lagi."
"Apakah Kiai tidak takut kalau putri kiai akan kembali diceraikan oleh Hafiz, seperti halnya yang terjadi pada Yasmin?" pancing wanita itu sekali lagi. Dia sungguh sangat berharap supaya kiai Nawawi membatalkan rencana menjodohkan putrinya dengan suami keponakannya ini.
"Itu perkara jodoh, Bibi. Saya selalu berharap agar kelak mereka nantinya baik-baik saja. Saya menjodohkan Naura dengan Hafiz bukannya tanpa pertimbangan. Saya sudah shalat istikharah dan bermusyawarah dengan sahabat saya yang merupakan orang tua Hafiz, Kiai Abdurrahman." Laki-laki tua itu membela diri. Pertanyaan yang diajukan oleh lawan bicaranya semakin membuatnya tersudut.
"Saya berharap, Kiai bisa mempertimbangkan kembali niat Kiai atau setidaknya menunda sampai kondisi Azizah benar-benar pulih. Dia baru melahirkan dan mentalnya mungkin akan terganggu ketika dia mendapati suaminya menikah lagi, sementara luka bekas operasinya saja masih basah." Sepasang netra bibi Sarah menatap kiai Nawawi dengan tajam.
"Saya tidak sekejam itu, Bibi Sarah. Keputusan ada pada mereka, Hafiz dan Naura. Saya sama sekali tidak ikut campur urusan mereka mau menikah atau tidak. Pada intinya saya hanya merestui hubungan mereka. Namun, saya tidak pernah memaksa kapan mereka harus menikah."
***
Setelah kiai Nawawi pulang, Hafiz masuk ke dalam kamar. Dia menjumpai Azizah tengah memberikan ASI untuk Ibrahim. Alhamdulillah, setelah beberapa hari, akhirnya payudara milik Azizah bisa memproduksi ASI dengan lancar, sehingga Ibrahim tidak perlu lagi minum susu formula.
"Apakah kiai Nawawi sudah pulang, Bang?" tanya Azizah. Perempuan itu menatap sang suami yang tengah berdiri di dekatnya.
"Iya, beliau sudah pulang," jawabnya sembari duduk di samping Azizah. Tangannya bergerak mengusap ubun-ubun bayi mungil itu.
"Anak Ayah sudah bobo ya?" Hafiz tersenyum ketika Azizah perlahan melepaskan ujung payudaranya yang masih menempel di mulut kecil Ibrahim.
"Sudah kenyang dia, makanya tidur." Azizah menyerahkan Ibrahim pada Hafiz yang segera merebahkan bayi mungil itu ke tempat tidurnya.
Ibrahim menggeliat sesaat, tetapi setelah itu dia kembali tenang di dalam tidurnya. Hafiz mendudukkan diri di pinggir ranjang, di samping Azizah. Dia merangkul wanita itu dengan penuh sayang.
"Ada yang ingin Abang bicarakan denganmu, Sayang."
"Iya, Abang mau bicara apa? Soal Naura lagi?" Azizah menebak. Hafiz menganggukan kepala.
"Iya, Sayang. Maaf ya, tampaknya pernikahan antara Abang dengan Naura memang tidak bisa dihindari."
"Adek harus percaya bahwa di hati Abang tidak ada niat sedikitpun untuk berpoligami dan Abang sama sekali tidak menginginkan semua ini."
Bab 9"Adek baru saja melahirkan, Bang." lirih suara Azizah. "Abang tahu dan Abang akan menunggu sampai kamu siap dan kondisimu pulih kembali. Percayalah, Abang tak akan membuatmu kekurangan perhatian. Abang akan berusaha sekuatnya untuk terus mencurahkan kasih sayang Abang kepadamu dan Ibrahim," ucapnya. Hafiz membiarkan kepala sang istri bersandar di bahunya."Sebelumnya Abang pernah berjanji untuk tidak mengambil istri lagi setelah Abang menceraikan Yasmin," gugat Azizah."Maafkan Abang ya. Abang tidak bisa menepati janji," sahut Hafiz."Apapun yang terjadi, Abang akan selalu mencintaimu. Jangan khawatir, Dek. Adek adalah cinta pertama Abang sampai kapanpun."Tangannya bergerak meraih wajah cantik itu. Mendekatkan wajah nan sendu itu dengan wajahnya. Mereka saling menatap. Mencoba menyelami isi hati masing-masing. Hafiz mulai menyusuri wajah Azizah dengan jemarinya. Menyeka tetes bening yang jatuh di pipi mulus Azizah. "Tunggu Adek pulih ya, Bang. Jangan nikah dulu." Azizah teris
Bab 10Hafiz merebahkan tubuh Azizah di pembaringan. Dengan penuh kelembutan, dia menelusuri setiap senti di wajah Azizah dengan bibirnya. Azizah harus tahu, seorang Hafiz begitu mencintainya dan tidak pernah bermaksud untuk menjadikan pernikahan ketiganya ini sebuah kesempatan buat dirinya sebagai seorang laki-laki untuk melampiaskan hasrat dan nafsu kelelakiannya. Baginya cukuplah Azizah yang menjadi bidadari halalnya.Hafiz semakin memperdalam ciumannya. Azizah mendesah ketika mulut Hafiz menyusuri lehernya dan memberikan gigitan-gigitan kecil sebagai tanda kepemilikan."Abang," desah Azizah."Mendesahlah, Sayang, sebut nama Abang. Abang menyukainya," suara seraknya penuh dengan kabut gairah. Hafiz mengambil sehelai kain dan menyelimuti tubuh mereka.Seakan berpacu dengan waktu, Hafiz menari diatas tubuh istrinya yang indah. Sesekali suara erangan erotis Azizah seperti instrumen yang membuatnya semakin terbakar oleh gairah. Gairah seorang lelaki muda yang haus dengan manisnya madu
Bab 11"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha linafsi bi mahril madzkur haalan, ala manhaji Kitabillah wa sunnati Rasulillah. Aku terima nikah dan kawin dia (Naura Allysia Salsabila binti KH. Ahmad Nawawi) untuk diriku dengan mahar yang telah disebut tadi tunai, di atas manhaj kitab Allah dan sunnah Rasulullah.""Sah!" "Barokalllah." Suara-suara terdengar bersahutan dengan nada penuh kegembiraan.Hafiz melepaskan genggaman tangan kiai Nawawi yang sekarang sudah resmi menjadi ayah mertuanya. Dadanya bergetar hebat. Serasa berton-ton beban ditimpakan kepadanya. Resmi sudah dia memegang tampuk kepemimpinan atas diri Naura, seorang gadis yang bahkan belum pernah sekalipun dia lihat bagaimana rupanya.Arrijaalu qawwamuna alan nisa.... Laki-laki itu menjadi pemimpin bagi kaum wanita. Setiap laki-laki yang memutuskan untuk memiliki istri lebih dari satu, hendaknya bisa memahami semua ini.Memiliki istri lebih dari satu seharusnya yang dipikirkan bukan cuma enaknya, tetapi juga tanggung jawabnya. S
Bab 12"Adek," bisiknya.Tangannya terulur menyusuri tiap jengkal dari wajah mulus milik Naura. Hatinya gemetar. Ingatannya melayang kembali mengingat peristiwa sebelas tahun yang lalu. Ketika dia singgah di sebuah masjid dan melihat sebuah tas yang teronggok di salah satu sudut ruangan. Tak ada seorangpun yang dia temui di mesjid itu mengaku sebagai pemiliknya.Hafiz memberanikan diri membuka tas, sekedar mencari tahu siapa pemiliknya. Barangkali ada identitas diri yang tersimpan di dalam tas. Tak sengaja dia menemukan seuntai kalung emas dengan liontin sederhana berbentuk hati dengan sebuah permata di tengahnya."Abang ingat sekarang," ucap Hafiz sembari menepuk jidat. "Abang menemukan identitas Abah di dalam tas. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Darul Falah. Abang pun pergi ke sana dan menyerahkan tas itu."Naura menganggukkan kepala"Abah berulangkali menceritakan kebaikan pemuda itu kepada Adek. Beliau sangat salut dengan pemuda itu yang ternyata sangat jujur dan amanah.
Bab 13"Bukan soal menolak atau tidak, Abah, tetapi Hafiz merasa dibohongi. Naura memberikan gambaran tentang dirinya yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya.""Istrimu sama sekali tidak berbohong, Nak," sahut laki-laki tua itu. Beliau menepuk pundak Hafiz."Maksud Abah?" kejar Hafiz."Dia tidak berbohong, Nak. Dia memang lumpuh. Dia tidak bisa berjalan. Kakinya tidak bisa berjalan ke tempat-tempat yang dimurkai oleh Allah. Dia tidak bisa melangkahkan kakinya ke tempat-tempat maksiat. Itulah maksud tersembunyi dari ucapan Naura," jelas kiai Nawawi."Subhanallah...." Hafiz berseru dan setelah itu mengucap takbir."Hafiz tidak menyangka, masih ada wanita seperti itu di zaman sekarang." Laki-laki itu berdecak kagum."Itulah kenyataannya, Nak. Sebagian besar waktu Naura dihabiskan dengan menghafal Al-Qur'an sejak kecil. Dia berhasil menghafal 15 juz saat usianya baru 7 tahun dan berhasil menghatamkan Alquran di umur 10 tahun. Alhamdulillah," ucap laki-laki itu. Pandangan matanya me
Bab 14Lagi-lagi perempuan itu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya."Astaga.. malu lagi, istri Abang," godanya. Hafiz meraih tangan itu dan mengecupnya sekilas."Ketahuilah, sayangku, malu itu perhiasan setiap wanita, tetapi perhiasannya itu harus dia tanggalkan di saat berada di hadapan suaminya. Ketika dia sedang berhadapan dengan laki-laki lain, perhiasan itu harus dikenakannya kembali," ucap Hafiz."Itu adalah pengalaman pertama buat Adek," katanya lirih."Abang juga tahu kalau itu pengalaman pertama buat Adek." Hafiz mengacak rambut Naura. "Terima kasih ya, sudah mau menjaganya untuk Abang.""Maaf, Sayang, kalau kemarin malam rasanya agak sakit. Abang tidak bermaksud untuk menyakitimu." Hafiz kembali mendaratkan sebuah kecupan di kening Naura."Tak apa, Bang. Itu sudah hak Abang sebagai seorang suami dan kewajiban Adek untuk melayani Abang," sahutnya."Terima kasih ya, Sayang. Oh ya, besok kita akan segera pindah ke rumah yang baru. Rumah itu sebenarnya adalah rumah yang
Bab 15Sepasang netra bening itu menatap wajah suaminya dalam-dalam. Merah merona di wajahnya bahkan seperti gambaran suasana hatinya yang masih saja di liputi rasa kaget dengan pernyataan yang di lontarkan oleh Hafiz barusan.Hafiz merasa begitu senang. Dia merasa seperti mendapat mainan baru yang unik. Sepertinya ini akan menjadi hiburan tersendiri. Ah, menggoda Naura ternyata sangat menyenangkan."Abang bersungguh-sungguh?" tanya Naura. Ada kecemasan kentara di wajahnya.Hafiz hanya tersenyum simpul. "Ah, Abang cuma bercanda, Sayang. Abang juga mengerti kalau kamu belum siap melakukan kegiatan itu lagi. Itunya masih sakit, kan? Masih terasa perih, kan? Abang nggak akan tega bersikap bar-bar kok." Hafiz mencubit pipi Naura.Perempuan muda itu mengangguk. Dari gestur tubuhnya Hafiz memahami kalau dia masih merasa sungkan dengannya. Dia belum terbiasa dengannya, bahkan diperlakukan dengan cara seintim ini. Naura benar-benar masih virgin, bukan cuma karena dia masih perawan, tapi tubuh
Bab 16"Naura paham, Bang. Abang tidak usah khawatir. Dari awal Adek sudah tahu siapa Abang sebenarnya, jadi tidak ada lagi dusta atau tipu diantara kita.""Menjadi seorang istri yang suaminya memiliki istri lain, harus siap mental ya, Sayang. Mandiri, kuat menghadapi semua hal, apalagi di saat suami tidak ada di rumah dan tengah berada di rumah istri yang lain." Hafiz menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya. "Kenapa kita terlambat bertemu, Sayang? Sebenarnya Abang tidak tega menjadikanmu sebagai istri yang kesekian. Kamu tidak pantas, Sayang.""Bang, apakah Abang tidak mencintai Naura?" Bola hitam di matanya tampak sedang berusaha menyelami isi dibalik sorot matanya. Mereka bertatapan cukup lama sebelum akhirnya wanita itu menundukkan wajahnya."Abang pasti mencintaimu. Percayalah seorang suami harus mencintai istrinya.""Itu bukan cinta, Bang. Itu adalah kewajiban," protes Naura."Bukan, Sayang." Sejenak dia menghirup nafasnya. "Apakah Adek sudah lupa, ketika Adek